Minggu pagi, tiga minggu sebelum berangkat – Flat Mey
Mey kebangun lebih pagi dari biasanya. Rafael masih molor di sebelahnya, akhir-akhir ini mereka sering nginep bareng, semacam latihan kecil sebelum beneran tinggal bareng nanti. Walaupun dulu juga pernah tapi setidaknya sekarang konsepnya beda, sebagai partner kerja dan personal dalam satu circle.Pelan-pelan dia keluar kamar, bikin kopi, terus duduk di sofa buka laptop. Ada email dari Emma semalem: foto-foto office Singapore yang udah jadi. Ada logo consulting firm mereka terpampang di dinding."Gila, nyata banget," Mey gumam sendiri."Nyata gimana?" suara Rafael serak-serak bangun tidur. Dia keluar kamar rambut masih awut-awutan, cuma pake kaos sama sweatpants."Office Singapore. Emma kirim foto. Keren banget."Rafael duduk sebelahnya, ikut lihat. "Wow. Emma keren sih."Mey zoom ke foto ruang meeting. "Ini beneran kejadian ya.""Deg-degan?""Bukan.Rabu malam, 9:15 PM – River Valley ApartmentLampu-lampu kota Singapura kelihatan dari jendela apartemen, memantul di kaca dan memantul juga di mata Mey yang sedang memperhatikan Rafael dari meja makan. Makan malam udah selesai, tapi mereka belum beranjak. Di meja, masih ada dua gelas wine setengah isi dan piring yang belum diberesin.Rafael duduk di seberang, nyender santai, kemeja udah dibuka dua kancing, rambut sedikit acak-acakan. “Hari ini gila juga ya,” katanya pelan.“Gila banget,” jawab Mey. “Aku bahkan baru bisa napas normal jam dua belas tadi.”Rafael ketawa. “Tapi kita berhasil.”“Ya, untuk hari pertama, not bad.” Mey menatap gelasnya. “Mr. Kim kayaknya lumayan terkesan.”“Dia terkesan sama kamu, lebih tepatnya.”Mey mendengus kecil. “Nggak, dia terkesan sama struktur presentasinya. Dan data yang kamu bantu validasi.”“Hmm.” Rafael ngangguk pelan, tapi senyumnya samar. “Tetep aja, kamu yang bikin ruan
Rabu pagi, 8:30 AM – River Valley Apartment Alarm bunyi lebih pagi dari biasanya. Mey bangun dengan perasaan campur aduk—antara semangat dan deg-degan. Hari ini hari penting: meeting pertama bareng tim-nya Mr. Kim. Rafael udah bangun duluan, lagi nyeduh kopi di dapur. “Pagi. Big day,” katanya santai. “Jangan ingetin, please,” Mey ngedumel sambil jalan ke kamar mandi. “Aku udah deg-degan dari tadi malam.” “You’ll be fine. Kita udah siap.” Hari ini bukan cuma meeting pertama. Ini juga pembuktian, bahwa mereka bukan cuma tamu di kota baru, tapi siap mulai hidup baru di sini. Mey mandi cepet, terus pilih outfit kerja—blazer navy, celana hitam, heels sedang. Simpel tapi bikin percaya diri. Rafael pakai kemeja putih dan celana chino. Casual professional, khas dia banget. Mereka sarapan cepet—roti panggang, telur, kopi, sama buah. Suasana agak hening, dua-duanya sibuk sama pikiran masing-masing. “Ready?” Rafael nanya akhirnya. Mey tarik napas dalam. “Ya, se-ready mungkin
Selasa pagi – 7:30 AM, River Valley ApartmentAlarm HP bunyi pelan. Cahaya matahari tropis udah nyorot terang lewat tirai tipis, beda banget sama London yang sering gloomy.Mey kebangun duluan. Kepala masih agak berat karena jet lag, tapi suara burung bikin suasana terasa… baru.Dia bangun, jalan pelan ke balkon. Angin pagi masih hangat, tapi lebih seger daripada malam. Sungai di bawah mulai rame: orang jogging, ada yang jalan santai, ada yang bawa anjing.“Morning view goals,” Mey bisik ke diri sendiri.Dari dalam kamar, Rafael keluar sambil ngulet. Kaos longgar, rambut acak-acakan. “Kamu udah bangun?”“Yeah. Jet lag ngalahin aku,” Mey nyengir.Rafael jalan ke balkon, berdiri sebelahnya. “Not bad, huh?”“Not bad at all.”---8:00 AM - DapurMey buka kulkas. Ada telur, roti, butter, susu, kopi, persis yang Emma bilang.“Breakfast Singapore edition,” Mey ketawa sambil naro baha
Malam Pertama - Balcony talkMalam itu Singapura terasa berbeda. Udara masih lembap seperti biasanya, suara MRT jauh di bawah tanah tetap sama, dan lampu kota berkelap-kelip seakan nggak pernah tidur. Tapi buat Mey dan Rafael, semuanya punya lapisan lain: kenangan.Mereka duduk di balkon kecil apartemen sementara yang disewakan teman Rafael. Dari lantai 12, terlihat Marina Bay Sands menjulang di kejauhan, cahaya birunya memantul di kaca-kaca gedung sekitar.Rafael menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyeruput bir dingin dari botol. Mey duduk bersila, memeluk lutut, menatap keluar dengan mata yang entah melihat gedung atau justru masa lalu.“Lucu ya,” Mey mulai, suaranya lirih. “Dulu kita juga di sini… bukan persis di balkon ini, tapi di kota ini. Bedanya, dulu kita masih bingung banget mau jadi apa.”Rafael menoleh, senyumnya tipis. “Aku inget. Kamu bahkan sempat nangis di food court karena capek adaptasi.”Mey melotot. “Hey, itu ka
13 jam kemudian, 5:45 PM waktu lokal – Changi AirportPesawat mendarat mulus. Penerbangan panjang yang rasanya nggak kelar-kelar akhirnya selesai juga.Begitu pintu kebuka, udara Singapore langsung nyamber-hangat, lembap, tapi ada aroma khas bandara modern yang super bersih.“Welcome to Singapore,” pramugari senyum ramah.Mey dan Rafael ikut arus penumpang keluar. Changi Airport bikin mereka bengong, kaget yang-gede, terang, modern. Petunjuk arah jelas, semua teratur rapi.“Ini bandara atau mall?” Mey melongo lihat indoor waterfall dari jauh. “Dua-duanya kayaknya,” Rafael ketawa."Perubahannya keren banget." ucap Mey takjub liat perkembangan bandara Changi dulu awal Mey pindah kerja dari Jakarta ke Singapore dan sekarang.Mey lama nggak pernah pulang ke Jakarta. Lama stay di luar negeri buat dia merasa agak bingung apalagi dia lama tinggal di London yang notabene cuacanya jauh banget dengan negara yang sek
Minggu pagi, 4:30 AM – Flat MeyAlarm berbunyi nyaring. Mey langsung bangun, padahal dia hampir nggak tidur semalaman. Terlalu banyak yang berkecamuk di kepala, excited, nervous, sedih, semua jadi satu.Rafael udah bangun duluan, dia keliatan sibuk ngecek koper terakhir kali."Kopi?" tawarnya sambil ke dapur."Please. Strong."Rafael lagi jongkok di pojok, berusaha masukin sepasang sepatu lari ke dalam koper yang udah hampir nggak muat. Dia ngeluh kecil.“Ini koper siapa sih yang tiba-tiba nyusut?”Mey nyengir sambil melipat kemeja. “Koper nggak nyusut, Mas. Itu isinya aja makin absurd. Lo bawa protein powder satu kilo ke Singapore, serius?”Rafael pura-pura defensif. “Eh itu kebutuhan pokok. Sama kayak kamu bawa tiga kotak skincare.”Mey lempar kaos kecil ke arah kepalanya. “Bedain dong, skincare itu investasi umur panjang.”Rafael ngakak, lalu akhirnya nurut, mindahin sepatu ke tas lain. Obrolan r