Share

Berduaan

Penulis: Piki
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-29 23:41:00

Di perjalanan pulang, Bagas menoleh ke arah Alana yang duduk di boncengannya, rambutnya berantakan tertiup angin malam. Ia membuka suara dengan nada hati-hati, “Alana, kamu mau singgah dulu di warung makan? Aku tahu tempat enak yang masih buka sampai malam.”

Dengan perasaan deg-degan Alana menolaknya dengan halus, “Maaf, aku sudah makan di rumah” ujar Alana dengan berbohong. Yang sebenarnya Alana belum sarapan sejak siang hari dan ia hari ini telah menghabiskan uangnya hanya membeli satu ice mixue yang harganya belasan ribu rupiah.

“Tidak apa-apa Alana. Biar sesampainya di rumah, kamu tidak perlu lagi makan malam dan soal bayar, nanti aku yang bayar” ujar Bagas.

Karena Bagas tetap memaksa maka Alana pun akhirnya mengiyakan.

Warung makan sederhana itu masih buka, diterangi cahaya kuning temaram. Mereka duduk berdua, menunggu pesanan. Di sela kesunyian, Bagas membuka topik yang selama ini ia simpan.

“Maaf, Alana... Tapi aku penasaran. Aku hampir nggak pernah lihat kamu makan di kantin sekolah

Alana menoleh cepat, kaget dan canggung. “Kenapa tiba-tiba kamu nanya itu?”

Bagas mengangkat bahu. “Entah... aku cuma heran. Dari semua siswi, kamu satu-satunya yang nggak pernah aku lihat di sana.”

Alana menarik napas, lalu tersenyum tipis, "Aku memilih untuk menabungkan uang yang di kasih sama mamaku. Karena aku sadar, biaya SPP di sekolah elit tidaklah murah. Aku merasa di terima dalam jalur prestasi pun sudah jauh dari cukup"

Bagas tertegun. Ia melihat gadis di depannya dengan cara yang berbeda sekarang. Gadis yang tampak biasa itu... ternyata menyimpan ketegaran luar biasa.

Pesanan tiba. Saat makan, Bagas memperhatikan bagaimana Alana melahap makanannya dengan begitu lahap, seolah-olah itu adalah santapan pertama hari itu.

“Kamu mau nambah lagi?” tanyanya lembut.

Alana menggeleng cepat. “Nggak, ini udah kenyang banget,” katanya sambil tertawa kecil.

Malam makin larut. Setelah selesai makan, Bagas mengantar Alana pulang. Di ujung gang, Alana menolak diantar sampai pintu.

“Nggak usah, Bagas. Mamaku bisa curiga kalau tahu aku keluar malam-malam. Aku... kabur lewat jendela tadi,” ucapnya setengah tertawa, setengah takut.

Bagas hanya tersenyum, berdiri diam sampai Alana benar-benar masuk. Ia menunggu, memastikan gadis itu aman.

Alana, di sisi lain, perlahan memanjat jendela rumah dengan hati-hati. Nafasnya tertahan, takut ibunya terbangun. Begitu kaki menapak lantai kamarnya, ia berbisik lega,

“Uh... akhirnya berhasil juga.”

Di rumah Bagas, suasana berbeda. Ia disambut oleh aroma masakan hangat dan suara riuh kecil.

“Kak Bagas sudah pulang? Ayo sini makan bareng!” suara Milda, adik sepupunya, menyambut penuh semangat.

Bagas meletakkan tasnya dan duduk. Dinda, Mamanya, langsung menyajikan makanan ke piring Bagas, penuh dan mewah. Sosis bakar, mie pedas, ikan panggang, dan teh hijau.

“Ma, Bagas nggak lapar,” katanya pelan.

Dinda menatapnya dengan lembut. “Sayang, Mama masak khusus buat kita makan bareng. Ayo makan, ya?”

"Bagas udah makan di warung" ujar Bagas dengan Pelan.

"Setidaknya ambilah sedikit makanan di meja ini buat menghargai Orang Tua" tegur Broto.

Bagas akhirnya menyentuh makanannya, tapi di benaknya terbayang wajah Alana saat makan tadi.

“Kebanyakan... sampai bingung mau makan yang mana,” gumamnya.

Milda yang sedari tadi cengengesan, tiba-tiba bersandar manja di kursi sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Ia menatap kakaknya yang masih termenung di hadapan sepiring nasi.

“Kak Bagas, coba tebak…” katanya penuh semangat, matanya berbinar-binar ingin diperhatikan, “Siapa yang masak hari ini?”

Bagas meliriknya malas, lalu menggeleng pelan. “Nggak tahu.”

Dengan dada dibusungkan seperti pemenang lomba memasak, Milda menjawab lantang, “Jelas dong! Aku yang masak!”

Bagas menahan tawa. Senyum miring tersungging di bibirnya. “Paling bantu goreng doang…”

Seketika ekspresi Milda berubah. Senyum lebarnya runtuh jadi manyun panjang. “Ih, kakak ini…” gumamnya pelan, hampir seperti anak kecil yang baru kehilangan mainan.

Dinda yang melihat ekspresi putrinya hanya terkekeh. Suaranya lembut tapi penuh kebahagiaan. “Iya, Kakak. Milda bantu masaknya kok… walaupun cuma bagian goreng-goreng,” katanya sambil mengedipkan mata ke arah Bagas.

Tawa renyah pun memenuhi ruang makan yang tadi sempat sunyi. Suasana hangat itu… sederhana, tapi memeluk. Sehangat teh hijau yang mengepul di atas meja. Rumah mereka… bukan sekadar tempat pulang, tapi pelabuhan rasa di tengah letihnya dunia.

Setelah makan, satu per satu masuk ke kamar. Milda duluan, Broto menyusul. Dinda membereskan meja.

“Sini, Ma. Biar Bagas bantu cuci piring,” tawar Bagas tulus.

“Tidak apa-apa, Sayang... Kamu capek, tidur saja,” ujar Dinda.

“Biar Bagas bantu...” katanya, langsung menuju wastafel dan mulai mencuci.

Dinda menatap putranya penuh rasa syukur. Dalam hati ia berkata,

"Perempuan mana pun yang menikah dengan Bagas nanti, pasti akan sangat beruntung."

Bagas selesai mencuci dan bersiap ke kamar.

“Mama masih mau ngepel sedikit,” kata Dinda.

“Tapi biar Bagas aja, Ma?”

Dinda menggeleng. “Nggak usah, Sayang. Besok kamu sekolah. Tidur, ya.”

Bagas menurut. Ia masuk ke kamarnya dan berbaring di kasur. Rasa lelah bercampur hangatnya malam membuatnya mengembuskan napas panjang.

Di tengah kesunyian itu, terlintas wajah Alana—dan sepotong rasa kagum yang mulai tumbuh diam-diam di hatinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Penindasan yang di lakukan oleh Dewi

    Bagas mengusir kedua temannya agar tidak mengganggu kesehatan Alana. Sementara Alana tidak ingin Dewi melihatnya bersama dengan Bagas. Setelah Relandra dan Devano sudah keluar, Bagas menatap wajah Alana yang terlihat pucat pasi.“Kamu tunggu disini” ujar Bagas.Alana melihat Bagas tengah pergi, entah apa yang dilakukan Bagas? Alana tidak dapat berpikir lagi. Ia memutuskan untuk tidur agar tubuhnya segera stabil. Tidak lama kemudian, Bagas datang dengan membawa beberapa makanan.“Alana, bangun”Alana bangun dan Bagas tersenyum, “Kamu seperti ini karena belum sarapan pagi. Sekarang, kamu harus makan” ujar Bagas.Bagas mulai menyuapi Alana dengan bubur ayam. Alana yang sudah sangat lapar, terpaksa memakan bubur tersebut. “Ayo, makan lagi yang banyak” ujar Bagas yang kembali menyuapi Alana.Dari balik jendela, Relandra dan Devano mengintip kemesraan mereka. Sampai-sampai dibelakang mereka ada pak guru killer sedang memantaunya.“Sedang apa kalian?” tanya pak guru killer.Relandra dan Deva

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Dewi

    Bagas mengusir kedua temannya agar tidak mengganggu kesehatan Alana. Sementara Alana tidak ingin Dewi melihatnya bersama dengan Bagas. Setelah Relandra dan Devano sudah keluar, Bagas menatap wajah Alana yang terlihat pucat pasi.“Kamu tunggu disini” ujar Bagas.Alana melihat Bagas tengah pergi, entah apa yang dilakukan Bagas? Alana tidak dapat berpikir lagi. Ia memutuskan untuk tidur agar tubuhnya segera stabil. Tidak lama kemudian, Bagas datang dengan membawa beberapa makanan.“Alana, bangun”Alana bangun dan Bagas tersenyum, “Kamu seperti ini karena belum sarapan pagi. Sekarang, kamu harus makan” ujar Bagas.Bagas mulai menyuapi Alana dengan bubur ayam. Alana yang sudah sangat lapar, terpaksa memakan bubur tersebut. “Ayo, makan lagi yang banyak” ujar Bagas yang kembali menyuapi Alana.Dari balik jendela, Relandra dan Devano mengintip kemesraan mereka. Sampai-sampai dibelakang mereka ada pak guru killer sedang memantaunya.“Sedang apa kalian?” tanya pak guru killer.Relandra dan Deva

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Menyebalkan

    Alana sudah hampir satu minggu tidak masuk sekolah. Kini, merupakan hari pertama ia mulai masuk sekolahnya lagi. Tidak ada hal yang berbeda pada lingkungan sekolah hanya saja ada yang sedikit berbeda dari rautan wajah teman-temannya. Terutama, Dewi yang terlihat tengah berbisik-bisik.Alana melirik Ayuna yang juga menatapnya. Alana berusaha tersenyum kearahnya. Tanpa disadari, Ayuna juga ikut membalas senyumannya. Terlintas sejenak kenangan mereka sewaktu SMP dulu. Canda dan tawa selalu mereka rasakan.Saat Alana termenung, tiba-tiba guru datang dan membuat lamunannya memudar. Pak guru Rahman sedikit kaget saat melihat Alana telah kembali. "Alana, saya dengar kamu sedang sakit. Apa sekarang kamu sudah membaik?" tanya pak Rahman selaku guru IPA."Iya, Pak. Saya sudah sembuh" ujar Alana dengan ramah."Syukurlah, Alana. Maafkan Bapak bila tidak sempat menengok keadaanmu" ujar pak Rahman."Tidak apa-apa, Pak" sahut Alana.Dewi melihat Alana waktu itu tentu tidak percaya kalau Alana tidak

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Rumah Sakit

    Wina menerima tumpukan uang dari Alexander dengan mata berbinar. Jemarinya bergetar saat menyentuh lembar demi lembar, seolah tak percaya pada keberuntungan yang tiba-tiba datang menghampirinya.“Ah… begini dong, Tuhan,” gumamnya sambil tersenyum puas. “Kalau ngasih rezeki, jangan setengah-setengah. Biar hidup nggak susah terus.”Dengan mata berbinar dan senyum yang tak bisa disembunyikan, Wina memeluk uang itu seperti harta karun yang akhirnya kembali ke pelukannya. Tak ada rasa peduli dari mana uang itu berasal, atau apa konsekuensinya.Di sisi lain, Alana terbangun dengan tubuh terasa nyeri, terutama di bagian bawah. Dahi berkerut, ia perlahan menarik selimut—Lalu jantungnya serasa berhenti.Noda merah membekas di seprai putih. Matanya membelalak. Napasnya tercekat. Panik menjalari tubuhnya.“Apa yang... terjadi…?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.Seketika, sebuah suara dingin menghantam keheningan dari balik pintu kamar.“Kamu sudah tidak perawan lagi, Alana.”Itu suara Ale

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Ternodai

    Terdengar suara klakson mobil dari depan halaman rumah, hati Alana seketika resah, ia menebak bahwa suara mobil tersebut berasal dari suara mobil Alexander yang sudah sampai ke rumah. Alana menghela nafas, lalu mencoba keluar dari pintu kamar tidur untuk melihat situasi di ruang tamu. Alana melihat Wina begitu hangat menyambut kedatangan Alexander dengan seribu senyuman termanis.“Tuan Alexander sangat tampan dan gagah!” puji Wina kepada Alexander.“Terimakasih, Wina!” ujar Alexander dengan puas akan pujian tersebut.Menyadari putrinya tengah mengintip, Wina pun berkata, “Alana, ngapain kamu berdiri saja disitu? Ayo kemarilah dan beri salam sama Tuan Alexander!” perintahnya dengan nada mengatur.Alana menunduk pasrah, menahan gelombang rasa yang sulit dijelaskan. Dengan langkah pelan, ia mendekati mama dan Alexander yang tengah berdiri berdampingan. Wajahnya datar, namun matanya menyiratkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Begitu pandangannya jatuh pada Alana, sorot mata Alexa

  • Jangan Anggap Aku Gadis Pelacur!   Momen Pertemanan

    Di dalam kamar ber-AC yang dipenuhi aroma parfum mahal, Anik berdiri di depan cermin besar dengan tatapan kosong.Ponselnya berkedip. Notifikasi dari grup chat bertuliskan “Target: Alana” baru saja muncul. Anik membuka pesan itu dengan jari yang bergetar, bukan karena takut—melainkan karena marah."Maaf Bos, temanmu kabur karena ada cowok yang bantuin."Anik menutup ponsel dengan cepat dan melemparkannya ke atas kasur. Ia berjalan mondar-mandir dengan langkah cepat, seperti menahan sesuatu yang mendidih dalam dirinya.“Bagaimana bisa gagal? Aku udah pastikan semua rapi,” gumamnya sendiri, giginya bergemeletuk karena emosi. Pandangan matanya tertumbuk pada foto yang menempel di papan gabus—foto Ayuna, tersenyum polos di tengah taman sekolah. ia teringat awal-awal pertemanannya bersama Ayuna. Saat itu…Matahari pagi menyelinap masuk lewat jendela kaca ruang kelas, memantulkan cahaya hangat ke lantai, tapi suasananya justru terasa dingin dan mencekam. Di sudut ruangan, Dewi dan dua sahab

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status