Home / Romansa / Jangan Pegang, Coach / Bab 5 : Pelukan yang Tak Disengaja

Share

Bab 5 : Pelukan yang Tak Disengaja

Author: Mey_Lee
last update Last Updated: 2025-08-03 12:19:54

Hujan deras mengguyur kota malam itu. Air memantul di aspal, lampu-lampu jalan buram tertutup butiran hujan yang jatuh tanpa jeda.

Mey berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan pikiran yang penuh. Notifikasi transaksi hotel itu masih membekas di kepalanya. Nama hotelnya, jamnya, keterangan “couple only” yang menampar langsung ke ulu hati. Rasanya perih, tapi anehnya... matanya kering.

Bukannya ingin menangis, yang Mey rasakan justru sesak. Kayak ada beban yang makin berat kalau ia tetap berada di rumah.

Tanpa banyak pikir, ia ganti pakaian, pakai hoodie abu-abu, dan keluar rumah. Bukan untuk ke minimarket, bukan juga untuk sekadar jalan. Kakinya membawa ke satu-satunya tempat yang bisa membuatnya bernapas.

Jam dinding gym sudah menunjukkan pukul hampir sepuluh malam saat Mey tiba. Biasanya jam segitu suasana sudah sepi. Tapi lampu di dalam masih menyala. Ia mendorong pintu, dan seperti sudah bisa ditebak, Rafael ada di sana.

Dia sedang menyeka alat treadmill, earphone menggantung di leher. Begitu melihat Mey, Rafael langsung berdiri tegak.

“Kok malam-malam gini?” tanyanya, nada suaranya rendah, nggak terdengar seperti orang yang sedang basa-basi.

Mey mengangkat bahu, mencoba tersenyum tipis. “Di rumah... sumpek.”

Rafael nggak nanya lebih. Dia hanya mengangguk, lalu meletakkan kain lapnya. “Mau latihan atau mau duduk?”

Mey memilih duduk. Rafael ikut duduk di bangku dekat rak dumbbell, memberi sedikit jarak tapi tetap dalam jangkauan pandang.

Gym malam itu hampir hening. Hanya suara hujan di luar dan desisan AC. Mey menunduk, menatap jemarinya sendiri. Nafasnya belum stabil.

Rafael ada di sana. Diam. Tapi diamnya terasa penuh.

Beberapa menit begitu saja. Sampai akhirnya, Mey merasa dingin. Bukan cuma dari udara AC, tapi dari hujan yang tadi menempel di hoodie-nya. Tanpa pikir panjang, Rafael berdiri dan membuka loker, mengambil handuk. Dia berjalan kembali, lalu merentangkannya di tangan.

“Kamu basah. Nanti masuk angin,” ucapnya singkat.

Mey menerimanya, tapi ujung jarinya bersentuhan dengan jemari Rafael. Sentuhan singkat, tapi entah kenapa, bikin dadanya berdesir.

Rafael masih berdiri di depannya. Mey mencoba menutup jarak dengan pura-pura fokus mengeringkan hoodie. Tapi Rafael tetap menatapnya, tatapan yang... hangat sekaligus berat.

“Kamu dingin.” katanya lagi, kali ini lebih pelan.

Sebelum Mey sempat menjawab, Rafael melangkah maju. Dan tanpa memberi waktu untuk berpikir, lengannya melingkari bahu Mey.

Pelukan itu datang tiba-tiba. Hangat. Kokoh. Mey sempat kaku, tapi tubuhnya perlahan melemas. Dia membiarkan kepalanya menyentuh dada Rafael. Detak jantungnya terdengar jelas di telinga.

Aroma tubuh Rafael—campuran sabun, keringat, dan entah kenapa sedikit wangi kayu—menguar di udara. Membuat Mey menutup mata. Satu tarikan napas panjang, lalu satu lagi.

Rafael tidak bicara. Tidak bergerak banyak. Hanya mengeratkan pelukannya sedikit.

Waktu berjalan lebih lambat.

Mey tahu dia seharusnya menjauh. Dia tahu pelukan ini melanggar garis yang selama ini mereka pura-pura jaga. Tapi malam itu, dia tidak punya tenaga untuk menolak.

Ketika Rafael akhirnya melepaskan pelukan itu, ia menatap Mey dengan tatapan yang... rumit. Ada kekhawatiran, ada ragu, tapi juga ada sesuatu yang tak ingin dia sembunyikan.

“Maaf,” katanya.

Mey menggeleng pelan. “Terima kasih.”

Mereka kembali duduk, tapi kini udara di antara mereka sudah berubah. Rasanya lebih padat, lebih panas, walau hujan di luar terus turun.

Rafael akhirnya menawarkan untuk mengantar Mey pulang. Mey menerima. Sepanjang perjalanan di atas motor, mereka diam. Hanya suara mesin dan hujan yang menemani. Mey merapatkan tubuhnya sedikit ke punggung Rafael, mencoba menghindari percikan air. Dan saat jarak mereka semakin dekat, ia merasakan rasa aman yang ironisnya sudah lama hilang di rumahnya sendiri.

Begitu sampai, Rafael berhenti tepat di depan gerbang.

“Udah. Hati-hati masuknya. Licin,” katanya singkat.

Mey turun, melepaskan jas hujan yang Rafael pinjamkan, lalu menatapnya sebentar. “Makasih... untuk tadi.”

Rafael hanya mengangguk. Matanya menahan banyak hal yang tidak ia ucapkan.

Mey masuk, menutup pintu, lalu bersandar di baliknya.

Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang. Pelukan tadi terasa masih membekas di kulitnya. Hangatnya belum hilang. Dan entah kenapa, di tengah semua yang berantakan malam ini... pelukan itu menjadi satu-satunya hal yang terasa benar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 124 : Tiga Hari Lagi

    Pagi itu di apartemen Kemang. Mey bangun duluan. Rafael masih tidur, nafasnya masih pelan. Mey liat wajah Rafael sebentar, ada garis lelah di dahi, bahkan waktu tidur. Pelan-pelan, Mey keluar ke balkon, bawa kopi, duduk di kursi yang semalam mereka duduki. Udara Jakarta masih tenang, langit mulai terang. Tiga hari. Cuma tiga hari sebelum Mey berangkat. Tiga hari buat mereka 'figure this out'. Tapi gimana caranya? Dari mana mulainya?. Pintu balkon terbuka pelan. Rafael keluar, rambut berantakan dan mata masih sembab. "Pagi," suara Rafael serak. Mey menoleh, tersenyum. "Pagi. Mau kopi?" "Udah ada?" Mey ngangkat mug kedua yang udah disiapin dari tadi. Rafael senyum kecil, ambil, terus duduk di kursi sebelah Mey. Mereka diam beberapa saat. Nggak awkward, tapi berat "Aku udah mikir," kata Rafael akhirnya. "Soal kemarin." "Aku juga." "Dan aku mau usul sesuatu." Mey menoleh, "Apa?" "Mulai hari ini sampai minggu. Kita pakai waktu cuma buat kita berdua. No work. N

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 123 : Titik Puncak

    Rafael bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm bunyi jam 5, dia langsung bangun, mandi cepat dan siap-siap buat site visit. Mey masih setengah sadar waktu Rafael keluar dari kamar mandi. "Udah mau berangkat?" tanya Mey dengan suara serak. "Iya. Meeting sama kontraktor jam enam. Sorry ya, kalau ganggu tidur kamu." "Nggak papa. Hati-hati ya." "Will do." Rafael nyium kening Mey sebentar sebelum berangkat. Setelah suara pintu tertutup, apartemen langsung berasa sepi lagi. Mey bengong sebentar, terus ngambil HP. Ada email dari Emma yang belum sempat dia balas. Mey ngetik pelan: Emma, I'm in. When do you need me there? Lima menit kemudian, balasan dari Emma pun masuk: Perfect. Flight Monday next week. I'll send the details. Thanks, Mey. You're lifesaver. Mey taruh HP-nya di meja, ngeliat ke langit-langit. Ada rasa lega yang seolah-olah udah mutusin sesuatu yang benar, tapi tetap kerasa nyesek. Mey tarik nafas panjang, "Aku belum bilang ke Rafael." gumamnya pelan. Sementara i

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 122 : Jarak yang Belum Terlihat

    Mey kebangun jam setengah enam. Rafael masih tidur di sofa dengan posisi yang sama kayak semalam. Laptop Rafael masih nyala, belum di matikan, tapi layarnya udah gelap. Mey ambil selimut dikamar, buat nutup tubuh Rafael pelan-pelan sebelum ke dapur bikin kopi. Sambil nunggu air panas, Mey buka HP-nya. Dan liat email masuk dari Emma. Subject: Singapore Side. Need Your Input. Mey, We're expanding our wellnes modul to two new corporate clients in Singapore. I need a senior person to handle the setup, which will take about 2-3 weeks on-the-ground. You're my first pick. Let me know if you're up for it. - Emma. Mey baca ulang. Dua sampai tiga minggu di Singapura. Artinya ninggalin Rafael pas lagi sibuk-sibuknya bangun RafFit studio. Waktunya... Nggak pas. Mey belum bales. Mey buka kalender dan liat jadwal Jakarta yang saling tabrakan. Nggak lama, Rafael muncul dari ruang tamu. Rambutnya acak-acakan, matanya masih setengah terbuka. "Pagi," kata Rafael dengan suara yang serak. "Pag

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 121 : Perubahan Ritme

    Alarm Rafael bunyi jam enam. Dia langsung matiin cepat, takut ganggu Mey yang masih tidur. Tapi, Mey udah kebangun dulu. "Pagi," sapa Mey pelan sambil buka mata. "Pagi. Sorry, volume alarm aku kegedean." "Nggak papa. Aku juga udah mau bangun." Rafael mandi lebih dulu, Mey nyiapin kopi. Rutinitas pagi yang udah jadi kebiasaan. Nggak banyak ngomong tapi nyaman. Sarapan mereka sederhana. Hanya roti panggang, telur dan kopi hitam. "Hari ini sibuk?" tanya Mey sambil ngunyah. "Lumayan. Ada site visit sama kontraktor jam sepuluh, terus lanjut meeting sama Gery soal revisi budget." "Sinta ikut?" tanya Mey lagi. Rafael diem sebentar. "Kayaknya iya. Dia kan lead marketing." Mey angguk. "I see." Rafael natap Mey serius. "Kamu nggak papa, kan?" "Yeah. Maksud aku... ini urusan kerjaan. Aku nggak boleh berharap kamu ngindarin dia." "Tapi kalau kamu nggak nyaman... " "Aku nyaman." potong Mey sambil senyum kecil. "Serius. Aku cuma masih menyesuaikan. Tapi aku percaya kamu." Rafael gengg

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 120 : Retak yang Halus

    Senin pagi – Apartemen KemangMey bangun jam enam, tapi udah nggak bisa tidur lagi sejak jam lima. Pikirannya terus balik ke malam kemarin—nama Sinta di layar HP Rafael, cara dia cepat-cepat matiin notifikasi, dan jawaban "besok aja" yang terlalu... ringan.Dia keluar ke balkon, bawa kopi, duduk sambil lihat Jakarta yang mulai bangun. Langit masih kelabu, udara dingin, tapi ada sesuatu yang terasa berat pagi ini.*Aku nggak mau jadi orang yang insecure. Tapi kenapa rasanya ada yang nggak pas?* batin Mey.Rafael keluar beberapa menit kemudian, masih pakai kaos tidur, rambut acak-acakan."Udah bangun lama?" tanyanya sambil duduk di sebelah Mey."Sejam-an.""Nggak bisa tidur?""Bisa. Cuma... kepikiran."Rafael diam sebentar, sensing something. "Kepikiran apa?"Mey pause, mikir apakah mau nanya atau nggak. Akhirnya dia mutusin untuk jujur."Kemarin... Sinta chat kamu, kan?"Rafael

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 119 : Tenang yang Punya Bayangan

    Minggu pagi – Apartemen KemangSuara hujan tipis di luar jadi alarm paling damai pagi itu.Mey kebangun duluan. Rafael masih tidur di sebelah, napasnya tenang, wajahnya lembut, nggak ada lagi garis tegang yang beberapa hari ini sering muncul.Mey bangun pelan, jalan ke dapur, bikin sarapan simpel: scrambled eggs, roti panggang, dan kopi hitam.Dia cuma pengen hari ini tenang. Slow. Tanpa notifikasi, tanpa rapat, tanpa rencana besar.Setengah jam kemudian Rafael bangun, rambutnya berantakan, jalan ke dapur sambil nyengir.“Wah, ada sarapan. Aku ulang tahun, ya?”“Nggak,” jawab Mey, balik badan dan nyandarin diri ke pelukannya. “Cuma pengen aja. Kita jarang punya pagi kayak gini.”“True. Biasanya jam segini aku udah buka laptop.”“Makanya, hari ini full rest mode.”Rafael ketawa pelan. “Deal.”Mereka makan sambil dengerin suara hujan.Diamnya bukan dingin, tapi damai.Yang kayak nyembuhin dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status