LOGINPagi itu, Sevi terbangun dengan rasa nyeri yang lebih menusuk di bagian dadanya dibandingkan hari sebelumnya. Ia sudah terbiasa menahan sedikit rasa sakit, hidup di kota besar memang membuat seseorang terbiasa berkompromi dengan ketidaknyamanan, tetapi kali ini, rasa nyeri itu membuatnya sulit bernapas dalam-dalam. Setiap gerakan, bahkan sekadar mengangkat tangan, membuat dadanya seperti ditarik dari dalam.
Ia duduk di tepi ranjang, mencoba mengatur napas. Cairan hangat mulai merembes lagi, membasahi kaos tipis yang ia kenakan. Sevi menatap noda basah itu dan menghela napas panjang. Tangisnya mulai pecah.
"Aku nggak mungkin maksain diri ke kantor kalau keadaannya seperti ini," batinnya.
Ini aneh.
Tangannya meraih ponsel di nakas. Ia memilih izin sakit untuk mengecek ke dokter mengenai kondisinya.
Rumah sakit cukup ramai saat Sevi tiba. Tangannya menggenggam erat kertas nomor antrean, 17. Ia menunggu dengan kepala tertunduk, berharap tidak ada yang mengenalinya. Satu per satu nama dipanggil, dan akhirnya nomor anteran nya dipanggil dan ia masuk ke ruang pemeriksaan. Sevi langsung berdiri. Kakinya sedikit gemetar saat berjalan ke depan pintu. Satu tarikan napas panjang, lalu ia mengetuk dan masuk.
“Silakan duduk,” ucap seorang dokter perempuan dengan ramah. Nama di jas putihnya: dr. Meirani, SpOG. Sevi menghela napas lega. Setidaknya, ia tidak harus menjelaskan semua ini pada dokter laki-laki.
Setelah beberapa pertanyaan umum, dokter mulai bertanya lebih dalam.
“Keluhan utamanya apa ya, Mbak Sevi?”
“Ehm…” Sevi menatap lantai. “Dada saya nyeri. Dan… mengeluarkan cairan. Putih. Seperti… susu.”
Dokter mengangguk. “Oke. Apakah Mbak punya pasangan tetap?”
“Tidak.” Sevi menjawab cepat.
“Pernah melakukan hubungan seksual dalam beberapa bulan terakhir?”
Sevi langsung menggeleng. “Tidak pernah. Saya bersumpah.”
“Baik. Apakah Mbak sedang konsumsi obat atau suplemen khusus akhir-akhir ini?”
Sevi berpikir sebentar. “Tidak. Tapi… saya kemarin malam saya minum susu strawberry lebih dari dosis yang sarankan dok, saya setiap hari minum tapi hanya disarankan dua botol saja. Nah kemarin sampai empat botol.”
Sang dokter mencatat sesuatu di berkas medis. Wajahnya tampak berpikir.
“Boleh saya periksa langsung ya?”
Sevi hanya mengangguk.
Beberapa menit kemudian, Sevi dibaringkan dan diperiksa. Pemeriksaan itu membuatnya merasa sangat rentan, namun tangan dokter sangat tenang dan profesional. Setelah selesai, dr. Meirani duduk kembali di kursinya.
“Sevi, dari hasil pemeriksaan dan gejalanya, ini mengarah pada kondisi yang disebut Galaktorea. Itu adalah kondisi di mana payudara memproduksi ASI walau tidak sedang hamil atau menyusui. Penyebabnya bisa bermacam-macam, hormon prolaktin yang meningkat, stres, stimulasi payudara berlebihan, bahkan efek samping dari obat tertentu.”
Sevi menelan ludah.
“Tapi, soal aroma strawberry ini… jujur saja, ini pertama kali saya dengar,” lanjut dokter. “Apakah benar aromanya mirip susu strawberry itu?”
“Mirip banget, Dok. Saya bahkan pernah cium botol bekas minum saya, dan aromanya hampir sama. Saya pikir saya berhalusinasi.”
Dokter tampak ragu sejenak, lalu tersenyum simpul. “Saya percaya kok. Dan dugaan saya, bisa jadi kandungan di susu yang kamu minum itu punya efek tertentu pada hormon. Bisa karena ada senyawa mirip estrogen atau zat pemicu prolaktin. Apalagi kalau diminum berlebihan.”
“Jadi… saya harus bagaimana?”
“Untuk saat ini, saya beri resep pereda nyeri. Dan juga, saya sarankan Mbak gunakan pompa ASI agar tidak terjadi penyumbatan. Meskipun ini bukan ASI ‘asli’ dalam konteks menyusui, sistem kerja tubuh kita sama. Jadi harus dikeluarkan secara rutin untuk menghindari pembengkakan.”
Sevi mengangguk dengan penuh rasa lega. Akhirnya ada penjelasan medis yang masuk akal.
Setelah menebus obat, ia keluar dari rumah sakit dengan langkah ringan. Meski belum sembuh total, setidaknya ia tahu ia tidak sedang sekarat atau mengalami penyakit misterius. Di perjalanan pulang, ia mampir ke sebuah toserba dan membeli satu set pompa ASI manual yang harganya cukup membuat dompetnya menjerit.
Di kontrakannya yang mungil dan rapi, Sevi langsung duduk di atas kasur. Setelah membaca manual selama hampir lima belas menit, ia mencoba memasang pompa ke payudaranya. Rasa sakit langsung menyergap, ternyata ukuran lubang pompa tidak cocok dengan putingnya, dan kondisi payudaranya yang sedang bengkak membuat prosesnya sangat menyiksa. Tapi Sevi bertahan. Pelan-pelan, setelah setengah jam berjuang, botol kecil di pompa mulai terisi dengan cairan putih pekat. Aroma strawberry menyeruak begitu botol dibuka.
Sambil memompa, matanya menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke pagi-pagi hangat di rumah orang tuanya di desa.
Susu strawberry bukan sekadar minuman. Ia adalah kenangan. Sebentuk pelipur lara yang selalu mengingatkannya pada satu sosok yang kini hanya hidup dalam ingatan, ibunya.
Ibunya dulu selalu menyiapkan segelas susu strawberry hangat setiap pagi sebelum Sevi berangkat sekolah. Itu adalah momen kecil yang mengendap di hatinya, sebab setelah usia tujuh tahun, semua berubah. Sang ibu meninggal karena sakit keras, dan sejak itu, Sevi hanya punya satu cara untuk merasa dekat dengannya dengan menyeruput susu strawberry, seolah sang ibu masih ada di sisinya.
Kantor tempat Sevi bekerja berada di pinggiran kota Jakarta. Nama perusahaannya dikenal sebagai produsen susu sapi segar terbesar di Jakarta. Namun uniknya, perusahaan tersebut hanya fokus memproduksi susu murni tanpa perisa, benar, tidak ada varian coklat, vanilla, apalagi strawberry. Bagian produksi dan peternakan terintegrasi secara vertikal, dan semua dimulai dari peternakan sapi perah di sebuah desa yang tidak asing bagi Sevi.
Dulu, sang ayah adalah pemerah susu di sana. Sering kali, Sevi kecil ikut ke peternakan, menyaksikan bagaimana sapi-sapi dirawat dan bagaimana susu diperah dari kambing yang penuh. Sang ayah selalu berkata, "Kamu bisa tahu kualitas susu hanya dari baunya, Sevi. Dan dari suhu tangan yang menyentuhnya."
Sevi menatap botol kecil di tangannya. Aroma manis strawberry yang samar itu menguar, persis seperti masa kecilnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Hangatnya… berasal dari kulit manusia.
Arlan mencondongkan tubuh ke depan, tangan bertumpu pada meja, tatapannya menusuk. “Sekali lagi kalian sebut nama Sevi dengan cara kayak tadi,” katanya perlahan, “kalian bakal berurusan bukan cuma sama aku… tapi dengan pengacara dan polisi.”Ia tak ingin menarik perhatian lebih dari ini, setelah memberikan peringatan, ia membalikkan badan dan mencoba fokus pada kue yang masih disiapkan. Nama nya pun dipanggil, kue yang ia inginkan akhirnya selesai, ia menoleh sekilas sebelum benar-benar berjalan keluar, salah satu dari dua lelaki itu tiba-tiba berdiri. Kursinya terseret kasar, matanya menyala penuh tantangan.“Heh! Lo kira lo siapa, ngancem-ngancem orang di tempat umum?!” suara lelaki itu menggelegar.Arlan mengerutkan alis. Ia tidak punya waktu untuk ini. Sevi sedang menunggunya.“Aku udah bilang yang perlu aku bilang,” balas Arlan datar. “Urusan selesai.”Namun lelaki itu melangkah cepat, berdiri hanya satu jengkal dari wajah Arlan.“Atau lo cuma berani ngomong doang? Gimana kalo k
Ruang interogasi sore itu terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya. Hanya ada Arlan, duduk diam di balik meja lebar berwarna gelap, dan Alya, yang kini terlihat begitu rapuh dengan tangan terborgol dan mata sembab.Sejenak, mereka hanya saling menatap dalam hening yang mana itu lebih jujur daripada percakapan apa pun selama bertahun-tahun.Alya akhirnya bicara lebih dulu.“Lan…” suaranya pecah, napasnya pendek. “Aku tahu kamu nggak mau ketemu aku. Tapi terima kasih… karena kamu tetap datang.”Arlan menggeleng pelan. “Aku datang karena kita harus menyelesaikan ini, Al.”Alya tersenyum getir. Senyum kecil yang tampak seperti usaha terakhir seseorang untuk tetap terlihat kuat.Lalu ia membuka semua.“Aku sayang kamu, Lan,” katanya lirih. “Sejak dulu. Sejak kita masih sekolah. Sejak Papa kamu sering manggil aku ke rumah, sejak Mama kamu selalu bilang aku kayak anak sendiri. Aku tumbuh di rumah kamu. Aku tumbuh dengan anggapan bahwa suatu hari… kamu pasti milih aku.”Air mata Alya kembali
Sidang kedua hari itu berlangsung di ruang persidangan yang lebih besar, lebih ramai, dan jauh lebih menegangkan dibanding sidang pertama. Semua tersangka hadir termasuk para petinggi perusahaan Berrystraw, tim riset ilegal, serta satu nama yang membuat suasana menjadi ganjil sejak awal, Alya.Sevi duduk di kursi saksi cadangan, tepat di belakang Arlan. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tangannya menggenggam ujung blazernya dengan erat, sementara matanya mengikuti setiap pergerakan jaksa dan terdakwa.Ketika para tersangka masuk satu per satu, Sevi tetap menunduk. Namun begitu Alya muncul, langkahnya pelan, tangan terborgol di depan, rambutnya diikat seadanya, wajah tanpa riasan… suasana seketika berubah.Semua tatapan tertuju padanya.Termasuk Arlan.Arlan menatap Alya lama bukan dengan amarah, bukan dengan dendam, melainkan… iba.Perasaan yang timbul saat kenangan bertahun-tahun menyeruak masuk ke dalam kepalanya.Alya kecil yang dulu selalu mengikuti di belakangnya.Al
Rumah keluarga Arlan sore itu terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu-lampu kecil yang menggantung di sepanjang lorong memancarkan cahaya lembut, sementara aroma sup ayam buatan sang ibu perlahan mengisi setiap sudut. Sevi duduk di meja makan, sedikit ragu, namun tersenyum ketika ibu Arlan menaruh semangkuk sup di depannya.“Coba ini, Sev. Mama masak sendiri,” ujar sang ibu sambil menepuk bahu Sevi pelan. “Kamu kelihatan capek sejak persidangan tadi.”Sevi mengangguk kecil. Tenggorokannya terasa kering, tetapi sapaan lembut itu membuatnya merasa jauh lebih hangat daripada sebelumnya. Ia mengambil sendok, meniup perlahan, dan mencicipinya. Rasanya ringan, gurih, dan menenangkan.“Enak, Tante,” katanya pelan.“Panggil Mama aja,” koreksi sang ibu lembut, tersenyum hampir terlalu manis.Sevi tersedak sedikit mendengar panggilan itu. Sementara di sofa belakang mereka, Arlan yang sedang mengeringkan rambut usai mandi hanya melirik, bibirnya melengkung kecil.“Ma… mama” Sevi menunduk, wajah
Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu, seolah ikut menahan napas bersama ratusan orang yang berlalu-lalang di halaman gedung pengadilan negeri. Beberapa wartawan tampak mempersiapkan kamera, petugas keamanan yang mengatur garis pembatas, dan deru kendaraan hukum yang sesekali melintas.Di antara keramaian itu, Arlan berdiri tegap mengenakan setelan hitam sederhana. Tatapannya lurus ke depan, namun jemarinya sedikit mengepal, tanda bahwa ia menahan gelombang kecemasan yang sulit ia redam.Di sampingnya, Sevi berdiri dengan rok selutut dan kemeja putih. Wajahnya pucat, lebih pucat dari biasanya. Saat suara beberapa wartawan mulai memanggil nama Arlan, tangannya bergetar.Arlan meraih jemari Sevi dengan tenang, ia menggenggamnya.“Nggak papa,” bisiknya lembut. “Aku di sini.”Sevi menelan ludah, mengangguk pelan. “Aku… aku cuma takut suasananya...”Arlan menoleh, menatapnya penuh keyakinan. “Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirin. Suara kamu itu penting.”Kata-kata itu membuat dada Sevi
Malam itu, langit tampak berat. Awan menggumpal di atas kota, dan lampu-lampu apartemen Alya memantulkan cahaya lembut ke dinding putih yang kini terasa terlalu sunyi.Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar. Dari ketinggian lantai sepuluh, dunia tampak kecil, mobil lalu lalang, pejalan kaki dengan payung, dan di kejauhan lampu merah yang berkelip seperti nadi kota yang tak pernah berhenti berdetak.Namun bagi Alya, semua itu terasa hampa.Telepon genggamnya bergetar di meja. Ia melihat nama pengirimnya Unknown.Unknown (22.09) : “Target masih bersama Arlan. Proses pengawasan tahap dua dimulai malam ini.”Alya menatap layar itu lama. Jari-jarinya gemetar sebelum akhirnya ia mengetik pelan,Anda (22.09) : “Nggak perlu. Hentikan semua. Mulai malam ini.”Ia menekan send, lalu meletakkan ponsel itu jauh dari dirinya. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar berhenti.Hening kembali merambat.Di dalam dadanya, ada kekosongan yang sulit dijelaskan, bukan amarah, bukan pula iri, tapi s







