“Kapan, Nggit?” tanya Om Dirga putus asa.
“Kalau Om ingin kenikmatan, Inggit bisa berikan. Namun, kalau pernikahan, jangan nikahi Inggit, Om!”
Mata Om Dirga membelalak mendengar ucapanku, ia menautkan alisnya lalu menggeleng.
“Ada apa, Nggit?” tanya Om Dirga pelan. Ia melepas pelukannya dengan kasar, seolah tidak Terima dengan ucapanku.
“Om tidak perlu tahu apa alasannya!”
“Om harus tahu, karena kamu menjadi tanggung jawab Om sekarang.”
“Kita hanya sebatas saling menguntungkan, Om. Aku dapat uang, dan om dapat kenikmatan, itu saja!” Sakit, sungguh sakit saat aku mengatakan kalimat itu, bukan hanya uang, aku mendapatkan apa yang aku inginkan, sesuatu yang selama ini aku harapkan, yaitu kasih sayang. Namun, aku tidak mau Om Dirga tahu bagaimana perasaanku.
“Jadi, kamu memandang Om hanya sebatas itu, Nggit?” tanya Om Dirga tak percaya.
“Iya, lebih baik kita putus saja, Om!” Setelah mengucapkan itu, aku segera berbalik pergi meninggalkan ruangan Om Dirga. Aku tak peduli dengan teriakan Om Dirga yang memanggilku.
Lari! Pergi dari kehidupan Om Dirga! Hanya itu yang ada dalam pikiranku saat ini. Air mata mulai menetes di pipiku.
Andaikan Om Dirga menuruti keinginanku, berhubungan tanpa ikatan, mungkin aku akan lega. Karena bagiku pernikahan adalah bayangan hitam, mencekam, dan melelahkan yang harus dihindari.
Tiba-tiba saja aku teringat dengan masa lalumu, saat itu aku masih kecil, tapi aku mengerti bahwa ayah dan ibu sedang tidak baik-baik saja. Ayah seorang pemabuk, setiap pulang selalu memukul ibu apabila tidak ada makanan atau uang lagi. Aku tidak tahu apa alasan Ibu hanya diam diperlakukan Ayah semena-mena, dan kejadian itu berlangsung sampai akhirnya aku mendengar ayah berteriak bahwa aku bukanlah anak kandungnya. Ayah mengatai ibu selingkuh. Esok harinya yang aku tahu, panti asuhan kasih bunda menjadi tempat berlindungku sampai SMA.
Entah apa yang mereka rundingkan malam itu, sehingga tega membuangku ke panti. Terpaksa aku harus menjalani kehidupan yang serba terbatas, bukan berarti sebelumnya semua yang aku mau tersedia.
Di panti asuhan, makanan harus berbagi dengan anak yang lain, antre untuk mandi, ke sekolah jalan kaki, bahkan kami yang sudah besar harus mau membantu Bu Fatma, pemilik panti asuhan, masak dan membersihkan panti.
Sungguh melelahkan.
Bugh!
Tiba-tiba saja aku menabrak seseorang, membuatku seketika terjatuh.
“Gimana sih? Kalau jalan pake mata dong!” hardikku pada seseorang yang sudah menabrak dengan kesal.
“Di sini ada saksi, siapa di antara kita yang tidak melihat jalan.”
Suara itu, segera aku mendongak menatap pemilik suara yang menurutku sangat familiar.
“Kamu!” ucap kami berbarengan.
‘Sial! Kenapa harus bertemu dia di sini?’ batinku kesal.
Aku menatap sekeliling, banyak karyawan Om Dirga yang menatapku dengan pandangan entah.
“Dunia itu sempit ya, Inggit?” ejek Satya sambil menyunggingkan sebelah bibirnya seolah mengejekku, sial!
Satya, dia adalah mantan pacarku sebelum bertemu dengan Om Dirga. Kami putus karena dia dijodohkan oleh orang tuanya dengan sesama pebisnis.
Segera aku mencoba berdiri, tak lupa aku mengelap bekas air mata yang membasahi pipi.
“Diam kamu!”
“Bagaimana kabarmu? Sudah berapa om-om yang kau singgahi?” ejek Satya.
“Tutup mulutmu!”
Tanpa berpamitan aku segera beranjak meninggalkan Satya dengan kesal. Sayangnya, sebuah tangan mencekal lenganku dengan kuat. Mau tak mau membuatku terpaksa berhenti.
“Mau ke mana? Ikut aku!”
Tanpa menunggu jawabanku, Satya menyeretku masuk ke dalam salah satu ruang rapat yang kosong. Setelah menutup pintu dan menguncinya, Satya menatapku tajam.
“Kamu ada perlu apa ke mari?” tanya Satya, ia menahan kedua tanganku di tembok.
Tiba-tiba saja tubuhku menegang, takut. Mata Satya merah, sepertinya ia menahan marah. Entah kenapa, padahal dulu dialah yang memutuskan hubungan kami.
“Bukan urusanmu!” jawabku tak acuh. Kupalingkan wajahku ke arah kanan, aku takut tidak mampu menahan diri.
“Aku merindukanmu, Nggit.”
Satya menyurukkan kepalanya ke dalam leherku, lalu mencium, sesekali ia menggigit kecil, membuat tubuhku tiba-tiba saja merasa geli.
“Hentikan, Satya!” erangku pelan. Tahan, aku harus menahan diri agar tidak lepas kendali.
“Kenapa? Bukankah dulu kau sangat liar? Kau selalu menggodaku, bahkan nikmatnya tubuhmu, aku masih ingat, Nggit.”
“Lepaskan, atau aku akan berteriak!” hardikku kesal.
Satya menghentikan aktivitasnya, ia menatapku tajam.
Bibir seksi itu, dulu yang selalu aku banggakan dari sosok Satya. Bibir yang selalu menggoda dan membuatku tidak mampu menolak.
Namun, sekarang aku masih bersama Om Dirga, walaupun aku mengatakan putus, biasanya Om Dirga akan kekeh merayu dan meminta maaf padaku. Aku yakin itu!
“Katakan, bersama siapa kamu sekarang?”
“Kenapa bertanya? Harusnya kamu sadar diri, Satya! Kamu yang meninggalkanku, dan menerima perjodohan gila keluargamu!” teriakku kesal.
Perlahan, Satya mengendurkan cekalannya. Wajahnya menatapku dengan pandangan entah.
Setelah cekalan Satya benar-benar terlepas, aku segera menjauh darinya. Jika saja saat ini aku masih sendiri, mungkin aku akan mau menjalin hubungan lagi dengan Satya, walaupun harus menjadi istri kedua. Terserah mereka yang memberi cap pelakor, aku tidak peduli, Satya sungguh menggoda.
Sayangnya, saat ini Om Dirga masih menjadi raja di hati, walaupun dia datang dengan permintaan agungnya, menikah.
“A-aku gak bisa menolak itu, Nggit. Orang tuaku mengancam akan menghapus namaku dari daftar waris, jadi aku gak berani menentang mereka.”
“Makanya, jangan dekati aku lagi, Satya!”
“Tapi, Nggit, aku masih sayang sama kamu.”
“Bullshit, Satya! Sudahlah, kita kembali jalani kehidupan masing-masing dan lupakan pertemuan ini. Aku tidak mau bertemu lagi denganmu!”
Aku menyentak cekalan Satya, lalu membuka kunci pintu dan keluar dari ruang rapat terkutuk itu. Tak ku pedulikan tatapan sinis mereka yang melihatku keluar dari ruang rapat bersama Satya.
Karena tidak melihat taksi, aku putuskan untuk berjalan kaki. Pikiranku kacau, hubunganku dengan Om Dirga tidak tentu, dan baru saja bertemu Satya. Ingin sekali aku menghilang dari bumi, agar tidak ada yang mencari dan membuatku sakit kepala.
Tak terasa, langkah kaki membawaku berbelok masuk ke dalam sebuah cafe. Cafe Ayodia, mengusung tema rustic, cafe ini menjadi favorit bagi kebanyakan remaja dan pemburu foto sosmed.
Kupilih duduk di dalam gazebo yang berada di ujung ruangan. Setelah meletakkan tas, kurogoh ponsel di dalamnya.
Ada banyak pesan dan panggilan dari Om Dirga, isi pesannya bertanya aku di mana. Kenapa hanya bertanya? Kenapa tidak menyusulku tadi?
“Oh iya, kenapa Satya bisa ada di kantor Om Dirga? Ada hubungan apa? Setahuku Satya bukan karyawan, karena dia pernah bercerita keluarganya pemilik perusahaan.”
“Apa jangan-jangan dia anak Om Dirga? Wajahnya mirip sih. Oh no! Semoga saja bukan, semoga saja dia hanya Klien di sana.”
[Sayang, bales pesanku.]
Pesan dari Om Dirga kembali masuk, Sayang? Jadi dia tidak marah lagi?
[Nanti malam kita diner, kamu siap-siap. Udah Om transfer uang untuk belanja.]
Hatiku berlonjak kegirangan, inilah yang menyukai Om Dirga, dan tidak ingin melepasnya. Om Dirga sangat tahu bagaimana meluluhkan hatiku.
[Siap, Om ❤]
Sengaja kusematkan tanda hati di belakang pesan yang kukirimkan, agar Om Dirga tahu, aku sudah tidak marah lagi.
Jika ada yang bertanya, mengapa aku begitu mudah memaafkan Om Dirga, jawabannya adalah karena dia tidak pelit mengirimkan uang padaku. Seperti inilah kami biasanya, sudah sering pula aku memergoki Om Dirga mencium wanita lain, tapi aku tidak pernah terlalu dalam mempermasalahkan hal itu. Karena sejauh apa pun petualangan Om Dirga, hanya akulah tempat ia kembali.
“Kamu Inggit?” tanya seorang pelayan membuyarkan lamunanku.
Kudongakkan kepala, menatap siapa yang bertanya. Dahulu mengernyit mencoba mengingat siapa gerangan.
“Siapa ya?” tanyaku pelan.
Perempuan itu tertawa lebar, lalu kulihat name tag yang berada di dadanya. Aluna!
“Kamu lupa? Aku Aluna, teman sekelas waktu SMA.”
Seketika aku menutup mulutku, oh tidak! Kenapa aku bertemu satu orang lagi yang tidak kusukai?
“Oh, kamu... “ Sengaja kupasang wajah datar, tidak terlalu respect dengan pertemuan ini.
Aluna, adalah ketua geng di sekolah yang sangat ditakuti. Beberapa kali dia mengerjaiku, salah satunya, Aluna iseng mengunci pintu toilet saat sedang kugunakan. Sialan memang! Membuatku harus bermalam di sekolah, karena itulah aku menjadi phobia.
“Gimana kabarmu? Sepertinya sekarang bukan lagi orang jalanan ya?” ejek Aluna.
Apakah dia tidak mempunyai cermin? Bukankah saat ini dialah yang menjadi anak jalanan? Baru jadi pelayan, belagu sekali dia. Di sini akulah yang menjadi raja, dia hanyalah pelayan.
“Jelaslah, aku sudah berusaha keras.” Sengaja aku berkata begitu padanya, aku tidak mau dia terlalu menghinaku.
Aluna tersenyum kecil, “Baiklah, selamat menikmati menu di cafe ini.”
Tanpa menunggu jawabanku, Aluna berbalik dan kembali ke dalam. Kalau diperhatikan, dandanan Aluna tadi terlalu cantik jika dibandingkan dengan pelayan lainnya. Apakah ia di spesialkan?
Ah, entahlah! Kenapa juga aku yang repot memikirkan Aluna. Dia hanyalah pengganggu, dan selamanya menjadi pengganggu.
Plak! Plak! “Kurang ajar kamu!” Dirga kembali menampar pipi Inggit untuk ke sekian kali. Ia marah melihat Aleta yang kembali kambuh. “Seharusnya kamu tidak mengusik siapa pun di sini, Nggit!” hardik Dirga. Inggit tidak bisa berbuat apa pun. Ingin membalas pun rasanya percuma. Kekuatannya tidak sebanding. “Jangan pernah ganggu dia lagi!” teriak Dirga. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi wajah, dan mata melotot menatap Inggit yang duduk di atas ranjang sambil memegangi kedua pipi. Dirga mendekati Inggit, saat berada di dekat telinga, ia berbisik, “Inggit! Kamu tawananku. Jangan pernah berbuat ulah yang membuatku harus berbuat kasar padamu. Mengerti?” Inggit memilih diam lalu membuang wajah. Napas Dirga seolah bau beracun yang harus dihindari. Ia sangat membenci laki-laki yang tidak mempunyai perasaan. “Di mana Aleta sekarang?” tanya Inggit. “Cih, kamu tak perlu tahu. Bukan urusanmu!” “Lantas ucapan Aleta, apakah semua itu benar?” tanya Inggit lirih. Ia melirik Dirga yang
Inggit merenung di dalam kamar mencoba memikirkan jalan keluar dari rumah Dirga. Sepertinya laki-laki itu membeli rumah baru, buktinya beberapa furnitur masih tertutup plastik pembungkus.Inggit belum tahu seluk belum rumah ini. Sepertinya ia harus menuruti Dirga untuk beberapa waktu. Sekaligus mencari tahu bagaimana cara keluar dari rumah itu.Inggit mengelus perutnya yang masih rata. Apakah janin di saja selamat? Ia berdoa, semoga anaknya sehat dan kuat di dalam sana.Inggit segera mengenakan baju yang baru saja diantar pelayan. Baju itu sangat pas melekat di tubuhnya, rupanya Dirga masih ingat berapa ukuran bajunya.Inggit menghela napas. Ingin kembali mengeluh, rasanya tidak pantas. Percuma! Tuhan tidak akan mengubah hidup jika dia tidak berusaha sendiri.Selesai memakai baju, datang lagi pelayan yang datang membawa makanan. Inggit hanya melirik sekilas makanan yang diletakkan di atas nakas.Berusaha tidak menyentuh, nyatanya perutnya berkata lain. Lapar melanda. Ia tidak sempat s
“Kamu yakin akan melawan Papaku?” tanya Leon malam itu. Ia bersama Inggit sedang duduk di balkon apartemen Leon.“Tentu saja! Darren mati karena dia.” Setiap kata yang keluar dari mulut Inggit penuh tekanan. Ada emosi yang tertahan di sana.“Kau mempunyai bukti?” tanya Leon memastikan. Ia berada di posisi serba salah. Jika membela Inggit sama saja ia bermusuhan dengan sang Papa, tetapi jika ia membela papanya, Inggit belum tentu salah.“Ada,” jawab Inggit singkat. Ia menyesap wine yang baru saja dituang Leon ke dalam gelasnya. Rasa hangat menggelitik tenggorokannya.“Apa itu?” tanya Leon lagi.“Rahasia.” Jawaban singkat Inggit justru memancing rasa penasaran Leon, tetapi laki-laki itu masih bisa menahan. Karena memang seharusnya dia tidak ikut campur.“Baiklah. Hati-hati saja. Papa bisa melakukan apa pun yang kita tidak duga,” ucap Leon memperingatkan.“Hmm.” Inggit tidak peduli. Asal bisa menjebloskan Dirga ke penjara sudah cukup baginya.Inggit tertidur di sofa. Sebenarnya ia lelah
“Bagus, aku suka kerjaanmu. Yakin tidak ada yang tahu?” tanya Dirga pada Hendra, mantan asisten Aluna.“Yakin sekali, Bos. Saya sudah memeriksa, tidak ada CCTV di sana. Jadi aman.”“Baiklah, ini bayaranmu.” Dirga melempar segepok uang berwarna merah pada Hendra.“Terima kasih, Bos. Jika butuh bantuan lagi, saya siap membantu.”Licik sekali Hendra, ia telah menipu banyak orang. Saat bersama Aluna, ia mengambil semua uang perusahaan tanpa jejak, bersama Darren, ia berkhianat dengan merusak rem mobil atas permintaan Dirga. Entah siapa lagi yang akan ia tipu saat ini, mungkinkah Dirga? Entah.Hendra keluar dari ruangan Dirga sambil bersiul senang. Ia berencana menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di bar.Di saat yang bersamaan, Hendra berpapasan dengan Inggit. Istri dari mantan bosnya itu terlihat berbeda.Inggit hanya melirik saat berpapasan. Ia tahu siapa Hendra. Walaupun tidak pernah bertemu langsung, ia pernah melihat suaminya dulu berbincang berdua. Lantas mengapa laki-laki itu
“Maksudmu apa, Nggit?” tanya Darren tidak mengerti. Ia menatap istrinya intens.“Om Dirga merencanakan pembunuhan untukmu.” Inggit tidak bisa mengendalikan perasaannya. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan Darren.“Membunuhku? Kau bercanda, Nggit?” Darren tidak percaya begitu saja dengan ucapan istrinya. Ia tahu betul bagaimana pamannya. Tak mungkin setega itu pada saudara.“Kamu tidak percaya?” tanya Inggit heran.Langkah Darren terhenti, belum sempat ia membuka pintu kamar, Inggit menghentikan langkah.“Begini, Sayang. Om Dirga pamanku, tidak mungkin setega itu pada aku, keponakannya,” jawab Darren percaya diri.“Bagaimana jika benar? Yang jelas aku tidak mau datang,” sungut Inggit kesal.Darren berpikir sejenak. Walaupun belum lama mengenal Inggit, selama ini gadis itu selalu jujur. Bagaimana jika ucapan Inggit benar? Tapi, kenapa istrinya berani memberitahunya?“Apakah Om Dirga tidak mengancammu jika aku tahu rencana itu?” tanya Darren setelah mereka berada di dalam kamar.“Justr
“Sayang, nanti malam jangan lupa ada acara lamaran sepupuku. Kamu siap-siap ya, beli gaun yang bagus, tapi jangan terlalu seksi.” Darren mewanti-wanti Inggit saat membeli baju, ia tidak suka tubuh istrinya dikonsumsi banyak orang. Cukup dirinya saja yang melihat.“Kalau begitu beliin aja,” usul Inggit. Sebenarnya ia malas keluar rumah, tubuhnya masih sedikit lemas setelah keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu.Darren menatap Inggit intens. “Kamu masih lemes?” tanya Darren.Inggit menganggukkan kepala, lalu kembali merebahkan diri di atas ranjang.“Yaudah, aku nanti pesenin ke butik langganan, biar dianter sekalian. Istirahat aja di rumah. Tapi nanti malam mau kan ikut? Biar kamu ketemu sama semua sodara aku.”“Boleh, asal cepet pulang.”“Siap, Tuan Putri.” Darren mengecup pucuk kepala, lalu turun mencium bibir Inggit.“Hati-hati di rumah, kalau mau apa-apa minta sama pelayan, oke?”Inggit kembali mengangguk. Matanya masih terlihat sayu, wajah sedikit pucat, bahkan tubuh Ingg