Setelah makan malam, Arika merapihkan bekas makan mereka dan mencuci piring kotor kemudian. Selesai dengan semua tugasnya di dapur, Arika naik ke lantai dua. Pergi menuju ke kamarnya.
Dia mendengar suara gemericik air dari shower di dalam kamar mandi. Dia tahu bahwa dokter Rein sedang mandi.Sementara menunggu Dokter Rein selesai mandi, pikira Arika tertuju kepada ruang bawah itu."Kalau itu hanya gudang, kenapa harus dikunci?" pikir Arika."Ini terlalu mencurigakan. Aku akan mencari tahu lagi besok," sambungnya.Dokter Rein keluar dari kamar mandi dengan rambut basahnya dan badan yang hanya terlilit handuk putih dipinggangnya.Arika memandang pemandangan indah dihadapannya dan tanpa sadar menelan salivanya."Oh..., kamu sudah selesai di dapur?" serunya mengacak-ngacak rambutnya dengan handuk lain untuk mengeringkannya."Sudah," jawab Arika bergerak ke lemari untuk mengambilkan kaos untuk Dokter Rein gunakan."Terimakasih," ucap Dokter Rein tersenyum sambil mengambil kaosnya dari tangan Arika.Keesokan paginya. Arika menyiapkan pakaian untuk Dokter Rein gunakan ke klinik. Sementara Dokter tampan itu sedang mandi. Setelah menyiapkan bajunya, Arika pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapannya.Selesai sarapan Dokter Rein bersiap-siap untuk berangkat ke klinik. Di ruang tamu sebelum berangkat, Dokter itu mencium bibir Arika dengan mesra."Nanti malam bersiaplah!" pesan Dokter Rein setelah melepaskan ciumannya.Arika terhenyak, "bersiap untuk apa?" pikirnya."Aku memberi tahu kan dirimu sekarang, agar kamu bisa menyiapkan fisikmu melayaniku,"Deg...Arika tertohok di dadanya. Ingatan akan kesakitan dan rasa nikmat yang bersatu di malam pertama itu merasuki hati dan pikirannya. Perasaan ngeri mulai menyelimutinya kini."Makanlah yang enak-enak. Pesan saja apa pun yang kamu mau. Asal kamu bisa fit malam nanti," pesan Dokter Rein sambil berjalan ke depan rumahnya dengan merangkul Arika."Dan jangan bekerja terlalu berat!" tambah pesannya walau lebih terdengar seperti ancaman.Arika menelan salivanya untuk kesekian kalinya."Jangan macam-macam!" Dokter itu memperingati Arika namun dengan senyuman di wajahnya seolah menandakan itu hanya gurauannya.Setelah Dokter Rein berangkat. Arika terduduk lesu di meja dapur. Walau dia masih harus membersihkan bekas sarapan dan juga perabotan lainnya akan tetapi mendengar Dokter itu menginginkan itu malam nanti membuatnya kehilangan tenaganya untuk beraktivitas."Malam ini? Ini bahkan belum seminggu dari dia menyalurkan hasratnya dan dia menginginkan itu lagi? Dia lebih seperti maniak," gumam Arika mencengkram rambutnya frustasi.Arika hanya duduk diam seraya menggigit jari telunjuknya karena begitu resah memikirkan nanti malam.Namun kemudian, rasa khawatir dan ketakutan Arika tiba-tiba terusik oleh rasa penasarannya terhadap suara yang dia dengar dari ruang bawah tanah."Oh iya, aku harus mencari tahu tentang ruang bawah tanah itu?" pikirnya menengok pintu dapur.Kemudian dia berjalan keluar lewat pintu dapur dan menuju ruang bawah tanah.Aura mencengkam perlahan menjalari setiap pembuluh darahnya saat dia semakin masuk ke dalam kegelapan tangga yang menuju ke ruang bawah tanah.TapSuara derap sandal yang menuruni tangga terdengar menggema di sana.Tek...Seolah menyadari keberadaan Arika di sana, suara itu terdengar lagi.Tek... Tek...Arika sampai di pintu pemisah tangga. Dia menarik gagang pintu ke bawah dan ternyata itu tidak terkunci seperti kemarin."Apa Dokter Rein lupa menguncinya?" batin Arika.Hatinya semakin berdebar. Rasa penasaran akan apa yang bisa dia temui di bawah sana pun semakin besar. Dia mendorong pintu besi yang berat itu agar terbuka.Namun sayangnya dia harus kecewa kali ini. Karena pintu ini hanya pintu pemisah tangga, bukan pintu untuk memasuki ruang bawah tanah. Pintu lain ada di sisi tembok di ujung anak tangga terbawah.Arika semakin turun hingga anak tangga terakhir. Sampailah dia di depan pintu masuk ruang bawah tanah sesungguhnya. Dan sama dengan pintu sebelumnya, pintu itu juga terbuat dari besi tebal.Dia menekan tuas pintu kebawah dan yang ini terkunci. Arika mendengus kasar."Dia tidak lupa mengunci yang ini," pikirnya.Tek...Suara itu semakin nyaring dari tempat dia berdiri."Halo...apa di sana ada orang?" tanya Arika menempelkan pipinya ke daun pintu yang terasa dingin.Hening. Suara itu tidak lagi terdengar."Bila ada seseorang di dalam, tolong buat suara lagi," pintanya.Suara itu terdengar lagi. Kali ini terdengar beberapa kali dengan tempo yang cepat hingga membuat Arika semakin yakin kalau ada orang di dalam sana. Ritme jantungnya berpacu dengan nafasnya yang terasa berat. Wajahnya pun kini berubah pucat."Kamu benar manusia?" tanya Arika. Suara itu semakin ribut.Wanita di dalam terus bergerak seolah memohon pembebasan. Dia berteriak dalam mulutnya yang tersumpal namun itu tidak menjangkau pendengaran Arika yang terhalang tembok dan pintu.Arika mencari cara untuk dapat membuka pintu itu. Dia nampak panik. Dia sangat ingin meyakinkan dirinya itu benar manusia. Dan ingin tahu siapa dia? Dan kenapa dia bisa di dalam?Saat tengah berpikir dan berusaha. Telinga Arika bisa mendengar seseorang membuka pintu utama. Arika menebak itu Dokter Reinhard yang kembali.Meski masih dengan rasa penasarannya yang belum terobati. Arika bergegas menaiki anak tangga. Senagaja dia membuka sandalnya dan berjalan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara dari tapak kaki di lantai.Arika Menutup pintu tangga dengan rapih. Agar Dokter Rein tidak curiga dia sudah masuk ke ruang bawah tanah.Setelah masuk dan menutup pintu dapur, Arika mengelap keringatnya dengan tissue. Dan mencoba bersikap biasa saja. Dia berjalan menuju ke dalam menemui Dokter Rein yang berada di ruang tamu."Kamu kembali?" tanya Arika menaruh jemarinya yang gemetar di balik badannya."Aku meninggalkan barangku yang penting," kata Dokter Rein mengambil sebuah kumpulan kunci yang terikat menyatu dengan gantungannya di atas sebuah bufet yang memiliki tinggi sekitar satu meter."Kunci klinik!" kata Dokter Rein memberi tahu Arika dengan senyum di bibirnya.Dia mencium bibir Arika sebelum kembali berangkat ke klinik.Hati Arika menjadi resah dan terus memikirkan ruangan bawah tanah itu. Banyak pertanyaan meggantung di pikirannya dan berharap untuk mendapatkan jawabannya segera.Betapa dia sangat penasaran ingin tahu ada apa di sana? Benarkah itu manusia? Tetapi siapa? Kenapa dia dikurung di sana? Apa Dokter Rein tahu siapa dia? Dan atau Apa mungkin memang Dokter Rein yang sengaja mengurungnya. Rahasia apa lagi yang sebenarnya Dokter Rein sembunyikan?Arika bergidik ngeri. Bulu-bulu kuduknya meremang. Dia takut kalau memang itu adalah manusia, dan sengaja dikurung Dokter Rein.Dia pun mulai mencemaskan bagaimana nasibnya ke depan? Akankah dia menjadi penghuni berikutnya dari ruangan itu?Rein berjalan mendekat, membawa dua cangkir teh hangat. Uapnya menari lembut di bawah cahaya lampu gantung yang kekuningan. Arika menerimanya tanpa banyak bicara, lalu duduk bersisian di sofa ruang tengah.Hangat. Hening. Nyaman.Namun di dalam hatinya, sebuah pertanyaan perlahan muncul ke permukaan.Kenapa Rein bisa berubah? Kenapa hari ini terasa berbeda?Apa yang membuatnya seperti ini—manusiawi, ramah, hampir… lembut?Tapi Arika tidak mengatakannya.Ia hanya menatap uap dari tehnya, membiarkan pertanyaan itu tenggelam perlahan dalam diam.Ia takut jika kata-kata itu keluar, semuanya akan berubah kembali.Dia ingin menikmati malam ini saja. Walau hanya sebentar. Walau hanya semalam.“Aku senang hari ini,” gumam Arika akhirnya, lebih kepada dirinya sendiri.Rein melirik ke arahnya, senyum tipis terbit di wajahnya. “Aku juga,” balasnya pelan.Mereka terdiam lagi. Tapi keheningan kali
Tiba-tiba pikiran Arika mengingat ucapan Rein barusan yang masih menggema di kepala Arika. Sebuah kalimat yang mungkin tidak terkesan ada keanehan :"Itu bukan dia. Pria itu masih hidup setidaknya sekarang. Dan entah apa dia akan melapor atau tidak."Arika seperti menangkap sebuah clue, 'setidaknya sekarang'. Kata-kata itu terlalu ambigu. Terlalu berbahaya dan mengandung makna.Arika menyingkap selimut dan bangkit dari tempat tidur. Jantungnya berdegup keras saat kakinya menyentuh lantai. Ia melangkah cepat menuju pintu, lalu menuruni tangga satu per satu, menuju ruang yang paling tak ingin ia lihat pagi ini—ruang bawah tanah.Langkah Rein terdengar tak jauh di belakang, namun alih-alih cemas, ia terdengar... ringan. Seolah sedang mengamati anak kecil yang penasaran."Masih penasaran?" suaranya lembut, seperti sedang menggodanya.Arika tak menggubris. Dia menuruni tangga ke ruang bawah tanah sementara Rein tetap menanti di atas. Tangan Arika gemetar saat membuka pintu ruang bawah tana
Suara hujan tak berhenti. Menit-menit terus berlalu, tapi halaman laporan masih kosong. Jay menatap layar komputer yang redup. Pantulan bayangannya sendiri muncul samar. Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri lagi. "Sejak kapan aku jadi seperti ini?" Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Bukan karena marah—tapi karena tak berdaya. Ia tahu prosedur. Ia tahu cara menyelidiki luka, membaca tanda-tanda kekerasan, mengejar kebenaran. Tapi malam ini, semua ilmunya lumpuh di hadapan satu tatapan mata. Tatapan Arika. Tatapan yang menyimpan seribu jeritan yang tak diucapkan. Tatapan yang dulu mengenalnya, kini nyaris tak bisa menatap balik. Tatapan yang terasa... minta tolong. 🎶 Jika kau merasa sepi… kembalilah ke tempat ku menanti… Lagu For Revenge-Serana mengalun. Dengan lirik yang senada dengan perasaan Jay malam ini. Jay memejamkan mata. "Apa kau bahagia, Ka?" "Apa kau aman…?" Pertanyaan-pertanyaan itu menggema, tak pernah terjawab. Dan sialnya, dia tah
Langkah Arika pelan, seakan jiwanya belum kembali ke tubuh. Ia masuk kembali ke ruangan Rein hanya untuk satu hal—mengambil tasnya. Tapi bahkan itu terasa berat. Tangannya sempat bergetar saat meraih pegangan tas, seolah benda itu pun ikut menolak disentuh.Namun sebelum sempat ia berbalik, tangan Rein menyergap pergelangannya. Kencang. Dingin. Seperti jerat.“Mau ke mana lagi kamu?” Suaranya rendah tapi tajam. Tak perlu teriak untuk terasa mengancam.Arika tak menjawab.Rein mendekat, wajahnya hanya sejengkal darinya. “Mau pergi lagi? Atau mengejar Jay?”“Bukan urusanmu,” sahut Arika, datar namun penuh api.Genggaman Rein mengencang. “Apa kamu mau dihukum lagi, huh?”“Hukum saja. Bunuh sekalian. Aku sudah tidak peduli!”Kata-kata itu meledak seperti bara dilempar ke minyak. Tatapan mereka saling mencengkram dalam keheningan yang membakar. Tidak ada yang bicara, tapi amarah, luka, dan kegilaan menari di udara.Lalu—klik.Pintu terbuka.Seorang pria berseragam putih masuk dengan wajah
Masih di pagi yang sama, matahari menyusup pelan di antara celah tirai, membasuh kamar dengan cahaya hangat. Rein bersiap ke klinik. Memakai kemeja yang telah disiapkan Arika secara susah payah ditengah luka-lukanya. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Arika yang masih berbaring dengan tubuh lemah namun tak lagi menolak. Tangan kekar namun halus itu mengusap kaki Arika dengan lembut. “Kau yakin tidak akan kembali ke klinik hari ini?” tanyanya pelan, seolah hanya memancing. Arika membuka mata, tak menghindar. “Nggak. Aku nggak mau, kalau kamu nggak keberatan.” Rein tersenyum tipis, tak membantah. “Baiklah, bila itu maumu. Tapi aku ingin memberitahu... hari ini Armelia punya jadwal kontrol. Giginya sakit.” Nama itu seketika menyalakan sesuatu dalam diri Arika. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit perlahan, mengabaikan perih yang masih terasa di tubuhnya. “Aku akan ke klinik.” Rein han
Dalam percumbuan malam itu, tubuh Arika tak lagi terasa seperti miliknya. Tangisnya jatuh, tanpa suara, menetes bersama luka-luka merah yang baru saja tercipta di kulitnya. Sabuk itu menyisakan jejak, bukan hanya pada dagingnya—tapi jauh lebih dalam, di tempat di mana rasa percaya pernah hidup. Namun Dokter Rein tidak berhenti. Bermain nikmat dengan tubuh Arika melalui sentuhan-sentuhannya. Baginya, setiap rintihan Arika adalah Puisi penaklukan. Setiap getar dan jerit bagai pengakuan atas kekuasaan yang ia genggam sepenuhnya. Tak ada ruang untuk pembangkangan dalam dunianya. Bahkan cinta pun, bila pernah ada, telah disalibkan oleh harga dirinya. Dia memuaskan hasratnya kepada tubuh Arika yang tak berdaya dalam kungkungannya. Berkali-kali seolah tak ada ampunan untuk hukumannya. Arika mengerang, bukan lagi sekadar karena sakit, melainkan karena dirinya perlahan memudar di bawah cengkeraman laki-laki itu. Tapi tubuhnya... tu