Home / Romansa / Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur! / Mama mengapa tak sayang

Share

Mama mengapa tak sayang

Author: Piki
last update Last Updated: 2025-05-08 23:34:11

“Mama, aku...” Suara Alana terdengar lirih, seolah tertahan di tenggorokan. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang hendak pecah—tangis atau keberanian, ia sendiri tidak tahu.

Wina, sang mama, duduk di depan cermin besar dengan riasan mewah. Jemarinya sibuk membubuhkan highlighter di tulang pipi, tak sedikit pun menoleh pada anaknya. Seolah suara Alana hanyalah angin lalu.

“Mama, aku berangkat ke sekolah dulu, ujar Alana pelan. Tangannya perlahan terulur, mencoba menyentuh tangan mamanya. Sekadar pamit. Sekadar mengharap setitik perhatian.

Namun yang ia dapat hanya semburan kata-kata dingin yang menusuk ulu hati.

“Sana saja... Jangan ganggu Mama!” bentak Wina dengan nada tinggi, nyaris memekakkan telinga.

Alana membeku sejenak. Lalu ia mengangguk pelan. Tubuh kecilnya memutar arah dan melangkah menjauh, namun jiwanya tertinggal di ruangan itu—bersama kata-kata yang lebih menyakitkan dari tamparan.

Langkahnya terasa berat menuruni anak tangga rumah. Setiap derap sepatu seperti membawa beban yang menumpuk di dadanya. Ia menunduk, menatap lantai, namun pikirannya berlari liar.


SPP... Sudah berbulan-bulan belum dibayar. Ia tahu itu. Ia takut, sangat takut jika sekolah memutuskan untuk menskor dirinya. Ia tidak ingin kehilangan sekolah. Itu satu-satunya tempat ia bisa bernapas, walau tipis.

Beberapa menit kemudian, Alana sudah berjalan menyusuri jalan menuju ke sekolah. Rumah-rumah berjejer di kiri kanan dan motor-motor sesekali melintas. Ia merapatkan jaketnya, udara pagi agak menusuk kulit.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar deru mobil. Alana sedikit menepi. Mobil sedan hitam berhenti perlahan di dekatnya. Jendela mobil turun pelan, memperlihatkan wajah seseorang yang sangat dikenalnya.

Dewi dengan rambut terikat rapi dan seragam yang tampak baru disetrika, gadis itu memandang Alana dengan senyum tipis yang lebih mirip ejekan.

“Eh, Alana... masih jalan kaki?” ucap Dewi dengan nada datar, tapi sinisnya terasa menusuk.

Alana tak menjawab. Ia menunduk, melanjutkan langkahnya tanpa menoleh.

Tiba-tiba—

DUG!

Sebuah botol Aqua setengah isi melayang keluar dari jendela dan menghantam bahu Alana. Ia tersentak, meringis kesakitan.

“Ups,” ujar Dewi, masih dari dalam mobil. “Tangan aku nggak sengaja banget.”

Alana hanya melanjutkan langkahnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Satu jam kemudian, Alana sampai di sekolah. Pak satpam yang melihatnya langsung membukakan pintu pagar.

“Nak Alana, kok kelihatan tidak baik-baik saja?” tanya Pak Satpam.

Alana hanya mengangguk dan menjawab pelan bahwa ia hanya kecapekan.

Setibanya di kelas, tatapan sinis kembali menyambutnya, terutama dari Dewi.

Alana berusaha menunduk dan berjalan cepat ke bangkunya, pura-pura tidak melihat. Namun suara Dewi yang cukup keras terdengar jelas, seolah disengaja agar seluruh kelas mendengar.

“Wah, ada juga yang datang meskipun kayaknya berat banget ya, masuk sekolah tanpa uang,” ujar Dewi sambil pura-pura membetulkan dasinya.

Beberapa teman mereka terkekeh pelan. Alana hanya menarik napas panjang, menahan sesak yang mulai memenuhi dadanya.

“Eh, tapi salut sih, walau banyak tunggakan, tetap rajin datang. Semangat ya, Lana. Semangat cari belas kasihan,” sambung Dewi dengan senyum menyindir, pandangannya tajam menusuk.

Ayuna yang duduk di dekat Dewi hanya bisa menunduk, tak sanggup membela, apalagi ikut tertawa.

Alana menguatkan diri, membenarkan posisi duduk dan membuka bukunya walau tangannya sedikit gemetar. Di dalam hatinya, ia terus mengulang satu kalimat: “Kamu kuat, Alana.”

Tak lama kemudian, jam pelajaran hampir selesai. Bu Amora, guru Bahasa Indonesia sekaligus guru BK, mengakhiri pembelajaran. Kemudian, satu persatu siswa dan siswi mulai berjalan keluar dari dalam ruangan itu. Hingga ketika Alana berpamitan, guru Amora berbicara, “Alana, ada yang Ibu ingin sampaikan kepada kamu. Sekarang, tolong temui saya di ruang BK, ya.” ucapnya, sembari berlalu.

Beberapa murid yang masih berada di dalam kelas mulai berbisik-bisik. Dewi langsung menoleh ke arah Nesya dan berbisik cukup keras.

“Tuh kan, bener dugaanku. Pasti soal tunggakan SPP. Bisa-bisa langsung diskor, tuh.”

Mereka terkekeh pelan, tak peduli bahwa Alana mendengarnya.

Dewi, Pinkan dan Nesya menghampiri Relandra, “Relan, lo punya janji sama gw" ucap Dewi.

"My darling, mana mungkin aku melupakan janjiku ini" ucapnya dengan alay. Dewi memalingkan wajahnya, "sekarang juga Lo ikuti kemanapun Alana pergi dan kalau ada kesempatan, Lo harus cepat bertindak" ujarnya.

Relandra hanya mengangguk dan mengikuti rencana itu. Saat Alana hendak mencuci muka di kamar mandi belakang yang sepi, Relandra diam-diam mengikutinya. Begitu Alana masuk, Relandra cepat-cepat menutup pintu dan menguncinya dari luar dengan gembok kecil.

Alana langsung panik. “Siapa di luar?! Tolong! Aku dikunciin!” teriaknya sambil memukul-mukul pintu.

Rasa takut mulai menyergap. Ia merasa sesak, napasnya memburu cepat. Trauma masa kecilnya kembali terbayang.

“Ma... Tolong aku...” isaknya.

Hampir lima belas menit berlalu tanpa ada yang lewat, sampai akhirnya Pak Satpam yang sedang berkeliling mendengar suara tangisan dan gedoran dari arah kamar mandi.

“Siapa di dalam?!”

“Saya Alana, Pak! Saya dikunci dari luar!”

Dengan sigap, Pak Satpam membuka gembok dengan kunci cadangan dan menolong Alana yang sudah terduduk lemas.

“Ada yang kunci kamu?” tanyanya cemas.

“Saya... saya nggak tahu, Pak,” jawab Alana dengan suara bergetar.

Pak Satpam lalu mengantarkan Alana ke ruang BK, tempat Bu Amora sudah menunggu. Di sana, Alana duduk dengan tenang meskipun masih gemetar.

“Alana... Apa kamu sudah punya feeling mengapa kamu berada di ruangan saya?” tanya Bu Amora dengan tegas.

Dengan takut dan gugup, Alana mengiyakan dan mengaku belum membayar uang SPP selama empat bulan.

Bu Amora pun membenarkan, namun ia langsung melanjutkan, “Kamu siswa pilihan kami. Nilai akademik dan non-akademikmu luar biasa. Karena itu, kamu mendapatkan beasiswa penuh hingga kelas 12, termasuk pelunasan semua SPP yang tertunggak. Bahkan setelah lulus nanti, kamu berkesempatan langsung kuliah ke luar negeri dengan beasiswa 1 miliar.”

“Apa, Buk? Hiks...” Alana menangis haru.

Guru Amora tersenyum dan menepuk punggungnya. “Nak Alana, kamu anak yang sempurna dan saya yakin, orang tuamu pasti benar-benar bangga kepadamu.”

Raut wajah Alana mendadak menciut saat mendengar pujian itu.

“Orang tuaku bangga?” gumam Alana dalam hati dengan perasaan sesak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Penindasan yang di lakukan oleh Dewi

    Bagas mengusir kedua temannya agar tidak mengganggu kesehatan Alana. Sementara Alana tidak ingin Dewi melihatnya bersama dengan Bagas. Setelah Relandra dan Devano sudah keluar, Bagas menatap wajah Alana yang terlihat pucat pasi.“Kamu tunggu disini” ujar Bagas.Alana melihat Bagas tengah pergi, entah apa yang dilakukan Bagas? Alana tidak dapat berpikir lagi. Ia memutuskan untuk tidur agar tubuhnya segera stabil. Tidak lama kemudian, Bagas datang dengan membawa beberapa makanan.“Alana, bangun”Alana bangun dan Bagas tersenyum, “Kamu seperti ini karena belum sarapan pagi. Sekarang, kamu harus makan” ujar Bagas.Bagas mulai menyuapi Alana dengan bubur ayam. Alana yang sudah sangat lapar, terpaksa memakan bubur tersebut. “Ayo, makan lagi yang banyak” ujar Bagas yang kembali menyuapi Alana.Dari balik jendela, Relandra dan Devano mengintip kemesraan mereka. Sampai-sampai dibelakang mereka ada pak guru killer sedang memantaunya.“Sedang apa kalian?” tanya pak guru killer.Relandra dan Deva

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Dewi

    Bagas mengusir kedua temannya agar tidak mengganggu kesehatan Alana. Sementara Alana tidak ingin Dewi melihatnya bersama dengan Bagas. Setelah Relandra dan Devano sudah keluar, Bagas menatap wajah Alana yang terlihat pucat pasi.“Kamu tunggu disini” ujar Bagas.Alana melihat Bagas tengah pergi, entah apa yang dilakukan Bagas? Alana tidak dapat berpikir lagi. Ia memutuskan untuk tidur agar tubuhnya segera stabil. Tidak lama kemudian, Bagas datang dengan membawa beberapa makanan.“Alana, bangun”Alana bangun dan Bagas tersenyum, “Kamu seperti ini karena belum sarapan pagi. Sekarang, kamu harus makan” ujar Bagas.Bagas mulai menyuapi Alana dengan bubur ayam. Alana yang sudah sangat lapar, terpaksa memakan bubur tersebut. “Ayo, makan lagi yang banyak” ujar Bagas yang kembali menyuapi Alana.Dari balik jendela, Relandra dan Devano mengintip kemesraan mereka. Sampai-sampai dibelakang mereka ada pak guru killer sedang memantaunya.“Sedang apa kalian?” tanya pak guru killer.Relandra dan Deva

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Menyebalkan

    Alana sudah hampir satu minggu tidak masuk sekolah. Kini, merupakan hari pertama ia mulai masuk sekolahnya lagi. Tidak ada hal yang berbeda pada lingkungan sekolah hanya saja ada yang sedikit berbeda dari rautan wajah teman-temannya. Terutama, Dewi yang terlihat tengah berbisik-bisik.Alana melirik Ayuna yang juga menatapnya. Alana berusaha tersenyum kearahnya. Tanpa disadari, Ayuna juga ikut membalas senyumannya. Terlintas sejenak kenangan mereka sewaktu SMP dulu. Canda dan tawa selalu mereka rasakan.Saat Alana termenung, tiba-tiba guru datang dan membuat lamunannya memudar. Pak guru Rahman sedikit kaget saat melihat Alana telah kembali. "Alana, saya dengar kamu sedang sakit. Apa sekarang kamu sudah membaik?" tanya pak Rahman selaku guru IPA."Iya, Pak. Saya sudah sembuh" ujar Alana dengan ramah."Syukurlah, Alana. Maafkan Bapak bila tidak sempat menengok keadaanmu" ujar pak Rahman."Tidak apa-apa, Pak" sahut Alana.Dewi melihat Alana waktu itu tentu tidak percaya kalau Alana tidak

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Rumah Sakit

    Wina menerima tumpukan uang dari Alexander dengan mata berbinar. Jemarinya bergetar saat menyentuh lembar demi lembar, seolah tak percaya pada keberuntungan yang tiba-tiba datang menghampirinya.“Ah… begini dong, Tuhan,” gumamnya sambil tersenyum puas. “Kalau ngasih rezeki, jangan setengah-setengah. Biar hidup nggak susah terus.”Dengan mata berbinar dan senyum yang tak bisa disembunyikan, Wina memeluk uang itu seperti harta karun yang akhirnya kembali ke pelukannya. Tak ada rasa peduli dari mana uang itu berasal, atau apa konsekuensinya.Di sisi lain, Alana terbangun dengan tubuh terasa nyeri, terutama di bagian bawah. Dahi berkerut, ia perlahan menarik selimut—Lalu jantungnya serasa berhenti.Noda merah membekas di seprai putih. Matanya membelalak. Napasnya tercekat. Panik menjalari tubuhnya.“Apa yang... terjadi…?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.Seketika, sebuah suara dingin menghantam keheningan dari balik pintu kamar.“Kamu sudah tidak perawan lagi, Alana.”Itu suara Ale

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Ternodai

    Terdengar suara klakson mobil dari depan halaman rumah, hati Alana seketika resah, ia menebak bahwa suara mobil tersebut berasal dari suara mobil Alexander yang sudah sampai ke rumah. Alana menghela nafas, lalu mencoba keluar dari pintu kamar tidur untuk melihat situasi di ruang tamu. Alana melihat Wina begitu hangat menyambut kedatangan Alexander dengan seribu senyuman termanis.“Tuan Alexander sangat tampan dan gagah!” puji Wina kepada Alexander.“Terimakasih, Wina!” ujar Alexander dengan puas akan pujian tersebut.Menyadari putrinya tengah mengintip, Wina pun berkata, “Alana, ngapain kamu berdiri saja disitu? Ayo kemarilah dan beri salam sama Tuan Alexander!” perintahnya dengan nada mengatur.Alana menunduk pasrah, menahan gelombang rasa yang sulit dijelaskan. Dengan langkah pelan, ia mendekati mama dan Alexander yang tengah berdiri berdampingan. Wajahnya datar, namun matanya menyiratkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Begitu pandangannya jatuh pada Alana, sorot mata Alexa

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Momen Pertemanan

    Di dalam kamar ber-AC yang dipenuhi aroma parfum mahal, Anik berdiri di depan cermin besar dengan tatapan kosong.Ponselnya berkedip. Notifikasi dari grup chat bertuliskan “Target: Alana” baru saja muncul. Anik membuka pesan itu dengan jari yang bergetar, bukan karena takut—melainkan karena marah."Maaf Bos, temanmu kabur karena ada cowok yang bantuin."Anik menutup ponsel dengan cepat dan melemparkannya ke atas kasur. Ia berjalan mondar-mandir dengan langkah cepat, seperti menahan sesuatu yang mendidih dalam dirinya.“Bagaimana bisa gagal? Aku udah pastikan semua rapi,” gumamnya sendiri, giginya bergemeletuk karena emosi. Pandangan matanya tertumbuk pada foto yang menempel di papan gabus—foto Ayuna, tersenyum polos di tengah taman sekolah. ia teringat awal-awal pertemanannya bersama Ayuna. Saat itu…Matahari pagi menyelinap masuk lewat jendela kaca ruang kelas, memantulkan cahaya hangat ke lantai, tapi suasananya justru terasa dingin dan mencekam. Di sudut ruangan, Dewi dan dua sahab

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status