Share

Bab 7 Tangisan Anakku

Wanita tua itu hanya tersenyum tipis lalu berkata, "Hehe, begitupun dengan Ibu, Nak. Tetapi, semakin lama Ibu juga mulai terbiasa dengan rasa sepi ini."

Aku kembali tersenyum memberikan semangat pada Ibu Maria. Sangat kasihan karena ternyata dia memendam lukanya seorang diri. Ditambah lagi dengan dirinya yang hanya tinggal sendiri membuat ia semakin kesepian. 

"Ibu tenang saja, aku akan tetap bekerja sama Ibu jika Ibu berkenan menerima aku. aku akan selalu menemani Ibu," ucapku dengan penuh keyakinan. 

"Terima kasih, Nak. Pasti, selama kamu ada di sini, hidup Ibu jadi sedikit lebih berwarna."

Aku hanya tersenyum dan segera melanjutkan makanku. Kini suasana menjadi hening, tak ada lagi obrolan di antara kami. Hanya suara dentuman sendok dan piring yang terdengar karena kami fokus menikmati santapan makan siang itu. 

Setelah beberapa lama, akhirnya kami selesai juga makan siang. Aku langsung membersihkan meja makan itu lalu mencuci piring, meskipun awalnya Ibu Maria menolak karena katanya ini bukan bagian dari pekerjaanku. 

***

Kini, aku pulang ke rumah dan menemukan anakku tergelatak begitu saja di lantai dalam keadaan menangis. Hatiku bagai disayat-sayat melihat kondisinya. 

"Ya ampun, Sayang. Kamu kok ditinggal sendiri sih? Oma sama aunty kamu ke mana?" ucapku sambil mengambil alih Aira. 

Seketika aku jadi kecewa dengan dua wanita beda generasi itu. Kenapa mereka malah mengabaikan anakku seperti itu? Dan ke mana mereka sekarang?

Aku terus berjalan memasuki rumah dan melihat mereka sedang tertawa terbahak-bahak di ruang keluarga sambil mencomot makanan di depannya. Mereka terlihat menikmati tayangan televisi itu sampai tidak mempedulikan anakku lagi. 

"Ibu, Caca ... kalian di sini? Kalian kok tega sih ninggalin Aira sendirian di ruang tamu?" ucapku dengan nada kesal. 

Ibu mertuaku langsung menatapku dengan sinis sambil berkata, "Lagian kamu ke mana aja? Gak becus banget jadi istri. Makanya jangan keluyuran, kita juga capek jagain bocil terus "

"Aku kan kerja, Bu. Aku cari uang untuk kebutuhan keluarga kita," jawabku dengan penuh penekanan. 

"What? Kerja? Kerja di mana, Mbak? Masih lanjut jadi buruh cuci?" tanya Caca dengan tatapan merendahkannya. 

"Iya, tadi kan aku sudah pamit dan bilang sama kalian, lumayan untuk membantu Mas Rendy juga!" jawabku dengan tenang. 

Hahahaha ... 

Entah kenapa, mereka langsung tertawa terbahak-bahak setelah aku mengatakan bekerja sebagai buruh cuci. Ada apa dengan pekerjaan seperti itu? Apa memang serendah itu? Menurutku tidak demikian, pekerjaan itu juga halal. 

Aku hanya bisa diam menyaksikan ketawa mereka yang lebih mirip seperti nenek sihir. 

"Sampai sekarang aku masih gak habis pikir dengan Mbak Mira, kok mau sih kerja kayak gitu? Mbak kan sarjana, sia-sia banget gelarnya. Kirain tadi pagi cuma bercanda, eh ternyata beneran kerja gituan," ucap Caca. 

"Terserah apa kata kalian, yang jelas apa yang kalian makan setiap hari itu hasil dari bonus aku kemarin," ucapku pasrah.

"Uppsss ... ada yang mulai perhitungan nih. Kalau gak ikhlas ya gak usah ngasih makan," celetuk ibu mertuanya lagi dengan tatapan mautnya. 

"Dasar menantu gak tau diri."

Aku memilih meninggalkan perdebatan tak berguna itu dan berjalan menuju kamar sambil menggendong Aira. Bukan karena apa, jika perdebatan itu terus berlanjut justru akan membuat hatiku semakin hancur saja. Terlebih lagi mereka tidak pernah mengakui kesalahan dan selalu merasa benar. 

Aku hanya dianggap debu di rumah ini dan sama sekali tidak menganggapku sebagai menantu seperti ibu mertua yang lain. Kadang aku iri melihat para menantu yang diperlakukan baik oleh ibu mertuanya, dianggap sebagai anak sendiri, sangat jauh berbeda denganku. Aku akan dianggap ketika aku memiliki pekerjaan dan uang saja. 

Sampai di dalam kamar, aku langsung mengambil susu formula anakku dan memberikannya. Air mataku tidak mampu lagi kubendung hingga berhasil tumpah di pipiku. Aku menatap wajah lugu anakku yang baru saja menangis itu. 

"Sabar ya, Nak. Ibu akan terus berjuang demi masa depan kamu. Ibu akan rela kerja banting tulang demi memnuhi kebutuhan kamu dan masa depanmu. Ibu tidak mau kamu merasakan penderitaan Ibu di kemudian hari, Nak," ucapku dengan lirih sambil mengusap kepala anakku. 

Kalau bukan karena Aira, aku mungkin sudah minta cerai dan segera minggat dari rumah ini. Aku benar-benar tidak tahan dengan semuanya, tetapi di sisi lain aku juga memikirkan Aira yang masih membutuhkan kasih sayang ayahnya. 

Aku tidak mau dia jadi anak broken home hanya karena keegoisan kami. 

Aku terus saja menangis sesenggukan di dalam kamar sambil menatap anakku yang perlahan menutup matanya. Sejenak aku merasakan penyesalan yang amat mendalam setelah menikah. Andai saja waktu itu uang hasil kerja kerasku aku gunakan untuk buka usaha, mungkin saat ini aku bisa memiliki income lain. Tetapi, sebelum menikah aku terlalu dibutakan cintanya Mas Rendy, aku rela memberinya uang puluhan juta hanya untuk DP mobil. 

Ia, dia memang menepati janjinya untuk menikahiku, tetapi sama sekali tidak ada tanggung jawab. Dia lebih memilih menghabiskan uangnya untuk hura-hura daripada memenuhi kebutuhan keluarga. 

Ceklek ... 

Di sela-sela rasa kesalku, tiba-tiba saja pintu kamarku di buka dan menampakkan seorang pria dengan tubuh kekarnya yang tak lain dan tak bukan adalah Mas Rendy. Aku tersentak kaget karena setelah sekian lama, ia baru pulang cepat, biasanya ia akan pulang jika larut malam dengan berbagai macam alasan. 

Aku langsung menyeka air mataku yang sempat merembes ke pipi dan terlihat biasa saja seolah tidak terjadi sesuatu. Bukan karena apa, rasanya percuma juga jika aku mengatakan apa yang saat ini aku alami karena Mas Rendy tidak peduli dengan kondisiku. 

"Mas, kamu sudah pulang? Tumben kamu pulang jam segini, apa pekerjaanmu sudah selesai?" tanyaku sambil membantu melepas jasnya.

"Iya, tetapi aku mau keluar lagi nongkrong sama teman-teman aku," jawabnya dengan muka datar. 

Aku langsung menghela nafas kasar sambil berkata, "Mas, kapan sih kamu ada waktu untuk aku dan Aira? Saat kamu pulang cepat gini kamu lebih memilih keluar nongkrong, apa aku dan Aira gak begitu penting dalam hidup kamu?" 

"Setiap hari juga kita ketemu, kalau teman-teman aku kan nggak. Lagian aku juga gak bakalan bermalam di sana," jawabnya dengan nada ketus. 

"Tapi, Mas ..."

Belum sempat aku menyelesaikan sanggahanku, tiba-tiba saja ia memotongnya dan berkata, "Sudahlah, gak usah banyak protes. Kamu kalau mau nongkrong sama teman-teman kamu juga silakan, aku gak ngelarang. Sekalian tanya lowongan kerja kantoran, aku malu punya istri yang kerjanya buruh cuci di rumah orang lain!"

Tanpa menunggu tanggapanku, Mas Rendy berlalu begitu saja memasuki kamar mandi dan mengabaikanku. Aku tidak menyangka kalau Mas Rendy akan berubah sedrastis itu, padahal dulunya ia sangat bucin dan jarang keluar rumah setelah pulang kerja. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status