Share

6. Resah

Setelah makan malam, Arika merapihkan bekas makan mereka dan mencuci piring kotor kemudian. Selesai dengan semua tugasnya di dapur, Arika naik ke lantai dua. Pergi menuju ke kamarnya.

Dia mendengar suara gemericik air dari shower di dalam kamar mandi. Dia tahu bahwa dokter Rein sedang mandi.

Sementara menunggu Dokter Rein selesai mandi, pikira Arika tertuju kepada ruang bawah itu.

"Kalau itu hanya gudang, kenapa harus dikunci?" pikir Arika.

"Ini terlalu mencurigakan. Aku akan mencari tahu lagi besok," sambungnya.

Dokter Rein keluar dari kamar mandi dengan rambut basahnya dan badan yang hanya terlilit handuk putih dipinggangnya.

Arika memandang pemandangan indah dihadapannya dan tanpa sadar menelan salivanya.

"Oh..., kamu sudah selesai di dapur?" serunya mengacak-ngacak rambutnya dengan handuk lain untuk mengeringkannya.

"Sudah," jawab Arika bergerak ke lemari untuk mengambilkan kaos untuk Dokter Rein gunakan.

"Terimakasih," ucap Dokter Rein tersenyum sambil mengambil kaosnya dari tangan Arika.

Keesokan paginya. Arika menyiapkan pakaian untuk Dokter Rein gunakan ke klinik. Sementara Dokter tampan itu sedang mandi. Setelah menyiapkan bajunya, Arika pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapannya.

Selesai sarapan Dokter Rein bersiap-siap untuk berangkat ke klinik. Di ruang tamu sebelum berangkat, Dokter itu mencium bibir Arika dengan mesra.

"Nanti malam bersiaplah!" pesan Dokter Rein setelah melepaskan ciumannya.

Arika terhenyak, "bersiap untuk apa?" pikirnya.

"Aku memberi tahu kan dirimu sekarang, agar kamu bisa menyiapkan fisikmu melayaniku,"

Deg...

Arika tertohok di dadanya. Ingatan akan kesakitan dan rasa nikmat yang bersatu di malam pertama itu merasuki hati dan pikirannya. Perasaan ngeri mulai menyelimutinya kini.

"Makanlah yang enak-enak. Pesan saja apa pun yang kamu mau. Asal kamu bisa fit malam nanti," pesan Dokter Rein sambil berjalan ke depan rumahnya dengan merangkul Arika.

"Dan jangan bekerja terlalu berat!" tambah pesannya walau lebih terdengar seperti ancaman.

Arika menelan salivanya untuk kesekian kalinya.

"Jangan macam-macam!" Dokter itu memperingati Arika namun dengan senyuman di wajahnya seolah menandakan itu hanya gurauannya.

Setelah Dokter Rein berangkat. Arika terduduk lesu di meja dapur. Walau dia masih harus membersihkan bekas sarapan dan juga perabotan lainnya akan tetapi mendengar Dokter itu menginginkan itu malam nanti membuatnya kehilangan tenaganya untuk beraktivitas.

"Malam ini? Ini bahkan belum seminggu dari dia menyalurkan hasratnya dan dia menginginkan itu lagi? Dia lebih seperti maniak," gumam Arika mencengkram rambutnya frustasi.

Arika hanya duduk diam seraya menggigit jari telunjuknya karena begitu resah memikirkan nanti malam.

Namun kemudian, rasa khawatir dan ketakutan Arika tiba-tiba terusik oleh rasa penasarannya terhadap suara yang dia dengar dari ruang bawah tanah.

"Oh iya, aku harus mencari tahu tentang ruang bawah tanah itu?" pikirnya menengok pintu dapur.

Kemudian dia berjalan keluar lewat pintu dapur dan menuju ruang bawah tanah.

Aura mencengkam perlahan menjalari setiap pembuluh darahnya saat dia semakin masuk ke dalam kegelapan tangga yang menuju ke ruang bawah tanah.

Tap

Suara derap sandal yang menuruni tangga terdengar menggema di sana.

Tek...

Seolah menyadari keberadaan Arika di sana, suara itu terdengar lagi.

Tek... Tek...

Arika sampai di pintu pemisah tangga. Dia menarik gagang pintu ke bawah dan ternyata itu tidak terkunci seperti kemarin.

"Apa Dokter Rein lupa menguncinya?" batin Arika.

Hatinya semakin berdebar. Rasa penasaran akan apa yang bisa dia temui di bawah sana pun semakin besar. Dia mendorong pintu besi yang berat itu agar terbuka.

Namun sayangnya dia harus kecewa kali ini. Karena pintu ini hanya pintu pemisah tangga, bukan pintu untuk memasuki ruang bawah tanah. Pintu lain ada di sisi tembok di ujung anak tangga terbawah.

Arika semakin turun hingga anak tangga terakhir. Sampailah dia di depan pintu masuk ruang bawah tanah sesungguhnya. Dan sama dengan pintu sebelumnya, pintu itu juga terbuat dari besi tebal.

Dia menekan tuas pintu kebawah dan yang ini terkunci. Arika mendengus kasar.

"Dia tidak lupa mengunci yang ini," pikirnya.

Tek...

Suara itu semakin nyaring dari tempat dia berdiri.

"Halo...apa di sana ada orang?" tanya Arika menempelkan pipinya ke daun pintu yang terasa dingin.

Hening. Suara itu tidak lagi terdengar.

"Bila ada seseorang di dalam, tolong buat suara lagi," pintanya.

Suara itu terdengar lagi. Kali ini terdengar beberapa kali dengan tempo yang cepat hingga membuat Arika semakin yakin kalau ada orang di dalam sana. Ritme jantungnya berpacu dengan nafasnya yang terasa berat. Wajahnya pun kini berubah pucat.

"Kamu benar manusia?" tanya Arika. Suara itu semakin ribut.

Wanita di dalam terus bergerak seolah memohon pembebasan. Dia berteriak dalam mulutnya yang tersumpal namun itu tidak menjangkau pendengaran Arika yang terhalang tembok dan pintu.

Arika mencari cara untuk dapat membuka pintu itu. Dia nampak panik. Dia sangat ingin meyakinkan dirinya itu benar manusia. Dan ingin tahu siapa dia? Dan kenapa dia bisa di dalam?

Saat tengah berpikir dan berusaha. Telinga Arika bisa mendengar seseorang membuka pintu utama. Arika menebak itu Dokter Reinhard yang kembali.

Meski masih dengan rasa penasarannya yang belum terobati. Arika bergegas menaiki anak tangga. Senagaja dia membuka sandalnya dan berjalan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara dari tapak kaki di lantai.

Arika Menutup pintu tangga dengan rapih. Agar Dokter Rein tidak curiga dia sudah masuk ke ruang bawah tanah.

Setelah masuk dan menutup pintu dapur, Arika mengelap keringatnya dengan tissue. Dan mencoba bersikap biasa saja. Dia berjalan menuju ke dalam menemui Dokter Rein yang berada di ruang tamu.

"Kamu kembali?" tanya Arika menaruh jemarinya yang gemetar di balik badannya.

"Aku meninggalkan barangku yang penting," kata Dokter Rein mengambil sebuah kumpulan kunci yang terikat menyatu dengan gantungannya di atas sebuah bufet yang memiliki tinggi sekitar satu meter.

"Kunci klinik!" kata Dokter Rein memberi tahu Arika dengan senyum di bibirnya.

Dia mencium bibir Arika sebelum kembali berangkat ke klinik.

Hati Arika menjadi resah dan terus memikirkan ruangan bawah tanah itu. Banyak pertanyaan meggantung di pikirannya dan berharap untuk mendapatkan jawabannya segera.

Betapa dia sangat penasaran ingin tahu ada apa di sana? Benarkah itu manusia? Tetapi siapa? Kenapa dia dikurung di sana? Apa Dokter Rein tahu siapa dia? Dan atau Apa mungkin memang Dokter Rein yang sengaja mengurungnya. Rahasia apa lagi yang sebenarnya Dokter Rein sembunyikan?

Arika bergidik ngeri. Bulu-bulu kuduknya meremang. Dia takut kalau memang itu adalah manusia, dan sengaja dikurung Dokter Rein.

Dia pun mulai mencemaskan bagaimana nasibnya ke depan? Akankah dia menjadi penghuni berikutnya dari ruangan itu?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status