"Penting banget ya, Mas? Aku lagi sakit loh! Masa akunya malah kamu tinggalkan?" protes Mer. Adi langsung memeluk Mer. Dia mengusap lembut punggung Mer. Dia tahu jika istrinya pasti sedih dan kecewa, karena mereka baru saja menikah tapi Mer harus ditinggal pergi. Mer langsung membalas pelukan Adi. Mer memeluk Adi dengan sangat erat. Air mata yang sedari tadi ditahan, kini tumpah juga dan langsung membasahi kemeja yang di pakai oleh suaminya. Merasakan dadanya yang basah, Adi merasa tidak enak hati. Karena pastinya istrinya tersebut begitu terluka akan apa yang sudah dia ucapkan, dia berusaha untuk menenangkan hati istrinya."Hey! Jangan menangis, Mas perginya cuma dua hari. Mas tidak pergi dalam waktu yang lama, Mas pergi hanya untuk mengerjakan urusan kantor saja." Adi berusaha melerai pelukannya, tapi tak bisa. Mer seakan enggan untuk menunjukkan wajah sedihnya. Dia segera menyusut air matanya. Setelah itu, barulah dia melerai pelukannya dengan Adi. "Pergilah, Mas. Aku ikhlas!"
Setelah berpamitan kepada Mer, Adi segera membawa barang-barangnya dan memasukannya ke dalam bagasi mobilnya. Dia melakukan hal itu dengan tergesa, seperti orang yang sedang dikejar waktu.Mer sempat bertanya-tanya di dalam hatinya, apa saja yang suaminya bawa? Kenapa barang bawaannya terlihat begitu banyak? Kenapa tingkah Adi seperti orang yang satu tahun tidak pulang ke kampung halamannya? Ah! Mer seakan lupa, tentu saja banyak yang akan dia bawa. Karena dia punya anak dan istri yang mengharapkan oleh-oleh darinya, Adi pasti membawa banyak pesanan untuk anak dan juga istrinya.Mer menjadi penasaran, apakah anak Adi dari istri pertamanya sudah besar atau masih kecil. Karena usia Adi ini memang sangatlah matang, seharusnya Mer tidak langsung percaya begitu saja kepada pria itu. Seharusnya Mer mencari terlebih dahulu asal usul pria tersebut.Namun, karena mulut Adi yang begitu manis, Mer sampai tidak bisa berpikir dengan jernih. Sungguh dia merasa percaya jika Adi adalah pria yang begi
"Selamat sore, Pak. Apa masih ada kamar yang kosong?" tanya Mer dengan sopan. Security tersebut seperti menelisik penampilan Mer dari atas sampai bawah. Kemudian, security itu pun menjawab pertanyaan Mer. "Masih, Neng. Tunggu sebentar, saya panggilkan pemilik kostnya." Security itu terlihat pergi ke arah rumah besar yang ada di samping kostan. Mer duduk di bangku sambil menunggu security itu datang. Tak lama kemudian, security itu datang dengan seorang pria paruh baya yang terlihat sangat berwibawa. "Selamat sore, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria paruh baya itu sopan. "Begini, Pak. Saya butuh tempat menginap, hanya untuk dua hari. Bisa?" tanya Mer. Pria paruh baya itu terlihat memperhatikan penampilan Mer. Tidak ada yang salah dengan penampilan Mer. Akan tetapi, wajah Mer terlihat kacau. Pria paruh baya itu lalu bertanya kepada Mer. "Kamu, ngga lagi kabur, kan?" tanyanya menyelidik. Sontak Mer langsung mengibas-ngibaskan kedua tangan kanannya di depan wajahnya. Karen
"Terima kasih, Pak." Mer berucap dengan tulus. "Sama-sama," jawab Pak Dian. Mer kembali melanjutkan langkahnya, sambil memakai jaket milik pak Dian. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, Mer melihat banyak pedagang yang menjajakan dagangannya. Di sana terlihat begitu banyak gerobak berjejer dengan rapi, bahkan banyak juga pedagang yang menggelar dagangannya di atas tikar, tergeletak begitu saja, tapi tetap terlihat rapi dan tak meninggalkan kesan jorok. Mer terlihat begitu semangat, dia langsung mendekat ke arah pedagang-pedagang tersebut. Tidak lama kemudian, tatapan mata Mer tertuju pada gerobak soto. Seketika mulut Mer terasa berliur. Mer langsung menghampiri pedagang soto tersebut. Dia sudah tak sabar ingin mencicipi rasa asam dan sensasi segar dari soto tersebut. Akan tetapi, baru saja Mer akan memesan semangkok soto. Mer malah melihat Adi yang sedang asik makan bakso bersama anak dan istri pertamanya. Adi terlihat menyuapi istrinya dengan penuh cinta, Adi juga terlihat m
Rasa takut langsung melingkupi hatinya, dia takut ketahuan oleh suaminya sendiri. Dia takut jika harus bertatap muka dengan suaminya saat ini. Lebih tepatnya, dia belum sanggup untuk berbicara dengan lelaki yang sudah menyakitinya berkali-kali hanya dalam kurun waktu satu hari. Sebisa mungkin Mer ingin menghindar dari Adi, dia berusaha menutupi wajahnya dengan penutup kepala dari jaket yang pak Dian pinjamkan untuknya. Meira hanya bisa menatap Mer dengan tatapan penuh tanya, dia seperti ingin menanyakan kenapa Mer bertingkah sangat aneh. Namun, niatnya dia urungkan karena Adi terdengar melontarkan pertanyaan kepadanya."Meira, kok ditanya sama Ayah diem aja?" tanya Adi. Tatapan Meira langsung tertuju pada Adi, sedangkan Mer menggunakan kesempatan tersebut untuk segera pergi menuju kasir. Dia pergi dengan tergesa-gesa karena takut jika Adi menyadari dirinya ada di sana."Mbak, ini belanjaan saya. Tolong di itung berapa, saya mau keluar sebentar." Sebelum mendengar jawaban dari penja
"Meira."Mer sangat kaget karena ternyata dia malah bertemu dengan anak dari suaminya, gadis cantik yang terlihat lucu dan menggemaskan. Sayangnya, wajahnya begitu mirip dengan Adi. Lelaki yang sudah memperistrinya, tetapi nyatanya dia sudah beristri. Perlahan Mer melangkahkan kakinya, dia menghampiri Meira yang sedang mengantri untuk membeli siomay. "Hai, Meira." Mer langsung mengusap lembut puncak kepala gadis kecil itu. Meira terlihat mendongakkan kepalanya, lalu memandang Mer dengan intens. Senyumnya langsung terukir indah saat melihat wanita yang semalam membantunya untuk mengambilkan ciki dan minuman yang dia inginkan ada di hadapannya."Hai, Aunty yang semalam kabur," jawab Meira seraya terkekeh.Mer terlihat berdecak kala Meira menyebutnya kabur. Memang kenyataannya sih dia kabur saat Adi menghampirinya, tetapi hatinya merasa tak senang jika Meira berkata sejujur itu. "Ish! Kamu tuh, Aunty ngga kabur. Aunty kebelet pipis, jadi secepatnya pergi dari sana." Mer beralasan se
Mer langsung berlari dan masuk ke dalam kamar kostnya. Dia sangat takut jika dia akan bertemu dengan Adi, rasanya dia belum siap kalau harus bertemu dengan suaminya itu. Apalagi, kini suaminya tengah berdua dengan istri pertamanya. Mereka bahkan terlihat sangat mesra, hati Mer terasa sangat panas. Mer langsung menangis mengeluarkan sesak di dalam dadanya. Semuanya terasa sakit dan terasa menyesakkan dada, kalau saja bisa Mer ingin sekali menghampiri Adi dan menampar wajah tampannya. Wajah tampan penuh tipu, terlihat manis tapi busuk.Sayangnya itu hanya jadi keinginannya semata, karena dia tak akan sanggup untuk melakukannya. "Kenapa aku bisa menikah dengan pria seperti itu?" tanya Mer penuh kecewa.Sampai di dalam kamar, Mer langsung merapihkan semua bajunya. Dia sudah tak kuat lagi melihat Adi dengan istrinya, dia ingin segera pergi dari sana. Semakin lama dia di sana, rasa sesak di dalam dadanya terasa semakin membuncah. Sakit, tapi tak berdarah. Setelah selesai merapikan bajun
"Pindah! Karena saya bukan sopir," ujar Arga. Mer terlihat malu, karena ternyata lelaki yang bernama Arga itu tidak suka jika dia duduk di belakang. Awalnya, Mer mengira jika dia tidak akan suka jika Mer duduk di depan bersama dengannya. Akan tetapi, ternyata dia salah. Malah yang ada kebalikannya, lelaki itu tak suka Mer duduk di belakang. Karena dia merasa jadi sopir untuk Mer. Wajah Mer terlihat memerah, dia yang merasa malu langsung menuruti apa yang dikatakan oleh Arga. Duduk tepat di samping pria itu. "Maaf, Tuan. Saya tak bermaksud untuk--""Tidak apa," pungkas Arga. Arga mulai melajukan mobilnya, karena dia memang harus buru-buru sampai di kota. Walaupun pekerjaannya akan dimulai besok pagi. Akan tetapi, dia juga harus membenahi apartemennya terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan menuju kota, Mer hanya terdiam. Sesekali dia mencuri pandang ke arah lelaki yang sebentar lagi akan menjadi atasannya itu. Berbeda dengan Arga, dia terlihat begitu fokus dalam menyetir. Arga tak s