Keesokan hari,Tanpa banyak hambatan dan penolakan Ibu, Mas Hamdan lantas mengajakku pergi ke rumah Tante dan Omnya, dia bilang ingin memperkenalkan calon istri kepada anggota keluarga dan kerabat ibu-bapaknya.Tadinya takut dan ragu namun setelah diyakinkan dan menerima sikap baik serta keramahan keluarganya, perlahan rasa ragu yang tadinya menggununh di hatiku meleleh seketika."Oh, ini toh, calon istrimu, dia terlihat baik dan sopan," ucap sang Tante."Iya, Tan, Alhamdulillah, yang paling penting dia menyayangi anak saya," jawabnya, seraya melirikkundan putrinya yang duduk di pangkuanku."Bagaimana Nisa Apakah Ibu Yanti baik padamu?"Gadis yang rambutnya aku kuncir dua itu mengangguk dengan senyum bahagia."Alhamdulillah jika kamu dan anakmu cocok dengan wanita ini kami sebagai keluarga akan selalu mendukung kebahagiaan kalian," jawab Omnya Mas Hamdan.Begitupun ketika kami beralih ke rumah lain, keluarga mereka juga menyambut kami dengan hangat, malah, aku diperlakukan begitu mul
Kurasa itu yang jadi pertanyaan banyak orang, tentang kehidupan setelah pernikahan kami, pernikahan janda dua anak dan seorang duda kaya yang cukup terhormat. Ada hal baru ketika ak menjalani biduk rumah tangga dengan tiga orang anak dan mertua yang akhirnya menerima keberadaanku.Ada tantangan tersendiri ketika aku harus menyandang status baru, istri dari pria yang didambakan banyak wanita. Aku bahagia, tentu saja, tapi kadang was was juga, terlebih karena latar belakangku yang miskin dan janda, sementara banyak orang yag menyayangkan mengapa Mas Hamdan mau saja meminangku yang dulu adalah pembantu rumahnya.Hari hari kami berjalan normal, tidak ada yang mencolok atau berlebihan baik itu hubungan atau kemesraan. Pria berhati lembut dengan tutur kata yang selalu santun itu membuatku makin segan, lebih menghormati dan menghargai. Menyadari bahwa dia mengambilku jadi istri lalu memuliakan diri ini bagaikan seorang ratu, membuatku tahu bahwa dia adalah satu satunya orang yang akan
Dengan langkah sedikit gemetar dan hati ragu, kubaurkan diriku pada tamu yang sedang duduk di depan sementara sebagian lain sedang bercengkerama sambil menikmati minuman di dekat meja prasmanan."Selamat sore," sapaku dengan telapak tangan yang sudah panas dingin karena gugup.Semua orang memandang ke arahku menatap dengan tatapan sejuta tanya dan selidik dari atas ke bawah. Mungkin saking merasa terkejut karena pertama kali jumpa, mereka sampai tidak menjawab salam atau memberikan senyuman, hanya terdiam sambil terus menatap saja. Aku tahu, mereka saat ini melihatku sebagai pembantu bukan sebagai istri Mas Hamdan.Seumur hidup baru kali aku diajak suami membaur pada pesta teman kerjanya, dulu, suami sebelumnya--Mas imam--tak pernah mengajakku ke acara seperti ini, dia menjauhkanku dari kehidupan pribadi dan lingkungan profesionalnya."Ehh ... saya harap pesta kecilnya menyenangkan," ucapku sambil meremas tangan salah tingkah.Kuedarkan pandangan, mencari suamiku dan berharap ia
"Tidakkah kamu merasa bahwa Haifa ingin menyampaikan sebuah sinyal kepadamu?" tanyaku ketika kami selesai membereskan pesta dan mengemasi perabotan untuk mengembalikannya ke dapur."Tidak, aku sama sekali tidak mengerti apa maksudmu, sinyal apa yang ingin dia sampaikan memangnya?" Ujar suamiku sambil tertawa dan mengemasi mesin barbeque untuk didorongnya kembali ke gudang."Apa saat itu kalian hampir saja menikah?""Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu?" tanya suamiku sambil tersenyum dan meletakkan tangannya di pinggangnya"Iseng saja aku ingin tahu.""Jangan sampai keisengan itu yang merusak hubungan kita dan menghancurkan hatimu. dia hanya masa lalu yang tidak pernah menjadi penting dalam hidupku. Kami memang hampir menikah tapi itu tidak terlaksana," gumam Mas Hamdan sambil beranjak."Tapi sepertinya Haifa masih menyimpan rasa untukmu ..."Suamiku tergelak mendengarnya sambil menatap mataku seakan-akan dia ingin menggodaku."... memangnya kalau masih menyimpan rasa ada apa?
Seiring dengan permintaan ibu yang ingin aku menghabiskan waktu dengan kursus dan mengelola ketrampilan akhirnya diri ini mengambil kelas menjahit dan sulam, tiap sore jam tiga aku ke tempat workshop dan kembali dua jam setelahnya. Seperti biasa kulakoni tugas sebagai ibu rumah tangga dan menantu dengan baik. Tetap memasak dan memperhatikan anggota keluarga dengan penuh kasih sayang."Bagaimana keterampilan menyulammu saat ini?" tanya Ibu ketika aku tengah duduk di meja makan dengannya."Alhamdulillah, ibu ingin lihat taplak yang saya buat?""Boleh," ujarnya tersenyum."Ini dia," balasku sambil mengeluarkan taplak meja kecil dari dalam tas alat sulam."Rupanya kau berbakat. Ibu bangga padamu," balasnya mengelus bahuku pelan. Aku begitu haru diperlakukan penuh kasih seperti itu."Ibu bangga dan sedikit menyesal mengapa tidak dari dulu saja kau berjodoh dengan Hamdan," lanjutnya."Mungkin hanya tentang waktu Bu, tapi, aku dan ibu bisa senang sekarang karena kita satu keluarga. Terima
"Jawabannya sudah jelas," jawab Mas Hamdan sambil menatap wanita itu dengan tatapan yang entah, seperti apa maknanya. Tersirat sebuah kekecewaan, sedih, dan marah dari sorot mata Mas Hamdan."Aku tahu kita tak berjodoh, tapi aku sangat menyesalkan sekali hal itu terjadi," jawab wanita yang rambutnya diwarnai dengan warna ash blonde yang cantik. Bibirnya sensual dan hidungnya yang bangir serta tambahan kulit kuning langsat menyempurnakan dirinya sebagai ciptaan tuhan. Jujur hatiku iri sekali dengan kecantikan mantan kekasih mas Hamdan ini, tapi bukan iri ingin menghancurkan, hanya sebatas sedikit minder dengan diriku dan ingin secantik dia."Tidak perlu disesali, kita menjalani takdir dan hidup masing masing," jawab Mas Hamdan berpaling. Mungkin dia ingin bangun dari meja makan, tapi, tak enak denganku dan ibu yang sedang makan.Aku tahu dia pernah punya posisi tersendiri di hati suamiku, entah tempat itu masih ada atau sudah terisi oleh cintaku, aku tak tahu. Tapi, mestinya aku tak
Sabtu sore aku dan Mas Hamdan berangkat ke kota sebelah, kita yang kami tuju di mana Mas Hamdan akan menemui rekan bisnisnya bersama dengan Haifa, ya, mantan tunangannya yang cantik dan bertubuh aduhai.Sengaja kukenakan pakaian terbaik dan memulas sedikit bedak dan lipstik, aku juga tak mau terlihat terlalu lusuh di depan suamiku. Yang namanya pria adalah makhluk visual yang menyukai keindahan. Jangan sampai mas Hamdan mengagumi keindahan yang diharamkan mata sementara pasangan halalnya tidak menyadari apa apa."Kamu cantik sekali, Bunda," ujar suamiku dengan senyum dikulum."Alhamdulillah kalau cantik di matanya Mas," jawabku tersipu."Tetaplah jadi dirimu, jangan terlalu berusaha untuk menjadi sosok yang bukan dirimu.""Ti-tidak kok, sesekali aku ingin mengganti tampilanku.""Jika kau bahagia, aku juga bahagia. Akan kuterima kau seperti apapun dirimu, Bunda.""Aku hanya khawatir bahwa ...""Ssstt, jangan dilanjutkan," ujarnya sambil menempelkan jemari di bibirku. "Aku tak akan berp
"Mas sebaiknya jangan terlalu keras seperti itu wanita itu sampai menangis dan berlari meninggalkan tempat ini," ucapku sambil mendekati suami."Orang sepertinya harus diberikan penegasan agar dia tahu batasan," jawab suamiku sambil menghela napas dan bangun dari kasur. Dia raih handuk untuk bersiap mandi demi menemui kliennya."Aku yakin dia sangat marah dan dendam padaku, dia pasti mengira bahwa penyebab jarak diantara kalian adalah diriku.""Mengapa kau harus merasa bersalah seperti itu? Kamu adalah istriku dan salahnya dia sendiri untuk terus berharap dan mencari perhatianku padahal aku sudah menegaskan bahwa sejak kami berpisah, maka tidak akan ada hubungan yang terjalin selain hubungan profesional dalam pekerjaan. Pernikahanku bukanlah sesuatu yang akan mempengaruhinya dan dia harusnya tahu diri kalau kini aku ada yang punya," jawab Mas Hamdan dengan tegas."Ya, benar juga.""Baiklah kalau begitu, aku akan mandi dan ganti baju, pesankan sarapan dan kita akan makan di sini saja,"