Home / Romansa / Jangan Pegang, Coach / Bab 7 : Lelah yang Mengarah ke Rafael

Share

Bab 7 : Lelah yang Mengarah ke Rafael

Author: Mey_Lee
last update Last Updated: 2025-08-04 13:50:01

Hujan turun sejak sore. Udara di rumah dingin, tapi bukan dingin yang menyenangkan. Dingin ini terasa seperti jarak—tebal, dingin, dan menempel di dinding. Mey duduk di ujung ranjang, menatap pintu kamar yang setengah terbuka. Dari luar terdengar suara suaminya menelepon seseorang, nada suaranya datar tapi sesekali diselingi tawa kecil yang jarang ia dengar lagi jika berbicara dengan Mey.

Rasanya seperti ada lubang di dadanya. Bukan karena cemburu, tapi karena menyadari ia sudah lama berhenti jadi alasan seseorang tersenyum.

Beberapa menit kemudian, sebuah percakapan kecil meledak menjadi pertengkaran. Kata-kata kasar meluncur, tuduhan-tuduhan yang menusuk. Mey tidak membalas banyak, tapi setiap kalimat yang masuk seperti menampar sisi dirinya yang sudah rapuh.

Ia akhirnya memilih mundur. Masuk ke kamar mandi, mengunci pintu. Duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air mata mengalir, tapi tanpa suara. Ia menggigit bibir, menahan napas, mencoba mengusir rasa sesak yang makin menguat.

Saat keluar, rumah terasa seperti ruang hampa. Suaminya sudah pergi tanpa pamit.

Mey menatap ponsel di meja. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Ia meraih jaket, kunci mobil, dan keluar tanpa tahu mau ke mana. Tapi langkahnya terasa otomatis, mengarah ke satu tempat yang sudah mulai menjadi rumah kedua: gym.

---

Jam menunjukkan hampir setengah sebelas malam saat Mey masuk ke halaman parkir. Lampu di dalam gym masih menyala samar. Ia ragu sejenak, lalu masuk.

Rafael ada di sana. Duduk di lantai dekat rak dumbbell, earphone tergeletak di sampingnya. Begitu melihat Mey, dia langsung berdiri. Tatapannya tidak bertanya, tidak memaksa.

“Kamu…” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.

Mey hanya menghela napas, mencoba tersenyum tapi gagal. “Aku cuma… nggak mau di rumah.”

Rafael menatapnya lama, lalu menunjuk bangku panjang di sudut. “Sini.”

Mereka duduk bersebelahan, jarak di antara mereka hanya beberapa senti. Tidak ada suara musik. Hanya bunyi hujan di luar dan desis penyejuk udara di sana.

Mey menatap ke depan, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Nafasnya masih berat, matanya sedikit bengkak. Rafael tidak bertanya “kenapa” atau “apa yang terjadi”. Dia hanya duduk di situ, menunggu.

Keheningan itu anehnya terasa nyaman. Bukannya membuatnya gugup, tapi justru memberinya ruang. Ruang untuk merasa tanpa harus menjelaskan.

Setelah beberapa menit, Rafael bergumam, “Kalau mau nangis, nggak usah ditahan.”

Mey tersenyum kecil, pahit. “Aku capek nangis.”

Rafael mengangguk pelan, seolah mengerti bahwa lelah yang dia maksud bukan sekadar fisik. “Capek juga boleh istirahat. Nggak harus selalu kuat, Mey.”

Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti kunci yang membuka pintu yang selama ini Mey kunci rapat-rapat. Ia menunduk, dan air mata jatuh begitu saja, tanpa bisa dicegah. Tidak tersedu, hanya mengalir pelan.

Rafael diam. Tapi di tengah diam itu, dia menggeser duduknya sedikit lebih dekat, lalu menyentuh punggung Mey pelan. Sentuhan itu ringan, tapi hangatnya menembus jaket tipis yang ia kenakan.

Mey memejamkan mata, membiarkan dirinya merasakan momen itu. Pelukan bukan hal asing dalam hidupnya, tapi sudah lama ia tidak merasakan pelukan yang datang tanpa tuntutan.

Rafael memeluknya sebentar, lalu melepas. Bukan karena enggan, tapi karena dia tahu Mey butuh ruang.

Mereka kembali duduk seperti semula. Tidak ada kata-kata manis, tidak ada janji-janji kosong. Tapi di udara, ada rasa saling mengerti yang sulit dijelaskan.

---

Beberapa lama kemudian, Mey bersandar ke belakang, matanya menatap langit-langit gym. “Kamu tahu nggak rasanya… tinggal serumah, tapi kayak nggak ada rumah?”

Rafael menoleh sebentar. “Tahu.”

Mey mengangkat alis, setengah tak percaya. “Serius?”

Rafael mengangguk. “Rumah bukan cuma soal tembok dan atap, kan? Kadang, orang yang kita pikir rumah, justru jadi orang yang bikin kita nyasar.”

Mey menelan ludah, menatap lantai. Kata-kata itu seperti mengambil alih pikirannya.

“Makanya kamu di sini malam-malam gini?” tanya Mey pelan.

Rafael tersenyum tipis. “Mungkin. Atau mungkin aku cuma nungguin kamu.”

Mey menatapnya. Tidak ada nada bercanda di wajah Rafael, tapi juga tidak ada tekanan. Kalimat itu hanya melayang di udara, dibiarkan menggantung tanpa harus dijawab.

---

Hujan masih deras di luar saat Mey akhirnya berdiri. Rafael ikut berdiri, menatapnya lama sebelum berkata, “Kamu mau aku anter?”

Mey menggeleng. “Nggak usah. Aku masih mau duduk di mobil sebentar.”

Rafael mengangguk. “Oke. Hati-hati, ya.”

Mey menatapnya sekali lagi sebelum berjalan keluar. Ada sesuatu di matanya yang berat untuk diartikan.

Di dalam mobil, ia tidak langsung menyalakan mesin. Tangannya masih terasa hangat di tempat Rafael tadi menyentuh punggungnya. Rasanya… hangat yang tidak ingin cepat hilang.

Malam ini bukan tentang obrolan panjang atau momen dramatis. Ini tentang duduk berdampingan, membiarkan keheningan bicara, dan merasakan bahwa di suatu tempat, ada seseorang yang bisa mengerti tanpa harus dijelaskan.

Dan entah kenapa, bagi Mey, itu terasa lebih berarti daripada seribu kata.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 9 : Cinta yang Tersembunyi Dibalik Nama Profesional

    Ruangan gym itu seakan punya aroma yang sama setiap sore, bau keringat bercampur parfum maskulin, dengan musik beat pelan yang terus diputar dari speaker di sudut dinding. Tapi sore ini, rasanya semua lebih intens. Entah karena Mey datang lebih awal, atau karena ia sengaja ingin memastikan apakah Rafael benar-benar sibuk melatih orang lain, bukan sekadar alasan untuk menjauh. Mey berdiri di depan cermin besar, pura-pura merapikan tali sepatunya, padahal dari sudut matanya, ia mengamati Rafael yang sedang menjelaskan gerakan pada klien wanita di treadmill. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Bukan cemburu, tapi lebih pada perasaan aneh: perasaan memiliki, padahal mereka tidak pernah benar-benar mengikatkan apa pun. Seolah tahu sedang diperhatikan, Rafael menoleh. Tatapan mereka bertemu sebentar. Mey buru-buru menunduk, pura-pura sibuk memeriksa ponselnya. Ia bisa merasakan detak jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Tak lama kemudian, Rafael menghampi

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 8 : Batas yang Terlampaui

    Gym sore itu nyaris kosong. Musik dari speaker nyaris tenggelam oleh sunyi. Cahaya senja dari jendela kaca panjang menyorot ke lantai, meninggalkan bayangan alat-alat beban yang seolah mengintai dari kejauhan. Hanya ada Mey, dan Rafael.Peluh masih mengalir pelan di pelipis Mey, tubuhnya baru saja selesai latihan. Tapi bukan lelah yang kini menguasai tubuhnya—melainkan gugup, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa penasaran. Rafael berdiri di hadapannya, masih mengenakan kaos training ketat dan celana pendek gym, tubuhnya tampak mengilat di bawah lampu.“Masih kuat?” suara Rafael rendah, serak, ada jeda aneh di ujung kalimatnya.Mey menelan ludah. “Enggak tahu... mungkin iya.”Dia mendekat. Gerakannya lambat, tapi jelas. Tidak ada lagi jarak formal antara mereka. Dan ketika Rafael menyentuh pinggang Mey—bukan untuk koreksi postur, bukan juga karena alasan latihan—semua peringatan dalam kepala Mey hilang seketika.Tangannya hangat. Mey

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 7 : Lelah yang Mengarah ke Rafael

    Hujan turun sejak sore. Udara di rumah dingin, tapi bukan dingin yang menyenangkan. Dingin ini terasa seperti jarak—tebal, dingin, dan menempel di dinding. Mey duduk di ujung ranjang, menatap pintu kamar yang setengah terbuka. Dari luar terdengar suara suaminya menelepon seseorang, nada suaranya datar tapi sesekali diselingi tawa kecil yang jarang ia dengar lagi jika berbicara dengan Mey. Rasanya seperti ada lubang di dadanya. Bukan karena cemburu, tapi karena menyadari ia sudah lama berhenti jadi alasan seseorang tersenyum. Beberapa menit kemudian, sebuah percakapan kecil meledak menjadi pertengkaran. Kata-kata kasar meluncur, tuduhan-tuduhan yang menusuk. Mey tidak membalas banyak, tapi setiap kalimat yang masuk seperti menampar sisi dirinya yang sudah rapuh. Ia akhirnya memilih mundur. Masuk ke kamar mandi, mengunci pintu. Duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air mata mengalir, tapi tanpa suara.

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 6 : Diam yang Mengerti

    Keesokan malamnya, rumah terasa terlalu sempit untuk Mey. Televisi menyala di ruang tengah, tapi suaranya cuma jadi latar kosong. Ponsel di meja tak berbunyi, tapi justru keheningan itu membuat pikirannya semakin bising. Sejak pelukan kemarin malam, ada sesuatu yang berbeda di tubuhnya. Bukan sekadar hangatnya pelukan itu, tapi sensasi yang menempel lama, seolah setiap inci kulitnya masih mengingat tekanan lengan Rafael di bahunya.Ia mencoba membaca, lalu menonton sesuatu, tapi pikirannya selalu melayang ke arah yang sama. Pada akhirnya, dia menyerah. Ditariknya jaket tipis dari gantungan, lalu keluar rumah tanpa tujuan jelas… atau mungkin tujuannya sudah jelas sejak awal.Jam di dasbor mobil menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit saat Mey memarkir di depan gym. Tempat itu hampir kosong. Dari luar, hanya terlihat sedikit cahaya keluar dari sela tirai. Saat ia masuk, suara musik pelan menyambut, bercampur bau familiar—aroma campuran karet matras, besi, dan sedikit wangi keringat yan

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 5 : Pelukan yang Tak Disengaja

    Hujan deras mengguyur kota malam itu. Air memantul di aspal, lampu-lampu jalan buram tertutup butiran hujan yang jatuh tanpa jeda.Mey berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan pikiran yang penuh. Notifikasi transaksi hotel itu masih membekas di kepalanya. Nama hotelnya, jamnya, keterangan “couple only” yang menampar langsung ke ulu hati. Rasanya perih, tapi anehnya... matanya kering.Bukannya ingin menangis, yang Mey rasakan justru sesak. Kayak ada beban yang makin berat kalau ia tetap berada di rumah.Tanpa banyak pikir, ia ganti pakaian, pakai hoodie abu-abu, dan keluar rumah. Bukan untuk ke minimarket, bukan juga untuk sekadar jalan. Kakinya membawa ke satu-satunya tempat yang bisa membuatnya bernapas.Jam dinding gym sudah menunjukkan pukul hampir sepuluh malam saat Mey tiba. Biasanya jam segitu suasana sudah sepi. Tapi lampu di dalam masih menyala. Ia mendorong pintu, dan seperti sudah bisa ditebak, Rafael ada di sana.Dia sedang menyeka alat treadmill, earphone menggan

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 4 : Nafas yang Tertahan.

    Sudah beberapa minggu sejak Mey dan Rafael mulai saling lempar candaan disela latihan. Awalnya, semua terasa biasa saja. Seperti hubungan pelatih dan klien pada umumnya. Tapi sejak Rafael mulai bawain handuk bersih sebelum sesi dimulai, atau mengingatkan Mey buat minum dari botol minum favoritnya, semuanya jadi terasa...beda. Hari itu gym agak sepi. Musik instrumental mengalun pelan, mengisi ruang di antara alat-alat berat dan bayangan mereka yang memantul samar di kaca besar. Rafael berdiri tak jauh dari Mey. Tapi cukup dekat untuk bikin jantung Mey berdetak sedikit lebih cepat."Udah minum? " tanya Rafael sambil menyodorkan botol air dinginnya."Udah sih..tapi makasih, " jawab Mey, tangannya menerima botol itu sambil, tanpa sadar, menahan nafas. Jari mereka sempat bersentuhan sebentar. Mey tertawa kecil. " Gila ya...dulu aku mikir gym tuh tempat bising, keringetan, dan capek banget. Tapi sekarang malah kerasa kayak...tempat buat nenangin diri. ""Karena kamu udah nemuin ritmemu se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status