Aku memilih untuk tidak mempedulikannya, aku langsung memasukkan makanan ke dalam piringku dan menyantapnya. Meskipun mendapatkan tatapan sinis, tetapi aku masih bisa menikmati makanannya. Bukan karena siapa, tetapi demi anakku juga.
Sepanjang aku makan, mereka terus saja memperhatikan gerak-gerikku seolah sedang memperhatikan pencuri yang sedang makan. Sebenarnya, aku juga merasa risih dengan hal itu, tetapi di sisi lain aku juga lapar, apalagi setelah ini aku harus berangkat kerja.
"Katanya kamu sudah kerja?" tanya ibu mertuaku setelah sekian lama terdiam.
"Iya, Bu."
"Kerja apa?"
Mendengar pertanyaan itu, aku langsung terdiam dan menatap ibu mertuaku dengan tatapan lirih lalu menatap kembali ke arah Mas Rendy. Aku tahu kalau sebenarnya ibu mertuaku sudah tahu pekerjaanku dari Mas Rendy, tetapi sepertinya dia ingin kembali merendahkanku.
"Buruh cuci, Bu."
"Ewww ... jijik banget sih jadi buruh cuci. Kok mau kerja kayak gitu sih, Mbak? Nggak guna banget ijazah dan gelar sarjananya. Mending nganggur sih daripada kerja kayak gitu. Udah sekolah tinggi-tinggi malah jadi budak orang lain," celetuk Caca.
Aku hanya bisa menghela nafas mendengar pernyataan adik iparku yang sangat menyayat.
"Ya mau gimana lagi? Cuma pekerjaan itu yang bisa menerima aku saat ini."
"Ya usaha dong. Aku gak tahu lagi harus jawab apa kalau teman-teman kantorku tanya pekerjaan kamu," celetuk Mas Rendy.
Kali ini aku memilih untuk diam saja karena dadaku sudah semakin terasa sesak saja. Satu persatu mereka mulai menghardikku, padahal aku sedang makan. Makanan yang tadinya terasa nikmat, kini berubah menjadi tak karuan.
Aku tidak lagi menanggapi ucapan mereka dan segera menyelesaikan sarapanku. Andai saja aku memiliki kekuatan menghilang, mungkin aku akan menggunakan kekuatan itu agar bisa segera menghilang dari hadapan mereka.
"Aku berangkat ya, Bu."
"Caca, ayo cepat. Biar aku anterin kamu."
Mas Rendy langsung bergegas berdiri dari duduknya dan langsung mencium Aira, sedangkan aku sama sekali tidak dipedulikan. Bahkan, saat aku hendak meraih tangannya untuk salam, ia malah menghempasnya dan langsung mencium punggung tangan ibunya.
"Sabar, Mira," ucapku dalam hati sambil menatap mereka yang perlahan menghilang dari pandanganku.
"Bu, aku titip Aira ya. Aku juga mau berangkat kerja."
Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut ibu mertuaku. Dia hanya menatap ke arah lain. Meskipun begitu, tetapi ia tetap mau mengambil Aira.
Saat aku hendak meraih tangannya, ia juga menolak dan berkata, "Gak usah. Sana cepat pergi," ucapnya dengan sinis.
Kini aku sudah berada di rumah ibu itu dan sedang sibuk melakukan pekerjaanku. Meskipun terlihat berat, tetapi aku benar-benar menikmati pekerjaan itu sehingga aku tidak merasa lelah. Bukan karena apa, majikanku sangat baik dan jika ada kesalahan dia juga menegurku dengan santun.
"Bersyukur banget punya majikan seperti ibu ini, pasti anaknya sangat bangga punya ibu yang hatinya baik seperti beliau," batinku sambil tersenyum haru.
Namun sayangnya, sudah dua hari aku bekerja di rumah ini, tetapi aku tidak pernah melihat ada anggota keluarga lain di rumah tersebut. Hanya ibu itu saja dan saat ini juga aku belum berani menanyakannya secara langsung.
Wanita tua itu benar-benar menganggapku sebagai anaknya sendiri, bahkan ia selalu menyediakan makanan untukku. Seketika aku jadi tidak tega meninggalkan tempat itu. Ia lebih menatapku sebagai seorang anak daripada buruh cuci di rumahnya.
"Mira, sini kamu makan siang dulu. Kamu pasti lapar, kan? Ayo kita makan bareng!" panggil ibu itu dengan suara lembutnya.
Mendengar panggilan itu, seketika aku jadi teringat dengan ibuku. Ia sangat persis dengan ibuku yang selalu memperlakukanku dengan baik.
Meskipun begitu, aku juga merasa tidak enak. Aku sadar posisi kalau di rumah ini aku hanya sebagai buruh cucinya. Rasanya tidak pantas saja kalau aku sampai duduk berdampingan dengan majikanku sendiri.
"Saya makan di rumah saja, Bu."
Aku menolaknya dengan santun meskipun saat ini aku merasa sangat lapar.
"Udah, makan di sini aja. Gak usah canggung, anggap aja ini sebagai rumah sendiri!" ucap wanita itu dan segera memasukkan makanan ke dalam piringku.
Aku pun menghela nafas sejenak dan berpikir kalau rezeki itu tidak boleh ditolak. Sampai pada akhirnya, aku pun duduk di kursi yang ada di depan wanita itu untuk makan siang.
Seketika aku jadi canggung sendiri dan bingung harus mengatakan apa untuk membuka obrolan.
"Oh iya, kalau boleh tau siapa nama ibu? Sampai sekarang aku belum juga tahu nama Ibu, heheh!" ucapku sambil terkekeh.
"Oalah, kamu ini, hahhaa. Kenapa gak tanya dari kemarin? Ternyata kamu belum tahu nama aku?"
Aku hanya menggeleng pelan sambil ikut terkekeh.
"Nama Ibu ... Maria," jawabnya sambil tersenyum.
Aku kembali mengangguk pelan sambil bergumam, "Ibu Maria, nama yang bagus."
"Oh iya, Bu. Di sini kok sepi banget ya? Ke mana anggota keluarga yang lain?" tanyaku penasaran.
Setelah sekian lama, akhirnya aku berani juga menanyakannya secara langsung. Bukan karena apa, aku merasa yakin saja dengan Ibu Maria kalau dia adalah orang yang baik.
Entah kenapa, aku menanyakan itu seketika ekspresi wajahnya berubah. Saat itu juga aku merasa menyesal karena mungkin ada sesuatu yang terjadi pada dirinya.
Cukup lama ia terdiam sampai pada akhirnya, helaan nafas berat terdengar dari dirinya.
"Dulu, rumah ini sangat ramai. Tetapi, semuanya berubah saat kejadian naas menimpa keluarga Ibu. Anak ibu ada 3 dan dua di antaranya sudah menghadap sang ilahi karena kecelakaan pesawat beberapa tahun silam."
"Bukan hanya anak Ibu yang jadi korban, tapi suami dan cucuku juga korban."
Seketika jantungku seolah berhenti berdetak mendengar curahan hati Ibu Maria. Aku tidak menyangka saja kalau ternyata ia memiliki trauma mendalam di masa lalu.
Aku menatapnya dengan tatapan lirih seolah mengucapkan belasungkawa atas kejadian naas itu.
"Ya Tuhan ... Ibu kuat banget," ucapku dengan lirih.
"Ya mau gimana lagi? Ini sudah jadi takdir Ibu, dan sekarang anak Ibu hanya ada satu orang cowok dan sekarang dia masih kuliah sambil bisnis di luar negeri."
"Makanya Ibu selalu merasa kesepian," ucap ibu itu.
Meskipun Ibu Maria tersenyum, tetapi tidak menutup kemungkinan kalau sebenarnya ia memendam luka mendalam. Dari tatapannya saja sudah menandakan kalau sampai saat ini ia belum ikhlas dengan kejadian yang menimpanya.
"Aku gak tahu lagi harus ngomong apa, nyesek banget rasanya dengar cerita Ibu," ucapku dengan mata berkaca-kaca karena memang aku begitu kasihan pada wanita paruh baya itu.
Aku hanya tidak menyangka saja kalau ternyata orang yang hidupnya berkecukupan, tetap memiliki kisah kelam yang berusaha mereka terima dengan ikhlas.
PLAKKK ...Aku sudah tidak bisa mengontrol emosiku lagi hingga satu tamparan mendarat dengan sempurna di wajah Mas Rendy. Hal itu yang membuat orang-orang yang ada di sana menoleh ke arahku, sedangkan wajah Mas Rendy kini kian memerah. Saat ia hendak melayangkan pukulan kepadaku, tiba-tiba saja Angel menahannya."SIALAN!""Mas, udah. Jangan buat keributan di sini, malu diliatin orang," ucap Angel sambil menahan lengan Mas Rendy.Seketika raut wajah Mas Rendy berubah melihat wanita itu, terlihat sangat penurut dan persis dengan apa yang dilakukan dulu padaku sebelum nasib naas itu menimpaku."Lagian, kamu jadi istri sadar diri juga dong. Kalau udah gak diminati sama suami ya mending pergi aja, berikan dia kebebasan," ucap Angel kemudian sambil mendorong tubuhku.Saat aku hendak menjambak rambut wanita itu, tiba-tiba saja Indah sahabatku datang dan menahanku. Memang, ini sungguh sangat memalukan karena berdebat di tempat umum yang mungkin membuat orang lain merasa tidak nyaman."Mira, u
"Ceritanya panjang. Pokoknya nyesek banget kalau aku harus ceritain sekarang."Indah, merupakan sahabat Mira sejak duduk di bangku SMA. Selama ini, segala macam kisah hidup Mira diketahui oleh Indah, namun semenjak Mira menikah, mereka jadi jarang bersama lagi karena sibuk dengan urusan masing-masing.Indah yang saat ini masih berstatus single dan kerja di perusahaan ternama membuat ia jadi jarang punya banyak waktu untuk nongkrong. Sebagian besar waktunya ia habiskan dengan bekerja.Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya aku dan Indah sampai juga di restoran ternama yang kebanyakan dikunjungi oleh konglomerat saja. Sebenarnya, aku sempat tidak percaya bahwa Mas Rendy ada dalam restoran itu karena selama aku sama dia, dia tidak pernah ke sana dnegan alasan bayaran yang cukup fantastis."Apa kamu yakin Mas Rendy ada di sini?" tanyaku seolah tak percaya."Iya, Mira. Soalnya tadi aku makan di dalam sama rekan kerjaku, eh lihat dia dong sama cewek."Sebelum masuk ke restoran itu, aku
"Semakin lama kamu kok semakin kasar sama aku sih, Mas? Apa ia kamu gak cinta lagi sama aku?" gumamku sambil menahan tangis. Aku pun menghela nafas kasar dan berusaha untuk tidak terfokus dengan masalah itu. Aku memilih berjalan menuju dapur membuat makanan untuk makan malam nanti. Seperti biasa, aku sudah tidak protes lagi dengan hal ini karena pekerjaan ini sudah menjadi kewajibanku.***"Iya, aku akan segera ke sana. Sabar dong, ini lagi di jalan," ucap Mas Rendy sambil berjalan menuruni tangga. Aku yang mendengar obrolan melalui sambungan teleponnya itu langsung menatap dengan tatapan aneh. Entah kenapa, saat ini perasaanku sangat tidak enak tiap kali Mas Rendy menerima telepon. Aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku."Mas, kamu nanti pulang jam berapa?" tanyaku. "Nggak tau.""Aku udah masakin makanan kesukaan kamu loh.""kamu makan sendiri aja, gak usah nungguin aku. Kayaknya aku akan pulang larut malam," jawabnya dengan ketus. Lagi-lagi aku hanya menghela nafas ke
Wanita tua itu hanya tersenyum tipis lalu berkata, "Hehe, begitupun dengan Ibu, Nak. Tetapi, semakin lama Ibu juga mulai terbiasa dengan rasa sepi ini." Aku kembali tersenyum memberikan semangat pada Ibu Maria. Sangat kasihan karena ternyata dia memendam lukanya seorang diri. Ditambah lagi dengan dirinya yang hanya tinggal sendiri membuat ia semakin kesepian. "Ibu tenang saja, aku akan tetap bekerja sama Ibu jika Ibu berkenan menerima aku. aku akan selalu menemani Ibu," ucapku dengan penuh keyakinan. "Terima kasih, Nak. Pasti, selama kamu ada di sini, hidup Ibu jadi sedikit lebih berwarna." Aku hanya tersenyum dan segera melanjutkan makanku. Kini suasana menjadi hening, tak ada lagi obrolan di antara kami. Hanya suara dentuman sendok dan piring yang terdengar karena kami fokus menikmati santapan makan siang itu. Setelah beberapa lama, akhirnya kami selesai juga makan siang. Aku langsung membersihkan meja makan itu lalu mencuci piring, meskipun awalnya Ibu Maria menolak karena
Aku memilih untuk tidak mempedulikannya, aku langsung memasukkan makanan ke dalam piringku dan menyantapnya. Meskipun mendapatkan tatapan sinis, tetapi aku masih bisa menikmati makanannya. Bukan karena siapa, tetapi demi anakku juga. Sepanjang aku makan, mereka terus saja memperhatikan gerak-gerikku seolah sedang memperhatikan pencuri yang sedang makan. Sebenarnya, aku juga merasa risih dengan hal itu, tetapi di sisi lain aku juga lapar, apalagi setelah ini aku harus berangkat kerja. "Katanya kamu sudah kerja?" tanya ibu mertuaku setelah sekian lama terdiam. "Iya, Bu." "Kerja apa?" Mendengar pertanyaan itu, aku langsung terdiam dan menatap ibu mertuaku dengan tatapan lirih lalu menatap kembali ke arah Mas Rendy. Aku tahu kalau sebenarnya ibu mertuaku sudah tahu pekerjaanku dari Mas Rendy, tetapi sepertinya dia ingin kembali merendahkanku. "Buruh cuci, Bu." "Ewww ... jijik banget sih jadi buruh cuci. Kok mau kerja kayak gitu sih, Mbak? Nggak guna banget ijazah dan gelar sarjanan
"Kamu ngapain sih main angkat telpon orang aja. Gak hargain privasi orang banget," ucap Mas Rendy yang langsung merebut benda pipih itu dariku. Aku langsung tersentak kaget dan beralih menatap Mas Rendy dengan tatapan curiga, namun tatapanku hanya dibalas dengan tatapan sinis tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya. "Namanya Wilson, kok suara cewek, Mas? Dan kenapa dia manggil kamu sayang?" tanyaku dengan penuh curiga dan perasaan yang sudah tak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. "Bukan urusan kamu juga, ini tuh istrinya teman aku. Mungkin si Wilson butuh bantuanku," jawabnya dengan nada tinggi lengkap dengan tatapan sinisnya. Tanpa menunggu tanggapan dariku, ia langsung berlalu begitu saja keluar kamar dengan sebuah ponsel di tangannya. Sedangkan aku, masih setia berdiri di tempat dengan pikiran yang semakin tak karuan. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku menaruh curiga pada Mas Rendy kalau sebenarnya ia menyembunyikan sesuatu dariku. "Apa mungkin Mas Rendy mengkhianatiku?