Share

Bab 5 Direndahkan Suami Sendiri

"Kamu ngapain sih main angkat telpon orang aja. Gak hargain privasi orang banget," ucap Mas Rendy yang langsung merebut benda pipih itu dariku. 

Aku langsung tersentak kaget dan beralih menatap Mas Rendy dengan tatapan curiga, namun tatapanku hanya dibalas dengan tatapan sinis tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya. 

"Namanya Wilson, kok suara cewek, Mas? Dan kenapa dia manggil kamu sayang?" tanyaku dengan penuh curiga dan perasaan yang sudah tak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. 

"Bukan urusan kamu juga, ini tuh istrinya teman aku. Mungkin si Wilson butuh bantuanku," jawabnya dengan nada tinggi lengkap dengan tatapan sinisnya. 

Tanpa menunggu tanggapan dariku, ia langsung berlalu begitu saja keluar kamar dengan sebuah ponsel di tangannya. Sedangkan aku, masih setia berdiri di tempat dengan pikiran yang semakin tak karuan. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku menaruh curiga pada Mas Rendy kalau sebenarnya ia menyembunyikan sesuatu dariku. 

"Apa mungkin Mas Rendy mengkhianatiku? Apa itu salah satu alasan ia berubah kepadaku?" tanyaku dengan muka bingung. 

Aku pun menghela nafas sejenak dan berusaha untuk tetap berpikir positif mengenai Mas Rendy, meskipun terasa cukup sulit. 

"Sudahlah, aku gak usah pikirkan dalam-dalam karena itu akan membuat hubunganku dengan Mas Rendy akan semakin merenggang saja. Kalaupun dia melakukan itu, pasti akan mendapatkan karma dan bangkainya akan tercium sendiri," gumamku sambil beberapa kali menghela nafas. 

Aku terus berusaha mensugesti diri sendiri untuk tidak berpikiran negatif mengenai Mas Rendy. Bukan karena apa, jika aku fokus memikirkan hal itu, maka hatiku pasti akan semakin hancur dan ada kemungkinan perceraian itu akan terjadi dalam rumah tanggaku. 

Sampai pada akhirnya, aku memilih untuk pasrah saja dengan apa yang terjadi. Aku yakin kalau semuanya akan terbongkar dengan sendirinya meskipun tanpa aku cari tahu. Tuhan itu maha adil dan aku percaya bahwa hukum karma itu ada. 

Aku pun memilih untuk tidur saja dan tidak mau lagi memikirkan siapa yang Mas Rendy menemaninya telepon sampai selama itu. Jahe hangat yang kubuatkan tadi pun sudah mulai dingin karena sampai saat ini belum disentuh juga. Tanpa menunggu waktu lama, aku langsung merebahkan tubuhku di atas tempat tidur dan bersiap untuk tidur. 

***

Di pagi hari, seperti biasa aku bangun lebih awal dari semua orang yang ada di rumah itu. Aku mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai dari membuat sarapan, sampai menyiapkan pakaian untuk Mas Rendy juga aku lakukan. Kadang aku ingin mengeluh dan berteriak sekencang-kencangnya karena merasa lelah dengan kehidupan yang kujalani. 

Aku seolah dijadikan sebagai pembantu di rumah ini tanpa gaji, belum lagi beban mereka yang harus ikut ditanggung padahal anak sudah berkeluarga. Tetapi, aku menanamkan dalam diirku bahwa suatu saat nanti aku bisa memiliki segalanya dengan hasil dari keringatku sendiri. 

Aku yakin kalau kehidupanku yang seperti ini tidak selamanya berada di bawah, ada kalanya aku diberi kesempatan untuk memiliki segalanya. Aku akan berusaha keras untuk meraih itu semua. Masa depan anakku harus cerah, dan tidak seperti diriku.

Saat aku masuk ke kamar, lagi-lagi Mas Rendy tidak ada di sana. Aku terus mengedarkan pandangan mencari keberadannya, namun tidak ada juga. Sampai pada akhirnya, tatapanku terhenti di sebuah balkon yang ada di kamarku. 

Dari kejauhan, aku melihat Mas Rendy di sana sedang menelpon seseorang sambil tersenyum bahagia. Senyumnya tak pernah pudar yang justru membuatku jadi penasaran dengan apa yang sebenarnya mereka bicarakan sampai Mas Rendy terlihat bahagia seperti itu. 

Saat aku hendak membangunkan Aira dari tidurnya, tiba-tiba saja aku mendengar sesuatu yang sangat melukai hatiku. 

"Nanti setelah aku pulang kerja, kita lanjut ya, Sayang," ucap Mas Rendy. 

Aku langsung menghentikan langkahku dan kuurungkan niatku sejenak untuk mengambil Aira dari tidurnya. Bukan karena apa, saat ini tubuhku terasa lemas mendengar panggilan mesra dari suamiku sendiri yang seolah sedang menjalin hubungan dengan wanita lain. 

"Apa sih yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku, Mas? Kenapa saat ini pikiranku sulit untuk diajak kompromi lagi?" gumamku sambil memegangi kepala.

"Sabar, Mira. Semua akan terbongkar pada masanya, semakin kamu menuntut dia untuk jujur, maka semakin besar pula kebohongan yang akan ia tujukkkan kepadamu di kemudian hari."

Seperti biasa, aku terus mensugesti diri sendiri, menyemangati agar tetap bisa berpikir positif terhadap suamiku sendiri. Hingga tak berapa lama kemudian, Mas Rendy pun kembali dan ia sama sekali tidak peduli denganku. 

Seketika senyum yang ia tampakkan tadi hilang begitu saja bagai ditelan bumi, kini mukanya saja terlihat sangat dingin. 

"Hari ini aku mau lembur, jadi kamu gak usah nunggu aku pulang cepat!" ucap Mas Rendy sambil memperbaiki penampilannya di depan cermin. 

"Iya, hari ini aku juga mulai bekerja," ucapku dengan wajah yang berusaha aku buat setenang mungkin. 

Mas Rendy langsung mendongakkan kepala menatapku dengan tatapan bahagia sambil berkata, "Beneran? Kamu kerja di mana? Berapa gajinya?"

Ia terus saja melontarkan pertanyaan secara bertubi-tubi yang membuat aku kebingungan sendiri harus menjawab yang mana dulu. Dan di sisi lain juga aku sebenarnya malu mengatakan kalau aku hanya bekerja sebagai buruh cuci, tetapi mau bagaimana lagi, memang faktanya sudah seperti itu. Aku juga tidak mau membuat Mas Rendy berekspektasi tinggi terhadapku. 

Aku langsung menghela nafas sambil berjalan menuju tempat tidur Aira dan berkata, "Aku bekerja jadi buruh cuci, Mas. Lumayanlah gajinya, bisa untuk makan sehari-hari," jawabku sambil tersenyum. 

"APA? Buruh Cuci?"

Raut wajah Mas Rendy langsung berubah dan kembali menatapku dengan tatapan sinis. 

"Aku kira kamu kembali kerja di perusahaan gitu. Memalukan banget kamu kerja gituan. Udah sekolah tinggi-tinggi malah jadi buruh cuci."

Deg ...

Seketika jantungku seolah berhenti berdetak mendengar ucapan Mas Rendy. Ucapannya kembali menyayat hatiku karena sama sekali usahaku tidak dihargai. 

"Maaf, Mas. Tetapi, itu pekerjaan yang halal jadi menurutku itu tidaklah memalukan," protesku. 

"Terserah lah, aku gak peduli. Cuma malu aja kalau sampai teman-temanku yang lain tahu kalau kamu seorang buruh cuci. Bisa-bisa aku diledek habis-habisan sama mereka," jelasnya panjang lebar. 

Kali ini aku memilih diam dan sama sekali tidak menanggapinya. Rasanya juga hanya buang-buang waktu dan tenaga. Aku lebih memilih membawa Aira ke kamar mandi untuk membersihkan diri karena setelah ini aku akan berangkat kerja. 

Sepanjang memandikan anakku, aku terus saja menangis sesenggukan mengingat ucapan suamiku sendiri yang merendahkan aku sebagai istrinya.

***

Dari kejauhan, aku bisa melihat mereka sangat bahagia makan bertiga. Sejenak aku merasa kalau memang sampai saat ini keberadaanku tidak pernah dianggap oleh mereka. Yang selalu menganggapku ada dulu hanya ayah mertuaku, namun sayangnya tuhan lebih menyayanginya. 

Aku pun berjalan menghampiri meja makan sambil menggendong Aira dan bersiap untuk sarapan. Bukannya sambutan hangat yang kudapatkan, aku malah mendapat tatapan sinis dari mereka. Aku juga bingung kenapa mereka sampai sebenci itu padaku. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status