Hujan deras mengguyur kota malam itu. Air memantul di aspal, lampu-lampu jalan buram tertutup butiran hujan yang jatuh tanpa jeda.
Mey berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan pikiran yang penuh. Notifikasi transaksi hotel itu masih membekas di kepalanya. Nama hotelnya, jamnya, keterangan “couple only” yang menampar langsung ke ulu hati. Rasanya perih, tapi anehnya... matanya kering.
Bukannya ingin menangis, yang Mey rasakan justru sesak. Kayak ada beban yang makin berat kalau ia tetap berada di rumah.
Tanpa banyak pikir, ia ganti pakaian, pakai hoodie abu-abu, dan keluar rumah. Bukan untuk ke minimarket, bukan juga untuk sekadar jalan. Kakinya membawa ke satu-satunya tempat yang bisa membuatnya bernapas.
Jam dinding gym sudah menunjukkan pukul hampir sepuluh malam saat Mey tiba. Biasanya jam segitu suasana sudah sepi. Tapi lampu di dalam masih menyala. Ia mendorong pintu, dan seperti sudah bisa ditebak, Rafael ada di sana.
Dia sedang menyeka alat treadmill, earphone menggantung di leher. Begitu melihat Mey, Rafael langsung berdiri tegak.
“Kok malam-malam gini?” tanyanya, nada suaranya rendah, nggak terdengar seperti orang yang sedang basa-basi.
Mey mengangkat bahu, mencoba tersenyum tipis. “Di rumah... sumpek.”
Rafael nggak nanya lebih. Dia hanya mengangguk, lalu meletakkan kain lapnya. “Mau latihan atau mau duduk?”
Mey memilih duduk. Rafael ikut duduk di bangku dekat rak dumbbell, memberi sedikit jarak tapi tetap dalam jangkauan pandang.
Gym malam itu hampir hening. Hanya suara hujan di luar dan desisan AC. Mey menunduk, menatap jemarinya sendiri. Nafasnya belum stabil.
Rafael ada di sana. Diam. Tapi diamnya terasa penuh.
Beberapa menit begitu saja. Sampai akhirnya, Mey merasa dingin. Bukan cuma dari udara AC, tapi dari hujan yang tadi menempel di hoodie-nya. Tanpa pikir panjang, Rafael berdiri dan membuka loker, mengambil handuk. Dia berjalan kembali, lalu merentangkannya di tangan.
“Kamu basah. Nanti masuk angin,” ucapnya singkat.
Mey menerimanya, tapi ujung jarinya bersentuhan dengan jemari Rafael. Sentuhan singkat, tapi entah kenapa, bikin dadanya berdesir.
Rafael masih berdiri di depannya. Mey mencoba menutup jarak dengan pura-pura fokus mengeringkan hoodie. Tapi Rafael tetap menatapnya, tatapan yang... hangat sekaligus berat.
“Kamu dingin.” katanya lagi, kali ini lebih pelan.
Sebelum Mey sempat menjawab, Rafael melangkah maju. Dan tanpa memberi waktu untuk berpikir, lengannya melingkari bahu Mey.
Pelukan itu datang tiba-tiba. Hangat. Kokoh. Mey sempat kaku, tapi tubuhnya perlahan melemas. Dia membiarkan kepalanya menyentuh dada Rafael. Detak jantungnya terdengar jelas di telinga.
Aroma tubuh Rafael—campuran sabun, keringat, dan entah kenapa sedikit wangi kayu—menguar di udara. Membuat Mey menutup mata. Satu tarikan napas panjang, lalu satu lagi.
Rafael tidak bicara. Tidak bergerak banyak. Hanya mengeratkan pelukannya sedikit.
Waktu berjalan lebih lambat.
Mey tahu dia seharusnya menjauh. Dia tahu pelukan ini melanggar garis yang selama ini mereka pura-pura jaga. Tapi malam itu, dia tidak punya tenaga untuk menolak.
Ketika Rafael akhirnya melepaskan pelukan itu, ia menatap Mey dengan tatapan yang... rumit. Ada kekhawatiran, ada ragu, tapi juga ada sesuatu yang tak ingin dia sembunyikan.
“Maaf,” katanya.
Mey menggeleng pelan. “Terima kasih.”
Mereka kembali duduk, tapi kini udara di antara mereka sudah berubah. Rasanya lebih padat, lebih panas, walau hujan di luar terus turun.
Rafael akhirnya menawarkan untuk mengantar Mey pulang. Mey menerima. Sepanjang perjalanan di atas motor, mereka diam. Hanya suara mesin dan hujan yang menemani. Mey merapatkan tubuhnya sedikit ke punggung Rafael, mencoba menghindari percikan air. Dan saat jarak mereka semakin dekat, ia merasakan rasa aman yang ironisnya sudah lama hilang di rumahnya sendiri.
Begitu sampai, Rafael berhenti tepat di depan gerbang.
“Udah. Hati-hati masuknya. Licin,” katanya singkat.
Mey turun, melepaskan jas hujan yang Rafael pinjamkan, lalu menatapnya sebentar. “Makasih... untuk tadi.”
Rafael hanya mengangguk. Matanya menahan banyak hal yang tidak ia ucapkan.
Mey masuk, menutup pintu, lalu bersandar di baliknya.
Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang. Pelukan tadi terasa masih membekas di kulitnya. Hangatnya belum hilang. Dan entah kenapa, di tengah semua yang berantakan malam ini... pelukan itu menjadi satu-satunya hal yang terasa benar.
Ruangan gym itu seakan punya aroma yang sama setiap sore, bau keringat bercampur parfum maskulin, dengan musik beat pelan yang terus diputar dari speaker di sudut dinding. Tapi sore ini, rasanya semua lebih intens. Entah karena Mey datang lebih awal, atau karena ia sengaja ingin memastikan apakah Rafael benar-benar sibuk melatih orang lain, bukan sekadar alasan untuk menjauh. Mey berdiri di depan cermin besar, pura-pura merapikan tali sepatunya, padahal dari sudut matanya, ia mengamati Rafael yang sedang menjelaskan gerakan pada klien wanita di treadmill. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Bukan cemburu, tapi lebih pada perasaan aneh: perasaan memiliki, padahal mereka tidak pernah benar-benar mengikatkan apa pun. Seolah tahu sedang diperhatikan, Rafael menoleh. Tatapan mereka bertemu sebentar. Mey buru-buru menunduk, pura-pura sibuk memeriksa ponselnya. Ia bisa merasakan detak jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Tak lama kemudian, Rafael menghampi
Gym sore itu nyaris kosong. Musik dari speaker nyaris tenggelam oleh sunyi. Cahaya senja dari jendela kaca panjang menyorot ke lantai, meninggalkan bayangan alat-alat beban yang seolah mengintai dari kejauhan. Hanya ada Mey, dan Rafael.Peluh masih mengalir pelan di pelipis Mey, tubuhnya baru saja selesai latihan. Tapi bukan lelah yang kini menguasai tubuhnya—melainkan gugup, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa penasaran. Rafael berdiri di hadapannya, masih mengenakan kaos training ketat dan celana pendek gym, tubuhnya tampak mengilat di bawah lampu.“Masih kuat?” suara Rafael rendah, serak, ada jeda aneh di ujung kalimatnya.Mey menelan ludah. “Enggak tahu... mungkin iya.”Dia mendekat. Gerakannya lambat, tapi jelas. Tidak ada lagi jarak formal antara mereka. Dan ketika Rafael menyentuh pinggang Mey—bukan untuk koreksi postur, bukan juga karena alasan latihan—semua peringatan dalam kepala Mey hilang seketika.Tangannya hangat. Mey
Hujan turun sejak sore. Udara di rumah dingin, tapi bukan dingin yang menyenangkan. Dingin ini terasa seperti jarak—tebal, dingin, dan menempel di dinding. Mey duduk di ujung ranjang, menatap pintu kamar yang setengah terbuka. Dari luar terdengar suara suaminya menelepon seseorang, nada suaranya datar tapi sesekali diselingi tawa kecil yang jarang ia dengar lagi jika berbicara dengan Mey. Rasanya seperti ada lubang di dadanya. Bukan karena cemburu, tapi karena menyadari ia sudah lama berhenti jadi alasan seseorang tersenyum. Beberapa menit kemudian, sebuah percakapan kecil meledak menjadi pertengkaran. Kata-kata kasar meluncur, tuduhan-tuduhan yang menusuk. Mey tidak membalas banyak, tapi setiap kalimat yang masuk seperti menampar sisi dirinya yang sudah rapuh. Ia akhirnya memilih mundur. Masuk ke kamar mandi, mengunci pintu. Duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air mata mengalir, tapi tanpa suara.
Keesokan malamnya, rumah terasa terlalu sempit untuk Mey. Televisi menyala di ruang tengah, tapi suaranya cuma jadi latar kosong. Ponsel di meja tak berbunyi, tapi justru keheningan itu membuat pikirannya semakin bising. Sejak pelukan kemarin malam, ada sesuatu yang berbeda di tubuhnya. Bukan sekadar hangatnya pelukan itu, tapi sensasi yang menempel lama, seolah setiap inci kulitnya masih mengingat tekanan lengan Rafael di bahunya.Ia mencoba membaca, lalu menonton sesuatu, tapi pikirannya selalu melayang ke arah yang sama. Pada akhirnya, dia menyerah. Ditariknya jaket tipis dari gantungan, lalu keluar rumah tanpa tujuan jelas… atau mungkin tujuannya sudah jelas sejak awal.Jam di dasbor mobil menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit saat Mey memarkir di depan gym. Tempat itu hampir kosong. Dari luar, hanya terlihat sedikit cahaya keluar dari sela tirai. Saat ia masuk, suara musik pelan menyambut, bercampur bau familiar—aroma campuran karet matras, besi, dan sedikit wangi keringat yan
Hujan deras mengguyur kota malam itu. Air memantul di aspal, lampu-lampu jalan buram tertutup butiran hujan yang jatuh tanpa jeda.Mey berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan pikiran yang penuh. Notifikasi transaksi hotel itu masih membekas di kepalanya. Nama hotelnya, jamnya, keterangan “couple only” yang menampar langsung ke ulu hati. Rasanya perih, tapi anehnya... matanya kering.Bukannya ingin menangis, yang Mey rasakan justru sesak. Kayak ada beban yang makin berat kalau ia tetap berada di rumah.Tanpa banyak pikir, ia ganti pakaian, pakai hoodie abu-abu, dan keluar rumah. Bukan untuk ke minimarket, bukan juga untuk sekadar jalan. Kakinya membawa ke satu-satunya tempat yang bisa membuatnya bernapas.Jam dinding gym sudah menunjukkan pukul hampir sepuluh malam saat Mey tiba. Biasanya jam segitu suasana sudah sepi. Tapi lampu di dalam masih menyala. Ia mendorong pintu, dan seperti sudah bisa ditebak, Rafael ada di sana.Dia sedang menyeka alat treadmill, earphone menggan
Sudah beberapa minggu sejak Mey dan Rafael mulai saling lempar candaan disela latihan. Awalnya, semua terasa biasa saja. Seperti hubungan pelatih dan klien pada umumnya. Tapi sejak Rafael mulai bawain handuk bersih sebelum sesi dimulai, atau mengingatkan Mey buat minum dari botol minum favoritnya, semuanya jadi terasa...beda. Hari itu gym agak sepi. Musik instrumental mengalun pelan, mengisi ruang di antara alat-alat berat dan bayangan mereka yang memantul samar di kaca besar. Rafael berdiri tak jauh dari Mey. Tapi cukup dekat untuk bikin jantung Mey berdetak sedikit lebih cepat."Udah minum? " tanya Rafael sambil menyodorkan botol air dinginnya."Udah sih..tapi makasih, " jawab Mey, tangannya menerima botol itu sambil, tanpa sadar, menahan nafas. Jari mereka sempat bersentuhan sebentar. Mey tertawa kecil. " Gila ya...dulu aku mikir gym tuh tempat bising, keringetan, dan capek banget. Tapi sekarang malah kerasa kayak...tempat buat nenangin diri. ""Karena kamu udah nemuin ritmemu se