Beranda / Romansa / Jangan Pegang, Coach / Bab 6 : Diam yang Mengerti

Share

Bab 6 : Diam yang Mengerti

Penulis: Mey_Lee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-03 13:11:06

Keesokan malamnya, rumah terasa terlalu sempit untuk Mey. Televisi menyala di ruang tengah, tapi suaranya cuma jadi latar kosong. Ponsel di meja tak berbunyi, tapi justru keheningan itu membuat pikirannya semakin bising. Sejak pelukan kemarin malam, ada sesuatu yang berbeda di tubuhnya. Bukan sekadar hangatnya pelukan itu, tapi sensasi yang menempel lama, seolah setiap inci kulitnya masih mengingat tekanan lengan Rafael di bahunya.

Ia mencoba membaca, lalu menonton sesuatu, tapi pikirannya selalu melayang ke arah yang sama. Pada akhirnya, dia menyerah. Ditariknya jaket tipis dari gantungan, lalu keluar rumah tanpa tujuan jelas… atau mungkin tujuannya sudah jelas sejak awal.

Jam di dasbor mobil menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit saat Mey memarkir di depan gym. Tempat itu hampir kosong. Dari luar, hanya terlihat sedikit cahaya keluar dari sela tirai. Saat ia masuk, suara musik pelan menyambut, bercampur bau familiar—aroma campuran karet matras, besi, dan sedikit wangi keringat yang entah kenapa justru membuatnya tenang.

Rafael ada di pojok ruangan, merapikan barbell ke rak. Kaosnya basah di bagian dada dan punggung, rambutnya sedikit berantakan seperti habis latihan sendiri. Begitu melihat Mey, dia berhenti, lalu tersenyum kecil.

“Hai?,” katanya, nada suaranya terdengar heran tapi hangat.

Mey pura-pura cuek. “Bosen di rumah.”

Rafael menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Oke. Stretching ringan aja, ya. Badanmu kemarin udah cukup kerja keras.”

Tanpa banyak tanya, ia mengambil dua matras dan membentangkannya di tengah ruangan. Lampu di atas kepala mereka diredupkan sedikit, membuat bayangan mereka jatuh panjang di lantai.

“Duduk dulu,” katanya. Mey menuruti, menyilangkan kaki di matras. Rafael duduk di belakangnya, jarak mereka cukup dekat untuk Mey merasakan hawa tubuhnya.

“Tegakkan punggung… tarik napas… buang pelan-pelan.” Suaranya rendah, mantap. Mey memejamkan mata, mengikuti. Tapi begitu telapak tangan Rafael menyentuh punggungnya untuk memperbaiki posisi, tubuhnya refleks menegang.

“Relax…” bisiknya, hampir menyentuh telinga. Nafas Mey langsung berantakan.

Rafael memandu tubuhnya menunduk perlahan. “Jangan lawan,” tambahnya. Jemarinya menekan lembut di bahu, memastikan ototnya meregang tanpa cedera. Sentuhan itu sederhana, profesional. Tapi di tubuh Mey, efeknya lain. Setiap tekanan terasa seperti aliran listrik yang menyusuri tulang belakangnya.

Stretching berlanjut ke posisi berbaring. Mey merebahkan punggung, menatap langit-langit, berusaha fokus pada instruksi. Rafael berlutut di sampingnya, memegang salah satu kakinya dan mengangkatnya perlahan untuk meregangkan otot paha belakang.

“Tarik napas… buang,” katanya, matanya sesekali melirik wajah Mey untuk memastikan dia baik-baik saja.

Tapi saat jari Rafael secara tidak sengaja menyentuh bagian dalam pahanya, Mey kembali menegang. Bukan menolak—tapi terlalu sadar. Ia memejamkan mata. Bukan karena takut, tapi karena sensasi itu membangkitkan sesuatu yang sudah lama ia kunci rapat-rapat.

Tubuhnya mulai mengingat.

Aroma tubuh Rafael yang bercampur dengan bau sabun yang samar. Cara dia membimbing gerakan, sabar tapi tegas. Kehangatan yang kontras dengan dinginnya lantai di bawah matras. Nafasnya semakin berat, dadanya naik turun tak beraturan.

Rafael memperhatikan, lalu berhenti sejenak. “Kamu… oke?” tanyanya pelan.

Mey membuka mata, menggigit bibirnya sendiri.

Tatapan mereka terkunci. Tidak ada yang bergerak. Jeda itu terlalu lama untuk disebut kebetulan.

Perlahan, Rafael menurunkan kakinya. Tapi dia tidak mundur. Tangannya menyapu rambut Mey yang jatuh di pipi, menyelipkannya ke belakang telinga. Jemarinya berhenti di rahang, hanya diam di sana.

Mey menahan napas. Detik terasa panjang.

Tanpa sadar, ia bergeser sedikit, menghadap Rafael. Nafas mereka bercampur, jaraknya hanya beberapa sentimeter. Tidak ada kata-kata. Tapi dalam diam itu, mereka berbicara banyak—tentang rasa ingin, tentang rasa takut, tentang hal-hal yang tak bisa diucapkan.

Rafael mengusap pelan sisi wajah Mey, lalu menarik diri, duduk bersila di sampingnya. Tidak ada gerakan terburu-buru. Tidak ada candaan untuk menutupi suasana.

Mey tetap berbaring, matanya menatap lampu redup di atas. Nafasnya mulai stabil, tapi di dadanya ada sesuatu yang bergerak.

“Aku nggak mau bikin kamu nyesel,” kata Rafael akhirnya, suaranya rendah.

Mey menoleh, bibirnya bergerak pelan. “Gak akan.”

Rafael menatapnya lama. Ada rindu di matanya, bercampur ragu. Tapi ia memilih diam.

Malam itu berakhir tanpa pelukan, tanpa ciuman. Tapi justru itu yang membuat keduanya semakin sulit berpaling. Karena di antara napas yang mereka tahan, di antara jarak yang sengaja dijaga, tubuh mereka sudah saling mengerti.

Ketika Mey akhirnya berdiri dan mengambil tasnya, Rafael hanya berkata, “Hati-hati di jalan.”

Mey mengangguk, tapi di dalam hati ia tahu, sejak malam ini, rasa itu sudah terlalu besar untuk diabaikan. Dan sejak malam ini, bayangan Rafael menghantui gairahnya yang terpendam. Ia menyusuri dirinya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 74 : Social Proof

    Kamis Sore – Kantor LondonSeharian energi di kantor agak lain. Nggak ada yang blak-blakan bilang apa-apa, tapi vibe-nya kebaca. Beberapa kolega lempar komentar ringan kayak, “Wah, kalian makin kompak ya,” atau “Dynamic partnership-nya udah enak banget dilihat.”Mey cuma senyum diplomatis. Rafael jawab santai, “Ya, sinkronisasi kerjaan kita memang target dari awal.”Tapi mereka sama-sama tau: orang bisa ngerasain energi. Dan sekarang, energinya beda.Jam 3 sore – Ruang MeetingMereka lagi bahas follow-up kontrak Garuda. Di tengah diskusi, salah satu staff nyeletuk, “Kalau boleh jujur, approach kalian tuh udah kayak udah bertahun-tahun tandem bareng. Jarang ada partner bisnis yang klik kayak gini.”Mey lempar senyum profesional. “Syukurlah kalau kelihatan gitu. Itu berarti struktur partnership kita jalan.”Tapi dalam hati, dia tahu “klik” yang orang lihat jauh lebih dalam daripada sekadar bisnis.Jam 5 sore – Coffee B

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 73 : Integration

    Kamis Pagi – 7 AM – Flat MeyMey kebangun pas cahaya matahari nyusup lewat tirai tipis. Rafael masih tidur di sampingnya, satu tangan melingkar di pinggang, napasnya tenang di tengkuknya.Semalam bukan cuma soal “domestic experiment.” Itu kayak breakthrough. Nggak cuma fisik, tapi juga emosional. Untuk pertama kali, mereka bener-bener nggak nahan apa pun.Oh, jadi gini rasanya integration.“Morning,” suara Rafael serak, setengah sadar.“Morning.”Dia nyium pelan bahu Mey. “How do you feel?”“Complete. Kayak semua pieces akhirnya nyatu.”“No regrets?”“Nggak ada. Kamu?”“Cuma nyesel kenapa baru sekarang.”Mey ketawa tipis. “Mungkin memang waktunya harus pas. Kita juga mesti siap dulu buat sampai ke titik ini.”“Yeah, maybe.”Mereka diem sebentar, tapi heningnya enak. Bukan awkward.“Raff?” Mey manggil.“Mmm?”“Aku pengen pastiin semalam itu b

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 72 : Eksperimen Domestik

    Rabu Sore - 6:30 PM - Flat Mey, LondonMey sibuk beres-beres flat dengan energi setengah gugup yang nggak dia kira bakal muncul. Rafael udah pernah main ke sini sebelumnya, tapi malam ini beda. Malam ini mereka sepakat nyobain sesuatu yang lebih nyata: domestic experiment.Flat Mey lebih kecil dibanding punya Rafael, tapi jauh lebih personal. Buku-buku berantakan tapi tertata, tanaman di jendela, print art di dinding, bantal sofa yang warnanya nggak nyambung tapi anehnya cocok. Tempat yang jelas-jelas nunjukin siapa Mey, bukan tempat yang dibuat buat “ngeselin tamu.”Jam tujuh pas, bel bunyi.“Hey,” Rafael muncul di pintu bawa wine sama paper bag gede. “I brought supplies.”Mey ngangkat alis. “Supplies apa?”“Bahan masakan buat dinner, dessert, sama wine biar ada alasan buat toast sukses partnership kita.”Kepala Mey geleng. “Kamu nggak harus repot gitu—”“Justru pengen. Lagian aku penasaran sama skill dapur kam

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 71 : Profesional dan Pengakuan

    Selasa Malam – 7 PM – Restoran Central LondonMey datang lima menit lebih awal. Dress navy yang rapi tapi tetap elegan, rambut ditata simpel, polished tapi nggak ribet. Malam ini penting—pertama kali dia datang ke client dinner bukan sebagai support staff, tapi sebagai partner.Rafael udah nunggu di bar area. Dark suit, aura authoritative banget. Begitu lihat Mey, dia senyum—kombinasi antara bangga secara profesional dan personal.“You're perfect,” katanya pelan.“Business-appropriate?”“Business-appropriate dan confident. Persis yang kita butuhin malam ini.”Mr. Suharto dan Mrs. Chen dari Garuda muncul tepat waktu. Rafael dan Mey berdiri berdampingan, presenting diri mereka sebagai satu tim yang solid."Good evening," Rafael extend hand untuk handshake. "Thank you for making time to this follow-up discussion.""Our pleasure," Mr. Suharto respond. "And Ms. Mey, delighted to see you again.""Th

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 70 : Antara Pekerjaan dan Perasaan

    Senin Pagi - 8:30 AM - Kantor Bersama LondonMey sengaja datang lima menit lebih awal dari Rafael. Dia butuh waktu buat settle dulu sebelum ngetes gimana dinamika baru mereka di kantor.Kopi udah ready, laptop nyala, dokumen Garuda follow-up rapi di meja. Mode kerja: on.Rafael masuk dengan kemeja navy andalannya. Langkahnya percaya diri, tapi tatapannya lain—hangat, ada familiar vibe yang cuma mereka berdua ngerti.“Pagi,” katanya, suaranya biasa, tapi ada sesuatu di baliknya.“Pagi. Kopi udah siap.”“Thanks.”Interaksi kelihatan profesional, tapi di bawah permukaan ada subtext yang cuma mereka rasa. Persis kayak yang mereka omongin weekend kemarin.Rafael duduk, nyalain laptop. Tapi beberapa kali nyuri pandang ke Mey, kasih senyum kecil yang jelas-jelas bukan senyum standar kantor.“Agenda hari ini?” dia balik ke mode bisnis.“Refinement Garuda presentation, call sama Singapore project jam du

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 69 : Weekend Bareng

    11 AM – Tesco Grocery Store“Kamu suka susu yang mana?” Rafael nanya sambil megang dua karton di lorong dairy.“Full-fat. Hidup terlalu singkat buat pura-pura suka skimmed.”“Ok. Aku ambil yang almond milk .”Mey ketawa. “Nggak ada yang salah sih sama almond milk, tapi jelas bukan buat kopi. Dan aku tau itu buat perform body kamu kan?”“Correct.”Mereka muter-muter toko dengan lancar banget. Nggak ada drama soal merek, nggak ada debat panjang. Rafael otomatis ambil bagian sayur-buah, Mey fokus ke barang-barang kering. Kayak udah terbiasa aja.“Dinner nanti malam?” Mey nanya waktu mereka sampai di bagian daging. “Masak sendiri atau pesan aja?”“Liat dulu kemampuan masak kamu seberapa, selama nggak sama aku.”“Lumayan sih, asal jangan disuruh fancy.”“Aku juga sama. Bisa pasta, tumisan simpel, atau grill standar.”“Pasta kedengeran oke. Saus merah atau putih?”“Merah dulu. Saus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status