LOGINHujan turun sejak sore. Udara di rumah dingin, tapi bukan dingin yang menyenangkan. Dingin ini terasa seperti jarak—tebal, dingin, dan menempel di dinding. Mey duduk di ujung ranjang, menatap pintu kamar yang setengah terbuka. Dari luar terdengar suara suaminya menelepon seseorang, nada suaranya datar tapi sesekali diselingi tawa kecil yang jarang ia dengar lagi jika berbicara dengan Mey.
Rasanya seperti ada lubang di dadanya. Bukan karena cemburu, tapi karena menyadari ia sudah lama berhenti jadi alasan seseorang tersenyum. Beberapa menit kemudian, sebuah percakapan kecil meledak menjadi pertengkaran. Kata-kata kasar meluncur, tuduhan-tuduhan yang menusuk. Mey tidak membalas banyak, tapi setiap kalimat yang masuk seperti menampar sisi dirinya yang sudah rapuh. Ia akhirnya memilih mundur. Masuk ke kamar mandi, mengunci pintu. Duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air mata mengalir, tapi tanpa suara. Ia menggigit bibir, menahan napas, mencoba mengusir rasa sesak yang makin menguat. Saat keluar, rumah terasa seperti ruang hampa. Suaminya sudah pergi tanpa pamit. Mey menatap ponsel di meja. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Ia meraih jaket, kunci mobil, dan keluar tanpa tahu mau ke mana. Tapi langkahnya terasa otomatis, mengarah ke satu tempat yang sudah mulai menjadi rumah kedua: gym. --- Jam menunjukkan hampir setengah sebelas malam saat Mey masuk ke halaman parkir. Lampu di dalam gym masih menyala samar. Ia ragu sejenak, lalu masuk. Rafael ada di sana. Duduk di lantai dekat rak dumbbell, earphone tergeletak di sampingnya. Begitu melihat Mey, dia langsung berdiri. Tatapannya tidak bertanya, tidak memaksa. “Kamu…” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Mey hanya menghela napas, mencoba tersenyum tapi gagal. “Aku cuma… nggak mau di rumah.” Rafael menatapnya lama, lalu menunjuk bangku panjang di sudut. “Sini.” Mereka duduk bersebelahan, jarak di antara mereka hanya beberapa senti. Tidak ada suara musik. Hanya bunyi hujan di luar dan desis penyejuk udara di sana. Mey menatap ke depan, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Nafasnya masih berat, matanya sedikit bengkak. Rafael tidak bertanya “kenapa” atau “apa yang terjadi”. Dia hanya duduk di situ, menunggu. Keheningan itu anehnya terasa nyaman. Bukannya membuatnya gugup, tapi justru memberinya ruang. Ruang untuk merasa tanpa harus menjelaskan. Setelah beberapa menit, Rafael bergumam, “Kalau mau nangis, nggak usah ditahan.” Mey tersenyum kecil, pahit. “Aku capek nangis.” Rafael mengangguk pelan, seolah mengerti bahwa lelah yang dia maksud bukan sekadar fisik. “Capek juga boleh istirahat. Nggak harus selalu kuat, Mey.” Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti kunci yang membuka pintu yang selama ini Mey kunci rapat-rapat. Ia menunduk, dan air mata jatuh begitu saja, tanpa bisa dicegah. Tidak tersedu, hanya mengalir pelan. Rafael diam. Tapi di tengah diam itu, dia menggeser duduknya sedikit lebih dekat, lalu menyentuh punggung Mey pelan. Sentuhan itu ringan, tapi hangatnya menembus jaket tipis yang ia kenakan. Mey memejamkan mata, membiarkan dirinya merasakan momen itu. Pelukan bukan hal asing dalam hidupnya, tapi sudah lama ia tidak merasakan pelukan yang datang tanpa tuntutan. Rafael memeluknya sebentar, lalu melepas. Bukan karena enggan, tapi karena dia tahu Mey butuh ruang. Mereka kembali duduk seperti semula. Tidak ada kata-kata manis, tidak ada janji-janji kosong. Tapi di udara, ada rasa saling mengerti yang sulit dijelaskan. --- Beberapa lama kemudian, Mey bersandar ke belakang, matanya menatap langit-langit gym. “Kamu tahu nggak rasanya… tinggal serumah, tapi kayak nggak ada rumah?” Rafael menoleh sebentar. “Tahu.” Mey mengangkat alis, setengah tak percaya. “Serius?” Rafael mengangguk. “Rumah bukan cuma soal tembok dan atap, kan? Kadang, orang yang kita pikir rumah, justru jadi orang yang bikin kita nyasar.” Mey menelan ludah, menatap lantai. Kata-kata itu seperti mengambil alih pikirannya. “Makanya kamu di sini malam-malam gini?” tanya Mey pelan. Rafael tersenyum tipis. “Mungkin. Atau mungkin aku cuma nungguin kamu.” Mey menatapnya. Tidak ada nada bercanda di wajah Rafael, tapi juga tidak ada tekanan. Kalimat itu hanya melayang di udara, dibiarkan menggantung tanpa harus dijawab. --- Hujan masih deras di luar saat Mey akhirnya berdiri. Rafael ikut berdiri, menatapnya lama sebelum berkata, “Kamu mau aku anter?” Mey menggeleng. “Nggak usah. Aku masih mau duduk di mobil sebentar.” Rafael mengangguk. “Oke. Hati-hati, ya.” Mey menatapnya sekali lagi sebelum berjalan keluar. Ada sesuatu di matanya yang berat untuk diartikan. Di dalam mobil, ia tidak langsung menyalakan mesin. Tangannya masih terasa hangat di tempat Rafael tadi menyentuh punggungnya. Rasanya… hangat yang tidak ingin cepat hilang. Malam ini bukan tentang obrolan panjang atau momen dramatis. Ini tentang duduk berdampingan, membiarkan keheningan bicara, dan merasakan bahwa di suatu tempat, ada seseorang yang bisa mengerti tanpa harus dijelaskan. Dan entah kenapa, bagi Mey, itu terasa lebih berarti daripada seribu kata. ---Mey kebangun karena cahaya pagi nyelinap masuk lewat tirai apartemen Kemang. Rafael masih tidur, tangannya masih melingkar di pinggangnya. Mey nggak langsung gerak, cuma diam di situ, menikmati kehangatan dan kedekatan yang rasanya baru balik lagi setelah lama hilang.Tadi malam terasa seperti sesuatu yang lama Mey butuhkan.Bukan cuma soal fisik tapi juga batin. Mereka nyambung lagi di level yang lebih dalam.Rafael bergerak sedikit, matanya mulai terbuka."Morning," bisiknya."Morning.""Sleep well?""Very."Rafael senyum tipis, nyium bahu Mey pelan."Good."Mereka tetap di kasur lebih lama dari biasanya. No rush. No alarm. Cuma cahaya pagi dan diam yang nyaman."Hari ini hari terakhir," kata Mey pelan."Iya. Besok kamu packing, lusa kamu terbang.""Nervous?""Sedikit... tapi lebih lebih tenang sekarang. Setelah dua hari ini."Mey angguk, "Me too."
Pagi itu di apartemen Kemang. Mey bangun duluan. Rafael masih tidur, nafasnya masih pelan. Mey liat wajah Rafael sebentar, ada garis lelah di dahi, bahkan waktu tidur. Pelan-pelan, Mey keluar ke balkon, bawa kopi, duduk di kursi yang semalam mereka duduki. Udara Jakarta masih tenang, langit mulai terang. Tiga hari. Cuma tiga hari sebelum Mey berangkat. Tiga hari buat mereka 'figure this out'. Tapi gimana caranya? Dari mana mulainya?. Pintu balkon terbuka pelan. Rafael keluar, rambut berantakan dan mata masih sembab. "Pagi," suara Rafael serak. Mey menoleh, tersenyum. "Pagi. Mau kopi?" "Udah ada?" Mey ngangkat mug kedua yang udah disiapin dari tadi. Rafael senyum kecil, ambil, terus duduk di kursi sebelah Mey. Mereka diam beberapa saat. Nggak awkward, tapi berat "Aku udah mikir," kata Rafael akhirnya. "Soal kemarin." "Aku juga." "Dan aku mau usul sesuatu." Mey menoleh, "Apa?" "Mulai hari ini sampai minggu. Kita pakai waktu cuma buat kita berdua. No work. N
Rafael bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm bunyi jam 5, dia langsung bangun, mandi cepat dan siap-siap buat site visit. Mey masih setengah sadar waktu Rafael keluar dari kamar mandi. "Udah mau berangkat?" tanya Mey dengan suara serak. "Iya. Meeting sama kontraktor jam enam. Sorry ya, kalau ganggu tidur kamu." "Nggak papa. Hati-hati ya." "Will do." Rafael nyium kening Mey sebentar sebelum berangkat. Setelah suara pintu tertutup, apartemen langsung berasa sepi lagi. Mey bengong sebentar, terus ngambil HP. Ada email dari Emma yang belum sempat dia balas. Mey ngetik pelan: Emma, I'm in. When do you need me there? Lima menit kemudian, balasan dari Emma pun masuk: Perfect. Flight Monday next week. I'll send the details. Thanks, Mey. You're lifesaver. Mey taruh HP-nya di meja, ngeliat ke langit-langit. Ada rasa lega yang seolah-olah udah mutusin sesuatu yang benar, tapi tetap kerasa nyesek. Mey tarik nafas panjang, "Aku belum bilang ke Rafael." gumamnya pelan. Sementara i
Mey kebangun jam setengah enam. Rafael masih tidur di sofa dengan posisi yang sama kayak semalam. Laptop Rafael masih nyala, belum di matikan, tapi layarnya udah gelap. Mey ambil selimut dikamar, buat nutup tubuh Rafael pelan-pelan sebelum ke dapur bikin kopi. Sambil nunggu air panas, Mey buka HP-nya. Dan liat email masuk dari Emma. Subject: Singapore Side. Need Your Input. Mey, We're expanding our wellnes modul to two new corporate clients in Singapore. I need a senior person to handle the setup, which will take about 2-3 weeks on-the-ground. You're my first pick. Let me know if you're up for it. - Emma. Mey baca ulang. Dua sampai tiga minggu di Singapura. Artinya ninggalin Rafael pas lagi sibuk-sibuknya bangun RafFit studio. Waktunya... Nggak pas. Mey belum bales. Mey buka kalender dan liat jadwal Jakarta yang saling tabrakan. Nggak lama, Rafael muncul dari ruang tamu. Rambutnya acak-acakan, matanya masih setengah terbuka. "Pagi," kata Rafael dengan suara yang serak. "Pag
Alarm Rafael bunyi jam enam. Dia langsung matiin cepat, takut ganggu Mey yang masih tidur. Tapi, Mey udah kebangun dulu. "Pagi," sapa Mey pelan sambil buka mata. "Pagi. Sorry, volume alarm aku kegedean." "Nggak papa. Aku juga udah mau bangun." Rafael mandi lebih dulu, Mey nyiapin kopi. Rutinitas pagi yang udah jadi kebiasaan. Nggak banyak ngomong tapi nyaman. Sarapan mereka sederhana. Hanya roti panggang, telur dan kopi hitam. "Hari ini sibuk?" tanya Mey sambil ngunyah. "Lumayan. Ada site visit sama kontraktor jam sepuluh, terus lanjut meeting sama Gery soal revisi budget." "Sinta ikut?" tanya Mey lagi. Rafael diem sebentar. "Kayaknya iya. Dia kan lead marketing." Mey angguk. "I see." Rafael natap Mey serius. "Kamu nggak papa, kan?" "Yeah. Maksud aku... ini urusan kerjaan. Aku nggak boleh berharap kamu ngindarin dia." "Tapi kalau kamu nggak nyaman... " "Aku nyaman." potong Mey sambil senyum kecil. "Serius. Aku cuma masih menyesuaikan. Tapi aku percaya kamu." Rafael gengg
Senin pagi – Apartemen KemangMey bangun jam enam, tapi udah nggak bisa tidur lagi sejak jam lima. Pikirannya terus balik ke malam kemarin—nama Sinta di layar HP Rafael, cara dia cepat-cepat matiin notifikasi, dan jawaban "besok aja" yang terlalu... ringan.Dia keluar ke balkon, bawa kopi, duduk sambil lihat Jakarta yang mulai bangun. Langit masih kelabu, udara dingin, tapi ada sesuatu yang terasa berat pagi ini.*Aku nggak mau jadi orang yang insecure. Tapi kenapa rasanya ada yang nggak pas?* batin Mey.Rafael keluar beberapa menit kemudian, masih pakai kaos tidur, rambut acak-acakan."Udah bangun lama?" tanyanya sambil duduk di sebelah Mey."Sejam-an.""Nggak bisa tidur?""Bisa. Cuma... kepikiran."Rafael diam sebentar, sensing something. "Kepikiran apa?"Mey pause, mikir apakah mau nanya atau nggak. Akhirnya dia mutusin untuk jujur."Kemarin... Sinta chat kamu, kan?"Rafael







