APAAA GIMANAAA DAMIEEEN 🤣🤣 jangan senyum-senyum sendiri ya wkwkwkwk
‘Tidak ... tidak boleh seperti ini,’ kata Samantha dalam hati.Ia berusaha melepaskan tangannya dari Damien yang sedang mengaitkan jemari mereka dan membawanya berjalan meninggalkan kerumunan.Tapi semakin Samantha memberontak, maka Damien akan semakin erat menggenggamnya.Pria itu tak mengendurkan pegangannya sama sekali. Alih-alih mempedulikan banyaknya tanya yang keluar dari bibir para reporter, yang ia katakan hanya tiga kalimat saja.“Tanyakan pada Giovanni.”Sekilas menoleh ke belakang, Giovanni memang berada di sana. Seakan pemuda itu adalah juru bicara Damien—meski memang benar demikian adanya.Sebuah sedan mewah dijumpai Samantha berhenti di tepi jalan, Damien membukakan pintu untuknya dan meminta Samantha untuk masuk.Tak ada waktu untuknya menolak karena Samantha tak ingin terjebak di antara para pemburu berita itu.Ia duduk di kursi penumpang yang ada di sebelah kemudi. Damien menyusul dengan cepat dan duduk di balik setir bundarnya. Sekilas membalas sapaan para awak media
.... Di depan laptopnya yang terbuka di dalam ruang kerjanya yang ada di lantai tiga Harvest Table, Samantha tak bisa menutup bibirnya. Ia sedikit ternganga sewaktu membaca berita yang dikirimkan oleh Anna—salah seorang stafnya—yang meminta agar Samantha melihat pernyataan dari Giselle bahwa mulai hari ini ia resmi membatalkan pertunangannya dengan Damien. Portal-portal gosip besar membicarakan namanya yang naik hingga ke pencarian nomor satu. Bahwa Giselle Braun bukan lagi menjadi calon istri Damien Morgan dari Keluarga Frost. Kemudian mereka membuat dugaan-dugaan yang mempertanyakan mengapa Giselle membatalkannya? Serta, siapa wanita yang kira-kira cocok dengan Damien si pria lajang terpanas di kota Berlin? Saat Samantha menggulir layar, ia menjumpai namanya lah yang tertera paling atas. ‘Samantha Celestine’ dengan menampilkan fotonya serta Damien yang hari itu datang pada pesta Networking yang dilakukan di The Hera Palace. Lalu disusul nama-nama lain yang setahu Samantha mer
“Apa maksud kamu membatakan pertunangan, Giselle?” Tuan Argust—ayahnya Giselle—nyaris terhenyak bangun dari duduknya kala mengatakan itu.Beliau memandang anak perempuannya yang masih tersenyum getir sewaktu menjawab, “Aku rasa ... banyak hal yang tidak cocok antara aku dan Kak Damien, Pa. Aku memang menyukainya, tapi ... kami tidak bisa bersama.”Tuan Argust saling pandang dengan Nyonya Diana yang juga tampak terkejut. Senyum yang sedari tadi membingkai bibir wanita paruh baya itu menghilang.Ada banyak tanya yang tertahan di bibir mereka atas pembatalan pertunangan Giselle yang tiba-tiba ini, tapi tak bisa mereka ungkapkan.Hanya deru napas yang menggambarkan betapa keterkejutan telah tumbuh masif di dalam dada.Bahkan, Nyonya Diana tampak menahan air mata atas keputusan anak perempuannya.“Paman Gerard dan Tante Maria bisa mengatakan itu pada Kak Damien nanti?” tanya Giselle, seakan tak memberi mereka napas dan hanya mengatakan apa yang ingin ia katakan. “Aku akan bilang ke media b
Giselle tak berani melawan Dion sebab jemari pria itu merenggut dagunya dengan kasar kala ia tak memberi jawaban. “Jawab aku, Giselle!” desis Dion dengan mata tajamnya yang mengintimidasi. “Kenapa? Kamu tidak mau melakukan apa yang aku mau? Kalau begitu—“ “Iya,” potong Giselle sebelum Dion mengeluarkan kalimat ancamannya lagi. Ia berpindah ke belakang, disusul oleh Dion. Giselle menggigit bibirnya seraya ia melepaskan panties dari balik dress yang ia kenakan. Dion pun demikian, ikat pinggangnya ia longgarkan sebelum kedua tangannya meraih pinggang Giselle dan menempatkan di pangkuannya. Bibir mereka bertemu, saling melumat, sensual dan intens yang dibayangi oleh kegugupan seandainya seseorang melihat apa yang mereka lakukan di sudut sunyi basement parkiran ini. Giselle menengadahkan wajahnya saat Dion menyentuh bagian depan tubuhnya. Kancing yang semula ada di dadanya kini telah terbuka. Dion menyelusupkan tangannya ke dalam sana, memberi remasan sebelum lidahnya bergerak m
“Kenapa kamu terlihat tidak senang, Giselle?” Dion tampak memiringkan kepalanya ke kiri, seolah itu menekankan ketidaktahuannya mengapa Giselle menolak kedatangannya. “Kamu tahu kalau kamu tidak boleh menunjukkan wajah seperti itu padaku, ‘kan?” Tawa lirih pria itu membuat Giselle bergidik merinding. Ia menoleh ke belakang, memastikan ayah dan ibunya tak melihat Dion. “Bagaimana bisa kamu ke sini, Dion?” geram Giselle, menggertakkan giginya. “Hm ... bagaimana aku bisa ke sini? Dengan naik mobil, Sayang.” “Tutup mulutmu!” “Kamu bertanya, Giselle. Bukankah aku harus menjawabmu?” Dion selangkah maju, memindai wajah Giselle yang pias, bibir merahnya itu terlihat gemetar untuk mengatur nada bicaranya agar tak meninggi. “Bukannya aku sudah bilang kalau aku baru saja menjual lukisanku? Kamu tidak ingin tahu berapa yang bisa aku dapatkan? Mobil itu bukti kalau aku tidak mengatakan omong kosong.” Giselle melirik mobil yang ada di luar gerbang. Sedan keluaran terbaru yang sekalipun buk
Erick berlari menuju ke sumber kekacauan. Hendak memastikan dengan mata kepalanya sendiri apakah benar yang mengalami kebakaran itu adalah unit 404, unit apartemen miliknya. Tapi selangkah beranjak, Pierre mencegahnya. Pemuda itu mendorong Erick, berdiri di hadapannya. Dengan suaranya yang lebih terdengar seperti hardikan mengatakan, “Kau gila?!” “Aku harus memastikannya, Pier,” jawab Erick. “Tidak terlihat dari sini oleh matamu? Kecuali kau mau mati terpanggang di sana, silakan!” Pierre menunjuk pada kepulan asap berwarna abu-abu yang membumbung di udara, yang mencemari pemandangan langit malam Berlin. Pierre hanya ingin mengatakan pada Erick bahwa yang dikatakan oleh wanita itu benar. Telah terjadi kebakaran. Tak ada gunanya datang ke sana saat evakuasi masih belum usai. Ia hanya akan menghambat. Lagi pula tak ada yang bisa ia lakukan untuk membantu, petugas pemadam kebakaran yang turun tangan. “Baik aku hanya akan bertanya, tidak akan mengganggu siapapun,” kata Erick. Pie