Di sebuah apartemen di Upper Bukit Timah, Singapura.
Arthur Jefford tidak pernah bermaksud menyiksanya.
Itulah yang selalu dikatakannya berulang kali kepada Trisha Geraldyn.
Terkadang Arthur akan merengek dan menangis setelah itu, memohon-mohon agar Trisha memaafkannya dan memberinya kesempatan lagi untuk memperbaiki diri. Dia bahkan kerap bersumpah bahwa dia akan berubah, menjanjikan hubungan mereka akan lebih baik lagi.
Namun kejadian yang sama terulang lagi malam itu.
Arthur sudah tiba di apartemennya pukul tujuh malam, letih sepulang bekerja seharian ketika Trisha muncul di depan pintu apartemennya.
Trisha belum sempat masuk, ketika Arthur memekik padanya, “Aku lapar! Kamu bawa makanan, nggak!?”
Trisha menggeleng lemah. Dalam hatinya, dia berdoa semoga amarah Arthur tidak meledak. Jangan lagi kali ini.
Pria itu memekik dengan berang, “Aku udah letih sepulang kerja, tapi kamu sama sekali nggak pengertian! Untuk apa datang ke sini cuma bawa badan aja? Aku butuh makan!”
Trisha terpana dan tidak berani berkata apa-apa.
“Pokoknya aku ingin makan malam siap dalam satu jam. Jangan lupa, aku butuh camilan untuk nonton TV sebelum tidur.”
“Maaf Arthur, sisa uang terakhirku baru saja habis untuk beli keperluan kerjaku besok.”
Mendengar itu, Arthur seketika mengamuk, menerjang maju, dan meninju wajah Trisha.
Selama dua tahun berhubungan dengan Arthur, walaupun Trisha mencintainya, sebagian dari dirinya membenci pria kekanak-kanakan itu dengan kebencian tak terlukiskan yang tidak dapat dia kendalikan.
Arthur adalah seorang pria yang keras kepala dan bodoh, sekalipun ketampanannya pernah membuat Trisha mabuk kepayang dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Ketampanannya juga yang memberi Arthur pembelaan atas banyak kesalahan yang terus dilakukannya—kesalahan yang sama dan terus berulang-ulang.
Selama dia berhubungan dengan Arthur, bahkan dengan tekad bulat untuk tetap bersamanya selama masa keterpurukan pria itu, mereka melawan banyak aturan. Trisha mengabaikan nasihat teman-teman, orang tua, dan keluarganya, pelajaran budi pekerti yang diterima selama sekolah, norma masyarakat, aturan hukum, dan bahkan akal sehatnya sendiri.
Arthur sudah berubah menjadi monster kejam. Dia ingin juga menarik Trisha menjadi budak di bawah kendalinya.
Mengapa Trisha tidak bertindak?
Bagaimana mungkin dia masih mencintai seseorang yang berulang kali mencoba menghancurkannya?
Sekarang, Trisha berdiri di kamar mandi, tangannya gemetar saat menempelkan handuk dingin ke pipi dan lengan kanannya.
Dia sudah mengompresnya beberapa kali, berharap bekas pukulan ini tidak menyisakan luka memar dan lebam. Jika bekas lebam ini tidak bisa ditutupi dengan riasan wajah, dia harus mengarang alasan sakit pada atasannya supaya bisa tinggal di rumah selama beberapa hari.
Setidaknya saat ini Arthur telah keluar, pergi ke restoran di seberang dengan beberapa peser uang terakhirnya. Semoga pria itu sudah tenang saat pulang nanti.
Trisha berpaling dari cermin dan enggan melihat wajahnya sendiri yang terlihat orang tolol seperti kata Arthur, bukan ucapannya sendiri.
Dengan terseok-seok, dia berjalan menuju dapur.
Kemudian pintu depan terbanting keras dan dia berbalik menghadap Arthur lagi. Pria itu berdiri di ambang pintu, bersandar pada kusen dengan kedua tangan terselip ke sakunya.
Mata pria itu beralih ke pipi Trisha yang bengkak memerah, tetapi Trisha bisa melihat bahwa pria itu tidak akan minta maaf kali ini. Dia menguatkan dirinya untuk mengulum senyuman.
"Gimana?" kata Trisha.
Arthur tidak menjawab, hanya memperhatikan Trisha yang melangkah ke arahnya. Saat Trisha berhenti, tangannya terkulai lemah tanpa tahu harus berbuat apa.
Arthur menyeringai. "Aku ketemu temanmu saat keluar tadi."
Trisha menjilat bibirnya yang kering, curiga dengan ucapannya yang menjebak. “Benarkah? Siapa?”
“Janice Mirelle.” Arthur memperhatikan wajahnya, dan Trisha berusaha menahan diri agar ekspresinya tidak berubah, supaya pria ini tidak mencari-cari masalah lagi. Tidak kali ini.
“Ya? Gimana kabarnya?”
“Bagus. Tampaknya baik-baik saja. Kamu tahu, ‘kan?” Senyumnya melebar, dan dia mengeluarkan tangannya dari saku, lalu melipat tangannya di dada. “Dia bilang dia baru saja ketemu denganmu.”
Trisha menelan ludah. Nah, ini lagi. "Ya, aku bertemu dengannya di mal tempo hari."
"Kamu nggak pernah bilang."
“Aku ...” Ucapannya terputus ketika dia hendak mengatakan, ‘aku tidak perlu melaporkan apa pun kepadamu setiap kali ke luar rumah.’ Namun dia mengurungkan niatnya, tidak akan berani, tetapi Arthur menebak apa yang dia pikirkan. Wajah pria itu menjadi masam.
"Siapa lagi yang kamu jumpai?” Dia menuntut.
“Apa? Nggak ada lagi.”
“Nggak ada? Kamu pergi kerja setiap hari dan nggak ketemu siapa pun?”
“Kamu tahu maksudku. Nggak ada orang yang kuajak bicara.”
Arthur mengerutkan bibirnya, memiringkan kepalanya, menerka-nerka apa yang Trisha pikirkan. “Yakin? Tapi Janice bilang lain. Katanya dia melihatmu mengobrol dengan seorang pria teman kuliahmu dulu yang sepertinya sangat ramah denganmu. Siapa namanya? Jason Wong?”
Trisha menelan ludah, memperhatikan tangan pria itu. "Ya, aku menyapanya, tapi itu saja."
"Dia bilang apa padamu?"
“Nggak ada, sumpah. Hanya bertanya bagaimana kabarku, apa pekerjaanku sekarang. Hanya mencoba bersikap ramah.”
“Ramah?”
Lalu dalam sekejap tiba-tiba Arthur bergerak di samping Trisha, menjambak rambut panjangnya yang indah dengan tangan terkepal. Dia menyentakkan kepala gadis itu ke belakang, dan Trisha berjuang supaya tidak menitikkan air mata. Jangan, katanya pada dirinya sendiri. Jangan membuat keadaan menjadi lebih buruk.
“Kamu pikir aku nggak akan tahu?” Mulutnya berada di dekat telinga Trisha, air liurnya menyembur ke pipi Trisha saat dia berteriak padanya. “Jangan bicara dengan siapa pun, oke? Mulai sekarang, jangan ke mana-mana setelah pulang kerja, paham?”
Arthur merenggutnya, lalu mendorongnya sehingga gadis itu terlempar ke lantai.
“Sialan! Mengobrol ramah dengan pria lain, mengolok-olok aku di belakang punggungku. Kamu pikir kamu siapa?”
Trisha meringkuk di lantai, mengusap matanya. Pergilah, katanya pada dirinya sendiri. Cari ponselmu. Ponselnya ada di dalam laci. Dia menguatkan dirinya untuk bangkit berdiri, mengangkat tangannya di depannya seraya mundur beberapa langkah.
“Bukan seperti itu kejadiannya, sumpah. Aku bicara dengannya sambil lalu, tapi itu saja. Kamu harus percaya padaku.”
Lubang hidung Arthur melebar saat dia menerjang ke arahnya, meraih lengan bawah gadis itu. “Begitukah? Sekarang kamu mendikte apa yang harus kulakukan?”
“Nggak, tentu saja nggak, aku ... ” Dengan satu tangannya yang bebas, Trisha mengacak-acak laci dapur, menemukan ponselnya dan mengangkatnya, berusaha mengatur napasnya. “Lepaskan aku, atau aku akan menelepon polisi.”
Arthur menatapnya, lalu tertawa. “Polisi? Ya, tentu saja kamu akan melakukannya.”
Trisha mengangkat dagunya, mengatupkan bibirnya yang gemetar. “Siksa aku, bunuh aku bila perlu, dan mereka akan menyeretmu pergi.”
“Menyeretku? Kamulah yang akan pergi, dasar perempuan sialan.” Dia menyambar ponsel dari tangan Trisha dan menghantamkannya pada dinding, lalu melemparkan pecahannya ke lantai. “Siapa yang akan kamu telepon sekarang?”
Trisha memekik, matanya nanar, tangannya masih mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Akhirnya tangannya menangkap sebuah gagang pisau dapur di atas meja dapur.
Arthur menghampirinya lagi, dia membeku ketika melihat apa yang ada di tangan Trisha.
“Sekarang, apa yang kamu lakukan dengan pisau itu?” Dia mengangkat tangannya dan merentangkannya.
Mencoba bersikap lunak, Arthur berkata, “Baiklah, maafkan aku, ya? Kemarilah, kita bicara baik-baik. Kita akan menonton film, berpelukan di sofa. Letakkan itu, jangan sampai ada yang terluka.”
Trisha tidak bisa mendengarkannya, tatapannya tertuju pada pisau di tangannya. Arthur melangkah mundur, kedua tangannya terangkat sebagai isyarat menyerah.
Dia menghampiri Arthur, dengan pisau di tangannya.
"Kamu ingin bicara?" desisnya. "Ingin aku mematuhimu?"
Pria itu mundur selangkah. “Tentu saja. Aku mencintaimu.”
"Cinta?" Trisha tertawa sinis.
"Ya, sungguh!"
Arthur memperhatikan kebimbangan yang berpendar di mata Trisha, lalu menatap pisau di tangan gadis itu, dan menerjang cepat ke arahnya.
Dalam sekejap pisau itu berpindah tangan. Kilatannya menyilaukan mata Trisha yang menatap dengan penuh kengerian.
Dear readers, ini adalah novel pertamaku yang terkontrak dari sekian banyak novel lain yang masih menunggu kontrak. Senang rasanya tentu saja. Kali ini saya mengusung tema tentang hubungan 'toxic' yang diderita oleh Trisha, gadis Indonesia yang kuliah dan bekerja di Singapura. Kehidupannya penuh liku-liku hingga akhirnya dia menemukan jati dirinya dan pertemuan dengan Desmond mengubah kehidupannya. Silakan dukung karyaku ya. Thanks... love... love
Setiap saraf di tubuh Trisha seakan-akan mati rasa, mendesaknya untuk segera berlari, berbuat sesuatu, tetapi dia hanya berdiri dan diam terpaku dalam kebimbangan. Sayangnya terlambat. Dia merasakan kehadiran Arthur sepersekian detik sebelum sosok itu menabraknya. Rasanya seperti dihadang oleh seekor banteng. Tangan Arthur menghantam perutnya dengan bunyi gedebuk yang membuat napasnya tercekat dan tubuhnya terbanting dengan keras ke tanah. Pasir menyembur di sekelilingnya, beterbangan di udara seperti confetti kristal. Dengan mengaduh kesakitan luar biasa, tubuhnya terbaring dengan menggeliat di pasir pantai. Dia menatap bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang mulai gelap. Itu tidak nyata … seolah-olah dia sedang bermimpi. Atau mungkin dia sedang mengalami mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi. Tatapan Arthur yang menjulang tinggi di atasnya membawanya kembali ke dunia nyata dan seketika Trisha sadar bahwa itu bukan mimpi. Jika tidak bertindak cepat, dia mungkin tidak memilik
Tak lama kemudian, Trisha melihat sepasang kekasih bergerak menjauh dan di sana, lebih jauh ke pantai, dia melihat seorang pria berjalan ke arahnya. Kesadaran yang aneh seakan-akan menariknya kembali ke bumi. Pria itu sendirian, tetapi dia tidak tampak kesepian. Tidak, dia sangat tinggi, sangat tampan, dan cara berjalannya terlalu percaya diri sehingga tidak mungkin kesepian. Trisha memiringkan kepalanya, bersandar di sebatang palang besi, merasa bingung. Ada sesuatu tentang cara dia berjalan ... saat rambut hitamnya berkilauan dengan latar belakang cahaya matahari. Meskipun tidak bisa melihat mata pria itu di balik kacamata hitamnya, Trisha berani bersumpah bahwa orang itu sedang menatapnya. Mungkin dia sedang bermimpi. Atau mungkin tempat ini benar-benar ajaib dan mempertemukannya dengan orang itu. Dia bergidik saat memikirkannya. Tidak ada yang aneh dengan celana pendek dan T-shirt yang dikenakan pria itu. Bahkan dalam cara tubuhnya bergerak dengan lancar, semua ototnya tampak me
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang memberitahumu bahwa masa lalumu dan semua yang kau yakini adalah kebohongan?Lari, jawab benak Trisha. Lari dari kenyataan dan berusaha menutupinya.Wanita yang duduk di meja di seberangnya sedang berpikir untuk berselingkuh dengan rekan kerjanya. Dia membayangkan kulit gelap pria itu berkilau di bawah sinar matahari yang hangat, otot-ototnya menegang saat pria itu memeluk pinggangnya dan menciumnya. Atau mungkin, pikirnya, dia berpikir untuk berselingkuh dengan pria yang membersihkan kolamnya. Suaminya sedang ke luar negeri untuk perjalanan bisnis dan tidak akan pernah tahu.Trisha ingin mengatakan kepada wanita itu bahwa itu tidak akan berhasil, bahwa dalam tampilan ibu rumah tangga yang putus asa itu, mereka selalu mencurigai pria yang membersihkan kolam. Namun, Trisha tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Sebaliknya, dia menyembunyikan seringainya dengan menundukkan kepala dan mengusap meja tempat dia menikma
Beberapa minggu setelah kecelakaan yang menimpanya sebelum usia 17 tahun, Trisha terbangun oleh suara pelan ibu dan ayah serta suara-suara lain yang tidak dia kenal. Kepalanya berdenyut saat dia membuka mata pada ruangan serba putih yang menyilaukan. Dinding putih, lantai putih, seprai putih, ranjang putih. Dengan terkejut, dia meraba wajahnya. Di mana aku? Apa yang terjadi? "Hasil tesnya bagus," kata suara yang tidak dikenal itu. “Kami tidak menemukan jejak obat-obatan atau alkohol dalam sistem tubuhnya." "Tidak ada?" Ibunya terdengar kecewa, sepertinya berita bahwa tidak ada narkoba atau alkohol adalah berita buruk baginya. "Tidak, maafkan aku." Kenapa ibu tampak kecewa? Pelipis Trisha berdenyut saat memperhatikan respons ibunya. Mengapa dia menyesal? Trisha menggeser lengannya dan kali ini, dia mengerti mengapa warna putihnya begitu cerah. Sinar matahari menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dia membalikkan kepalanya di atas bantal dan memperhatikan kedua orang tuanya dan s
Suatu saat dua saudara sepupu Trisha, Jimmy dan Lisa, menginap di rumahnya. Saat semua orang sedang terlelap, Trisha terbangun di tengah malam karena suara Roy yang merintih dalam tidurnya. Saat dia melingkarkan lengannya ke tubuh adiknya, getaran aneh bergerak di bawah tangannya, jauh di bawah kulitnya. Sesuatu di dalam perut adiknya membusuk. Dia hendak membangunkan Roy ketika adiknya terbangun dan muntah di seluruh tempat tidur."Tetaplah disini!" kata Trisha.Roy meraung di belakangnya saat Trisha berlari terbirit-birit ke kamar orang tuanya, nyaris terjungkal karena tersandung langkahnya sendiri. Dia mengguncang lengan ayahnya dengan sangat keras untuk membangunkannya."Roy muntah," ujar Trisha.Ibu beringsut dengan gerakan lambat, tetapi ayah membuka selimut dan menarik jubah flanelnya. Sesampainya di kamar, Jimmy sedang duduk di tempat tidur Roy dengan baju tidur putihnya. Lisa berkeliaran di belakang ayah dan Trisha."Ugh!" ujar Lisa, memegangi hidungnya, yang membuat Roy mera
Trisha sangat mencintai ayahnya, tetapi sepertinya ayah tidak mencintainya dengan cara yang sama sebesar cintanya pada ayah. Sepertinya ayah mencintai Trisha hanya karena berutang pengabdian dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, bukan semata-mata karena Trisha layak mendapatkannya. Dia sering berpikir mengapa ayahnya bersikap seolah-olah dia hanyalah momok baginya, terutama sejak kematian Tristan. Trisha berpikir tidak ada orang di keluarga ini yang tahu betapa kesepiannya dia kadang-kadang. Sering kali dia berharap ayah akan menatapnya dengan pancaran yang sama di matanya seperti yang dia tunjukkan kepada adiknya Roy. Ibu mengatakan bagaimana Trisha sejak lahir hingga tumbuh besar, pikirannya berpacu lebih cepat daripada apa yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Menurut ibunya, Trisha terlahir ke dunia lebih dahulu sebelum Tristan dengan berteriak sekencang mungkin seolah-olah mencoba membangkitkan orang mati. Kemudian Trisha mendapat pandangan jauh ke depan yang terasa seolah-