Share

Bab 3. Andaikan kamu tahu, Mas!

"Ibu ... Bapak, Maafin Milva belum bisa menjadi anak terbaik bagi kalian," ucapnya sembari merebahkan tubuh di atas kasur kecil, yang selalu menjadi teman setianya.

Ia pun meringkuk, mencoba untuk segera memejamkan matanya. Semua tubuh memang terasa sakit, tetapi ada yang sudah hancur berkeping-keping. Rasa itu telah mati, harapan-harapan yang indah telah sirna. Seakan hilang lenyap ditelan kepahitan.

Detik berubah menjadi menit, tetapi tidak ada tanda-tanda ia akan segera tidur. Pikirannya pun melalang buana ke mana-mana. Berharap bisa meluluhkan hati sang suami. Namun, ternyata tidak berhasil juga. Usahanya seakan sia-sia, andaikan kematian datang lebih cepat, mungkin Milva akan merasa sangat bersyukur.

Penderitaan selama ini membuat dirinya hancur, apa lagi tidak ada dukungan serta pelukan hangat dari orang-orang terncinta. Ia hanya sendiri, semua yang dikerjakan juga selalu salah. Apalah yang hanya menumpang makan serta tidur, tetapi melakukan hal-hal ini dan itu tidak pernah di gaji.

Milva wanita penyabar, sungguh sangat sabar. Mungkin bila orang lain yang diposisinya, pasti sudah akan pergi dari rumah neraka macam ini. Namun, ia bukan orang seperti itu. Sebelum dirinya menghembuskan napas terakhir, semua pertahanan akan dilakukannya.

Malam memang sangat tenang, apa lagi malam sagatlah rapi bila menyembunyikan kesedihan. Sudah dua jam Milva tidak tertidur. Dirinya hanya bisa meratapi nasip juga pikiran yang tertekan selalu menghantui.

Ceklek! Bunyi pintu terbuka membuat jantung Milva berdetak lebih cepat. Dirinya masih sangat takut bila sang suami akan mengamuk lagi. Ia pun berpura-pura untuk tidur. Namun, pendengeran masih berfungsi, ya, derap langkah yang kian mendekat semakin memompa detak jantung lebih cepat.

Dalam hati, Milva berdoa agar tidak ada lagi penderitaan selanjutnya. Apa yang diharapkan ternyata dikabulkan. Suara dengkuran kecil mulai terdengar, membuat Milva menoleh sedikit ke arah ranjang.

Ternyata benar, Restu sudah terbaring di atas ranjang. Milva sudah sangat menduga apa yang terjadi terhadap sang suami. Selama ini dirinya hanya bisa menatap sang lelaki dalam kejauhan, tak berani menyentuh bila tidak di suruh.

Pernah kejadian saat Restu pulang tengah malam dalam keadaan mabuk berat, dan dibajunya terdapat muntahan dan minuman itu. Niat hati ingin mengantikan baju seperti sebelumnya, tetapi sang suami menolak dan melakukan kekerasan terhadapnya.

Maka dari itu sekarang ia tak berani menganti pakaiannya. Biarkanlah seperti itu sampai dirinya bangun. Walaupun di dalam hati memiliki rasa kasihan juga rasa sayang. Namun, semua itu tak bisa ia lakukan.

"Andaikan kamu tahu perasaanku, Mas," ucap Milva lirih. "Kenapa bila kau tidak cinta kepadaku, tidak kau ceraikan saja. Kenapa mesti seperti ini, apa lagi kau tak pernah menganggapku ada," imbuhnya.

Milva hanya bisa menatap pedih kepada sang suami. Penderitaannya seakan tidak ada yang berkurang, semua itu malah bertambah.

***

Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Milva tidurnya tidak nyenyak, badan terasa sangat sakit dan membuat dirinya tak bisa tertidur. Ia pun memutuskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah.

Dengan menahan segala rasa sakit, ia pun tetap terus melakukannya, karena tugas itu adalah kewajiban dirinya di rumah ini. Dengan cekatan dan pelan-pelan, tak ingin membuat suara bising yang bisa membangunkan mereka semua.

Ya, walaupun sudah berbagai penyiksaan, tetapi ia tetap mau melakukkan semua pekerjaan dengan lapang dada. Apa lagi di rumah sebesar ini tidak ada pembantu rumah tangga. Semua murni dilakukan oleh Milva.

Sedangkan Restu—suami Milva, sangat menikmati tidur nyenyaknya. Mimpinya berkelana dengan wanita cantik yang tadi malam di temuinya. Semua memang normal, karena selama ini dirinya tak menyentuh sang istri sama sekali.

Berjam-jam Milva mengerjakan pekerjaan yang selama ini ia kerjakan. Rasa lelah juga letih harus ditahan, agar semuanya lekas selesai dan dirinya bisa beristirahat dengan tenang. Sampai pada akhirnya amang sayur telah tiba, dengan terburu-buru milva mengambil uang belanja dan segera berlari ke tukang sayur tersebut.

Para ibu-ibu yang sudah mengerubungi amang sayur pun berbisik-bisik saat melihat wajah Milva babak belur. Banyak isu yang dibuat-buat, tetapi wanita itu menghiraukannya.

"Mukanya kenapa, Neng?" tanya amang sayur.

"Eh, ini ... ini terbentur kloset, Mang," jawab Milva menutupi kekerasan sang suami. Namun, apalah ibu-ibu yang tak percaya begitu saja. Mereka masih terus berbisik-bisik, hanya senyuman satir yang Milva berikan kepada mereka semua.

"Eneng kurang sehat, ya? Kenapa wajahnya pucat sekali, Neng?" tanya amang sayur lagi membuat Milva terlonjak kaget. Apa terlihat seperti itu? Padahal dirinya selalu mencoba untuk terlihat sehat dan bugar.

Lidahnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan itu, keringat dingin mulai mengucur perlahan. Padahal dirinya selalu menutupi kekurangan keluarga sang suami terhadapnya. Ingin sekali mengadu kepada mereka, tetapi ia tak setega itu. Diam adalah cara yang terbaik baginya.

"Lagi nggak enak badan saja kok, Mang," jawab Milva sembari memilih sayuran untuk dimasak nanti.

"Lekas istirahat saja," ucap salah satu ibu yang menasehatinya.

Milva pun hanya mengangguk sebagai jawaban iya. Padahal dirinya sudah tahu istirahat bukanlah solusi yang tepat dan tidak akan mungkin terjadi. Apa lagi mereka belum tahu kelakuan keluarga sang suami terhadapnya.

"Berapa Mang, ini?" tanya Milva kepada amang sayur.

"Lima puluh ribu, Neng."

Milva pun memberikan uang lima puluh ribu kepada amang sayur. Setelah sayuran yang dipilih itu ditaruh di kantong kresek, ia pun segera masuk ke dalam rumah. Tak ingin berlama-lama bersama orang-orang, apa lagi memang dirinya orang yang sangat tertutup.

Tidak suka keramaian, apa lagi dengan orang yang belum dikenalnya. Banyak juga warga komplek belum mengenal sosok Milva yang pendiam, ramah juga manis tersebut. Semua hanya bisa mendengar desas-desus yang beredar. Entah kadang miring, entah real semua itu belum pasti.

Saat sudah sampai di dapur, Milva kaget dengan ibu mertuanya yang sudah berada di sana. Degup jantungnya kian cepat. Seperti halnya sedang lari maraton berkilo-kilo meter.

Melangkah maju perlahan-lahan seperti orang yang benar-benar takut, pergerakan itu ternyata di dengar oleh Bu Ningsih. Membuat dirinya mematung dan membeku saat melihat ibu mertuanya sedang menatap lekat.

Milva tak bisa bersuara sepatah katapun, ia masih terus mematung tak berani bergerak maju ataupun mundur. Semua seakan sudah terlalu mati kutu tak bisa bergerak, maju kena mundurpun kena. Menelan saliva dengan berat, dirinya pun sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Kenapa diam disitu? Cepat segera masak!" teriak ibu mertua membuat kaget Milva.

"Eh, iya-iya, Bu," jawab Milva terbata. Dirinya pun segera melangkah lagi. Membawa kantung kresek yang berisi sayuran juga daging ayam.

Senyum culas terpancar dari raut wajah Bu Ningsih. Ya, ia sangat bangga, karena menantu sialan itu telah berada digenggamannya. Berharap apa yang sudah dinantikan segera tercapai.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status