INICIAR SESIÓNPagi menyelinap perlahan ke dalam villa tempat Naren dan Andini menginap. Tirai tipis berwarna gading bergoyang pelan tertiup angin danau.Cahaya matahari jatuh lembut di seprai putih, membingkai dua tubuh yang masih terlelap dalam posisi tak sempurna.Naren terbangun lebih dulu.Lengannya mati rasa karena sejak entah jam berapa dipakai Andini sebagai bantal. Rambut Andini terlihat berantakan, pipinya menempel di dada Naren, nafasnya berhembus teratur. Wajah itu tampak begitu damai hingga Naren memilih diam, meski punggungnya mulai pegal.“Beginikah rasanya jadi bantal bagi ibu hamil,” gumamnya pelan sambil tersenyum.Baru saja Naren mencoba menggeser sedikit tubuhnya,“Jangan gerak.”Suara Andini muncul tiba-tiba, parau dan mengancam.Naren membeku. “Ehm, sayang apa kamu masih belum mau bangun?”“Mata aku masih ingin terpejam.” jawab Andini malas. “Tapi aku jadi terbangun, saat tahu kamu mau kabur.”Naren terkekeh pelan. “Aku bukan mau kabur, cuma mau ke kamar mandi sebentar, Sayang
Malam semakin larut ketika mobil SUV yang dikendarai Yuda memasuki area apartemen Kenzo. Lampu-lampu kota terlihat redup dari balik kaca, seolah ikut lelah setelah hari panjang yang penuh gejolak.Kenzo tidak langsung turun. Dia masih duduk diam beberapa detik, menatap lurus ke depan. Pikirannya kembali ke detik ketika rem mobil Naren blong.Sensasi pedal yang kosong. Detak jantungnya yang melonjak. Dan satu kesimpulan yang semakin mengeras di benaknya, ini memang bukan kecelakaan.“Ada yang sengaja main kotor,” gumamnya pelan.Yuda mematikan mesin. “Aku sudah hubungi tim keamanan internal. Semua akses ke parkiran Angkasa Khile Corp lagi dicek. Kalau ada sabotase, pelakunya pasti paham sistem. Bukan orang sembarangan.”Kenzo mengangguk. “Dan itu yang bikin aku khawatir. Orang ini sabar. Dia benar-benar nunggu momen yang tepat.”“Targetnya bos Naren?” tanya Yuda.“Awalnya aku pikir iya,” jawab Kenzo lirih. “Tapi sekarang… bisa jadi siapapun yang dekat dengan mereka. Mungkin saja hari
Langit senja menggantung rendah ketika mobil yang mereka tumpangi memasuki area resort.Cahaya jingga memantul di permukaan danau buatan, sementara bangunan-bangunan kayu bergaya Eropa berdiri anggun, seolah memang diciptakan khusus untuk pasangan yang ingin melarikan diri dari hiruk pikuk dunia.Andini menempelkan wajahnya ke jendela mobil, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat salju.“Sayang, pemandangan ini cantik banget,” ucapnya lirih, penuh takjub.Naren tersenyum, tangannya refleks menggenggam tangan Andini. “Aku tahu kamu bakal suka.”Bukan ini saja yang membuatnya bahagia. Tapi cara Andini sekarang, lebih sensitif, lebih jujur pada perasaannya, cinta mereka lebih terasa hidup.Begitu mereka tiba di vila pribadi yang menghadap langsung ke danau, Andini langsung berputar di tengah ruangan, gaun ringannya ikut berayun.“Kita benar-benar honeymoon ya?” tanyanya, seolah masih tak percaya.Naren tertawa kecil. “Iya, Nyonya Khile. Apa kamu pikir semua in
Saat mereka melangkah untuk keluar dari terminal keberangkatan waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam.Belinda melangkah keluar terminal dengan langkah pelan. Terlalu pelan untuk seseorang yang biasanya selalu berjalan di depan, memimpin, memastikan segalanya berjalan sesuai rencana.Kini, bahunya turun, punggungnya sedikit membungkuk, seolah beban yang selama ini dia pikul dengan penuh kesombongan akhirnya menindih tubuhnya sendiri.Tidak ada satu kata pun keluar dari bibirnya. William berjalan di sampingnya, sengaja memperlambat langkah agar sejajar dengan istrinya. Sesekali dia melirik Belinda, namun tetap memilih diam.Karena William tahu, pada titik ini, kata-kata tak lagi dibutuhkan. Yang dibutuhkan hanyalah waktu dan keheningan.Jessica berjalan di belakang beriringan dengan Kenzo. Tangan mereka masih saling menggenggam, kali ini bukan karena keberanian atau perlawanan, melainkan karena sisa-sisa ketakutan yang belum sepenuhnya pergi.Jessica menoleh beberapa kali ke arah i
Semua orang terpaku berita ini sungguh mengejutkan, bukan hanya mengejutkan untuk keluarga Parker saja. Tapi untuk semua orang yang ada di sana. Terutama untuk seluruh keluarga dari penumpang.Kata-kata dari pengeras suara bandara itu masih menggema di telinga mereka secara berulang.Berita peristiwa kecelakaan pesawat yang menuju London langsung tersebar. Pengumuman resmi pun disebar di semua media, baik media cetak maupun elektronik.Lutut Belinda melemas. Jika bukan karena kursi di belakangnya, mungkin tubuhnya sudah jatuh sepenuhnya ke lantai bandara. Tangannya gemetar hebat, seolah kehilangan kekuatan untuk sekadar menopang dirinya sendiri.“Nggak,” bisiknya lirih. “Ini nggak mungkin, aku yakin ini semua hanya mimpi.”Matanya membelalak, kosong, menatap lurus ke depan tanpa benar-benar melihat apa pun.Di sekelilingnya, orang-orang mulai berbisik.Ada yang menutup mulut. Ada yang mengeluarkan ponsel. Ada yang memeluk orang di sampingnya.Begitupun dengan Kenzo, dia langsung meme
Saat mata Belinda mengetahui jika yang sedang berlari dan menghampiri mereka adalah Kenzo, pemuda yang dianggapnya sebagai sumber dari semua kekacauan serta ketidak beruntung yang terjadi pada mereka beberapa bulan terakhir ini.Seketika itu juga amarah di dalam dada Belinda semakin meluap-luap. Ibarat kata saat ini Belinda adalah sebuah lahan gandus yang kering, dan dibagian sisinya sudah ada percikan api kecil yang memancingnya untuk terjadinya kebakaran, dan saat Kenzo hadir api itu semakin besar dan membara siap membakar siapa saja yang ada di hadapannya.“Hei, seseorang yang kehadirannya hanya membawa ketidakberuntungan untuk orang lainnya. Ngapain kamu kesini, hah?!”Mendapati ketidak sukaan yang ditunjukkan oleh ibunya Jessica secara terang-terangan Kenzo hanya tersenyum.“Maaf, Tante. Bukan maksud saya …”“Bukan maksud, bukan maksud? Kamu seharusnya sadar diri gara-gara kamu putriku jadi menentangku!!”“Mami, tolong kalau ngomong itu pikirkan juga perasaan orang lain.”“Kamu l







