Share

Bab 2 : Sepotong Ayam

Satu jam kemudian,,

"Bagaimana, kak? Apa semuanya sudah selesai? Ini sudah se-jam, lho," tanya Dinda yang tiba-tiba saja, sudah berada di dapur.

Dengan sedikit terkejut, Mayang menjawab pertanyaan dari adiknya itu. Meski, keringat sudah membasahi sebagian baju yang dia pakai.

"Su-sudah, Din. Yang tinggal, cuma sayur asemnya saja lagi. Dan mungkin, sebentar lagi sudah matang," tutur Mayang, yang sedikit ngos-ngosan kepada Dinda, karena lelah.

Karena waktu yang diberikan adiknya itu, sungguh sangatlah sedikit. Tetapi, mengingat tentang, Fikry. Mayang, harus bisa membagi dan menggunakan waktu yang setengah jam itu, dengan sebaik-baiknya. Alhasil, sekarang masakannya 99% masak.

"Bagus! Ini yang aku suka dari kakak. Karena semua pekerjaan selalu terselesaikan dengan sangat baik. Kakak, adalah tipe orang yang sangat bisa diandalkan. Dan juga, tipe orang yang tepat waktu. Mantap! Tak salah dan sia-sia, aku memungut kakak untuk tinggal di sini. Seenggaknya, aku tidak susah payah mencari pembantu dan mengeluarkan uang banyak untuk menggajinya,"tutur Dinda dengan sinis.

"Hhmm, lagian gak rugi-rugi amat, untuk membiarkan kakak dan anak kakak itu tetap tinggal di rumah ini," ucap Dinda dengan tersenyum sumbang ke arah Mayang.

Mendengar ucapan Dinda, Mayang cuma bisa menelan salivanya dengan sedikit kasar. Agar air matanya tidak menetes lagi.

Mayang sudah bertekat dan berjanji, kepada dirinya sendiri, untuk tidak menangisi atas sikap dan kelakuan adiknya itu. Dan, Mayang, tidak mau mengeluarkan air mata, hanya untuk meratapi nasibnya sendiri. Dia ingin bangkit dan tetap sabar untuk masa depan dan kehidupan Fikry, anaknya sendiri.

Dengan sedikit tenang, Mayang pun menjawab perkataan Dinda.

"Iya, Din. Kakak akan usahakan, untuk mendengar dan melakukan semua perkataan kalian. Karena kakak sangat membutuhkan tempat tinggal untuk, Fikry," Ucap Mayang datar.

"Baguslah kalau begitu. Jadi, kakak sudah faham, apa fungsi dan kegunaan kakak di sini, bukan? Dan, aku, tidak mau lagi, mendengar alasan-alasan yang tak masuk akal dari kakak. Mengerti!" Ucap Dinda pongah.

"Kakak, mengerti. Dan, sangat mengerti adikku!" Balas Mayang datar, dengan memegang erat kain yang ada ditangannya.

"Bagus!" Celetuk Dinda dengan sangat cuek.

Dia tidak memperdulikan perasaan kakaknya itu. Baginya sekarang, Mayang hanya seperti orang luar, yang tidak perlu dikasihani. Semua rasa itu, sudah habis terbuang, semenjak dia tahu semuanya.

☘️☘️☘️

" Oh, ya kak, apa kakak sudah meletakkan dan merapikan semua masakannya di atas meja makan? soalnya sebentar lagi Bang Arman, suamiku tercinta, a-dik i-pa-r kakak yang tampan itu, akan segera pulang. Jadi, aku tidak mau membuatnya menunggu lama, karena makanan yang belum selesai," sinis Dinda dengan intonasi menjeda.

"Iya, Din. Kakak ngerti," ucap Mayang yang menjawab pertanyaan adiknya, sambil meletakkan dan merapikan sayur asem yang baru matang ke meja makan.

"Oh, ya. Mana anak kakak yang tampan itu? Tumben, tidak kelihatan. Biasanya, akan terdengar bunyi 'Tak Tik Tok' kalau dia nongol," cela Dinda, yang mengejek keponakannya itu.

"Hhmm, Fikry mungkin ketiduran, Din. Dia mungkin lelah habis menangis tadi," ucap Mayang menunduk, dengan memainkan kain lap yang ada di tangannya itu.

"Emang kenapa lagi, anak manja kakak itu menangis? Bikin ribet saja!" Sentak Dinda sambil mengerutu.

"Kan sudah, aku bilang. Mendingan, kakak masukkan saja, dia ke panti asuhan. Atau, kakak buang saja, dia ke jalanan sana. Biar tidak menyusahkan lagi hidupnya. Seenggaknya, kalau gak ada dia, kerjaan kakak tidak akan lelet dan berantakan. Dan, lebih penting lagi, pengeluaran aku jadi berkurang lah." Ucap Dinda lagi, yang lagi-lagi tidak memikirkan perasaan Mayang.

"Astagfirullah, Dinda! Istigfar kalau kamu ngomong! Fikry itu anak kakak! Darah daging kakak! dan keponakan kamu juga! Jangan pernah lagi kamu ngomong seperti itu, terhadap anak, kakak. Kakak bertahan di sini, itu juga mengingat Fikry! Kalau tidak, mungkin sudah lama, kakak pergi dari sini!" Sentak Mayang, dengan sangat emosi. Karena, anaknya direndahkan dan disepelekan seperti itu.

Dengan masih menahan emosi karena kesal dengan adiknya itu, Mayang berkata lagi,

"Lagian, Fikry di sini. Juga tidak menyusahkan siapa-siapa, terutama kamu! Kakak sangat bersyukur memiliki Fikry. Kakak ikhlas menjaga dan mengasuhnya. Seperti kakak, yang mengasuh dirimu dulu!" Sentak Mayang lagi, dengan menatap mata Dinda. Dan, Mayang juga mengingatkan kembali kepada Dinda. Kalau dia lah yang selama ini, mengasuh dan menjaga dirinya.

Tetapi, mungkin karena watak dan sikap angkuh dari Dinda sendiri. Sehingga, menganggap ucapan kakaknya itu, seperti angin lalu saja. Dan, malahan dengan sengaja menyepelekan semua ucapan kakaknya itu.

"Uuhh takutttt," cela Dinda, yang memasang exspresi pura-pura takut.

"Serius amat, sih, kak. Jangan marah-marah kenapa,sih. Jelek tahu, kalau kakak seperti itu. Udah jelek, nanti makin jelek lho. Emang ada, uang untuk perawatan?" Ejek Dinda kepada Mayang.

"Kakak bilang, apa tadi? Tidak menyusahkan aku? Begitu! Hei, dengar ya, kakakku sayang. Terus yang ngasih makan kalian itu siapa?! Yang biayain kalian itu siapa?! Terus, yang membayar operasi anak kakak itu, siapa? Hhmm. Siapa kak?!" Tanya Dinda, yang menghardik kakaknya, Mayang.

"Aku! Aku kan! DIN-DA MA-HA-RA-NI! Ingat itu!" Bentak Dinda, yang menyombongkan dirinya di hadapan Mayang.

"Kalau bukan aku, yang bayarin operasi Fikry saat itu, mungkin dia sudah Ma-ti kale kak, nyusul bapaknya." Sindir Dinda, kepada Mayang.

"Dan, satu lagi. Aku tau kok, kalau kakak yang menjaga dan mengasuh aku sejak dulu. Maka dari itu, aku sangat berterima kasih banyak-banyak kepada kakak. Yang sudah rela menjaga aku," ucap Dinda yang menangkupkan kedua telapak tangannya, di dada, lalu baru berucap lagi,

"Tapi'kan itu emang tanggung jawab kamu sebagai seorang kakak. Dan juga, janji kakak kepada ibu. Kalau kakak, akan menjaga aku dengan sangat baik. Ingatkan!" Sentak Dinda. "Atau selama ini, kakak tidak ikhlas ya, untuk jaga aku? Hhmm," ucap Dinda yang berpura-pura sedih, agar Mayang merasa bersalah.

"Bukan begitu, Dinda. Kakak ikhlas, dan sangat ikhlas menjaga kamu, karena kamu satu-satunya saudara, kakak. Jangan pernah kamu ngomong seperti itu sama kakak. Apapun, yang kakak lakukan dahulu, itu semata-mata hanya untuk kamu, Dinda," ucap Mayang sedih, mendengar ucapan dari adiknya itu, yang meragukan atas ketulusannya selama ini.

"Kalau begitu, OK, baiklah. Aku jadi capek, kalau mengingat tentang yang dulu. Lebih baik aku mandi saja, karena, sebentar lagi suamiku akan pulang. Aku tidak mau, dia sampai melihat, kalau istrinya yang cantik ini, masih seperti ba bu," sindir Dinda, dengan tersenyum sinis

"Lagian, Makanan sudah beres kan, kak. Ya sudah, aku beranjak dulu, ya. Dadah, kakakku sayang," ucap Dinda yang melambaikan tangannya ke arah kakaknya itu, yang hendak mau berlalu.

"Hhmm, tunggu dulu, Din," ucap Mayang, dengan cepat.

"Apa, lagi?" Tanya Dinda ketus.

"Hhmm gini Din, kakak mau mi--,"

"Apa sih kak? Oh, ya aku sampai lupa. Ingat kan, kak. Kalau aku sama suami aku, kalau lagi makan, kakak dan anak kakak itu harus apa?" Ucap Dinda yang bertanya sambil mengingatkan kepada Mayang, tentang kebiasaan mereka kalau sedang makan.

"Ingat, Din. Kakak sama Fikry, tidak boleh mendekati atau berkeliaran di sekitar ruangan tempat makan," ucap Mayang yang menjawab pertanyaan adiknya itu, dengan menunduk.

"Bagus! Karena, kalau kalian terlihat, terutama melihat anak kakak si Fikry itu, bisa-bisa suamiku akan mual dan hilang nafsu makannya," ejek Dinda yang menyunggingkan senyum sinis di bibirnya.

"Iya, Din. Kakak, ngerti. Tapi, kakak mau minta sesuatu sama, kamu?" Ucap Mayang lagi.

"Apa?!"

"Hhmm, bolehkah, kakak minta sepotong ayam goreng untuk, Fikry? Tadi, sebenarnya, Fikry menangis karena meminta ayam goreng," jawab Mayang sedikit ragu.

"Tidak, boleh!" Jawab Dinda dengan cepat. "Ayam itu, untuk Bang Arman. Karena dia, sangat suka dengan ayam goreng. Kakak sama Fikry, kan bisa makan dengan tahu tempe. Lebih banyak gizinya dan lebih cocok buat kalian. Lagian jangan dibiasakan memberi makanan mewah kepada, Fikry. Nanti akan kebiasaan. Dan kakak, tidak akan mampu membelinya, " sinis Dinda, yang lagi-lagi merendahkan Mayang.

"Kakak mohon, Din! Buat sekali ini, saja! Kakak kasihan lihat, Fikry. Sudah lama dia tidak makan ayam," keluh Mayang, dengan sedih. Mengingat anaknya yang menangis dari tadi meminta sepotong ayam.

"Lihat nanti saja, kalau ada sisa!" Sinis Dinda yang berlalu pergi, dengan meninggalkan Mayang, dalam perasaan sedih.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dhesu Nurill
Terus semangat, Thor!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status