Trisha tersentak bangun dan mendapati dirinya terbaring di lantai, didera siksaan rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Nyeri kepalanya berdenyut-denyut hebat seperti baru saja dihantam palu godam raksasa. Hatinya remuk redam, keadaannya sama seperti barang-barang yang hancur di sekitarnya.
Ada pecahan meja kaca, kotak kayu yang hancur, beberapa CD yang pecah, buku-buku yang robek, sobekan foto Arthur dan dirinya. Dia merasa keadaan batinnya pasti terlihat seperti itu, semua koyak, retak, dan sulit dikenali.
Matanya bengkak dan sangat nyeri sehingga terasa berat membuka. Bibirnya perih dan dia mengecap rasa anyir darah yang menodai lengan bajunya setiap kali dia menyeka mulutnya. Lengan dan lehernya juga mengucurkan darah. Dadanya terasa nyeri, hampa dan kosong, seolah-olah sudah menganga lebar dan jantungnya seolah-olah sudah tercabut dari rongganya.
Yang dia rasakan hanyalah rasa sakit, gelombang besar penderitaan yang menerjangnya bertubi-tubi, tanpa henti. Dia bersandar pada sikunya sampai dia berbaring telentang di lantai, menatap ke atas ke langit-langit yang gelap.
Sekarang sudah hampir tengah malam. Sudah berapa lama dia berbaring di sini? Kegelapan mencapai sudut ruangan dan menyelimuti semuanya. Dahulu kegelapan bagaikan kepompong, melingkupi dan melindunginya dari segala sesuatu di luar pintu.
Namun tidak ada yang bisa melindunginya sekarang, apalagi kegelapan. Dia mendorong semua orang menjauh dari kehidupannya. Dia kehilangan segalanya. Dia sudah memberikan segalanya pada Arthur, dan pria itu membalasnya dengan cara ini.
Trisha merasa pergelangan tangan kirinya patah. Setiap kali menggerakkannya, dia merasakan sakit luar biasa pada lengannya hingga membuatnya sesak napas.
Malam ini jauh lebih buruk dari seluruh rangkaian tragedi sebelumnya. Arthur tidak berhenti setelah pukulan pertama, kedua, dan berikutnya. Kemarahannya meluap, menggelegak, dan memuncak hebat setelah merebut pisau dari tangan Trisha. Dia menghancurkan semua yang bisa dia temukan, namun tetap saja tidak berhenti sampai di situ.
Di detik terakhir kegilaan pria itu, Trisha memutuskan harus mengakhiri semuanya dan sengaja membiarkan pisau yang sudah beralih ke tangan Arthur itu menggores lengannya sendiri. Meskipun luka itu tidak menyayat terlalu dalam, Trisha merasakan perih luar biasa sehingga dia memekik kesakitan.
Melihat lengan Trisha terluka, Arthur membelalakkan mata dan seketika melemparkan pisau dengan ketakutan. Tak lama kemudian, dia pun menghambur keluar dan tidak kembali sampai sekarang.
Dia tidak tahu apakah Arthur pergi untuk bersenang-senang dan bermabuk-mabukan di luar sana atau menemukan lebih banyak barang untuk dihancurkan, ataukah itu satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk menghentikan kegilaannya sementara waktu.
Sebuah kekuatan dahsyat tiba-tiba menyadarkan Trisha sehingga dia berupaya keras bangkit. Dia harus bangun. Dia harus keluar dari tempat neraka ini, kembali ke apartemennya sendiri.
Dengan sisa kekuatannya, dia meraih tas tangannya di meja dapur dan berjalan terhuyung-huyung keluar dari apartemen. Khawatir berpapasan dengan Arthur di lift utama, dia berjalan sempoyongan menuju lift servis.
Berlumuran darah, Trisha terhuyung-huyung keluar dari gedung apartemen, ditelan kegelapan malam. Pakaiannya acak-acakan, menggantung tak beraturan di tubuh mungilnya yang penuh noda darah. Dia tidak mengenakan sepatu, kakinya berdarah karena menginjak kaca. Dia sangat kesakitan, tetapi rasa sakitnya menjadi tidak berarti, dikalahkan oleh banyak penderitaan lain yang menderanya.
Tak lama kemudian, di kawasan permukiman yang sepi di Upper Bukit Timah, tampak bayangan Trisha yang berjalan sendirian di tengah kegelapan malam, sosoknya bagaikan hantu gentayangan di tengah malam. Wajahnya diliputi kengerian, jantungnya berpacu cepat, napasnya tersengal-sengal. Sesekali dia menoleh ke belakang, takut dibuntuti orang jahat, atau bahkan Arthur.
Keheningan malam tiba-tiba dipecahkan oleh dengungan pelan. Apakah pesawat?
Menyeka air mata bercampur darah dari wajahnya, dia mendongak ke langit dan tidak melihat apa-apa selain bintang-bintang yang bertaburan di langit malam.
Dengungan itu lebih keras, lebih dekat. Deru mobil? Apakah dia sudah sampai di jalan utama? Semangatnya bangkit, dan dengan segenap kekuatannya, dia mengerahkan sisa energi terakhirnya untuk berlari.
Cahaya sebuah mobil menyilaukan matanya. Sebelum dia sempat melambaikan tangannya dan berteriak minta tolong, kegelapan yang pekat menyelimutinya.
Sesaat kemudian ...
Terdengar suara mesin yang ribut, lalu suara yang lembut berbicara padanya sayup-sayup. Apakah dia mengenal wanita itu?
Sesaat kemudian Trisha terbangun dengan terkejut. Keadaan sekelilingnya semua serba putih. Seorang wanita dengan rambut abu-abu memandangnya dengan tersenyum penuh kasih.
Dia sudah sadar. Saat ini dia berada di rumah sakit.
Dia telah tidur untuk waktu yang lama ...
"Nona ... Nona, kamu sudah sadar!" seru wanita tua itu.
Pusing yang luar biasa membuat kepala Trisha serasa mau pecah, rasa sakit di sekujur tubuhnya begitu menyiksa. Dia berbaring telentang di tempat tidur, tetapi rasa sakit di punggungnya tak tertahankan. Tangannya juga gemetar tak terkendali.
"Dokter! Cepat kemari dan periksa dia!" perintah wanita itu kemudian.
Suara wanita tua di sebelahnya menjadi lebih sayup-sayup, tetapi rasa sakit di tubuh Trisha makin lama kian menjadi-jadi. Dia tidak sanggup membuka matanya, tidak sanggup melihat dunia luar.
"Dia sepertinya ... pingsan lagi."
Setelah mendengar kalimat ini, semuanya menjadi senyap.
"Dia benar-benar pingsan lagi ... " Dokter William Cheng mencoba membuka mata Trisha dan menyorotkan senter lalu berkata dengan lantang, "Dia sudah mengalami koma selama tiga hari ... "
Dokter berbalik untuk menatap wanita tua itu. Sambil memperbaiki selang infus, wanita tua itu menoleh padanya dan berkata, "Bagaimana menurut Anda, Dok? Apakah dia akan berhasil melewati masa kritis?"
Dokter membolak-balik catatan medis dan menjawab tanpa daya, "Seharusnya dia sudah melewati masa kritis. Semua tanda vitalnya sudah normal. Namun dia sudah terluka sedemikian parah ketika Anda mengantarnya ke sini."
"Kepalanya mengalami gegar otak ringan karena mengalami benturan dengan benda tumpul. Pergelangan tangan kirinya patah. Paru-parunya juga mengalami pendarahan. Belum lagi bekas sayatan di lengan dan leher, dan luka-luka lebam di wajah, mata, dada, lengan, dan perut. Setiap orang normal pasti sudah meninggal jauh sebelumnya."
Tidak ada orang lain di bangsal itu. Dengan bersandar di sisi tempat tidur, mereka berdua memperhatikan pasien yang tertidur itu sambil mengobrol dengan penuh simpati.
"Dokter, bagaimana pendapat Anda tentang latar belakang pasien ini? Sudah hampir seminggu, tetapi belum ada teman atau keluarga yang mencarinya. Saya juga tidak mendengar ada laporan orang hilang. Melihat kondisi luka-lukanya yang parah, apakah kita perlu melapor polisi? Saya yakin ini bukan kecelakaan biasa," ujar wanita tua itu.
Dokter berdeham. "Saya tidak berani mengambil tindakan terlalu jauh. Namun melihat kondisi luka-luka yang dideritanya, memang ini semacam siksaan fisik. Sedikit pendarahan di paru-parunya yang dikenal dengan istilah hemotoraks, disebabkan karena cedera tumpul atau tajam pada dada. Selain itu, ada luka sayatan yang disebabkan oleh benda tajam dan luka-luka memar akibat pukulan."
Dengan rasa iba wanita itu melirik sang pasien yang pucat tanpa bergerak. Dia mengerutkan bibirnya. "Yah, sebagai orang yang nggak diketahui asal-usulnya, akan lebih baik jika dia cepat sadar, tapi apa yang harus kita lakukan jika dia mati di sini di rumah sakit tanpa diketahui oleh sanak keluarganya?"
"Apakah Anda sudah memeriksa kartu identitasnya?"
Wanita itu mengangguk. "Sudah, Dok. Namanya, Trisha Geraldyn. Warga Indonesia, umur 22 tahun. Nggak ada alamat tempat tinggal di sini. Tidak ada ponsel atau surat-surat lainnya."
"Karena dia warga negara Indonesia dan kemungkinan bekerja di sini, apakah ada kartu employment pass?"
Employment pass adalah visa kerja yang paling umum didapatkan oleh warga asing yang bekerja secara profesional di Singapura. Sama dengan visa lainnya, untuk para lulusan dari bidang Skills in Demand atau keterampilan yang paling dicari di sektor atau industri tertentu di pasar kerja, permohonan visa ini kemungkinan besar akan diterima setelah lolos serangkaian tes yang mengindikasikan jika memenuhi syarat untuk mendapatkan visa jenis ini.
Wanita itu menggeleng. "Nggak bisa kutemukan di tasnya."
Dari apa yang dia pahami, rumah sakit tidak akan pernah menyelamatkan seseorang yang pingsan di pinggir jalan tanpa sanak keluarga dan berada di ambang kematian—hanya karena belas kasihan. Bagaimanapun, kematian adalah kejadian sehari-hari di rumah sakit. Mereka semua sudah terbiasa menghadapinya.
Dokter menatap wanita itu tanpa daya. "Semoga keadaannya cepat membaik. Akan lebih buruk jika dia mengalami kondisi vegetatif, tetap hidup tapi dalam keadaan koma dan tanpa aktivitas otak atau responsif yang jelas. Itu benar-benar akan menyusahkan!"
Wanita itu manggut-manggut.
Dokter melirik arlojinya dan menutup map berisi catatan medisnya. "Oke, saatnya saya meninjau pasien lain. Mohon maaf, saya harus pergi. Jika pasien sudah sadar, silakan panggil perawat."
Pintu bangsal ditutup sekali lagi, meninggalkan seorang gadis yang berbaring membisu di ranjang rumah sakit ditemani seorang wanita tua yang dengan sabar menungguinya.
Wanita tua itu memandangi si pasien dengan penuh iba dan bergumam, "Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Trisha? Kenapa kamu berlarian di tengah malam dalam keadaan seperti itu?"
Beberapa hari itu, Trisha terus berbaring di sana dengan tertidur nyenyak, tenggelam dalam pusaran gelap—tanpa jalan keluar.
Saat tersadar dari mimpinya yang panjang, Trisha merasakan tangan kanannya mencengkeram seprai, memelintirnya sampai buku-buku jarinya terasa sakit. Dia merasa terlepas dari pikirannya sendiri. Terperangkap tak berdaya dalam tubuhnya sendiri. Dengan tubuh menggigil, Trisha membuka matanya yang masih bengkak. Napasnya memburu cepat. Jantungnya berpacu. Dia menatap nanar keadaan sekelilingnya yang tampak putih dan buram. Dia masih berada di rumah sakit, bersama wanita tua itu lagi. "Akhirnya kamu sadar juga. Kamu mengalami mimpi buruk, ya?" Trisha menelan ludah yang terasa pahit. Dia memberi isyarat untuk minta minum dengan tangannya yang lemah. Wanita itu langsung menyodorkan segelas air putih. Dengan suara parau, Trisha menguatkan diri bertanya pada wanita itu. "Siapa Anda, Nyonya? Bagaimana saya bisa berada di sini?" Wanita itu tersenyum dan berkata, "Namaku Greta Florence. Kamu lupa apa yang terjadi padamu?" Trisha mengangguk lemah. "Malam itu, kebetulan aku pulang larut mala
Keesokan harinya, tepatnya pagi pertama di apartemen barunya, Trisha duduk meringkuk di sofa tunggal minimalis yang tebal dan empuk sembari menyeruput secangkir coklat hangat dan mengunyah sandwich tuna.Diam-diam dia mengutuki kegilaan pesta pora semalam dari ruangan sebelah. Gara-gara mereka, pagi ini dia bangun kesiangan dengan kepala pusing berat. Dia belum begitu sepenuhnya terjaga seperti yang diharapkan untuk mulai membongkar barang-barangnya.Mengembuskan napas kuat-kuat, Trisha memandang ke luar jendela ke arah lautan biru di kejauhan. Kapal-kapal besar dan kecil tampak seperti titik-titik semut putih yang merayap di permukaan laut. Tampak pula pelabuhan feri terminal Harbour Front yang luas dan megah, kapal pesiar terbesar yang masih berlabuh, juga Sentosa Island dengan Universal Studio dan berbagai wahananya yang menarik.Dia menikmati momen kedamaian ini. Entah sudah berapa lama dia merasa kehilangan saat-saat seperti ini, ketika dia bisa menikmati kesendiriannya dengan be
Trisha menatap hasil sentuhan akhirnya dengan rasa puas. Dia berdecak kagum saat memandangi beberapa pigura dengan berbagai ukuran yang ditatanya menurut komposisi yang harmonis. Janice telah membantu menata lemari dan raknya dengan sangat rapi dan efisien sehingga yang tersisa untuk Trisha kerjakan hanyalah menggantung pigura dan mengatur beberapa pernak-pernik lainnya. Dia sengaja melepas pigura dari atas tempat tidur dan memindahkannya ke ruang tamu. Demi keamanan, dia tidak mau mengambil risiko tertimpa pigura lagi malam ini.Trisha memandangi foto-foto keluarga dan ketiga sahabatnya dalam pigura. Ada fotonya bersama mendiang ayah, ibu dan adiknya Roy yang sedang bermain di pantai Bunaken; dia dan ketiga sahabatnya saat berpose dengan latar belakang Gardens by The Bay, dan banyak foto kenangan menarik lainnya.Tiba-tiba dia merindukan ibunya dan adiknya semata wayang, Roy. Bagaimana kabar mereka sekarang? Sepertinya sudah lama dia tidak mendengar suara mereka lewat telepon. Memi
Jari Desmond Zachery menelusuri seluruh tubuh Gracie Walsh. Tanpa disadari dia membelai seluruh tubuh wanita itu, mengagumi lekuk likunya yang indah, dan rambut pirangnya yang berkilauan tergerai di bantal. Dia melirik sekilas pada jam dinding dan dengan enggan bangkit dari tempat tidur. Ada janji temu dengan pengacaranya, George Fang, dalam waktu satu jam. Walaupun Desmond jarang peduli pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, dia tetap menghormati si tua George dan menganggapnya sebagai sahabat. Dia tidak ingin membuat pria itu meragukan dirinya. Membungkuk pada wanita yang sedang meringkuk dengan puas di tempat tidurnya, Desmond memberikan ciuman hangat di pipi wanita itu. "Waktunya pergi, Sayang." Gracie bergerak dan kepalanya terangkat dari bantal. Rambut pirangnya menutupi dadanya yang tampak menggoda. "Belum waktunya. Ini masih pagi. Kurasa kita masih punya sisa waktu pagi ini." Desmond menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Maaf, nggak kali ini." Dia memain-mainkan seikat
Setelah empat malam berturut-turut menjadi saksi bisu gempa bumi lokal dengan Skala Richter level maksimum yang sudah memangkas jam tidurnya, dia memutuskan untuk berbuat sesuatu. Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Minggu malam, ketika ruangan sebelah terdengar sepi, Trisha memutuskan untuk menulis selembar surat. Bukan surat cinta tentunya. Peringatan resmi ini akan ditujukan kepada Desmond. Semoga pria itu mau menghargai niat baiknya. Surat itu berbunyi begini: "Tuan Desmond yang terhormat. Mohon waktu dan kesediaannya sebentar untuk membaca surat ini. Terus terang saya merasa terganggu dengan aktivitas Anda tiap malam. Alangkah baiknya kalau Anda sedikit berempati dengan lingkungan sekitar sehingga tidak ada yang akan merasa terganggu dan dirugikan karenanya. Mohon perhatian dan kerjasamanya. Terima kasih. Dari tetangga sebelah." Trisha sengaja tidak membubuhkan namanya supaya tidak terlalu mengungkap banyak tentang dirinya. Dia membaca ulang surat itu sekali lagi. Sete
Trisha menarik ponsel itu dari telinganya dan menatapnya. Itu saja? Nggak ada detail lain? Nggak ada petunjuk mengapa ibunya menelepon? Ini tidak seperti ibunya yang biasanya impulsif. Nggak! Hei, Trish, jangan khawatir; ini bukan berita buruk, hiburnya dalam hati. Pesan suara singkat itu menyebabkan otot-otot bahunya menegang, membuatnya tidak punya pilihan lain selain menelepon balik. Dia mengangkat ponselnya, memencet nomor ibunya, sambil tangannya yang lain memain-mainkan tutup cangkir kopinya yang tinggal separuh. Tanpa sengaja tangannya malah menyenggol cangkir itu hingga membuatnya terguling, menumpahkan cairan hangat di atas meja dan membasahi sketsanya. Menghela napas kuat-kuat, dia menegakkan cangkir kembali dan mengangkat mapnya. Dia merobek segumpal tisu dari kotak di dekat komputernya dan mengusap kertas yang terkena tumpahan kopi. Itu tidak ada gunanya. Kopi yang tumpah telah mengubah halaman putih bersih menjadi belang-belang cokelat dan basah. “Trish? Itu kamu?
Sepulang bekerja malam itu, Trisha duduk di sofa seraya menikmati pemandangan kota yang indah di malam hari dari kaca jendelanya. Namun, suasana indah di luar sana tidak sanggup meredakan hatinya yang carut-marut berkecamuk hebat. Mungkin dia berhasil lari dan menyembunyikan diri dari Arthur Jefford, tetapi dia tidak menyadari bayang-bayang masa lalu masih terus memburunya bagai hantu dalam berbagai wujud. Sampai kapan ini berakhir? Dia mengeluh dan batinnya menangis pedih.Setelah menguatkan hati, dia memenuhi janjinya untuk menghubungi ibunya lagi. Begitu telepon tersambung, terdengar suara gelisah ibunya di seberang."Oh, Sayang. Akhirnya kamu menelepon lagi. Ibu sudah menunggumu sejak siang tadi.""Ibu tahu kalau aku harus bekerja.""Mereka baru saja menelepon lagi.""Siapa, Bu? Para penagih utang?" sahut Trisha dengan resah."Ya, tentu saja! Sebaiknya jangan terus mengulur waktu untuk membayar utangmu. Mereka mengancam akan menyebarkan semua data pribadimu dan mempermalukanmu ke
Sebenarnya Trisha tidak perlu khawatir soal pekerjaan. Dia memiliki pekerjaan tetap yang bagus sebagai desainer interior. Namun, gajinya hanya cukup untuk membayar sewa apartemen bulanan, biaya hidup, dan menyisihkan sedikit untuk membayar pinjaman. Selain menulis di berbagai blog dan situs online, dia membutuhkan sumber penghasilan lain untuk mengeluarkannya dari kesulitan ini. Perlahan Trisha bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja kerjanya. Dia membuka laptop dan mulai menjelajah situs-situs lowongan kerja untuk pekerja lepas sembari memikirkan kira-kira pekerjaan sambilan apakah yang tepat untuknya saat ini. Pencarian isengnya berakhir pada beberapa pekerjaan yang aneh dan konyol dengan bayaran menggiurkan. Bekerja sebagai putri duyung. Oh tentu tidak! Walaupun bayarannya lumayan, dia bergidik ngeri saat membayangkan dirinya harus mengenakan pakaian minim yang memamerkan perut dan belahan dadanya. Selain itu, dia tidak bisa berenang. Mana mungkin ada putri duyun