Share

Tak Masuk Akal

Author: Olivia
last update Last Updated: 2025-08-03 14:32:01

Pagi itu, Sevi terbangun dengan rasa nyeri yang lebih menusuk di bagian dadanya dibandingkan hari sebelumnya. Ia sudah terbiasa menahan sedikit rasa sakit, hidup di kota besar memang membuat seseorang terbiasa berkompromi dengan ketidaknyamanan, tetapi kali ini, rasa nyeri itu membuatnya sulit bernapas dalam-dalam. Setiap gerakan, bahkan sekadar mengangkat tangan, membuat dadanya seperti ditarik dari dalam.

Ia duduk di tepi ranjang, mencoba mengatur napas. Cairan hangat mulai merembes lagi, membasahi kaos tipis yang ia kenakan. Sevi menatap noda basah itu dan menghela napas panjang. Tangisnya mulai pecah.

"Aku nggak mungkin maksain diri ke kantor kalau keadaannya seperti ini," batinnya. 

Ini aneh.

Tangannya meraih ponsel di nakas. Ia memilih izin sakit untuk mengecek ke dokter mengenai kondisinya.

Rumah sakit cukup ramai saat Sevi tiba. Tangannya menggenggam erat kertas nomor antrean, 17. Ia menunggu dengan kepala tertunduk, berharap tidak ada yang mengenalinya. Satu per satu nama dipanggil, dan akhirnya nomor anteran nya dipanggil dan ia masuk ke ruang pemeriksaan. Sevi langsung berdiri. Kakinya sedikit gemetar saat berjalan ke depan pintu. Satu tarikan napas panjang, lalu ia mengetuk dan masuk.

“Silakan duduk,” ucap seorang dokter perempuan dengan ramah. Nama di jas putihnya: dr. Meirani, SpOG. Sevi menghela napas lega. Setidaknya, ia tidak harus menjelaskan semua ini pada dokter laki-laki.

Setelah beberapa pertanyaan umum, dokter mulai bertanya lebih dalam.

“Keluhan utamanya apa ya, Mbak Sevi?”

“Ehm…” Sevi menatap lantai. “Dada saya nyeri. Dan… mengeluarkan cairan. Putih. Seperti… susu.”

Dokter mengangguk. “Oke. Apakah Mbak punya pasangan tetap?”

“Tidak.” Sevi menjawab cepat.

“Pernah melakukan hubungan seksual dalam beberapa bulan terakhir?”

Sevi langsung menggeleng. “Tidak pernah. Saya bersumpah.”

“Baik. Apakah Mbak sedang konsumsi obat atau suplemen khusus akhir-akhir ini?”

Sevi berpikir sebentar. “Tidak. Tapi… saya kemarin malam saya minum susu strawberry lebih dari dosis yang sarankan dok, saya setiap hari minum tapi hanya disarankan dua botol saja. Nah kemarin sampai empat botol.”

Sang dokter mencatat sesuatu di berkas medis. Wajahnya tampak berpikir.

“Boleh saya periksa langsung ya?”

Sevi hanya mengangguk.

Beberapa menit kemudian, Sevi dibaringkan dan diperiksa. Pemeriksaan itu membuatnya merasa sangat rentan, namun tangan dokter sangat tenang dan profesional. Setelah selesai, dr. Meirani duduk kembali di kursinya.

“Sevi, dari hasil pemeriksaan dan gejalanya, ini mengarah pada kondisi yang disebut Galaktorea. Itu adalah kondisi di mana payudara memproduksi ASI walau tidak sedang hamil atau menyusui. Penyebabnya bisa bermacam-macam, hormon prolaktin yang meningkat, stres, stimulasi payudara berlebihan, bahkan efek samping dari obat tertentu.”

Sevi menelan ludah.

“Tapi, soal aroma strawberry ini… jujur saja, ini pertama kali saya dengar,” lanjut dokter. “Apakah benar aromanya mirip susu strawberry itu?”

“Mirip banget, Dok. Saya bahkan pernah cium botol bekas minum saya, dan aromanya hampir sama. Saya pikir saya berhalusinasi.”

Dokter tampak ragu sejenak, lalu tersenyum simpul. “Saya percaya kok. Dan dugaan saya, bisa jadi kandungan di susu yang kamu minum itu punya efek tertentu pada hormon. Bisa karena ada senyawa mirip estrogen atau zat pemicu prolaktin. Apalagi kalau diminum berlebihan.”

“Jadi… saya harus bagaimana?”

“Untuk saat ini, saya beri resep pereda nyeri. Dan juga, saya sarankan Mbak gunakan pompa ASI agar tidak terjadi penyumbatan. Meskipun ini bukan ASI ‘asli’ dalam konteks menyusui, sistem kerja tubuh kita sama. Jadi harus dikeluarkan secara rutin untuk menghindari pembengkakan.”

Sevi mengangguk dengan penuh rasa lega. Akhirnya ada penjelasan medis yang masuk akal.

Setelah menebus obat, ia keluar dari rumah sakit dengan langkah ringan. Meski belum sembuh total, setidaknya ia tahu ia tidak sedang sekarat atau mengalami penyakit misterius. Di perjalanan pulang, ia mampir ke sebuah toserba dan membeli satu set pompa ASI manual yang harganya cukup membuat dompetnya menjerit.

Di kontrakannya yang mungil dan rapi, Sevi langsung duduk di atas kasur. Setelah membaca manual selama hampir lima belas menit, ia mencoba memasang pompa ke payudaranya. Rasa sakit langsung menyergap, ternyata ukuran lubang pompa tidak cocok dengan putingnya, dan kondisi payudaranya yang sedang bengkak membuat prosesnya sangat menyiksa. Tapi Sevi bertahan. Pelan-pelan, setelah setengah jam berjuang, botol kecil di pompa mulai terisi dengan cairan putih pekat. Aroma strawberry menyeruak begitu botol dibuka.

Sambil memompa, matanya menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke pagi-pagi hangat di rumah orang tuanya di desa.

Susu strawberry bukan sekadar minuman. Ia adalah kenangan. Sebentuk pelipur lara yang selalu mengingatkannya pada satu sosok yang kini hanya hidup dalam ingatan, ibunya.

Ibunya dulu selalu menyiapkan segelas susu strawberry hangat setiap pagi sebelum Sevi berangkat sekolah. Itu adalah momen kecil yang mengendap di hatinya, sebab setelah usia tujuh tahun, semua berubah. Sang ibu meninggal karena sakit keras, dan sejak itu, Sevi hanya punya satu cara untuk merasa dekat dengannya dengan menyeruput susu strawberry, seolah sang ibu masih ada di sisinya.

Kantor tempat Sevi bekerja berada di pinggiran kota Jakarta. Nama perusahaannya dikenal sebagai produsen susu sapi segar terbesar di Jakarta. Namun uniknya, perusahaan tersebut hanya fokus memproduksi susu murni tanpa perisa, benar, tidak ada varian coklat, vanilla, apalagi strawberry. Bagian produksi dan peternakan terintegrasi secara vertikal, dan semua dimulai dari peternakan sapi perah di sebuah desa yang tidak asing bagi Sevi.

Dulu, sang ayah adalah pemerah susu di sana. Sering kali, Sevi kecil ikut ke peternakan, menyaksikan bagaimana sapi-sapi dirawat dan bagaimana susu diperah dari kambing yang penuh. Sang ayah selalu berkata, "Kamu bisa tahu kualitas susu hanya dari baunya, Sevi. Dan dari suhu tangan yang menyentuhnya."

Sevi menatap botol kecil di tangannya. Aroma manis strawberry yang samar itu menguar, persis seperti masa kecilnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Hangatnya… berasal dari kulit manusia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Pulih

    Sevi duduk di kamar kontrakannya, menatap layar ponsel dengan hati yang tak karuan. Rasa kecewa pada Arlan masih menumpuk. Baru kemarin pria itu seolah ingin memperjuangkan dirinya, seolah ingin memberi kepastian. Tapi nyatanya, hari ini lagi-lagi Arlan tampak dekat dengan Alya. Kedekatan yang jelas-jelas membuat hati Sevi tersayat, meski ia tahu betul bahwa ada permainan licik di balik itu semua.“Kenapa harus aku yang jadi korban tarik-ulur kayak gini…” gumamnya lirih.Di saat pikirannya hampir menyerah, sebuah notifikasi masuk di akun media sosialnya. Pesan dari seseorang yang tidak ia kenal. Nama pengirimnya 'Tia'.Sevi ragu untuk membuka, tetapi rasa penasaran mengalahkan logikanya.> “Halo, maaf mengganggu. Aku tahu ini aneh, tapi aku ingin cerita. Aku juga pernah mengalami hal yang sama seperti kamu… soal ASI itu. Tolong baca dulu sebelum kamu hapus pesanku.”Sevi terdiam. Matanya membesar. Jari-jarinya gemetar saat ia membaca setiap kata. Tia melanjutkan dengan rentetan pesan

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Permintaan Maaf

    Malam itu, Arlan seperti kehilangan kendali atas dirinya. Setelah ia menyerahkan kartu kredit untuk membayar kamar hotel, semua ingatannya kabur. Seakan ada selubung hitam menutupi pikirannya. Yang tersisa hanyalah tubuhnya yang bergerak tanpa ia sadari, sementara Alya terus menuntun, terus menggoda, terus mendorongnya semakin dalam ke jurang. Alya bermain nakal malam itu. Setiap gerakan, setiap sentuhan, setiap tatapan matanya dipenuhi niat untuk mengikat Arlan. Ia ingin memastikan bahwa setelah malam ini, lelaki itu tidak akan bisa lepas darinya lagi. Tubuh Arlan terjatuh tepat di atas kasur, Alya segera mengunci kamar dan mendekat pada Arlan. Perlahan baju Arlan kini sudah ia buka, tak ada yang tersisa. Jari jemarinya terampil untuk mengelus pelan seluruh badan Arlan, kucuran keringat karena sang empunya panas pun juga ia rasakan. “S-sevi..” Satu nama yang membuat Alya marah tak terbendung, dengan ini akalnya sudah hilang ditelan amarah. Alya tergesa-gesa membuka bajunya hingga

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Jebakan

    Malam itu, kantor sudah sepi. Lampu sebagian besar ruangan padam, hanya beberapa cahaya temaram yang tersisa dari ruang kerja inti. Arlan duduk di kursinya, bahunya menunduk lesu, jemari mengetuk-ngetuk meja tanpa arah.Hari ini ia kembali gagal mendekati Sevi. Setiap kali ia mencoba mencari celah, Alya selalu muncul. Seakan perempuan itu tahu persis kapan dan di mana Arlan akan bergerak.Lebih menyakitkan lagi, pesan-pesan singkat yang biasanya langsung dibalas Sevi kini hanya centang dua tanpa jawaban. Arlan menatap layar ponselnya berkali-kali, berharap ada notifikasi baru. Tapi nihil. Meja kerja Sevi pun sudah kosong sejak sore tadi. Ia pulang lebih dulu tanpa sepatah kata.Arlan meringis, meremas rambutnya. “Sevi… aku harus bicara denganmu. Aku harus jelaskan semua sebelum terlambat.”Ia beranjak berdiri, meraih jas yang tergantung di kursi. Namun langkahnya terhenti ketika sebuah suara memanggil.“Lan.”Alya.Perempuan itu berdiri di depan pintu ruangannya, tersenyum manis samb

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Pilihan yang Sulit

    Sejak kejadian di ruangan Arlan tempo hari, saat ia melihat langsung Alya duduk manja di pangkuan bosnya, Sevi benar-benar mengambil langkah mundur. Ia mulai menarik diri, menjaga jarak sejauh mungkin. Untungnya, akhir-akhir ini kondisi tubuhnya cukup stabil. Nyeri di dada sudah berkurang, ASI yang kadang membuatnya frustasi kini tidak terlalu menyiksa. Sevi merasa itu seperti sebuah kesempatan dari Tuhan, kesempatan untuk berhenti bergantung pada Arlan.Di kantor, ia bekerja dengan tekun, menyibukkan diri di laboratorium lebih lama daripada biasanya. Ia mengatur waktu agar tidak perlu berpapasan dengan Arlan: masuk ruangan lebih pagi, pulang lebih lambat, bahkan memilih jalur berbeda saat ke pantry atau toilet. Jika pun kebetulan berpapasan, Sevi menunduk dan berlalu begitu saja, seolah Arlan hanyalah sosok asing.Namun, yang paling menyakitkan bagi Sevi bukanlah jarak yang ia ciptakan, melainkan kenyataan baru yang muncul: Alya kini terang-terangan menggenggam tangan Arlan di kantor

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Tarik Ulur

    Weekend seharusnya jadi waktu istirahat, namun kali ini kantor meminta beberapa karyawan inti untuk masuk. Agenda utamanya adalah uji coba rasa baru susu vanilla creamy. Sebagai orang yang bertanggung jawab di bagian pengawasan kualitas, Sevi tentu tak bisa menolak. Dan Arlan, selaku bos, juga hadir langsung mengawasi proses perdana ini.Pagi itu, laboratorium sibuk. Sevi mengenakan jas lab putih, rambutnya diikat sederhana, wajahnya serius saat memeriksa kadar campuran antara susu murni dengan bubuk rasa. Tangannya cekatan memutar pipet, matanya fokus pada perubahan warna dan tekstur cairan. Ia seolah menenggelamkan diri dalam pekerjaan, mencoba melupakan segala hal di luar itu.Arlan beberapa kali melintas, memberi instruksi pada staf, namun ia dan Sevi sama-sama menjaga jarak. Tidak ada lagi percakapan pribadi, tidak ada sentuhan kecil yang dulu begitu akrab. Mereka berdua memilih bersikap profesional.Namun bagi Sevi, sikap dingin itu bukan hanya soal profesionalitas. Pertanyaan “

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Keraguan

    Pagi itu, Sevi terbangun dengan tubuh yang terasa berat. Nyeri di bagian dadanya kembali menyerang, lebih menusuk daripada biasanya. Ia meringkuk di sisi ranjang, menahan sakit yang tak kunjung reda. Air matanya sudah siap jatuh, namun sebelum benar-benar mengalir, lengan hangat melingkari tubuhnya.Arlan.Lelaki itu bangun cepat, refleks memeluk Sevi dari belakang, mengusap pelan lengannya agar tenang. “Ssst… aku ada di sini. Tenang ya, jangan dipaksa nahan sakit sendirian.” Suaranya rendah, lembut, seolah meredakan gejolak yang hampir pecah dari hati Sevi.“Ini… sakit, Lan,” lirih Sevi, suaranya bergetar.Arlan mengangguk, menatapnya penuh empati. “Aku tahu. Boleh aku bantu pijat? Biar sedikit lega.”Sevi sempat ragu, tapi menolak pun tak ada gunanya. Ia tahu, Arlan tidak akan berhenti sebelum dirinya menyerah. Dengan pasrah ia mengangguk kecil. “Lakukan saja…”Arlan duduk lebih dekat, jemarinya bergerak hati-hati. Perlahan ia memijat bagian dada Sevi, mencari titik yang terasa ker

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status