Share

Bab 6 Mereka Merendahkanku

Aku memilih untuk tidak mempedulikannya, aku langsung memasukkan makanan ke dalam piringku dan menyantapnya. Meskipun mendapatkan tatapan sinis, tetapi aku masih bisa menikmati makanannya. Bukan karena siapa, tetapi demi anakku juga.

Sepanjang aku makan, mereka terus saja memperhatikan gerak-gerikku seolah sedang memperhatikan pencuri yang sedang makan. Sebenarnya, aku juga merasa risih dengan hal itu, tetapi di sisi lain aku juga lapar, apalagi setelah ini aku harus berangkat kerja.

"Katanya kamu sudah kerja?" tanya ibu mertuaku setelah sekian lama terdiam.

"Iya, Bu."

"Kerja apa?"

Mendengar pertanyaan itu, aku langsung terdiam dan menatap ibu mertuaku dengan tatapan lirih lalu menatap kembali ke arah Mas Rendy. Aku tahu kalau sebenarnya ibu mertuaku sudah tahu pekerjaanku dari Mas Rendy, tetapi sepertinya dia ingin kembali merendahkanku.

"Buruh cuci, Bu."

"Ewww ... jijik banget sih jadi buruh cuci. Kok mau kerja kayak gitu sih, Mbak? Nggak guna banget ijazah dan gelar sarjananya. Mending nganggur sih daripada kerja kayak gitu. Udah sekolah tinggi-tinggi malah jadi budak orang lain," celetuk Caca.

Aku hanya bisa menghela nafas mendengar pernyataan adik iparku yang sangat menyayat.

"Ya mau gimana lagi? Cuma pekerjaan itu yang bisa menerima aku saat ini."

"Ya usaha dong. Aku gak tahu lagi harus jawab apa kalau teman-teman kantorku tanya pekerjaan kamu," celetuk Mas Rendy.

Kali ini aku memilih untuk diam saja karena dadaku sudah semakin terasa sesak saja. Satu persatu mereka mulai menghardikku, padahal aku sedang makan. Makanan yang tadinya terasa nikmat, kini berubah menjadi tak karuan.

Aku tidak lagi menanggapi ucapan mereka dan segera menyelesaikan sarapanku. Andai saja aku memiliki kekuatan menghilang, mungkin aku akan menggunakan kekuatan itu agar bisa segera menghilang dari hadapan mereka.

"Aku berangkat ya, Bu."

"Caca, ayo cepat. Biar aku anterin kamu."

Mas Rendy langsung bergegas berdiri dari duduknya dan langsung mencium Aira, sedangkan aku sama sekali tidak dipedulikan. Bahkan, saat aku hendak meraih tangannya untuk salam, ia malah menghempasnya dan langsung mencium punggung tangan ibunya.

"Sabar, Mira," ucapku dalam hati sambil menatap mereka yang perlahan menghilang dari pandanganku.

"Bu, aku titip Aira ya. Aku juga mau berangkat kerja."

Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut ibu mertuaku. Dia hanya menatap ke arah lain. Meskipun begitu, tetapi ia tetap mau mengambil Aira.

Saat aku hendak meraih tangannya, ia juga menolak dan berkata, "Gak usah. Sana cepat pergi," ucapnya dengan sinis.

Kini aku sudah berada di rumah ibu itu dan sedang sibuk melakukan pekerjaanku. Meskipun terlihat berat, tetapi aku benar-benar menikmati pekerjaan itu sehingga aku tidak merasa lelah. Bukan karena apa, majikanku sangat baik dan jika ada kesalahan dia juga menegurku dengan santun. 

"Bersyukur banget punya majikan seperti ibu ini, pasti anaknya sangat bangga punya ibu yang hatinya baik seperti beliau," batinku sambil tersenyum haru. 

Namun sayangnya, sudah dua hari aku bekerja di rumah ini, tetapi aku tidak pernah melihat ada anggota keluarga lain di rumah tersebut. Hanya ibu itu saja dan saat ini juga aku belum berani menanyakannya secara langsung. 

Wanita tua itu benar-benar menganggapku sebagai anaknya sendiri, bahkan ia selalu menyediakan makanan untukku. Seketika aku jadi tidak tega meninggalkan tempat itu. Ia lebih menatapku sebagai seorang anak daripada buruh cuci di rumahnya.

"Mira, sini kamu makan siang dulu. Kamu pasti lapar, kan? Ayo kita makan bareng!" panggil ibu itu dengan suara lembutnya.

Mendengar panggilan itu, seketika aku jadi teringat dengan ibuku. Ia sangat persis dengan ibuku yang selalu memperlakukanku dengan baik. 

Meskipun begitu, aku juga merasa tidak enak. Aku sadar posisi kalau di rumah ini aku hanya sebagai buruh cucinya. Rasanya tidak pantas saja kalau aku sampai duduk berdampingan dengan majikanku sendiri. 

"Saya makan di rumah saja, Bu."

Aku menolaknya dengan santun meskipun saat ini aku merasa sangat lapar. 

"Udah, makan di sini aja. Gak usah canggung, anggap aja ini sebagai rumah sendiri!" ucap wanita itu dan segera memasukkan makanan ke dalam piringku. 

Aku pun menghela nafas sejenak dan berpikir kalau rezeki itu tidak boleh ditolak. Sampai pada akhirnya, aku pun duduk di kursi yang ada di depan wanita itu untuk makan siang. 

Seketika aku jadi canggung sendiri dan bingung harus mengatakan apa untuk membuka obrolan.

"Oh iya, kalau boleh tau siapa nama ibu? Sampai sekarang aku belum juga tahu nama Ibu, heheh!" ucapku sambil terkekeh. 

"Oalah, kamu ini, hahhaa. Kenapa gak tanya dari kemarin? Ternyata kamu belum tahu nama aku?" 

Aku hanya menggeleng pelan sambil ikut terkekeh. 

"Nama Ibu ... Maria," jawabnya sambil tersenyum. 

Aku kembali mengangguk pelan sambil bergumam, "Ibu Maria, nama yang bagus."

"Oh iya, Bu. Di sini kok sepi banget ya? Ke mana anggota keluarga yang lain?" tanyaku penasaran. 

Setelah sekian lama, akhirnya aku berani juga menanyakannya secara langsung. Bukan karena apa, aku merasa yakin saja dengan Ibu Maria kalau dia adalah orang yang baik.

Entah kenapa, aku menanyakan itu seketika ekspresi wajahnya berubah. Saat itu juga aku merasa menyesal karena mungkin ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. 

Cukup lama ia terdiam sampai pada akhirnya, helaan nafas berat terdengar dari dirinya. 

"Dulu, rumah ini sangat ramai. Tetapi, semuanya berubah saat kejadian naas menimpa keluarga Ibu. Anak ibu ada 3 dan dua di antaranya sudah menghadap sang ilahi karena kecelakaan pesawat beberapa tahun silam."

"Bukan hanya anak Ibu yang jadi korban, tapi suami dan cucuku juga korban."

Seketika jantungku seolah berhenti berdetak mendengar curahan hati Ibu Maria. Aku tidak menyangka saja kalau ternyata ia memiliki trauma mendalam di masa lalu.

Aku menatapnya dengan tatapan lirih seolah mengucapkan belasungkawa atas kejadian naas itu. 

"Ya Tuhan ... Ibu kuat banget," ucapku dengan lirih. 

"Ya mau gimana lagi? Ini sudah jadi takdir Ibu, dan sekarang anak Ibu hanya ada satu orang cowok dan sekarang dia masih kuliah sambil bisnis di luar negeri."

"Makanya Ibu selalu merasa kesepian," ucap ibu itu. 

Meskipun Ibu Maria tersenyum, tetapi tidak menutup kemungkinan kalau sebenarnya ia memendam luka mendalam. Dari tatapannya saja sudah menandakan kalau sampai saat ini ia belum ikhlas dengan kejadian yang menimpanya. 

"Aku gak tahu lagi harus ngomong apa, nyesek banget rasanya dengar cerita Ibu," ucapku dengan mata berkaca-kaca karena memang aku begitu kasihan pada wanita paruh baya itu. 

Aku hanya tidak menyangka saja kalau ternyata orang yang hidupnya berkecukupan, tetap memiliki kisah kelam yang berusaha mereka terima dengan ikhlas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status