Share

Bab 6

"Menikah? Aku menikah dengan Om Andy dan aku memiliki seorang putri? Apakah aku sedang bermimpi? Apa aku sedang berada dalam halusinasi? Sejauh ini aku merasa tak pernah menikah, apalagi dengan om Andy. Aku jelas tahu dia kekasih kak Raya. Mana mungkin aku menikah dengannya."

"Om Andy tadi bilang apa? Alya putriku? Bahkan Sedikit pun aku tak mengingat gadis kecil itu. Memang ia cantik, lucu dan menggemaskan. Dia memanggilku mama ... apakah ini hanya rekayasa atau memang benar aku yang telah melupakan mereka? Apa benar aku mengalami amnesia? Entah kenapa aku tak bisa percaya. Aku sama sekali tak bisa mempercayai itu semua."

"Dio ... dia Lelaki yang aku cintai. Bahkan, setahuku dia begitu mencintaiku. Lalu kenapa sejauh ini dia tidak ada kabar? Kenapa dia tidak menghubungiku? Kenapa dia tidak menemuiku? Bahkan, dalam kondisi aku yang sedang sakit seperti ini. Tidakkah ada sedikit niatnya untuk menjengukku atau menemaniku? Sebenarnya dia ke mana? Kenapa harus om Andy yang siaga?"

Nindya larut dalam pikirannya sendiri. Ia bertanya-tanya tentang dirinya dengan beberapa hal yang menyangkut tentang Andy dan Alya. Nindya belum bisa percaya dengan kenyataan yang sebenarnya sudah terjadi dan ia jalani. Hati kecilnya masih yakin jika semua itu bukanlah yang sebenarnya.

"Selamat siang," ucap seseorang dari luar sana setelah mengetuk pintu. Seorang gadis masuk lalu mendekat ke arah Nindya. Gadis cantik dan manis yang menjadi penyelamatnya kala peristiwa na'as itu terjadi.

Setelah beberapa hari Luna datang kembali, menepati janjinya kepada Alya untuk sering-sering datang menengok mamanya. Luna merasa begitu prihatin dengan kondisi Nindya yang baginya cukup menyedihkan.

"Maaf ... kamu siapa? Sepertinya saya tidak mengenalmu," tanya Nindya kepada Luna setelah gadis cantik itu duduk tepat di sisinya.

"Halo, Kak Nindya. Perkenalkan aku Luna. Maaf baru sempat datang, soalnya aku sibuk di kampus, Oh ya, mungkin Kakak lupa dan nggak tahu siapa aku. Waktu Kakak kecelakaan pas banget aku ada di lokasi kejadian dan waktu itu aku berusaha bantu Alya, putri kakak untuk ke luar dari dalam mobil."

"Putriku? Jadi aku benar-benar sudah mempunyai anak?"

"Ah ... iya, maaf, Kak. Aku lupa dengan kondisi Kakak. Mungkin Kakak melupakan sebagian peristiwa dalam hidup Kakak karena amnesia, percis seperti yang dokter katakan."

Terdengar pintu ruang rawat Nindya dibuka. Rendy, papa Nindya telah kembali dari konsultasi dengan dokter yang merawat Nindya. Perkembangan pemulihan yang dijalani Nindya memang sedikit lambat, meski pun mudah diimbangi dengan obat, tapi menurut dokter itu semua tidak masalah. Ingatan Nindya pasti akan segera pulih.

"Ada Luna. Udah dari tadi, Nak Luna?"

"Baru saja, Om. Kebetulan hari ini aku tidak ada kuliah, jadi mampir. Oh ya, Alya mana?"

"Alya tadi diambil oleh kakek neneknya, orang tua suami Nindya. Dia mungkin lebih baik di sana dulu, agar dia bisa lebih sedikit tenang. Karena tadi dia pun bingung dengan kondisi mamanya yang seperti ini. Mudah-mudahan Nindya segera membaik."

"Aku kangen sama Alya. Aku pikir dia ada di sini, Om."

"Kamu gadis yang sangat baik. Nanti kalau Alya datang ke sini, om kabari kamu."

"Baik, Om, terima kasih. Ya sudah, kalau gitu aku pamit dulu ya. Mudah-mudahan keadaan Kak Nindya cepat pulih."

***

Hari berlalu, Nindya diperbolehkan pulang. Kondisinya sudah membaik, hanya saja ingatannya yang belum pulih. Namun, ia mencoba untuk bersahabat dengan keadaan. Menerima kenyataan jika dirinya telah menikah dengan Andy dan memiliki putri kecil.

"Aku mau tinggal di rumah papa mama saja."

"Itu lebih baik, kamu masih perlu pengawasan agar segera pulih, Sayang."

"Tolong jangan panggil aku sayang. Rasanya tidak nyaman."

"Baiklah."

Andy mengantar Nindya ke rumah orang tuanya. Ia di sambut hangat oleh Rendy dan Kiara. Namun, tidak dengan Raya. Ia merasa kehadiran Nindya di rumah itu akan membuat kebenciannya bertambah. Dendam masih membara. Niatnya untuk merebut Andy sama sekali belum berubah.

Nindya masuk ke dalam kamar. Ia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur miliknya. Pikirannya menerawang jauh. Mencoba mengingat hal-hal yang sekiranya ia lupakan. Namun, sia-sia. Ia masih belum bisa mengingat kebenaran.

Nindya mengambil ponselnya. Ia mencoba mencari nomor Dio. "Kenapa tidak ada?" lirihnya.

Nindya terduduk di sisi tempat tidur, meremas rambut dengan kedua tangannya. Dipandangi seisi ruang yang tak berubah sedikit pun. Hanya saja, ia tiba-tiba terfokus pada foto di atas meja sisi kiri tempat tidurnya. Foto dirinya bersama Andy jug Alya. Foto yang sangat manis. Nindya perlahan mengambil foto itu. Membelainya.

"Apa benar aku sudah menikah? Apa benar semua ini?" gumamnya.

Seseorang mengetuk pintu. Raya masuk setelan Nindya memberinya ijin untuk masuk.

"Nin, aku bawakan teh manis dan bolu karamel kesukaanmu."

"Makasih, Kak."

Raya terlihat begitu manis di hadapan Nindya. Diletakkannya hidangan yang ia bawa di atas meja seraya tersenyum menatap adiknya.

"Kalau kamu tidak bisa mengingat Andy dan Alya, jangan dipaksa, Nind."

"Memangnya aku benar-benar sudah menikah dengan Om Andy?"

"Sudah, kamu sudah menikah dan memiliki Alya."

"Lalu, kenapa kakak kemarin bilang tidak?"

"Aku hanya ingin menghiburmu. Tapi, memang benar kok, Dio masih mencintai kamu."

"Gimana ceritanya aku malah menikah dengan Om Andy? Astaga, gimana dengan Dio? Dia pasti sangat terluka. Satu lagi, Kak. Kenapa nomor Dio tidak ada di kontak ponselku?"

"Ah ... sebentar aku kasih."

Dengan cepat Raya meraih ponsel Nindya tanpa ijin pemiliknya. Ia mencatat nomor Dio yang sebenarnya adalah Gio. Tiba-tiba Raya memiliki ide nakal untuk menghancurkan hubungan pernikahan adiknya.

Setelah selesai Raya bergegas ke luar dan kembali ke kamarnya. Raya mencoba menghubungi Gio, mantan suaminya.

"Ada apa? Kenapa kamu menghubungi aku?"

"Kamu masih ingin memiliki Nindya?"

"Maksud kamu apa?"

"Kamu masih terobsesi dengan dia?"

"Kalau berbicara jangan berbelit-belit, aku paling malas!"

Raya pun menceritakan apa yang sudah terjadi kepada Nindya, termasuk ingatannya yang terus-terusan mengingat Dio. Ia pun mengutarakan rencana yang sudah ada dalam pikirannya. Gio yang memang sedari dulu terobsesi memiliki Nindya menyetujui usu yang disampaikan Raya tanpa berpikir panjang.

Gio belum menikah. Semasa pernikahannya dulu dengan Raya, ia memang senang bermain-main dengan wanita, karena tak sedikit pun ada cinta di hatinya untuk wanita selain Nindya. Gio sangat bersemangat setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Raya. Pria itu bernisiatif untuk menjalankan rencana yang disusun Raya dan percaya akan mampu meluluhkan hati Nindya.

[Nindya, Sayang ... ini Dio.] sebuah pesan diterima Nindua.

[Akhirnya, kamu menghubungiku. Ke mana saja selama ini? Aku menunggu.] balas Nindya cepat.

[Maaf ya, aku sibuk. Bahkan aku tidak tahu jika kamu sakit.]

[Kapan kita bisa bertemu? Aku merasa ada yang aneh, Dio. Aku tidak percaya semua ini.]

[Ayo bertemu, aku Rindu.]

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Indah Hayati
sama2 thor :) dtunggu kelanjutan nya
goodnovel comment avatar
Christina
makasih banyak kak atas dukungannya...
goodnovel comment avatar
Indah Hayati
parah deh sekarang gio lagi mau hancurin hubungan nindya ama andy moga pelan2 nindya bisa ingat kembali pernikahan nya dengan andy sekalian aja minta bantuan ama temen2 nya nindya cerita tentang dio biar nindya percaya klo dio udh gk ada lanjut terus thor makin penasaran ni
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status