Seiring hari-hari berlalu, Sevi mulai menjalani rutinitas yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar menghangatkan kontrakannya, ia terbangun oleh rasa nyeri di dadanya. Sensasi itu seperti alarm alami yang memaksanya bangun, meski matanya masih berat.
Langkah pertama yang ia lakukan bukan lagi menyeduh kopi, melainkan mengambil pompa ASI dari meja dan memulai proses memompa. Cairan yang keluar tetap beraroma manis strawberry—samar, tapi jelas. Kadang ia tersenyum kecut melihat botol kecil itu terisi, seolah tubuhnya kini menjadi pabrik kecil yang memproduksi sesuatu yang tak pernah ia pesan.
“Parah… jadi kayak sapi perah,” gumamnya pada diri sendiri.
Setelah itu, barulah ia bersiap berangkat kerja. Malam harinya, ia mencoba membatasi konsumsi susu strawberry. Ia tahu, semakin banyak ia minum, semakin “produktif” tubuhnya esok hari. Tapi membatasi bukan berarti berhenti—setiap tegukan tetap menjadi godaan yang sulit ia tolak.
Di kantor, Sevi masih tampak normal. Ia masih duduk di halte selepas jam kantor sambil menyeruput susu dari botol favoritnya, masih tertawa kecil bersama teman-teman saat makan siang. Tidak ada tanda dari luar yang membuat orang mengira ada yang berubah. Namun, di dalam dirinya, Sevi sadar betul bahwa tubuhnya tak lagi sepenuhnya “normal”.
Ada sesuatu yang bergeser.
Namun yang mengusiknya bukan perubahan itu sendiri, melainkan fakta bahwa ia mulai terbiasa. Ia menghitung waktu ideal untuk memompa agar nyeri tak muncul, membedakan rasa susu dari berbagai merek, bahkan mencatat mana yang membuat cairannya lebih kental. Rasanya seperti menjadi subjek eksperimen berjalan.
Suatu malam, sambil menyeruput segelas susu strawberry, Sevi mencari informasi soal hormon prolaktin. Di tengah pencarian, ia menemukan forum luar negeri berisi orang-orang dengan pengalaman serupa. Ada yang menyebut penyebabnya herbal tersembunyi dalam minuman rasa buah. Ada juga yang mengaitkannya dengan riset farmasi untuk terapi hormon.
Ia mendesah pelan. “Jangan-jangan… ini ada hubungannya sama kerjaan.”
Di sisi lain, Arlan belum bisa mengabaikan mengenai aroma manis yang sempat tercium di ruangannya beberapa hari lalu. Bukan seperti parfum buatan, tapi alami, lembut, dan entah kenapa… hangat di dada.
Ia sempat bertanya pada Sevi tentang botol susu yang sering dibawanya. Jawaban gadis itu waktu itu sederhana, “Susu fermentasi homemade, Pak.”
Tapi sekarang, jawaban itu terdengar meragukan.
Arlan berdiri dari kursinya sore itu dan berjalan ke pantry. Membuka kulkas, matanya langsung tertuju pada botol kecil berisi cairan kekuningan dengan tutup merah muda. Tidak ada label. Tidak ada tulisan.
Tangannya terulur, nyaris menyentuh botol itu. Namun ia berhenti ketika melihat sticky note di sebelahnya
"Jangan dibuang. Milik Sevi."
Arlan mematung beberapa detik. Tatapannya tajam, napasnya pelan. Lalu sudut bibirnya terangkat tipis.
Ia meminumnya.
Pagi itu, Sevi bangun dengan tubuh masih gemetar. Setiap kali menutup mata, ia bisa merasakan lagi bibir Arlan menyentuh kulitnya—terlalu nyata untuk disebut mimpi. Dada Sevi berdenyut, lembap, meninggalkan rasa hangat yang membuatnya ingin menjerit Sejak kejadian malam itu, dunia Sevi terasa runtuh. Layar komputer di depannya penuh huruf, tapi matanya hanya menangkap simbol kosong. Setiap kedipan membawa kembali kilasan memori—kilasan yang seharusnya ia singkirkan, namun terus datang seperti ombak menghantam karang. Jantungnya berdetak tak karuan tiap kali pintu ruangan Arlan terbuka. Bahkan suara langkah sepatu di koridor cukup membuatnya menahan napas. Ia mencoba menipu diri, pura-pura tak pernah ada apa-apa. Namun denyut gugup di dadanya selalu mengkhianati. Pernah terlintas untuk menyerahkan surat resign. Tapi kenyataan pahit segera menabrak logika, Pekerjaan ini adalah impiannya, dan pekerjaan bergaji layak yang sesuai minat tidak mudah dicari. Semua kenyamanan yang ia bangun
Suasana kantor malam itu begitu sunyi. Hanya dengungan pendingin ruangan dan bunyi jarum jam dinding yang sesekali terdengar. Lampu neon berpendar dingin, memantulkan cahaya putih pucat ke meja-meja kerja yang sebagian besar sudah kosong.Sevi masih duduk di balik meja, menatap layar komputer dengan mata panas. Jemarinya mengetik cepat, menyusun laporan analisis sampel yang gagal. Seharusnya bisa dikerjakan besok, tapi deadline mendesak.Di lantai itu, hanya ada satu orang lain—Arlan, bosnya. Cahaya lampu meja pria itu tampak redup dari balik pintu kaca yang setengah terbuka. Sesekali terdengar suara kertas dibalik atau kursi digeser.Sevi mencoba fokus, tapi tubuhnya mengkhianati. Dada kirinya nyeri, seakan ditarik dan ditekan. Ia menyesuaikan posisi, tapi rasa sakit justru makin menusuk. Napasnya tersengal, jari otomatis mengusap bagian itu pelan. Sekejap, nyeri bercampur sensasi hangat yang membuatnya menggigit bibir.Ia tahu betul penyebabnya. Sejak kemarin, tubuhnya memproduksi c
Pagi itu, Sevi membuka mata dengan berat. Layar ponselnya menyala terang, menampilkan deretan notifikasi chat kantor. Grup tim sibuk membicarakan deadline, atasannya menanyakan progres, bahkan beberapa email masuk sudah menunggu balasan. “Saya masih sakit, izin istirahat hari ini.”Tanpa menunggu balasan, ia taruh ponsel kembali di meja samping ranjang. Kaos longgarnya terasa lembap di bagian dada, lapisan tisu yang ia selipkan sejak semalam sudah basah menempel di kulit. Sensasi nyeri samar muncul setiap kali ia mengubah posisi tidur. Ia mendesah frustasi, menarik kaosnya ke depan, menatap noda samar yang semakin jelas.Dengan langkah gontai, Sevi menyeret tubuh ke meja kerja kecil di sudut kamar. Ia menyalakan laptop, bukan untuk bekerja, melainkan mencari jawaban.Ketikannya pertama: “minum susu keluar ASI padahal belum hamil”.Hasil pencarian memenuhi layar. Forum ibu muda, artikel medis, thread anonim. Ia membaca satu per satu dengan mata yang mulai perih. Semuanya sama—membicara
Seiring hari-hari berlalu, Sevi mulai menjalani rutinitas yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar menghangatkan kontrakannya, ia terbangun oleh rasa nyeri di dadanya. Sensasi itu seperti alarm alami yang memaksanya bangun, meski matanya masih berat.Langkah pertama yang ia lakukan bukan lagi menyeduh kopi, melainkan mengambil pompa ASI dari meja dan memulai proses memompa. Cairan yang keluar tetap beraroma manis strawberry—samar, tapi jelas. Kadang ia tersenyum kecut melihat botol kecil itu terisi, seolah tubuhnya kini menjadi pabrik kecil yang memproduksi sesuatu yang tak pernah ia pesan.“Parah… jadi kayak sapi perah,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu, barulah ia bersiap berangkat kerja. Malam harinya, ia mencoba membatasi konsumsi susu strawberry. Ia tahu, semakin banyak ia minum, semakin “produktif” tubuhnya esok hari. Tapi membatasi bukan berarti berhenti—setiap tegukan tetap menjadi godaan yang sulit ia tolak.Di kantor, Sevi mas
Pagi itu, Sevi terbangun dengan rasa nyeri yang lebih menusuk di bagian dadanya dibandingkan hari sebelumnya. Ia sudah terbiasa menahan sedikit rasa sakit, hidup di kota besar memang membuat seseorang terbiasa berkompromi dengan ketidaknyamanan, tetapi kali ini, rasa nyeri itu membuatnya sulit bernapas dalam-dalam. Setiap gerakan, bahkan sekadar mengangkat tangan, membuat dadanya seperti ditarik dari dalam.Ia duduk di tepi ranjang, mencoba mengatur napas. Cairan hangat mulai merembes lagi, membasahi kaos tipis yang ia kenakan. Sevi menatap noda basah itu dan menghela napas panjang. Tangisnya mulai pecah."Aku nggak mungkin maksain diri ke kantor kalau keadaannya seperti ini," batinnya. Ini aneh.Tangannya meraih ponsel di nakas. Ia memilih izin sakit untuk mengecek ke dokter mengenai kondisinya.Rumah sakit cukup ramai saat Sevi tiba. Tangannya menggenggam erat kertas nomor antrean, 17. Ia menunggu dengan kepala tertunduk, berharap tidak ada yang mengenalinya. Satu per satu nama dip
Sevi terbangun dengan rasa lengket di area dadanya. Awalnya ia mengira itu hanya keringat karena cuaca panas. Namun saat jemarinya menyentuh, terasa basah. Ia tercekat, lalu buru-buru masuk ke kamar mandi.Di depan cermin, pandangannya membeku. Dari dadanya, cairan putih kekuningan merembes pelan. Ia menekan sedikit, rasa nyeri menjalar, dan cairan itu keluar lebih deras.“Apa-apaan ini…?” bisiknya, panik.Jantungnya berdebar tak beraturan. Ia belum pernah hamil. Siklus haidnya normal. Ia bahkan belum pernah disentuh. Jadi kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini? Ingatannya langsung melayang ke malam sebelumnya—dua botol susu stroberi edisi terbatas BerryStraw – Limited Edition yang ia habiskan. Rasanya lebih segar, lebih manis dari biasanya. Terlalu manis.Sevi terduduk di tepi ranjang, memegangi dadanya yang berdenyut, antara nyeri dan sensasi panas yang tak ia pahami. Ia mencoba menenangkan diri, tapi waktu tak berpihak padanya. Ia tetap harus berangkat kerja. Dengan pasrah, ia menutu