Share

Jangan Mencintaiku Mr. Don Juan
Jangan Mencintaiku Mr. Don Juan
Penulis: Karensia

Bab 1: Kesalahan Terakhir

Di sebuah apartemen di Upper Bukit Timah, Singapura.

Arthur Jefford tidak pernah bermaksud menyiksanya.

Itulah yang selalu dikatakannya berulang kali kepada Trisha Geraldyn.

Terkadang Arthur akan merengek dan menangis setelah itu, memohon-mohon agar Trisha memaafkannya dan memberinya kesempatan lagi untuk memperbaiki diri. Dia bahkan kerap bersumpah bahwa dia akan berubah, menjanjikan hubungan mereka akan lebih baik lagi.

Namun kejadian yang sama terulang lagi malam itu.

Arthur sudah tiba di apartemennya pukul tujuh malam, letih sepulang bekerja seharian ketika Trisha muncul di depan pintu apartemennya.

Trisha belum sempat masuk, ketika Arthur memekik padanya, “Aku lapar! Kamu bawa makanan, nggak!?”

Trisha menggeleng lemah. Dalam hatinya, dia berdoa semoga amarah Arthur tidak meledak. Jangan lagi kali ini.

Pria itu memekik dengan berang, “Aku udah letih sepulang kerja, tapi kamu sama sekali nggak pengertian! Untuk apa datang ke sini cuma bawa badan aja? Aku butuh makan!”

Trisha terpana dan tidak berani berkata apa-apa.

“Pokoknya aku ingin makan malam siap dalam satu jam. Jangan lupa, aku butuh camilan untuk nonton TV sebelum tidur.”

“Maaf Arthur, sisa uang terakhirku baru saja habis untuk beli keperluan kerjaku besok.”

Mendengar itu, Arthur seketika mengamuk, menerjang maju, dan meninju wajah Trisha.

Selama dua tahun berhubungan dengan Arthur, walaupun Trisha mencintainya, sebagian dari dirinya membenci pria kekanak-kanakan itu dengan kebencian tak terlukiskan yang tidak dapat dia kendalikan.

Arthur adalah seorang pria yang keras kepala dan bodoh, sekalipun ketampanannya pernah membuat Trisha mabuk kepayang dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Ketampanannya juga yang memberi Arthur pembelaan atas banyak kesalahan yang terus dilakukannya—kesalahan yang sama dan terus berulang-ulang.

Selama dia berhubungan dengan Arthur, bahkan dengan tekad bulat untuk tetap bersamanya selama masa keterpurukan pria itu, mereka melawan banyak aturan. Trisha mengabaikan nasihat teman-teman, orang tua, dan keluarganya, pelajaran budi pekerti yang diterima selama sekolah, norma masyarakat, aturan hukum, dan bahkan akal sehatnya sendiri.

Arthur sudah berubah menjadi monster kejam. Dia ingin juga menarik Trisha menjadi budak di bawah kendalinya.

Mengapa Trisha tidak bertindak?

Bagaimana mungkin dia masih mencintai seseorang yang berulang kali mencoba menghancurkannya?

Sekarang, Trisha berdiri di kamar mandi, tangannya gemetar saat menempelkan handuk dingin ke pipi dan lengan kanannya.

Dia sudah mengompresnya beberapa kali, berharap bekas pukulan ini tidak menyisakan luka memar dan lebam. Jika bekas lebam ini tidak bisa ditutupi dengan riasan wajah, dia harus mengarang alasan sakit pada atasannya supaya bisa tinggal di rumah selama beberapa hari.

Setidaknya saat ini Arthur telah keluar, pergi ke restoran di seberang dengan beberapa peser uang terakhirnya. Semoga pria itu sudah tenang saat pulang nanti.

Trisha berpaling dari cermin dan enggan melihat wajahnya sendiri yang terlihat orang tolol seperti kata Arthur, bukan ucapannya sendiri.

Dengan terseok-seok, dia berjalan menuju dapur.

Kemudian pintu depan terbanting keras dan dia berbalik menghadap Arthur lagi. Pria itu berdiri di ambang pintu, bersandar pada kusen dengan kedua tangan terselip ke sakunya.

Mata pria itu beralih ke pipi Trisha yang bengkak memerah, tetapi Trisha bisa melihat bahwa pria itu tidak akan minta maaf kali ini. Dia menguatkan dirinya untuk mengulum senyuman.

"Gimana?" kata Trisha.

Arthur tidak menjawab, hanya memperhatikan Trisha yang melangkah ke arahnya. Saat Trisha berhenti, tangannya terkulai lemah tanpa tahu harus berbuat apa.

Arthur menyeringai. "Aku ketemu temanmu saat keluar tadi."

Trisha menjilat bibirnya yang kering, curiga dengan ucapannya yang menjebak. “Benarkah? Siapa?”

“Janice Mirelle.” Arthur memperhatikan wajahnya, dan Trisha berusaha menahan diri agar ekspresinya tidak berubah, supaya pria ini tidak mencari-cari masalah lagi. Tidak kali ini.

“Ya? Gimana kabarnya?”

“Bagus. Tampaknya baik-baik saja. Kamu tahu, ‘kan?” Senyumnya melebar, dan dia mengeluarkan tangannya dari saku, lalu melipat tangannya di dada. “Dia bilang dia baru saja ketemu denganmu.”

Trisha menelan ludah. Nah, ini lagi. "Ya, aku bertemu dengannya di mal tempo hari."

"Kamu nggak pernah bilang."

“Aku ...” Ucapannya terputus ketika dia hendak mengatakan, ‘aku tidak perlu melaporkan apa pun kepadamu setiap kali ke luar rumah.’ Namun dia mengurungkan niatnya, tidak akan berani, tetapi Arthur menebak apa yang dia pikirkan. Wajah pria itu menjadi masam.

"Siapa lagi yang kamu jumpai?” Dia menuntut.

“Apa? Nggak ada lagi.”

“Nggak ada? Kamu pergi kerja setiap hari dan nggak ketemu siapa pun?”

“Kamu tahu maksudku. Nggak ada orang yang kuajak bicara.”

Arthur mengerutkan bibirnya, memiringkan kepalanya, menerka-nerka apa yang Trisha pikirkan. “Yakin? Tapi Janice bilang lain. Katanya dia melihatmu mengobrol dengan seorang pria teman kuliahmu dulu yang sepertinya sangat ramah denganmu. Siapa namanya? Jason Wong?”

Trisha menelan ludah, memperhatikan tangan pria itu. "Ya, aku menyapanya, tapi itu saja."

"Dia bilang apa padamu?"

“Nggak ada, sumpah. Hanya bertanya bagaimana kabarku, apa pekerjaanku sekarang. Hanya mencoba bersikap ramah.”

“Ramah?”

Lalu dalam sekejap tiba-tiba Arthur bergerak di samping Trisha, menjambak rambut panjangnya yang indah dengan tangan terkepal. Dia menyentakkan kepala gadis itu ke belakang, dan Trisha berjuang supaya tidak menitikkan air mata. Jangan, katanya pada dirinya sendiri. Jangan membuat keadaan menjadi lebih buruk.

“Kamu pikir aku nggak akan tahu?” Mulutnya berada di dekat telinga Trisha, air liurnya menyembur ke pipi Trisha saat dia berteriak padanya. “Jangan bicara dengan siapa pun, oke? Mulai sekarang, jangan ke mana-mana setelah pulang kerja, paham?”

Arthur merenggutnya, lalu mendorongnya sehingga gadis itu terlempar ke lantai.

“Sialan! Mengobrol ramah dengan pria lain, mengolok-olok aku di belakang punggungku. Kamu pikir kamu siapa?”

Trisha meringkuk di lantai, mengusap matanya. Pergilah, katanya pada dirinya sendiri. Cari ponselmu. Ponselnya ada di dalam laci. Dia menguatkan dirinya untuk bangkit berdiri, mengangkat tangannya di depannya seraya mundur beberapa langkah.

“Bukan seperti itu kejadiannya, sumpah. Aku bicara dengannya sambil lalu, tapi itu saja. Kamu harus percaya padaku.”

Lubang hidung Arthur melebar saat dia menerjang ke arahnya, meraih lengan bawah gadis itu. “Begitukah? Sekarang kamu mendikte apa yang harus kulakukan?”

“Nggak, tentu saja nggak, aku ... ” Dengan satu tangannya yang bebas, Trisha mengacak-acak laci dapur, menemukan ponselnya dan mengangkatnya, berusaha mengatur napasnya. “Lepaskan aku, atau aku akan menelepon polisi.”

Arthur menatapnya, lalu tertawa. “Polisi? Ya, tentu saja kamu akan melakukannya.”

Trisha mengangkat dagunya, mengatupkan bibirnya yang gemetar. “Siksa aku, bunuh aku bila perlu, dan mereka akan menyeretmu pergi.”

“Menyeretku? Kamulah yang akan pergi, dasar perempuan sialan.” Dia menyambar ponsel dari tangan Trisha dan menghantamkannya pada dinding, lalu melemparkan pecahannya ke lantai. “Siapa yang akan kamu telepon sekarang?”

Trisha memekik, matanya nanar, tangannya masih mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Akhirnya tangannya menangkap sebuah gagang pisau dapur di atas meja dapur.

Arthur menghampirinya lagi, dia membeku ketika melihat apa yang ada di tangan Trisha.

“Sekarang, apa yang kamu lakukan dengan pisau itu?” Dia mengangkat tangannya dan merentangkannya.

Mencoba bersikap lunak, Arthur berkata, “Baiklah, maafkan aku, ya? Kemarilah, kita bicara baik-baik. Kita akan menonton film, berpelukan di sofa. Letakkan itu, jangan sampai ada yang terluka.”

Trisha tidak bisa mendengarkannya, tatapannya tertuju pada pisau di tangannya. Arthur melangkah mundur, kedua tangannya terangkat sebagai isyarat menyerah.

Dia menghampiri Arthur, dengan pisau di tangannya.

"Kamu ingin bicara?" desisnya. "Ingin aku mematuhimu?"

Pria itu mundur selangkah. “Tentu saja. Aku mencintaimu.”

"Cinta?" Trisha tertawa sinis.

"Ya, sungguh!"

Arthur memperhatikan kebimbangan yang berpendar di mata Trisha, lalu menatap pisau di tangan gadis itu, dan menerjang cepat ke arahnya.

Dalam sekejap pisau itu berpindah tangan. Kilatannya menyilaukan mata Trisha yang menatap dengan penuh kengerian.

Karensia

Dear readers, ini adalah novel pertamaku yang terkontrak dari sekian banyak novel lain yang masih menunggu kontrak. Senang rasanya tentu saja. Kali ini saya mengusung tema tentang hubungan 'toxic' yang diderita oleh Trisha, gadis Indonesia yang kuliah dan bekerja di Singapura. Kehidupannya penuh liku-liku hingga akhirnya dia menemukan jati dirinya dan pertemuan dengan Desmond mengubah kehidupannya. Silakan dukung karyaku ya. Thanks... love... love

| 4
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Daotze2812
Ceritanya bagus sekali, bikin baper di awalnya ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status