LOGINKeesokan malamnya, rumah terasa terlalu sempit untuk Mey. Televisi menyala di ruang tengah, tapi suaranya cuma jadi latar kosong. Ponsel di meja tak berbunyi, tapi justru keheningan itu membuat pikirannya semakin bising. Sejak pelukan kemarin malam, ada sesuatu yang berbeda di tubuhnya. Bukan sekadar hangatnya pelukan itu, tapi sensasi yang menempel lama, seolah setiap inci kulitnya masih mengingat tekanan lengan Rafael di bahunya.
Ia mencoba membaca, lalu menonton sesuatu, tapi pikirannya selalu melayang ke arah yang sama. Pada akhirnya, dia menyerah. Ditariknya jaket tipis dari gantungan, lalu keluar rumah tanpa tujuan jelas… atau mungkin tujuannya sudah jelas sejak awal.
Jam di dasbor mobil menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit saat Mey memarkir di depan gym. Tempat itu hampir kosong. Dari luar, hanya terlihat sedikit cahaya keluar dari sela tirai. Saat ia masuk, suara musik pelan menyambut, bercampur bau familiar—aroma campuran karet matras, besi, dan sedikit wangi keringat yang entah kenapa justru membuatnya tenang.
Rafael ada di pojok ruangan, merapikan barbell ke rak. Kaosnya basah di bagian dada dan punggung, rambutnya sedikit berantakan seperti habis latihan sendiri. Begitu melihat Mey, dia berhenti, lalu tersenyum kecil.
“Hai?,” katanya, nada suaranya terdengar heran tapi hangat.
Mey pura-pura cuek. “Bosen di rumah.”
Rafael menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Oke. Stretching ringan aja, ya. Badanmu kemarin udah cukup kerja keras.”
Tanpa banyak tanya, ia mengambil dua matras dan membentangkannya di tengah ruangan. Lampu di atas kepala mereka diredupkan sedikit, membuat bayangan mereka jatuh panjang di lantai.
“Duduk dulu,” katanya. Mey menuruti, menyilangkan kaki di matras. Rafael duduk di belakangnya, jarak mereka cukup dekat untuk Mey merasakan hawa tubuhnya.
“Tegakkan punggung… tarik napas… buang pelan-pelan.” Suaranya rendah, mantap. Mey memejamkan mata, mengikuti. Tapi begitu telapak tangan Rafael menyentuh punggungnya untuk memperbaiki posisi, tubuhnya refleks menegang.
“Relax…” bisiknya, hampir menyentuh telinga. Nafas Mey langsung berantakan.
Rafael memandu tubuhnya menunduk perlahan. “Jangan lawan,” tambahnya. Jemarinya menekan lembut di bahu, memastikan ototnya meregang tanpa cedera. Sentuhan itu sederhana, profesional. Tapi di tubuh Mey, efeknya lain. Setiap tekanan terasa seperti aliran listrik yang menyusuri tulang belakangnya.
Stretching berlanjut ke posisi berbaring. Mey merebahkan punggung, menatap langit-langit, berusaha fokus pada instruksi. Rafael berlutut di sampingnya, memegang salah satu kakinya dan mengangkatnya perlahan untuk meregangkan otot paha belakang.
“Tarik napas… buang,” katanya, matanya sesekali melirik wajah Mey untuk memastikan dia baik-baik saja.
Tapi saat jari Rafael secara tidak sengaja menyentuh bagian dalam pahanya, Mey kembali menegang. Bukan menolak—tapi terlalu sadar. Ia memejamkan mata. Bukan karena takut, tapi karena sensasi itu membangkitkan sesuatu yang sudah lama ia kunci rapat-rapat.
Tubuhnya mulai mengingat.
Aroma tubuh Rafael yang bercampur dengan bau sabun yang samar. Cara dia membimbing gerakan, sabar tapi tegas. Kehangatan yang kontras dengan dinginnya lantai di bawah matras. Nafasnya semakin berat, dadanya naik turun tak beraturan.
Rafael memperhatikan, lalu berhenti sejenak. “Kamu… oke?” tanyanya pelan.
Mey membuka mata, menggigit bibirnya sendiri.
Tatapan mereka terkunci. Tidak ada yang bergerak. Jeda itu terlalu lama untuk disebut kebetulan.
Perlahan, Rafael menurunkan kakinya. Tapi dia tidak mundur. Tangannya menyapu rambut Mey yang jatuh di pipi, menyelipkannya ke belakang telinga. Jemarinya berhenti di rahang, hanya diam di sana.
Mey menahan napas. Detik terasa panjang.
Tanpa sadar, ia bergeser sedikit, menghadap Rafael. Nafas mereka bercampur, jaraknya hanya beberapa sentimeter. Tidak ada kata-kata. Tapi dalam diam itu, mereka berbicara banyak—tentang rasa ingin, tentang rasa takut, tentang hal-hal yang tak bisa diucapkan.
Rafael mengusap pelan sisi wajah Mey, lalu menarik diri, duduk bersila di sampingnya. Tidak ada gerakan terburu-buru. Tidak ada candaan untuk menutupi suasana.
Mey tetap berbaring, matanya menatap lampu redup di atas. Nafasnya mulai stabil, tapi di dadanya ada sesuatu yang bergerak.
“Aku nggak mau bikin kamu nyesel,” kata Rafael akhirnya, suaranya rendah.
Mey menoleh, bibirnya bergerak pelan. “Gak akan.”
Rafael menatapnya lama. Ada rindu di matanya, bercampur ragu. Tapi ia memilih diam.
Malam itu berakhir tanpa pelukan, tanpa ciuman. Tapi justru itu yang membuat keduanya semakin sulit berpaling. Karena di antara napas yang mereka tahan, di antara jarak yang sengaja dijaga, tubuh mereka sudah saling mengerti.
Ketika Mey akhirnya berdiri dan mengambil tasnya, Rafael hanya berkata, “Hati-hati di jalan.”
Mey mengangguk, tapi di dalam hati ia tahu, sejak malam ini, rasa itu sudah terlalu besar untuk diabaikan. Dan sejak malam ini, bayangan Rafael menghantui gairahnya yang terpendam. Ia menyusuri dirinya sendiri.
Mey kebangun karena cahaya pagi nyelinap masuk lewat tirai apartemen Kemang. Rafael masih tidur, tangannya masih melingkar di pinggangnya. Mey nggak langsung gerak, cuma diam di situ, menikmati kehangatan dan kedekatan yang rasanya baru balik lagi setelah lama hilang.Tadi malam terasa seperti sesuatu yang lama Mey butuhkan.Bukan cuma soal fisik tapi juga batin. Mereka nyambung lagi di level yang lebih dalam.Rafael bergerak sedikit, matanya mulai terbuka."Morning," bisiknya."Morning.""Sleep well?""Very."Rafael senyum tipis, nyium bahu Mey pelan."Good."Mereka tetap di kasur lebih lama dari biasanya. No rush. No alarm. Cuma cahaya pagi dan diam yang nyaman."Hari ini hari terakhir," kata Mey pelan."Iya. Besok kamu packing, lusa kamu terbang.""Nervous?""Sedikit... tapi lebih lebih tenang sekarang. Setelah dua hari ini."Mey angguk, "Me too."
Pagi itu di apartemen Kemang. Mey bangun duluan. Rafael masih tidur, nafasnya masih pelan. Mey liat wajah Rafael sebentar, ada garis lelah di dahi, bahkan waktu tidur. Pelan-pelan, Mey keluar ke balkon, bawa kopi, duduk di kursi yang semalam mereka duduki. Udara Jakarta masih tenang, langit mulai terang. Tiga hari. Cuma tiga hari sebelum Mey berangkat. Tiga hari buat mereka 'figure this out'. Tapi gimana caranya? Dari mana mulainya?. Pintu balkon terbuka pelan. Rafael keluar, rambut berantakan dan mata masih sembab. "Pagi," suara Rafael serak. Mey menoleh, tersenyum. "Pagi. Mau kopi?" "Udah ada?" Mey ngangkat mug kedua yang udah disiapin dari tadi. Rafael senyum kecil, ambil, terus duduk di kursi sebelah Mey. Mereka diam beberapa saat. Nggak awkward, tapi berat "Aku udah mikir," kata Rafael akhirnya. "Soal kemarin." "Aku juga." "Dan aku mau usul sesuatu." Mey menoleh, "Apa?" "Mulai hari ini sampai minggu. Kita pakai waktu cuma buat kita berdua. No work. N
Rafael bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm bunyi jam 5, dia langsung bangun, mandi cepat dan siap-siap buat site visit. Mey masih setengah sadar waktu Rafael keluar dari kamar mandi. "Udah mau berangkat?" tanya Mey dengan suara serak. "Iya. Meeting sama kontraktor jam enam. Sorry ya, kalau ganggu tidur kamu." "Nggak papa. Hati-hati ya." "Will do." Rafael nyium kening Mey sebentar sebelum berangkat. Setelah suara pintu tertutup, apartemen langsung berasa sepi lagi. Mey bengong sebentar, terus ngambil HP. Ada email dari Emma yang belum sempat dia balas. Mey ngetik pelan: Emma, I'm in. When do you need me there? Lima menit kemudian, balasan dari Emma pun masuk: Perfect. Flight Monday next week. I'll send the details. Thanks, Mey. You're lifesaver. Mey taruh HP-nya di meja, ngeliat ke langit-langit. Ada rasa lega yang seolah-olah udah mutusin sesuatu yang benar, tapi tetap kerasa nyesek. Mey tarik nafas panjang, "Aku belum bilang ke Rafael." gumamnya pelan. Sementara i
Mey kebangun jam setengah enam. Rafael masih tidur di sofa dengan posisi yang sama kayak semalam. Laptop Rafael masih nyala, belum di matikan, tapi layarnya udah gelap. Mey ambil selimut dikamar, buat nutup tubuh Rafael pelan-pelan sebelum ke dapur bikin kopi. Sambil nunggu air panas, Mey buka HP-nya. Dan liat email masuk dari Emma. Subject: Singapore Side. Need Your Input. Mey, We're expanding our wellnes modul to two new corporate clients in Singapore. I need a senior person to handle the setup, which will take about 2-3 weeks on-the-ground. You're my first pick. Let me know if you're up for it. - Emma. Mey baca ulang. Dua sampai tiga minggu di Singapura. Artinya ninggalin Rafael pas lagi sibuk-sibuknya bangun RafFit studio. Waktunya... Nggak pas. Mey belum bales. Mey buka kalender dan liat jadwal Jakarta yang saling tabrakan. Nggak lama, Rafael muncul dari ruang tamu. Rambutnya acak-acakan, matanya masih setengah terbuka. "Pagi," kata Rafael dengan suara yang serak. "Pag
Alarm Rafael bunyi jam enam. Dia langsung matiin cepat, takut ganggu Mey yang masih tidur. Tapi, Mey udah kebangun dulu. "Pagi," sapa Mey pelan sambil buka mata. "Pagi. Sorry, volume alarm aku kegedean." "Nggak papa. Aku juga udah mau bangun." Rafael mandi lebih dulu, Mey nyiapin kopi. Rutinitas pagi yang udah jadi kebiasaan. Nggak banyak ngomong tapi nyaman. Sarapan mereka sederhana. Hanya roti panggang, telur dan kopi hitam. "Hari ini sibuk?" tanya Mey sambil ngunyah. "Lumayan. Ada site visit sama kontraktor jam sepuluh, terus lanjut meeting sama Gery soal revisi budget." "Sinta ikut?" tanya Mey lagi. Rafael diem sebentar. "Kayaknya iya. Dia kan lead marketing." Mey angguk. "I see." Rafael natap Mey serius. "Kamu nggak papa, kan?" "Yeah. Maksud aku... ini urusan kerjaan. Aku nggak boleh berharap kamu ngindarin dia." "Tapi kalau kamu nggak nyaman... " "Aku nyaman." potong Mey sambil senyum kecil. "Serius. Aku cuma masih menyesuaikan. Tapi aku percaya kamu." Rafael gengg
Senin pagi – Apartemen KemangMey bangun jam enam, tapi udah nggak bisa tidur lagi sejak jam lima. Pikirannya terus balik ke malam kemarin—nama Sinta di layar HP Rafael, cara dia cepat-cepat matiin notifikasi, dan jawaban "besok aja" yang terlalu... ringan.Dia keluar ke balkon, bawa kopi, duduk sambil lihat Jakarta yang mulai bangun. Langit masih kelabu, udara dingin, tapi ada sesuatu yang terasa berat pagi ini.*Aku nggak mau jadi orang yang insecure. Tapi kenapa rasanya ada yang nggak pas?* batin Mey.Rafael keluar beberapa menit kemudian, masih pakai kaos tidur, rambut acak-acakan."Udah bangun lama?" tanyanya sambil duduk di sebelah Mey."Sejam-an.""Nggak bisa tidur?""Bisa. Cuma... kepikiran."Rafael diam sebentar, sensing something. "Kepikiran apa?"Mey pause, mikir apakah mau nanya atau nggak. Akhirnya dia mutusin untuk jujur."Kemarin... Sinta chat kamu, kan?"Rafael







