Share

3. Mulut Manis Penuh Kebohongan

Malam yang terasa kelam dan mencekam kini telah berganti siang, hawa panas dari teriknya sang surya mulai menyeruak ke dalam kamar yang Mer tempati.

Mer mulai mengerjapkan matanya. Seingatnya, dia sedang menangis di lantai yang dingin. Hatinya yang terasa bahagia karena pernikahannya bersama suami tercintanya, langsung berganti dengan rasa duka yang mendalam.

Mer meratapi nasibnya yang--ah, entahlah. Mer harus merasa bangga, atau malah sedih. Karena di hari pertama menjadi istri dari Adi, dia malah langsung tahu status suaminya yang telah beristri.

Akan tetapi, kenapa saat ini Mer malah sedang terbaring di atas tempat tidur. Siapa yang memindahkannya, atau mungkin suaminya yang telah beristri itu yang sudah memindahkan dirinya, pikirnya.

Bahkan, tubuh Mer kini dibalut dengan selimut yang tebal. Mer merasa jika kini seluruh tubuhnya terasa dingin dan juga menggigil.

Saat dia meraba keningnya, di keningnya terdapat handuk kompres. Mer mengernyit heran. Apa yang terjadi kepada dirinya saat ini, pikirnya. Mungkinkah ada sesuatu hal yang dia lupakan atau seperti apa, dia tidak tahu.

"Sudah bangun?" tanya Adi yang ternyata sudah datang dan langsung menghampiri Mer.

Suara penuh kelembutan, terasa mendayu di telinga Mer. Mer suka suara lembut itu. Juga Mer, benci jika ingat akan pesan yang dia baca tadi malam.

Kalau saja bisa, Mer ingin memukul dan memaki lelaki yang ada di hadapannya itu. Lelaki yang telah berhasil membuatnya bahagia dan kecewa dalam satu waktu.

Namun, dia masih menahan keinginannya. Tentunya karena dia ingin tahu kenapa suaminya tersebut mampu melakukan hal seperti itu, kenapa suaminya menikahi dirinya kalau memang dia sudah memiliki istri dan juga seorang putri.

Tidakkah Adi memikirkan perasaan dari istri dan juga putrinya, ataukah mungkin memang pernikahan yang kini terlaksana atas izin istri pertamanya, pikirnya.

"Sudah," jawab Mer pelan.

Mer seakan masih enggan untuk berbicara dengan pria yang kini sudah menjadi suaminya tersebut, rasa cintanya tiba-tiba saja berubah menjadi rasa benci.

Akan tetapi, Mer juga takut jika dia bertindak gegabah. Karena hal itu, bisa merugikan dirinya sendiri. Mer tak mau jika keluarganya akan menanggung malu atas perbuatannya. Untuk beberapa saat, Mer harus diam dan bersabar.

Mer memutuskan, untuk pura-pura tidak tahu tentang pesan chat itu, sebuah pesan yang masuk kedalam ponsel suaminya. Dia ingin menyelidikinya terlebih dahulu, apakah benar suaminya itu sudah memiliki istri dan juga seorang putri atau bagaimana.

Melihat Mer yang diam saja, Adi merasa heran. Padahal, sejak datang ke rumahnya, Mer terlihat sangat bahagia. Namun, ini wajah istrinya tersebut terlihat begitu muram.

"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa tadi pagi aku malah melihat kamu tidur sambil memeluk lutut di lantai?" tanya Adi.

Mer untuk sesaat terdiam, dia berusaha untuk mencari alasan yang tepat. Karena jika dia asal bicara, takutnya suaminya akan menganggap yang tidak-tidak terhadap dirinya.

"Ngga tahu, mungkin aku mengigau." Mer menjawab dengan asal. 'Aku sedih, Mas. Aku sedih karena kelakuan kamu, karena kamu yang ternyata adalah pria beristri,' lanjut Mer di dalam hati.

Adi langsung mengelus puncak kepala Mer, lalu dia tersenyum dengan sangat manis. Lalu, pria matang itu menunduk dan mengecup kening istrinya dengan begitu lembut.

"Ya ampun! Bisa-bisanya kamu masih ngigo aja, besok-besok kalau bobo pasti Mas peluk. Biar kamu ngga ngigau sambil jalan lagi," ucap Adi seraya terkekeh.

Mer memaksakan senyumnya. Dia tidak mau jika suaminya tahu kalau hati Mer saat ini sedang terluka, terluka karena mengetahui kebenaran yang sulit untuk dipercaya itu.

"Mungkin harus seperti itu," kata Mer. 'Atau mungkin kamu yang harus aku peluk atau perlu aku ikat, agar tak pergi ke rumah istri pertama kamu,' sambung Mer dalam hati.

Ya, Mer hanya mampu mengatakan hal itu di dalam hati saja. Karena Jujur saja keberaniannya tidak ada untuk berkata secara langsung kepada suaminya tersebut.

Adi, mengambil semangkok bubur yang di simpan di atas nakas. Kemudian, dia pun meminta Mer untuk memakan bubur tersebut.

"Makanlah dulu, biar kamu cepat sembuh. Setelah buburnya habis, kamu harus segera minum obat." Adi berucap seraya menyuapkan satu sendok bubur ke dalam mulut Mer.

Mer menerima suapan dari Adi dengan terpaksa, karena kenyataannya dia memang sedang tak ingin disuapi oleh Adi. Jangankan untuk disuapi, rasanya untuk berdekatan dengan pria itu saja Mer merasa begitu enggan.

Saat sedang asik mengunyah makanan, Mer memperhatikan penampilan dari Adi yang terlihat sangat rapih. Dia menjadi bertanya-tanya di dalam hatinya, bukankah Adi meminta cuti selama satu minggu, lalu, kenapa penampilannya begitu rapih? Mer jadi curiga dibuatnya, tapi dia seakan enggan untuk bertanya.

Akan tetapi, jika mengingat pesan chat tadi malam, Mer berusaha untuk menebak. Mungkinkah suaminya akan menemui istri pertamanya, pikirnya.

"Ehm! Sayang, Mas, mau ngomong. Tetapi, kamu jangan marah." Adi berbicara sambil mengusap puncak kepala Mer dengan lembut.

Dari ucapan Adi dan bahkan dari penampilannya yang sudah terlihat sangat rapih. Mer bisa menebak jika Adi pasti ingin menemui istrinya dan juga anaknya.

Hati Mer, langsung menjerit. Sekuat tenaga Mer menahan agar air matanya agar tidak tumpah. Sekuat tenaga Mer berusaha agar tak mengumpat dan mengeluarkan kata-kata kotornya.

Dia tidak mau menjadi istri yang berdosa, dia lebih bertahan dalam diamnya walaupun terasa begitu sakit dan napasnya seakan tercekat.

"Iya, Mas. Ngomong aja, aku ngga apa-apa." Mer menjawab sambil menelisik wajah suaminya.

Adi kembali menyuapi Mer, karena istrinya tersebut sedang sakit. Adi tidak mungkin meninggalkan Mer dalam keadaan belum sarapan, tidak lama kemudian dia berkata.

"Mas, ada tugas mendadak ke luar kota selama 2 hari. Akan tetapi, Mas janji. Setelah 2 hari, Mas akan meneruskan masa cuti Mas. Kita akan berlibur, Sayang. Maafin, Mas. Mas tahu, kamu lagi sakit. Namun, Mas ngga tahu harus bagaimana lagi? Ini tugas dari kantor," ucap Adi.

Adi memasang wajah sedih di depan Mer, padahal Mer tahu jika Adi sedang bersandiwara. Dia bisa melihat dengan jelas jika pria itu memasang wajah palsunya.

Mer bisa melihat dengan jelas raut kebohongan di wajah Adi, bahkan sorot mata Adi terlihat tidak tulus saat mengatakan hal itu. Hati Mer benar-benar terasa tertusuk ribuan belati.

Akan tetapi, dengan sekuat tenaga Mer berusaha untuk menahan rasa sakit itu. Mer memutuskan, jika dia akan mengikuti suaminya, karena rasanya itu adalah hal yang terbaik.

Mer harus membuktikan seperti apa suaminya di belakangnya, seperti apa istrinya. Satu hal yang pasti, Mer ingin tahu bagaimana kelakuan Adi yang sebenarnya.

Mer benar-benar ingin membuktikannya, ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana hubungan suaminya dengan anak dan istri pertamanya, kenapa dia memilih untuk menikahinya di kala dia sudah berkeluarga.

"Penting banget ya, Mas? Aku lagi sakit loh! Masa akunya malah kamu tinggalkan?" protes Mer.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status