Sevi duduk di kamar kontrakannya, menatap layar ponsel dengan hati yang tak karuan. Rasa kecewa pada Arlan masih menumpuk. Baru kemarin pria itu seolah ingin memperjuangkan dirinya, seolah ingin memberi kepastian. Tapi nyatanya, hari ini lagi-lagi Arlan tampak dekat dengan Alya. Kedekatan yang jelas-jelas membuat hati Sevi tersayat, meski ia tahu betul bahwa ada permainan licik di balik itu semua.“Kenapa harus aku yang jadi korban tarik-ulur kayak gini…” gumamnya lirih.Di saat pikirannya hampir menyerah, sebuah notifikasi masuk di akun media sosialnya. Pesan dari seseorang yang tidak ia kenal. Nama pengirimnya 'Tia'.Sevi ragu untuk membuka, tetapi rasa penasaran mengalahkan logikanya.> “Halo, maaf mengganggu. Aku tahu ini aneh, tapi aku ingin cerita. Aku juga pernah mengalami hal yang sama seperti kamu… soal ASI itu. Tolong baca dulu sebelum kamu hapus pesanku.”Sevi terdiam. Matanya membesar. Jari-jarinya gemetar saat ia membaca setiap kata. Tia melanjutkan dengan rentetan pesan
Malam itu, Arlan seperti kehilangan kendali atas dirinya. Setelah ia menyerahkan kartu kredit untuk membayar kamar hotel, semua ingatannya kabur. Seakan ada selubung hitam menutupi pikirannya. Yang tersisa hanyalah tubuhnya yang bergerak tanpa ia sadari, sementara Alya terus menuntun, terus menggoda, terus mendorongnya semakin dalam ke jurang. Alya bermain nakal malam itu. Setiap gerakan, setiap sentuhan, setiap tatapan matanya dipenuhi niat untuk mengikat Arlan. Ia ingin memastikan bahwa setelah malam ini, lelaki itu tidak akan bisa lepas darinya lagi. Tubuh Arlan terjatuh tepat di atas kasur, Alya segera mengunci kamar dan mendekat pada Arlan. Perlahan baju Arlan kini sudah ia buka, tak ada yang tersisa. Jari jemarinya terampil untuk mengelus pelan seluruh badan Arlan, kucuran keringat karena sang empunya panas pun juga ia rasakan. “S-sevi..” Satu nama yang membuat Alya marah tak terbendung, dengan ini akalnya sudah hilang ditelan amarah. Alya tergesa-gesa membuka bajunya hingga
Malam itu, kantor sudah sepi. Lampu sebagian besar ruangan padam, hanya beberapa cahaya temaram yang tersisa dari ruang kerja inti. Arlan duduk di kursinya, bahunya menunduk lesu, jemari mengetuk-ngetuk meja tanpa arah.Hari ini ia kembali gagal mendekati Sevi. Setiap kali ia mencoba mencari celah, Alya selalu muncul. Seakan perempuan itu tahu persis kapan dan di mana Arlan akan bergerak.Lebih menyakitkan lagi, pesan-pesan singkat yang biasanya langsung dibalas Sevi kini hanya centang dua tanpa jawaban. Arlan menatap layar ponselnya berkali-kali, berharap ada notifikasi baru. Tapi nihil. Meja kerja Sevi pun sudah kosong sejak sore tadi. Ia pulang lebih dulu tanpa sepatah kata.Arlan meringis, meremas rambutnya. “Sevi… aku harus bicara denganmu. Aku harus jelaskan semua sebelum terlambat.”Ia beranjak berdiri, meraih jas yang tergantung di kursi. Namun langkahnya terhenti ketika sebuah suara memanggil.“Lan.”Alya.Perempuan itu berdiri di depan pintu ruangannya, tersenyum manis samb
Sejak kejadian di ruangan Arlan tempo hari, saat ia melihat langsung Alya duduk manja di pangkuan bosnya, Sevi benar-benar mengambil langkah mundur. Ia mulai menarik diri, menjaga jarak sejauh mungkin. Untungnya, akhir-akhir ini kondisi tubuhnya cukup stabil. Nyeri di dada sudah berkurang, ASI yang kadang membuatnya frustasi kini tidak terlalu menyiksa. Sevi merasa itu seperti sebuah kesempatan dari Tuhan, kesempatan untuk berhenti bergantung pada Arlan.Di kantor, ia bekerja dengan tekun, menyibukkan diri di laboratorium lebih lama daripada biasanya. Ia mengatur waktu agar tidak perlu berpapasan dengan Arlan: masuk ruangan lebih pagi, pulang lebih lambat, bahkan memilih jalur berbeda saat ke pantry atau toilet. Jika pun kebetulan berpapasan, Sevi menunduk dan berlalu begitu saja, seolah Arlan hanyalah sosok asing.Namun, yang paling menyakitkan bagi Sevi bukanlah jarak yang ia ciptakan, melainkan kenyataan baru yang muncul: Alya kini terang-terangan menggenggam tangan Arlan di kantor
Weekend seharusnya jadi waktu istirahat, namun kali ini kantor meminta beberapa karyawan inti untuk masuk. Agenda utamanya adalah uji coba rasa baru susu vanilla creamy. Sebagai orang yang bertanggung jawab di bagian pengawasan kualitas, Sevi tentu tak bisa menolak. Dan Arlan, selaku bos, juga hadir langsung mengawasi proses perdana ini.Pagi itu, laboratorium sibuk. Sevi mengenakan jas lab putih, rambutnya diikat sederhana, wajahnya serius saat memeriksa kadar campuran antara susu murni dengan bubuk rasa. Tangannya cekatan memutar pipet, matanya fokus pada perubahan warna dan tekstur cairan. Ia seolah menenggelamkan diri dalam pekerjaan, mencoba melupakan segala hal di luar itu.Arlan beberapa kali melintas, memberi instruksi pada staf, namun ia dan Sevi sama-sama menjaga jarak. Tidak ada lagi percakapan pribadi, tidak ada sentuhan kecil yang dulu begitu akrab. Mereka berdua memilih bersikap profesional.Namun bagi Sevi, sikap dingin itu bukan hanya soal profesionalitas. Pertanyaan “
Pagi itu, Sevi terbangun dengan tubuh yang terasa berat. Nyeri di bagian dadanya kembali menyerang, lebih menusuk daripada biasanya. Ia meringkuk di sisi ranjang, menahan sakit yang tak kunjung reda. Air matanya sudah siap jatuh, namun sebelum benar-benar mengalir, lengan hangat melingkari tubuhnya.Arlan.Lelaki itu bangun cepat, refleks memeluk Sevi dari belakang, mengusap pelan lengannya agar tenang. “Ssst… aku ada di sini. Tenang ya, jangan dipaksa nahan sakit sendirian.” Suaranya rendah, lembut, seolah meredakan gejolak yang hampir pecah dari hati Sevi.“Ini… sakit, Lan,” lirih Sevi, suaranya bergetar.Arlan mengangguk, menatapnya penuh empati. “Aku tahu. Boleh aku bantu pijat? Biar sedikit lega.”Sevi sempat ragu, tapi menolak pun tak ada gunanya. Ia tahu, Arlan tidak akan berhenti sebelum dirinya menyerah. Dengan pasrah ia mengangguk kecil. “Lakukan saja…”Arlan duduk lebih dekat, jemarinya bergerak hati-hati. Perlahan ia memijat bagian dada Sevi, mencari titik yang terasa ker