Share

Bab 2: Menyelamatkan Diri

Trisha tersentak bangun dan mendapati dirinya terbaring di lantai, didera siksaan rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Nyeri kepalanya berdenyut-denyut hebat seperti baru saja dihantam palu godam raksasa. Hatinya remuk redam, keadaannya sama seperti barang-barang yang hancur di sekitarnya.

Ada pecahan meja kaca, kotak kayu yang hancur, beberapa CD yang pecah, buku-buku yang robek, sobekan foto Arthur dan dirinya. Dia merasa keadaan batinnya pasti terlihat seperti itu, semua koyak, retak, dan sulit dikenali.

Matanya bengkak dan sangat nyeri sehingga terasa berat membuka. Bibirnya perih dan dia mengecap rasa anyir darah yang menodai lengan bajunya setiap kali dia menyeka mulutnya. Lengan dan lehernya juga mengucurkan darah. Dadanya terasa nyeri, hampa dan kosong, seolah-olah sudah menganga lebar dan jantungnya seolah-olah sudah tercabut dari rongganya.

Yang dia rasakan hanyalah rasa sakit, gelombang besar penderitaan yang menerjangnya bertubi-tubi, tanpa henti. Dia bersandar pada sikunya sampai dia berbaring telentang di lantai, menatap ke atas ke langit-langit yang gelap.

Sekarang sudah hampir tengah malam. Sudah berapa lama dia berbaring di sini? Kegelapan mencapai sudut ruangan dan menyelimuti semuanya. Dahulu kegelapan bagaikan kepompong, melingkupi dan melindunginya dari segala sesuatu di luar pintu.

Namun tidak ada yang bisa melindunginya sekarang, apalagi kegelapan. Dia mendorong semua orang menjauh dari kehidupannya. Dia kehilangan segalanya. Dia sudah memberikan segalanya pada Arthur, dan pria itu membalasnya dengan cara ini.

Trisha merasa pergelangan tangan kirinya patah. Setiap kali menggerakkannya, dia merasakan sakit luar biasa pada lengannya hingga membuatnya sesak napas.

Malam ini jauh lebih buruk dari seluruh rangkaian tragedi sebelumnya. Arthur tidak berhenti setelah pukulan pertama, kedua, dan berikutnya. Kemarahannya meluap, menggelegak, dan memuncak hebat setelah merebut pisau dari tangan Trisha. Dia menghancurkan semua yang bisa dia temukan, namun tetap saja tidak berhenti sampai di situ.

Di detik terakhir kegilaan pria itu, Trisha memutuskan harus mengakhiri semuanya dan sengaja membiarkan pisau yang sudah beralih ke tangan Arthur itu menggores lengannya sendiri. Meskipun luka itu tidak menyayat terlalu dalam, Trisha merasakan perih luar biasa sehingga dia memekik kesakitan.

Melihat lengan Trisha terluka, Arthur membelalakkan mata dan seketika melemparkan pisau dengan ketakutan. Tak lama kemudian, dia pun menghambur keluar dan tidak kembali sampai sekarang.

Dia tidak tahu apakah Arthur pergi untuk bersenang-senang dan bermabuk-mabukan di luar sana atau menemukan lebih banyak barang untuk dihancurkan, ataukah itu satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk menghentikan kegilaannya sementara waktu.

Sebuah kekuatan dahsyat tiba-tiba menyadarkan Trisha sehingga dia berupaya keras bangkit. Dia harus bangun. Dia harus keluar dari tempat neraka ini, kembali ke apartemennya sendiri.

Dengan sisa kekuatannya, dia meraih tas tangannya di meja dapur dan berjalan terhuyung-huyung keluar dari apartemen. Khawatir berpapasan dengan Arthur di lift utama, dia berjalan sempoyongan menuju lift servis.

Berlumuran darah, Trisha terhuyung-huyung keluar dari gedung apartemen, ditelan kegelapan malam. Pakaiannya acak-acakan, menggantung tak beraturan di tubuh mungilnya yang penuh noda darah. Dia tidak mengenakan sepatu, kakinya berdarah karena menginjak kaca. Dia sangat kesakitan, tetapi rasa sakitnya menjadi tidak berarti, dikalahkan oleh banyak penderitaan lain yang menderanya.

Tak lama kemudian, di kawasan permukiman yang sepi di Upper Bukit Timah, tampak bayangan Trisha yang berjalan sendirian di tengah kegelapan malam, sosoknya bagaikan hantu gentayangan di tengah malam. Wajahnya diliputi kengerian, jantungnya berpacu cepat, napasnya tersengal-sengal. Sesekali dia menoleh ke belakang, takut dibuntuti orang jahat, atau bahkan Arthur.

Keheningan malam tiba-tiba dipecahkan oleh dengungan pelan. Apakah pesawat?

Menyeka air mata bercampur darah dari wajahnya, dia mendongak ke langit dan tidak melihat apa-apa selain bintang-bintang yang bertaburan di langit malam.

Dengungan itu lebih keras, lebih dekat. Deru mobil? Apakah dia sudah sampai di jalan utama? Semangatnya bangkit, dan dengan segenap kekuatannya, dia mengerahkan sisa energi terakhirnya untuk berlari.

Cahaya sebuah mobil menyilaukan matanya. Sebelum dia sempat melambaikan tangannya dan berteriak minta tolong, kegelapan yang pekat menyelimutinya.

Sesaat kemudian ...

Terdengar suara mesin yang ribut, lalu suara yang lembut berbicara padanya sayup-sayup. Apakah dia mengenal wanita itu?

Sesaat kemudian Trisha terbangun dengan terkejut. Keadaan sekelilingnya semua serba putih. Seorang wanita dengan rambut abu-abu memandangnya dengan tersenyum penuh kasih.

Dia sudah sadar. Saat ini dia berada di rumah sakit.

Dia telah tidur untuk waktu yang lama ...

"Nona ... Nona, kamu sudah sadar!" seru wanita tua itu.

Pusing yang luar biasa membuat kepala Trisha serasa mau pecah, rasa sakit di sekujur tubuhnya begitu menyiksa. Dia berbaring telentang di tempat tidur, tetapi rasa sakit di punggungnya tak tertahankan. Tangannya juga gemetar tak terkendali.

"Dokter! Cepat kemari dan periksa dia!" perintah wanita itu kemudian.

Suara wanita tua di sebelahnya menjadi lebih sayup-sayup, tetapi rasa sakit di tubuh Trisha makin lama kian menjadi-jadi. Dia tidak sanggup membuka matanya, tidak sanggup melihat dunia luar.

"Dia sepertinya ... pingsan lagi."

Setelah mendengar kalimat ini, semuanya menjadi senyap.

"Dia benar-benar pingsan lagi ... " Dokter William Cheng mencoba membuka mata Trisha dan menyorotkan senter lalu berkata dengan lantang, "Dia sudah mengalami koma selama tiga hari ... "

Dokter berbalik untuk menatap wanita tua itu. Sambil memperbaiki selang infus, wanita tua itu menoleh padanya dan berkata, "Bagaimana menurut Anda, Dok? Apakah dia akan berhasil melewati masa kritis?"

Dokter membolak-balik catatan medis dan menjawab tanpa daya, "Seharusnya dia sudah melewati masa kritis. Semua tanda vitalnya sudah normal. Namun dia sudah terluka sedemikian parah ketika Anda mengantarnya ke sini."

"Kepalanya mengalami gegar otak ringan karena mengalami benturan dengan benda tumpul. Pergelangan tangan kirinya patah. Paru-parunya juga mengalami pendarahan. Belum lagi bekas sayatan di lengan dan leher, dan luka-luka lebam di wajah, mata, dada, lengan, dan perut. Setiap orang normal pasti sudah meninggal jauh sebelumnya."

Tidak ada orang lain di bangsal itu. Dengan bersandar di sisi tempat tidur, mereka berdua memperhatikan pasien yang tertidur itu sambil mengobrol dengan penuh simpati.

"Dokter, bagaimana pendapat Anda tentang latar belakang pasien ini? Sudah hampir seminggu, tetapi belum ada teman atau keluarga yang mencarinya. Saya juga tidak mendengar ada laporan orang hilang. Melihat kondisi luka-lukanya yang parah, apakah kita perlu melapor polisi? Saya yakin ini bukan kecelakaan biasa," ujar wanita tua itu.

Dokter berdeham. "Saya tidak berani mengambil tindakan terlalu jauh. Namun melihat kondisi luka-luka yang dideritanya, memang ini semacam siksaan fisik. Sedikit pendarahan di paru-parunya yang dikenal dengan istilah hemotoraks, disebabkan karena cedera tumpul atau tajam pada dada. Selain itu, ada luka sayatan yang disebabkan oleh benda tajam dan luka-luka memar akibat pukulan."

Dengan rasa iba wanita itu melirik sang pasien yang pucat tanpa bergerak. Dia mengerutkan bibirnya. "Yah, sebagai orang yang nggak diketahui asal-usulnya, akan lebih baik jika dia cepat sadar, tapi apa yang harus kita lakukan jika dia mati di sini di rumah sakit tanpa diketahui oleh sanak keluarganya?"

"Apakah Anda sudah memeriksa kartu identitasnya?"

Wanita itu mengangguk. "Sudah, Dok. Namanya, Trisha Geraldyn. Warga Indonesia, umur 22 tahun. Nggak ada alamat tempat tinggal di sini. Tidak ada ponsel atau surat-surat lainnya."

"Karena dia warga negara Indonesia dan kemungkinan bekerja di sini, apakah ada kartu employment pass?"

Employment pass adalah visa kerja yang paling umum didapatkan oleh warga asing yang bekerja secara profesional di Singapura. Sama dengan visa lainnya, untuk para lulusan dari bidang Skills in Demand atau keterampilan yang paling dicari di sektor atau industri tertentu di pasar kerja, permohonan visa ini kemungkinan besar akan diterima setelah lolos serangkaian tes yang mengindikasikan jika memenuhi syarat untuk mendapatkan visa jenis ini.

Wanita itu menggeleng. "Nggak bisa kutemukan di tasnya."

Dari apa yang dia pahami, rumah sakit tidak akan pernah menyelamatkan seseorang yang pingsan di pinggir jalan tanpa sanak keluarga dan berada di ambang kematian—hanya karena belas kasihan. Bagaimanapun, kematian adalah kejadian sehari-hari di rumah sakit. Mereka semua sudah terbiasa menghadapinya.

Dokter menatap wanita itu tanpa daya. "Semoga keadaannya cepat membaik. Akan lebih buruk jika dia mengalami kondisi vegetatif, tetap hidup tapi dalam keadaan koma dan tanpa aktivitas otak atau responsif yang jelas. Itu benar-benar akan menyusahkan!"

Wanita itu manggut-manggut.

Dokter melirik arlojinya dan menutup map berisi catatan medisnya. "Oke, saatnya saya meninjau pasien lain. Mohon maaf, saya harus pergi. Jika pasien sudah sadar, silakan panggil perawat."

Pintu bangsal ditutup sekali lagi, meninggalkan seorang gadis yang berbaring membisu di ranjang rumah sakit ditemani seorang wanita tua yang dengan sabar menungguinya.

Wanita tua itu memandangi si pasien dengan penuh iba dan bergumam, "Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Trisha? Kenapa kamu berlarian di tengah malam dalam keadaan seperti itu?"

Beberapa hari itu, Trisha terus berbaring di sana dengan tertidur nyenyak, tenggelam dalam pusaran gelap—tanpa jalan keluar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status