"Apa kamu mau mengganti bajumu?" tanya Dokter Reinhard sudah memakai kaos hitamnya, berjalan menghampiri Arika.
"I-iya," Arika tergagap.Berbeda dengan tampilan yang selalu rapih memakai kemeja, Dokter Reinhard terlihat sexy mengenakan kaos hitam seperti itu."Bajumu masih di koper, di dalam lemari," infonya menunjuk satu pintu lemari.Setelah mengambil gaun tidur berwarna ungu Arika pergi ke kamar mandi untuk berganti baju. Tidak lama dia kembali keluar dan berjalan menghampiri Dokter Reinhard yang sedang membaca buku di sebuah kursi empuk dengan bingkai kayu berwarna emas, dan memakai kaca mata bacanya."Dokter bisa anda membantu saya?" tanya Arika dengan tangan berada di balik punggungnya. Dokter Reinhard membuka dan meletakkan kacamata di atas buka yang tergeletak di meja."Oh, apa itu Arika?" tanya Dokter Reinhard berdiri."Aku tidak bisa menjangkau resleting gaunku," katanya masih berusaha menjangkau resleting dibalik punggungnya."Oke," Dokter Reinhard berdiri di belakang Arika sambil tersenyum. Sangat dekat hampir saling menempel satu sama lain."Oh tidak, aku salah meminta tolong!" seru Arika di dalam hatinya. "Tetapi memang hanya dia yang ada di rumah ini," sambungnya merasakan tangan Dokter Reinhard membawa turun resleting gaunnya ke bawah, tepat di atas bokongnya, ujung dari resleting itu.Napas hangat Dokter Reinhard bisa dia rasakan di tengkuknya, menyapu telinganya membuatnya menggeliat. Punggungnya yang terbuka terasa hangat karena tubuh bagian depan Dokter Reinhard tanpa cela menempel dengannya. Tangan Arika memegang gaun depannya agar tidak jatuh terbuka."Wangi tubuhmu begitu harum," desis Dokter Reinhard di telinga Arika."Ah gila...dia seperti bukan pertama kali bersama wanita," ujar Arika di dalam hatinya.Jari Dokter Reinhard menelusuri pundak Arika, lambat dan lembut. Dia merangkul Arika dari belakang. Sementara bibirnya mencium dan menghisap leher dan belakang telinga Arika. Tangan kanannya yang panjang menggantung ke depan, mencoba menyusup ke dalam baju yang tertahan tangan Arika."jangan aku mohon!" suara hati Arika, namun berbeda dengan respon tubuh menerimanya. Arika mendesah, kepalanya menengadah, terangkat ke atas. Tangannya yang ia usahakan untuk menekan sekuat tenaga bajunya di dada ternyata hanya ada dalam pikirannya, tangannya mengkhianatinya dan mengendur begitu saja. Tangan Reinhard sudah berada dalam gaunnya dan bermain di bukit kembar Arika yang kenyal.Dokter Reinhard melepas sepenuhnya gaun Arika membiarkannya jatuh ke lantai. Di hadapannya kini Arika hanya mengenakan pakain dalam nya yang berwarna putih. Dokter Reinhard membalik tubuh Arika menghadap ke arahnya lalu mendorong Arika ke tempat tidur.Malam itu pun di habiskan mereka bersama menuju puncak kenikmatan."Aahhh...a-ku...mohon...ah....hen-tikan!" pinta Arika dengan matanya yang kian sayu. Dia nampak kelelahan.Entah sudah berapa kali Arika mengeluarkan pelepasannya. Dia bahkan tidak dapat mengingat berapa kali sudah tubuhnya melengkung dan menegang di bawah kendali Dokter Rein. Namun pria itu seperti belum juga puas melampiaskan hasratnya yang terus menggebu-gebu."Ini bahkan belum sampai pertengahan sayang." jawab Dokter Rein merasakan kenikmatan tiada tara dalam diri Arika.Seluruh area sensitif Arika telah mati rasa. Hingga pelepasan terakhir Dokter Rein, Arika benar-benar sudah tak berdaya. Tubuhnya sudah sangat lelah menerima hujaman demi hujaman Dokter Rein.Pagi hari pun tiba..."Apakah aku membuatmu kelelahan semalam?" Tanya Dokter Reinhard mencium kening Arika yang masih tergolek lemas di atas tempat tidurnya.Arika mengernyit. Rasa nyeri berdenyut dia rasakan di pusat inti antara pangkal pahanya. Di hantam berkali-kali membuatnya lemah.Meskipun telah memohon untuk berhenti namun Dokter itu malah berkata,"Sayang, seharusnya kamu sudah tahu ini dari awal. Nggak apa-apa, lama-lama kamu pun akan terbiasa," jawabnya melancarkan aksinya kembali, menghunuskan adiknya ke tubuh Arika."Kamu istirahatlah. Biar aku yang membuatkan sarapan." Dia bangkit dari tidurnya, mengenakan pakaiannya dan berjalan ke luar kamar.Arika menangis menahan nyeri di sekujur tubuhnya."Percuma kalau aku menyesali keputusan ku sekarang. Ini bahkan baru hari pertama," batinnya dalam isak tangis, meringkuk memeluk lutut. "Mundur pun aku udah nggak bisa," tambahnya."Namun bagaimana dia masih bisa sesegar itu setelah melewati malam yang melelahkan?" pikir Arika merasa takjub, "Pria itu memiliki stamina yang luar biasa," pujinya.Bayang-bayang kejadian semalam terputar kembali dalam ingatan Arika. Rasa sakit, lenguhannya, ratapannya yang bercampur kenikmatan berulang.Sementara itu di dapur. Dokter Reinhard memasak beberapa masakan untuk sarapan sekaligus makan siang. Setelah semua siap, dia menaruh makanan ke dalam dua nampan.Dokter Reinhard membiarkan satu nampan tetap di meja dapur dan mengangkat satu nampan menuju ke belakang dapur. Menyusuri lorong yang membawanya ke sebuah turunan menuju ruang bawah tanah.Dia membuka kunci pintu yang terbuat dari besi. Dia mendorong pintu itu agar terbuka. Gelap gulita di dalam sana setelah Dokter itu menutup kembali pintunya. Dokter Reinhard menekan saklar lampu, beberapa lampu di sana menyala. Tetap tidak terlalu terang. Tercium aroma darah yang kuat di dalam ruangan itu. Tembok-tembok dipenuhi noda darah. Sarang laba-laba, lantai yang kotor terlihat di ruang tersebut."Waktunya makan, aku baru ingat sudah tiga hari aku nggak ngasih kamu makan," ucapnya tersenyum sinis."Euummm...euummm..." suara wanita yang disumpal mulutnya dengan kain terdengar. Membuat senyum Dokter Reinhard semakin lebar."Jangan berteriak. Sekali kamu berteriak kamu tahu akan berakhir di mana?" katanya menduduki kursi di sisi dental unit chair (kursi pasien dokter gigi)Dental chair tersebut terlihat kotor. Kursi di ruangan itu nampak kusam, dan lusuh seperti sudah lama digunakan.Di atas kursi pasien itu terbaring seorang wanita berambut panjang. Kedua tangannya terikat rantai dengan gembok besi di pegangan kursi. Begitupun kakinya terikat rantai.Dokter Reinhard membuka kain yang terikat di mulut wanita tersebut. Rambutnya acak-acakan wajahnya kotor dan bajunya lusuh. Pergelangan tangan dan kaki yang terikat rantai terdapat luka berdarah yang menandakan usaha dia mencoba melepas ikatan tersebut namun gagal.Dokter Reinhard menyuapi wanita yang terlihat berumur sekitar 37 tahun. Dengan lahap wanita itu makan."Tolong lepaskan aku!" mohon wanita itu begitu mengiba."Nggak mungkin. Sekali kamu masuk ke rumah ini kamu nggak akan bisa keluar hidup-hidup,""Aku berjanji nggak akan ngelaporin kamu. Aku akan menghilang dan melupakan kejadian ini. Tetapi aku mohon lepaskan aku!" Airmata nya mengalir. Entah seberapa banyak wanita itu menangis, sampai kantung mata hitam terlihat jelas di bawah matanya.Dokter itu tertawa, "kamu pikir aku bodoh." decitnya. "Melepasmu hidup-hidup sama saja memasukan diriku sendiri ke penjara. Terima saja takdirmu," ucap Dokter itu mengerling."Aku nggak sabar mempertemukan kalian berdua. Tetapi aku masih ingin bermain-main dengan wanita bodoh di atas," tekan Dokter Reinhard."Jadi kamu benar-benar menikahi janda itu?" tanya wanita itu tampak lebih muram saat mendengar hal itu."Jangan kasar begitu. Dia istriku sekarang. Baiklah." Dokter Reinhard meregangkan tubuhnya sambil berdiri. "Aku harus kembali ke atas sebelum wanita itu curiga," Dokter Reinhard mengikatkan kain lagi diantara rongga mulut wanita itu agar tidak bersuara.Dokter Reinhard kembali ke atas setelah memastikan telah mengunci pintu dengan aman.Saat kembali ke dapur, Arika memasuki ruang dapur dari arah dalam."Owh...kenapa kamu bangun dari tempat tidur. Berbaringlah lagi. Aku baru akan mengantarkan makananmu ke atas," oceh Dokter Reinhard mengangkat nampan berisi makanan yang telah dia siapkan."Aku nggak betah kalau cuman berbaring,""Mau aku suapi?" tawaran Dokter Reinhard."Nggak, kita makan bersama saja," jawab Arika mengambilkan nasi untuk Dokter Reinhard."Apa masih sakit?" tanyanya menatap ke tengah tubuh Arika, diantara kedua paha atasnya. Arika terlihat tidak nyaman. "Oh...maaf. Maksudku, hanya ingin meresepkan kamu obat kalau masih sakit,""Aku rasa minum paracetamol pun cukup,""Itu pun boleh. Obat-obatan ada di lemari dapur bagian atas itu," tunjuk Dokter Reinhard ke salah satu pintu lemari yang menggantung di atas tembok."Oke. Apa anda harus bersiap ke Klinik setelah makan?""Iya, tetapi kalau kamu masih mau aku temani, aku bisa mengambil cuti,""Nggak perlu, bekerja saja. Pasien anda lebih membutuhkan anda. Kalau anda mengizinkan, saya akan istirahat untuk hari ini,""Tentu, beristirahatlah.""Beristirahatlah sebelum hari-hari yang lebih melelahkan untukmu tiba," hatinya berbicara sementara bibirnya tersenyum, tersenyum penuh misteri.****************Rein berjalan mendekat, membawa dua cangkir teh hangat. Uapnya menari lembut di bawah cahaya lampu gantung yang kekuningan. Arika menerimanya tanpa banyak bicara, lalu duduk bersisian di sofa ruang tengah.Hangat. Hening. Nyaman.Namun di dalam hatinya, sebuah pertanyaan perlahan muncul ke permukaan.Kenapa Rein bisa berubah? Kenapa hari ini terasa berbeda?Apa yang membuatnya seperti ini—manusiawi, ramah, hampir… lembut?Tapi Arika tidak mengatakannya.Ia hanya menatap uap dari tehnya, membiarkan pertanyaan itu tenggelam perlahan dalam diam.Ia takut jika kata-kata itu keluar, semuanya akan berubah kembali.Dia ingin menikmati malam ini saja. Walau hanya sebentar. Walau hanya semalam.“Aku senang hari ini,” gumam Arika akhirnya, lebih kepada dirinya sendiri.Rein melirik ke arahnya, senyum tipis terbit di wajahnya. “Aku juga,” balasnya pelan.Mereka terdiam lagi. Tapi keheningan kali
Tiba-tiba pikiran Arika mengingat ucapan Rein barusan yang masih menggema di kepala Arika. Sebuah kalimat yang mungkin tidak terkesan ada keanehan :"Itu bukan dia. Pria itu masih hidup setidaknya sekarang. Dan entah apa dia akan melapor atau tidak."Arika seperti menangkap sebuah clue, 'setidaknya sekarang'. Kata-kata itu terlalu ambigu. Terlalu berbahaya dan mengandung makna.Arika menyingkap selimut dan bangkit dari tempat tidur. Jantungnya berdegup keras saat kakinya menyentuh lantai. Ia melangkah cepat menuju pintu, lalu menuruni tangga satu per satu, menuju ruang yang paling tak ingin ia lihat pagi ini—ruang bawah tanah.Langkah Rein terdengar tak jauh di belakang, namun alih-alih cemas, ia terdengar... ringan. Seolah sedang mengamati anak kecil yang penasaran."Masih penasaran?" suaranya lembut, seperti sedang menggodanya.Arika tak menggubris. Dia menuruni tangga ke ruang bawah tanah sementara Rein tetap menanti di atas. Tangan Arika gemetar saat membuka pintu ruang bawah tana
Suara hujan tak berhenti. Menit-menit terus berlalu, tapi halaman laporan masih kosong. Jay menatap layar komputer yang redup. Pantulan bayangannya sendiri muncul samar. Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri lagi. "Sejak kapan aku jadi seperti ini?" Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Bukan karena marah—tapi karena tak berdaya. Ia tahu prosedur. Ia tahu cara menyelidiki luka, membaca tanda-tanda kekerasan, mengejar kebenaran. Tapi malam ini, semua ilmunya lumpuh di hadapan satu tatapan mata. Tatapan Arika. Tatapan yang menyimpan seribu jeritan yang tak diucapkan. Tatapan yang dulu mengenalnya, kini nyaris tak bisa menatap balik. Tatapan yang terasa... minta tolong. 🎶 Jika kau merasa sepi… kembalilah ke tempat ku menanti… Lagu For Revenge-Serana mengalun. Dengan lirik yang senada dengan perasaan Jay malam ini. Jay memejamkan mata. "Apa kau bahagia, Ka?" "Apa kau aman…?" Pertanyaan-pertanyaan itu menggema, tak pernah terjawab. Dan sialnya, dia tah
Langkah Arika pelan, seakan jiwanya belum kembali ke tubuh. Ia masuk kembali ke ruangan Rein hanya untuk satu hal—mengambil tasnya. Tapi bahkan itu terasa berat. Tangannya sempat bergetar saat meraih pegangan tas, seolah benda itu pun ikut menolak disentuh.Namun sebelum sempat ia berbalik, tangan Rein menyergap pergelangannya. Kencang. Dingin. Seperti jerat.“Mau ke mana lagi kamu?” Suaranya rendah tapi tajam. Tak perlu teriak untuk terasa mengancam.Arika tak menjawab.Rein mendekat, wajahnya hanya sejengkal darinya. “Mau pergi lagi? Atau mengejar Jay?”“Bukan urusanmu,” sahut Arika, datar namun penuh api.Genggaman Rein mengencang. “Apa kamu mau dihukum lagi, huh?”“Hukum saja. Bunuh sekalian. Aku sudah tidak peduli!”Kata-kata itu meledak seperti bara dilempar ke minyak. Tatapan mereka saling mencengkram dalam keheningan yang membakar. Tidak ada yang bicara, tapi amarah, luka, dan kegilaan menari di udara.Lalu—klik.Pintu terbuka.Seorang pria berseragam putih masuk dengan wajah
Masih di pagi yang sama, matahari menyusup pelan di antara celah tirai, membasuh kamar dengan cahaya hangat. Rein bersiap ke klinik. Memakai kemeja yang telah disiapkan Arika secara susah payah ditengah luka-lukanya. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Arika yang masih berbaring dengan tubuh lemah namun tak lagi menolak. Tangan kekar namun halus itu mengusap kaki Arika dengan lembut. “Kau yakin tidak akan kembali ke klinik hari ini?” tanyanya pelan, seolah hanya memancing. Arika membuka mata, tak menghindar. “Nggak. Aku nggak mau, kalau kamu nggak keberatan.” Rein tersenyum tipis, tak membantah. “Baiklah, bila itu maumu. Tapi aku ingin memberitahu... hari ini Armelia punya jadwal kontrol. Giginya sakit.” Nama itu seketika menyalakan sesuatu dalam diri Arika. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit perlahan, mengabaikan perih yang masih terasa di tubuhnya. “Aku akan ke klinik.” Rein han
Dalam percumbuan malam itu, tubuh Arika tak lagi terasa seperti miliknya. Tangisnya jatuh, tanpa suara, menetes bersama luka-luka merah yang baru saja tercipta di kulitnya. Sabuk itu menyisakan jejak, bukan hanya pada dagingnya—tapi jauh lebih dalam, di tempat di mana rasa percaya pernah hidup. Namun Dokter Rein tidak berhenti. Bermain nikmat dengan tubuh Arika melalui sentuhan-sentuhannya. Baginya, setiap rintihan Arika adalah Puisi penaklukan. Setiap getar dan jerit bagai pengakuan atas kekuasaan yang ia genggam sepenuhnya. Tak ada ruang untuk pembangkangan dalam dunianya. Bahkan cinta pun, bila pernah ada, telah disalibkan oleh harga dirinya. Dia memuaskan hasratnya kepada tubuh Arika yang tak berdaya dalam kungkungannya. Berkali-kali seolah tak ada ampunan untuk hukumannya. Arika mengerang, bukan lagi sekadar karena sakit, melainkan karena dirinya perlahan memudar di bawah cengkeraman laki-laki itu. Tapi tubuhnya... tu