Share

Bab 3

Penulis: Fina FH
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-24 21:26:28

Pov Author

Sepeninggal Inggit, Dirga mengusap wajahnya kasar, ia tidak habis pikir dengan Inggit, selalu mengancam putus saat ia mengungkapkan keinginannya, yaitu pernikahan.

“Apa yang sebenarnya terjadi pada Inggit? Kenapa dia begitu takut menikah?” gumam Dirga.

Salahnya sendiri tadi tidak bisa menjaga nafsunya, begitu Weni menggoda ia mau-maunya mengikuti permainan Weni.

“Sialan!” Umpat Dirga kesal.

Dirga meletakkan bokongnya di atas kursi, salah satu tangannya memijit pelipisnya yang terasa sakit. Memikirkan Inggit membuatnya sakit, andaikan gadis muda itu mau diajak menikah, mungkin Dirga tidak akan seperti ini. Melepaskan Inggit-pun Dirga tidak rela, belum pernah ia bertemu gadis muda seperti Inggit sebelumnya.

“Ah, sebaiknya aku mengajaknya dinner seperti biasa, agar ia mau memaafkanku.”

Segera Dirga meraih ponselnya, lalu menelepon Inggit.

Gagal! Inggit tidak mengangkatnya.

Dirga mencoba menelepon kembali, sayangnya sampai panggilan ke tujuh, Inggit tidak mengangkat telepon darinya.

Akhirnya ia memutuskan untuk mengirimkan pesan saja, sewaktu-waktu Inggit bisa membaca dan membalas pesannya.

“Perempuan memang rumit, serba salah jadinya.”

Dirga menyangga kepalanya dengan kedua tangan di atas meja.

“Apa bedanya menikah atau tidak? Hanya ada ikatan dan tidak, itu saja. Kenapa seribet itu?” tanya Dirga tidak habis pikir.

Ting!

Sebuah pesan masuk dari ponsel Dirga, Inggit! Balasan dari Inggit seketika membuat Dirga tersenyum bahagia, betapa mudahnya merayu perempuan.

Tok tok tok

Ketukan pintu mengganggu konsentrasi Dirga.

“Masuk!”

Tampak Satya masuk ke dalam ruangan Dirga dengan wajah kusut.

“Kamu kenapa?” Dahi Dirga mengernyit melihat wajah Satya yang tidak seperti biasanya.

“Ketemu mantanku, Om.”

Satya menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.

“Ketemu mantan? Inget istri dan anak di rumah!” ucap Dirga mengingatkan Satya.

“Iya, Om. Satya tahu, tapi ini berbeda, Om. Mantan Satya yang ini, yang paling Satya sayang dan cintai,” sergah Satya.

“Gila kamu! Kamu udah punya anak dan istri, jangan bikin malu keluarga kita. Mau kamu sayangnya setengah mati, kalau udah kawin punya anak, jangan coba-coba cari cewek lagi.”

“Om gak asik ah,” ucap Satya malas.

“Ada apa ke mari?” tanya Dirga menahan emosi.

“Ish, umur om berapa sih? Belum tua-tua banget padahal. Satya ke mari karena ada file yang mau om kasih. Gimana sih!”

“Gak usah menghina kau ya, begini-begini om masih laku.”

“Halah, paling juga janda tua yang mau duitnya om aja, iya kan? Ngaku deh, Om!” kelakar Satya dengan senyum menyebalkan.

“Anak sialan kamu!” Dirga melempar bolpoin ke arah Satya.

Dengan sigap Satya menangkap bolpoin yang dilempar Dirga, “ Hahaha... Bercanda, Om!”

“Ini flashdisk yang om maksud, di dalam situ ada beberapa bocoran dari perusahaan saingan kita. Kamu pelajari dan ketika ada kesempatan, hancurkan!” Dirga kembali melempar flashdisk ke arah Satya.

Dahi Satya mengernyit, “ Dari mana om dapat ini semua?”

“Rahasia.” Dirga tersenyum misterius.

Satya memutar flashdisk di tangannya, sesekali ia menatap Dirga dan flashdisk bergantian.

---

Satu hari yang lalu

“Goblok!” hardik Aluna pada Hendra, asisten pribadinya.

“Maaf, Bos. Kami lalai, ada spy yang berhasil membobol keamanan data,” jawab Hendra penuh sesal. Ia menundukkan kepala, tidak berani menatap Aluna yang sedang dilanda emosi.

“Gimana ceritanya data perusahaan kita bocor?” tanya Aluna kesal.

Hendra menjelaskan kronologi awal mula adanya keanehan dalam data, ia menduga ada spy yang menyamar sebagai bagian keamanan data, bagian IT yang mengutak-atik data dan berhasil mengcopy-nya.

“Kurang ajar! Siapa yang berani melakukan itu?” geram Aluna. Ia mengepalkan tangan sampai buku-bukunya memutih.

“Dugaan saya dari pesaing utama kita, Bos. Perusahaan pak Dirga.”

“Sialan! Mau main-main denganku mereka rupanya, baiklah! Hendra, kamu cari tahu bagaimana kehidupan pribadi mereka. Kalau kita tidak bisa menghancurkan perusahaan itu dari luar, kita bisa mengancamnya dari dalam.”

“Baik, Bos. Akan saya laksanakan!” Hendra menganggukkan kepala sebelum akhirnya keluar dari ruangan Aluna. Kini tinggallah ia sendirian di dalam ruangannya.

Tuk tuk tuk

Aluna mengetukkan ujung bolpoin di atas meja. Sedangkan tangan satunya menopang dagu Aluna.

Aluna merupakan pewaris tunggal perusahaan orang tuanya, semenjak beberapa bulan yang lalu, setelah ia kembali dari luar negeri, ia mulai memimpin PT. JAYA FOOD, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang makanan instan.

Sejak lulus SMA, ia sudah memutuskan untuk mengikuti semua ucapan Rendy, Papanya. Kuliah di luar negeri, selama 4 tahun, dan akhirnya langsung memimpin perusahaan ini. Papanya sudah cukup tua untuk mengelola perusahaan, sehingga ia lebih memilih untuk memantau kerja Aluna.

Untungnya Aluna diberkahi dengan otak yang lumayan encer, sehingga dengan mudah ia meng-handle pekerjaan papanya.

Baru kali ini ada kebocoran data rahasia Aluna, di dalam sana ada beberapa proyek terbaru yang akan ia lounching beberapa minggu lagi. Sepertinya nasib buruk masih menghantui jalan Aluna, ada yang mencuri ide produk perusahaannya.

“Mungkinkah perusahaan yang Hendra maksud tadi benar-benar mencuri dataku? Kalau iya, kurang ajar sekali mereka.”

Aluna menghela napas kasar, ia mencoba menetralkan hati dan pikirannya. Ia percaya orang kepercayaannya mampu menyelesaikan masalah kecil ini.

“Aku tidak akan melepaskan mereka yang sudah berbuat curang, akan kubalas sampai detik-detik terakhir.”

Tok tok tok

“Masuk!”

Kepala Xander menyembul dari luar, senyum merekah menghiasi wajahnya.

“Halo, Kak.” Xander masuk, tak lupa ia menutup pintu.

Xander adalah sepupu Aluna dari pihak Papa. Laki-laki berambut pirang itu lebih suka menghabiskan waktu untuk menggoda Aluna. Xander memiliki tinggi badan yang lumayan, sayangnya tubuhnya tidak terlalu bagus, kalau kata orang tubuhnya cungkring, berat dan tinggi badan tidak seimbang.

“Ngapain lo kemari?” tanya Aluna ketus, ia malas meladeni sepupu yang kurang kerjaan itu.

“Sewot amat Lun, gue mau ajakin lo keluar, ke cafe yang baru dibuka itu, mau ya?” Xander duduk di meja kerja Aluna.

“Lo yang traktir ya?”

“Gampang!” Xander menggamit lengan Aluna, memaksanya untuk segera berdiri.

“Sabar napa sih!” sungut Aluna kesal. Mau tak mau ia menuruti keinginan sepupunya itu, bisa berabe kalau tidak dituruti, ia akan mengadu pada papa Aluna.

“No! Gue gak sabar, katanya bagus banget cafenya, dan lu tau, mereka mengusung tema rustic, pasti instagramable banget.” Promosi Xander dengan gaya sedikit melambai.

“Ck, iya iya. Ayo!” Aluna meraih tas dan beranjak mengikuti Xander.

Xander dan Aluna keluar dari ruang kerja, menuju mobil Xander yang sudah berada di depan lobi kantor. Tak lupa, sebelum pergi, Aluna menyempatkan memberi pesan pada Hendra untuk meneleponnya saat ada hal penting.

Xander menyanyi lagu jazz selama perjalanan menuju ke cafe, terpaksa Aluna menutup telinga, karena suara Xander yang sedikit cempreng.

Aluna memutar bola mata dengan malas, ia melirik Xander yang menyetir sambil terus menari dan menyanyi.

Untung saja penderitaan Aluna segera berakhir, 15 menit kemudian mereka sudah sampai di cafe Rustic.

Setelah memarkir mobil, mereka turun dan memilih duduk di kursi yang berada di luar ruangan, atau outdoor.

“Eh, lo liat itu Lun, cowok cakep banget sih,” seru Xander histeris, seolah belum pernah melihat laki-laki.

Aluna menggelengkan kepala, lalu menutupi wajahnya. Malu rasanya, inilah yang membuatnya malas nongkrong bersama Xander. Lebay!

Tanpa sengaja ekor mata Aluna melihat seorang perempuan yang baru saja masuk cafe, ia mengernyitkan dahi mencoba mengingat siapa gerangan.

Tiba-tiba saja matanya Aluna membelalak saat ingat siapa perempuan itu, Inggit! Teman masa SMA yang sering ia bully karena tidak mempunyai orang tua dan berada di panti asuhan.

‘Penampilan Inggit berubah sekali, kerja apa dia sekarang?’ batin Aluna heran.

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikirannya, segera ia berdiri.

“Gue ke toilet sebentar,” pamit Aluna pada Xander yang heboh mencari perhatian laki-laki incarannya.

‘Dasar laki gemulai!’ umpat Aluna kesal.

Bukannya pergi ke toilet, Aluna membelokkan kakinya ke arah dapur.

“Kak, boleh saya pinjam apronnya sebentar?” tanya Aluna pada salah seorang pelayan cafe.

Dahi pelayan itu mengernyit, ia menatap Aluna dari atas sampai bawah.

Melihat itu, Aluna segera merogoh sakunya, ia teringat menyimpan uang 100 ribu di sana. Setelah menemukan apa yang ia cari, ia segera menyelipkan uang itu ke genggaman pelayan, yang bernama Ela.

“Sudah, saya pinjam sebentar. Ini sebagai ganti ruginya.”

Aluna membantu melepas apron Ela, dengan segera ia mengenakan apron, dan menanyakan pesanan Inggit.

Setelah pesanan Inggit siap, ia mengambil alih mengantarkan ke meja Inggit.

“Silakan,” ucap Aluna, sepertinya Inggit tidak mendengar ucapannya.

“Kamu Inggit?” tanya Aluna sedikit menaikkan suaranya.

Terlihat Inggit mendongakkan kepala menatap Aluna dari atas sampai bawah.

Aluna merasa senang bisa bertemu lagi dengan Inggit, jika mereka bisa bertemu di cafe ini, berarti tempat tinggal Inggit tidak jauh dari sini. Pikir Aluna.

Setelah puas bertanya-tanya, Aluna segera kembali, dan mengembalikan apron milik Ela.

“ Dari mana lo? Lama banget?” tanya Xander saat melihat Aluna baru saja mendudukkan bokongnya di depan Xander.

“Lo budek ya? Tadi gue pamit ke mana?” tanya Aluna ketus.

“Toilet?”

“Nah itu denger,” jawab Aluna.

“Tapi kenapa lo lama banget?” tanya Xander lagi.

“Kepo banget sih!”

Xander memainkan bibirnya dengan kesal, sepertinya mood Aluna kembali memburuk.

‘Aku harus mencari tahu bagaimana kehidupan Inggit sekarang, tidak mungkin ia bisa kaya secepat itu.’ Batin Aluna.

Aluna berencana mempermalukan Inggit di acara reuni sekolah yang akan ia adakan nanti jika ada sesuatu yang tidak beres di hidup Inggit.

Aluna iri dan cemburu pada Inggit, walaupun ia miskin, tapi banyak yang menyukainya. Berbeda dengan dirinya yang terlahir dari keluarga kaya, jarang ada teman yang mau berteman tulus dengannya. Bahkan banyak guru yang berusaha menjilat di depan Aluna agar mendapatkan promosi oleh papa Aluna.

[Cari tahu kehidupan gadis bernama Inggit ini.]

Aluna mengirimkan pesan pada Hendra, tak lupa ia mengirimkan foto Inggit yang sempat ia ambil diam-diam tadi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jangan Nikahi Aku, Om!   Bab 35 (ending)

    Plak! Plak! “Kurang ajar kamu!” Dirga kembali menampar pipi Inggit untuk ke sekian kali. Ia marah melihat Aleta yang kembali kambuh. “Seharusnya kamu tidak mengusik siapa pun di sini, Nggit!” hardik Dirga. Inggit tidak bisa berbuat apa pun. Ingin membalas pun rasanya percuma. Kekuatannya tidak sebanding. “Jangan pernah ganggu dia lagi!” teriak Dirga. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi wajah, dan mata melotot menatap Inggit yang duduk di atas ranjang sambil memegangi kedua pipi. Dirga mendekati Inggit, saat berada di dekat telinga, ia berbisik, “Inggit! Kamu tawananku. Jangan pernah berbuat ulah yang membuatku harus berbuat kasar padamu. Mengerti?” Inggit memilih diam lalu membuang wajah. Napas Dirga seolah bau beracun yang harus dihindari. Ia sangat membenci laki-laki yang tidak mempunyai perasaan. “Di mana Aleta sekarang?” tanya Inggit. “Cih, kamu tak perlu tahu. Bukan urusanmu!” “Lantas ucapan Aleta, apakah semua itu benar?” tanya Inggit lirih. Ia melirik Dirga yang

  • Jangan Nikahi Aku, Om!   Bab 34

    Inggit merenung di dalam kamar mencoba memikirkan jalan keluar dari rumah Dirga. Sepertinya laki-laki itu membeli rumah baru, buktinya beberapa furnitur masih tertutup plastik pembungkus.Inggit belum tahu seluk belum rumah ini. Sepertinya ia harus menuruti Dirga untuk beberapa waktu. Sekaligus mencari tahu bagaimana cara keluar dari rumah itu.Inggit mengelus perutnya yang masih rata. Apakah janin di saja selamat? Ia berdoa, semoga anaknya sehat dan kuat di dalam sana.Inggit segera mengenakan baju yang baru saja diantar pelayan. Baju itu sangat pas melekat di tubuhnya, rupanya Dirga masih ingat berapa ukuran bajunya.Inggit menghela napas. Ingin kembali mengeluh, rasanya tidak pantas. Percuma! Tuhan tidak akan mengubah hidup jika dia tidak berusaha sendiri.Selesai memakai baju, datang lagi pelayan yang datang membawa makanan. Inggit hanya melirik sekilas makanan yang diletakkan di atas nakas.Berusaha tidak menyentuh, nyatanya perutnya berkata lain. Lapar melanda. Ia tidak sempat s

  • Jangan Nikahi Aku, Om!   Bab 33

    “Kamu yakin akan melawan Papaku?” tanya Leon malam itu. Ia bersama Inggit sedang duduk di balkon apartemen Leon.“Tentu saja! Darren mati karena dia.” Setiap kata yang keluar dari mulut Inggit penuh tekanan. Ada emosi yang tertahan di sana.“Kau mempunyai bukti?” tanya Leon memastikan. Ia berada di posisi serba salah. Jika membela Inggit sama saja ia bermusuhan dengan sang Papa, tetapi jika ia membela papanya, Inggit belum tentu salah.“Ada,” jawab Inggit singkat. Ia menyesap wine yang baru saja dituang Leon ke dalam gelasnya. Rasa hangat menggelitik tenggorokannya.“Apa itu?” tanya Leon lagi.“Rahasia.” Jawaban singkat Inggit justru memancing rasa penasaran Leon, tetapi laki-laki itu masih bisa menahan. Karena memang seharusnya dia tidak ikut campur.“Baiklah. Hati-hati saja. Papa bisa melakukan apa pun yang kita tidak duga,” ucap Leon memperingatkan.“Hmm.” Inggit tidak peduli. Asal bisa menjebloskan Dirga ke penjara sudah cukup baginya.Inggit tertidur di sofa. Sebenarnya ia lelah

  • Jangan Nikahi Aku, Om!   Bab 32

    “Bagus, aku suka kerjaanmu. Yakin tidak ada yang tahu?” tanya Dirga pada Hendra, mantan asisten Aluna.“Yakin sekali, Bos. Saya sudah memeriksa, tidak ada CCTV di sana. Jadi aman.”“Baiklah, ini bayaranmu.” Dirga melempar segepok uang berwarna merah pada Hendra.“Terima kasih, Bos. Jika butuh bantuan lagi, saya siap membantu.”Licik sekali Hendra, ia telah menipu banyak orang. Saat bersama Aluna, ia mengambil semua uang perusahaan tanpa jejak, bersama Darren, ia berkhianat dengan merusak rem mobil atas permintaan Dirga. Entah siapa lagi yang akan ia tipu saat ini, mungkinkah Dirga? Entah.Hendra keluar dari ruangan Dirga sambil bersiul senang. Ia berencana menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di bar.Di saat yang bersamaan, Hendra berpapasan dengan Inggit. Istri dari mantan bosnya itu terlihat berbeda.Inggit hanya melirik saat berpapasan. Ia tahu siapa Hendra. Walaupun tidak pernah bertemu langsung, ia pernah melihat suaminya dulu berbincang berdua. Lantas mengapa laki-laki itu

  • Jangan Nikahi Aku, Om!   Bab 31

    “Maksudmu apa, Nggit?” tanya Darren tidak mengerti. Ia menatap istrinya intens.“Om Dirga merencanakan pembunuhan untukmu.” Inggit tidak bisa mengendalikan perasaannya. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan Darren.“Membunuhku? Kau bercanda, Nggit?” Darren tidak percaya begitu saja dengan ucapan istrinya. Ia tahu betul bagaimana pamannya. Tak mungkin setega itu pada saudara.“Kamu tidak percaya?” tanya Inggit heran.Langkah Darren terhenti, belum sempat ia membuka pintu kamar, Inggit menghentikan langkah.“Begini, Sayang. Om Dirga pamanku, tidak mungkin setega itu pada aku, keponakannya,” jawab Darren percaya diri.“Bagaimana jika benar? Yang jelas aku tidak mau datang,” sungut Inggit kesal.Darren berpikir sejenak. Walaupun belum lama mengenal Inggit, selama ini gadis itu selalu jujur. Bagaimana jika ucapan Inggit benar? Tapi, kenapa istrinya berani memberitahunya?“Apakah Om Dirga tidak mengancammu jika aku tahu rencana itu?” tanya Darren setelah mereka berada di dalam kamar.“Justr

  • Jangan Nikahi Aku, Om!   Bab 30

    “Sayang, nanti malam jangan lupa ada acara lamaran sepupuku. Kamu siap-siap ya, beli gaun yang bagus, tapi jangan terlalu seksi.” Darren mewanti-wanti Inggit saat membeli baju, ia tidak suka tubuh istrinya dikonsumsi banyak orang. Cukup dirinya saja yang melihat.“Kalau begitu beliin aja,” usul Inggit. Sebenarnya ia malas keluar rumah, tubuhnya masih sedikit lemas setelah keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu.Darren menatap Inggit intens. “Kamu masih lemes?” tanya Darren.Inggit menganggukkan kepala, lalu kembali merebahkan diri di atas ranjang.“Yaudah, aku nanti pesenin ke butik langganan, biar dianter sekalian. Istirahat aja di rumah. Tapi nanti malam mau kan ikut? Biar kamu ketemu sama semua sodara aku.”“Boleh, asal cepet pulang.”“Siap, Tuan Putri.” Darren mengecup pucuk kepala, lalu turun mencium bibir Inggit.“Hati-hati di rumah, kalau mau apa-apa minta sama pelayan, oke?”Inggit kembali mengangguk. Matanya masih terlihat sayu, wajah sedikit pucat, bahkan tubuh Ingg

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status