Setelah empat malam berturut-turut menjadi saksi bisu gempa bumi lokal dengan Skala Richter level maksimum yang sudah memangkas jam tidurnya, dia memutuskan untuk berbuat sesuatu. Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi.
Minggu malam, ketika ruangan sebelah terdengar sepi, Trisha memutuskan untuk menulis selembar surat. Bukan surat cinta tentunya. Peringatan resmi ini akan ditujukan kepada Desmond. Semoga pria itu mau menghargai niat baiknya.
Surat itu berbunyi begini:
"Tuan Desmond yang terhormat. Mohon waktu dan kesediaannya sebentar untuk membaca surat ini. Terus terang saya merasa terganggu dengan aktivitas Anda tiap malam. Alangkah baiknya kalau Anda sedikit berempati dengan lingkungan sekitar sehingga tidak ada yang akan merasa terganggu dan dirugikan karenanya. Mohon perhatian dan kerjasamanya. Terima kasih. Dari tetangga sebelah."
Trisha sengaja tidak membubuhkan namanya supaya tidak terlalu mengungkap banyak tentang dirinya. Dia membaca ulang surat itu sekali lagi. Setelah merasa sudah cukup puas dengan hasilnya, dia buru-buru keluar dan menempelkan surat itu di pintu ruangan sebelah.
Tanpa dinyana, begitu Trisha kembali ke ruangannya, pintu ruangan sebelah terbuka. Seorang pria tampan berambut cokelat gelap muncul dari balik pintu seraya mengerutkan keningnya. Dia hanya mengenakan celana boxer dan bertelanjang dada, memperlihatkan dadanya yang bidang.
Pria itu adalah Desmond Zachery, si biang kerok yang akhir-akhir ini sudah mengusik kepompong ketenangan dan perlindungan Trisha.
Matanya tertuju pada ruangan sebelah tempat Trisha tinggal lalu menatap secarik kertas yang ditempelkan di pintu. Setelah membacanya sebentar, seulas senyum culas terukir di bibirnya. Diambilnya surat itu dan dibawanya masuk ke ruangan, lalu pintu menutup setelahnya.
***
Hari ini adalah hari pertama Trisha masuk kerja setelah cuti selama tiga minggu.
Setelah menempuh perjalanan selama beberapa menit dengan MRT, Trisha keluar dari stasiun MRT dan berjalan santai menuju gedung kantornya, C Design Decor. Kantornya berada di daerah Outram Road, bagian kota yang paling indah menurut pandangannya.
Deretan bangunan kuno dengan nuansa romantis yang memikat, jalan-jalan yang tenang, area taman hijau di setiap sudut, dan pemandangan puncak-puncak bangunan tinggi yang fantastis. Beberapa bangunan tua yang lebih besar telah diubah menjadi gedung komersial atau perkantoran, dan gedung kantornya adalah salah satunya yang terbaik.
Trisha menghela napas saat memasuki gedung kantornya. Seorang gadis cantik berambut panjang bernama Serena Chu, sedang menunduk sambil mencatat sesuatu di meja resepsionis saat Trisha membuka pintu kaca depan.
"Hey, girl! Gimana kabarmu?” Serena bertanya, matanya berseri-seri.
"Baik. Trims,” sahut Trisha.
"Aku turut prihatin atas kecelakaan yang menimpamu. Apa kamu yakin sudah benar-benar pulih dan siap bekerja kembali?"
"Aku nggak pernah sesegar ini sebelumnya. Aku masuk dulu, ya," ujarnya seraya mengangguk dan melambaikan tangannya.
Setelah menyapa beberapa rekannya yang sudah datang, Trisha memasuki ruangannya.
Atasannya, Charles Mao, ingin setiap desainer yang bekerja untuknya memiliki ruang mereka sendiri. Selain demi kenyamanan kerja, itu sekaligus merupakan cara promosi untuk menunjukkan kepada calon klien tentang apa yang bisa mereka dapatkan dengan menyaksikan sendiri rancangan ruang kerja menurut gaya unik masing-masing desainer.
Charles mengepalai konsultan desainnya sendiri. Setelah Trisha menyelesaikan masa magangnya selama tahun terakhir kuliah di desain interior, Charles mempekerjakannya dan membagikan pengalaman terbaik yang bisa dimiliki oleh seorang desainer muda.
Di usia tiga puluhan, Charles memperoleh nama di himpunan desainer interior di awal kariernya. Dia menantang tren konvensional, menjadi salah satu dari segelintir desainer pertama yang menyapu bersih desain klasik dan Art Deco dari peta perencanaan desain modern, dan telah menjadi trendsetter awal dalam menghadirkan kembali pola-pola netral yang geometris dan bersih dari tampilan "modern" yang sekarang sedang populer.
Charles tipe orang yang aktif, ambisius, suka tantangan, cerdas, memiliki naluri pembunuh dan mata yang lebih tajam terhadap detail. Namun, bagian yang terburuk tentang pengalaman bekerja dengannya? Orang itu terkadang sangat nyinyir dan menyebalkan.
Seperti pagi ini ketika Trisha sedang duduk di hadapan Charles, dia menahan godaan untuk menempeleng kepala pria itu.
Charles melambaikan keripik kentang di atas sketsa desain yang telah Trisha kerjakan selama dua minggu terakhir sebelum cuti kerja, menyisakan remah-remah berminyak yang berjatuhan di atas kertas.
Trisha mencengkeram pegangan kursinya menahan kesal dan mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke meja. "Apa yang nggak kamu suka dari desain ini?"
Charles memberi isyarat dengan jari masih memegang keripik kentang, menggeser jari-jarinya yang bebas pada contoh gambar langit-langit tipe Tray Ceiling, model langit-langit dengan bagian tengahnya berbentuk persegi dan terangkat menjorok ke atas.
"Yang ini sedikit rumit."
"Jadi gimana menurutmu?"
“Menurut kesanku, klien istimewa ini menginginkan sesuatu yang lebih … praktis.”
“Mereka nggak pernah bilang praktis, cuma bilang murah.”
"Sama aja."
“Kita sedang merenovasi interior salah satu rumah paling mewah di Singapura, Bos. Estetis nggak harus mahal.”
"Jika kamu ingin membuatnya terlihat lebih estetis menurutmu, kerjakanlah seperti idemu." Charles menjauhkan toples keripik kentang lalu melipat kedua tangannya di belakang lehernya. Jambul tipisnya bergeser lebih tinggi ke dahinya. "Oke, siapkan semua berkasnya. Aku ingin kamu mendapatkan klien baru hari ini. Jam berapa mereka datang?”
Tiba-tiba ponsel di saku depan Trisha berdengung. “Jadwal pertemuan pukul sepuluh,” sahutnya, seraya mengeluarkan ponselnya. Nomor ibunya menyala di layar. Dia mengerutkan alisnya. Mengapa ibunya menelepon pada jam kerja?
“Mari kita lihat ide apa lagi yang bisa kita munculkan sebelum pertemuan itu. Akan lebih baik bila memberi mereka beberapa opsi yang bisa mereka pilih, ‘kan?"
“Ah ya, Tuan dan Nyonya Gardner akan segera tiba. Aku sudah menyiapkan presentasi dan semua rencana untuk mereka. Menurutku mereka akan sangat menyukai ide desain ulang kamar tidur mereka. Kita dapat menawarkan rancangan ruang duduk dan kamar mandi yang sama sekali baru.”
"Aku percaya padamu. Bisakah kamu jelaskan ide-idemu saat kita makan siang nanti?"
"Oke."
"Kamu tahu, Trish, jika hari ini kamu bisa mendapatkan klien, itu akan menjadi keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan," kata Charles sambil menatapnya.
"Tunggu saja sampai kamu melihat apa yang kubuat untuk taman atap baru mereka."
“Mereka nggak punya taman atap.”
"Belum," sahut Trisha, mengangkat alisnya dan menyeringai jahat.
“Bagus!” Charles tersenyum. “Kita nggak bisa kehilangan klien saat ini. Kalau sampai mereka menolak kita, itu bukan pertanda baik untuk kita semua.”
Trisha mengangguk dengan tatapan menerawang jauh. Lututnya terasa lemas saat dia berjalan menuju ruang kerjanya.
Beberapa menit kemudian, dia menekan pesan suara dengan risau dan menunggu sampai suara khawatir ibunya memenuhi telinganya. “Trish, ini Ibu. Hubungi Ibu secepatnya. Ini penting!"
Setiap saraf di tubuh Trisha seakan-akan mati rasa, mendesaknya untuk segera berlari, berbuat sesuatu, tetapi dia hanya berdiri dan diam terpaku dalam kebimbangan. Sayangnya terlambat. Dia merasakan kehadiran Arthur sepersekian detik sebelum sosok itu menabraknya. Rasanya seperti dihadang oleh seekor banteng. Tangan Arthur menghantam perutnya dengan bunyi gedebuk yang membuat napasnya tercekat dan tubuhnya terbanting dengan keras ke tanah. Pasir menyembur di sekelilingnya, beterbangan di udara seperti confetti kristal. Dengan mengaduh kesakitan luar biasa, tubuhnya terbaring dengan menggeliat di pasir pantai. Dia menatap bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang mulai gelap. Itu tidak nyata … seolah-olah dia sedang bermimpi. Atau mungkin dia sedang mengalami mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi. Tatapan Arthur yang menjulang tinggi di atasnya membawanya kembali ke dunia nyata dan seketika Trisha sadar bahwa itu bukan mimpi. Jika tidak bertindak cepat, dia mungkin tidak memilik
Tak lama kemudian, Trisha melihat sepasang kekasih bergerak menjauh dan di sana, lebih jauh ke pantai, dia melihat seorang pria berjalan ke arahnya. Kesadaran yang aneh seakan-akan menariknya kembali ke bumi. Pria itu sendirian, tetapi dia tidak tampak kesepian. Tidak, dia sangat tinggi, sangat tampan, dan cara berjalannya terlalu percaya diri sehingga tidak mungkin kesepian. Trisha memiringkan kepalanya, bersandar di sebatang palang besi, merasa bingung. Ada sesuatu tentang cara dia berjalan ... saat rambut hitamnya berkilauan dengan latar belakang cahaya matahari. Meskipun tidak bisa melihat mata pria itu di balik kacamata hitamnya, Trisha berani bersumpah bahwa orang itu sedang menatapnya. Mungkin dia sedang bermimpi. Atau mungkin tempat ini benar-benar ajaib dan mempertemukannya dengan orang itu. Dia bergidik saat memikirkannya. Tidak ada yang aneh dengan celana pendek dan T-shirt yang dikenakan pria itu. Bahkan dalam cara tubuhnya bergerak dengan lancar, semua ototnya tampak me
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang memberitahumu bahwa masa lalumu dan semua yang kau yakini adalah kebohongan?Lari, jawab benak Trisha. Lari dari kenyataan dan berusaha menutupinya.Wanita yang duduk di meja di seberangnya sedang berpikir untuk berselingkuh dengan rekan kerjanya. Dia membayangkan kulit gelap pria itu berkilau di bawah sinar matahari yang hangat, otot-ototnya menegang saat pria itu memeluk pinggangnya dan menciumnya. Atau mungkin, pikirnya, dia berpikir untuk berselingkuh dengan pria yang membersihkan kolamnya. Suaminya sedang ke luar negeri untuk perjalanan bisnis dan tidak akan pernah tahu.Trisha ingin mengatakan kepada wanita itu bahwa itu tidak akan berhasil, bahwa dalam tampilan ibu rumah tangga yang putus asa itu, mereka selalu mencurigai pria yang membersihkan kolam. Namun, Trisha tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Sebaliknya, dia menyembunyikan seringainya dengan menundukkan kepala dan mengusap meja tempat dia menikma
Beberapa minggu setelah kecelakaan yang menimpanya sebelum usia 17 tahun, Trisha terbangun oleh suara pelan ibu dan ayah serta suara-suara lain yang tidak dia kenal. Kepalanya berdenyut saat dia membuka mata pada ruangan serba putih yang menyilaukan. Dinding putih, lantai putih, seprai putih, ranjang putih. Dengan terkejut, dia meraba wajahnya. Di mana aku? Apa yang terjadi? "Hasil tesnya bagus," kata suara yang tidak dikenal itu. “Kami tidak menemukan jejak obat-obatan atau alkohol dalam sistem tubuhnya." "Tidak ada?" Ibunya terdengar kecewa, sepertinya berita bahwa tidak ada narkoba atau alkohol adalah berita buruk baginya. "Tidak, maafkan aku." Kenapa ibu tampak kecewa? Pelipis Trisha berdenyut saat memperhatikan respons ibunya. Mengapa dia menyesal? Trisha menggeser lengannya dan kali ini, dia mengerti mengapa warna putihnya begitu cerah. Sinar matahari menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dia membalikkan kepalanya di atas bantal dan memperhatikan kedua orang tuanya dan s
Suatu saat dua saudara sepupu Trisha, Jimmy dan Lisa, menginap di rumahnya. Saat semua orang sedang terlelap, Trisha terbangun di tengah malam karena suara Roy yang merintih dalam tidurnya. Saat dia melingkarkan lengannya ke tubuh adiknya, getaran aneh bergerak di bawah tangannya, jauh di bawah kulitnya. Sesuatu di dalam perut adiknya membusuk. Dia hendak membangunkan Roy ketika adiknya terbangun dan muntah di seluruh tempat tidur."Tetaplah disini!" kata Trisha.Roy meraung di belakangnya saat Trisha berlari terbirit-birit ke kamar orang tuanya, nyaris terjungkal karena tersandung langkahnya sendiri. Dia mengguncang lengan ayahnya dengan sangat keras untuk membangunkannya."Roy muntah," ujar Trisha.Ibu beringsut dengan gerakan lambat, tetapi ayah membuka selimut dan menarik jubah flanelnya. Sesampainya di kamar, Jimmy sedang duduk di tempat tidur Roy dengan baju tidur putihnya. Lisa berkeliaran di belakang ayah dan Trisha."Ugh!" ujar Lisa, memegangi hidungnya, yang membuat Roy mera
Trisha sangat mencintai ayahnya, tetapi sepertinya ayah tidak mencintainya dengan cara yang sama sebesar cintanya pada ayah. Sepertinya ayah mencintai Trisha hanya karena berutang pengabdian dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, bukan semata-mata karena Trisha layak mendapatkannya. Dia sering berpikir mengapa ayahnya bersikap seolah-olah dia hanyalah momok baginya, terutama sejak kematian Tristan. Trisha berpikir tidak ada orang di keluarga ini yang tahu betapa kesepiannya dia kadang-kadang. Sering kali dia berharap ayah akan menatapnya dengan pancaran yang sama di matanya seperti yang dia tunjukkan kepada adiknya Roy. Ibu mengatakan bagaimana Trisha sejak lahir hingga tumbuh besar, pikirannya berpacu lebih cepat daripada apa yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Menurut ibunya, Trisha terlahir ke dunia lebih dahulu sebelum Tristan dengan berteriak sekencang mungkin seolah-olah mencoba membangkitkan orang mati. Kemudian Trisha mendapat pandangan jauh ke depan yang terasa seolah-