Share

Bab 3. Kenapa Belum Pulang Mas?

Seperti yang Mas Arya janjikan malam ini ia akan pulang. Sedari pagi hingga sore, aku sudah berbenah diri. Mulai dari mempersiapkan makan malam, hingga merapikan rumah.

Aku tidak tahu pukul berapa tepatnya ia tiba di rumah. Tugasku hanya menyambut dan menciptakan suasana yang tidak membuatnya jengkel.

Aku masih terus menunggu sampai mendapat kabar kalau kepulangannya di batalkan.

Sudah hampir pukul dua belas malam. Aku gelisah, mengapa Mas Arya tidak menghubungiku kalau ia tidak jadi pulang malam ini.

Terlalu malam kalau aku harus pergi ke rumah tetangga dan meminjam handphone untuk menghubungi Mas Arya, benakku.

Aku mengerjap saat silau dari luar jendela menembus kedua netraku.

"Aku tertidur?!" pekikku tersentak sembari berdiri tegak.

"Aduh! Mas Arya!" spontan aku berlari ke kamar mencari keberadaannya. Kupikir ia sudah pulang.

"Tidak ada?! Atau.. jangan-jangan Mas Arya sudah pulang dan aku tertidur. Jadi aku tidak mendengar ia mengetuk pintu!" ocehku panik membayangkan kalau Mas Arya akan marah besar.

Tanpa pikir panjang aku berlari ke warung Bu Idah untuk meminjam telepon genggam dan segera menghubungi Mas Arya. Barangkali dia menginap di rumah temannya, karena aku tidak membukakan pintu, ocehku.

"Aduh..bodoh kamu Dian.. bodoh..bodoh!" umpat ku pada diri sendiri sembari berlari kecil ke warung Bu Idah.

"Bu Idah.. Bu Idah...!" panggilku.

"Ada apa Bu Dian, kok panik gitu?" sahutnya.

"Emm..Bu saya boleh pinjam handphonenya bentar buat menghubungi suami saya," jawabku.

"Oh.. boleh, Bu, nih..pakai lah, Bu!" Bu Idah menyodorkan handphonenya.

"Suami Bu Dian belum pulang? Suami Bu Imar sudah pulang lho!"

"Iya, ini lagi bagi-bagi oleh-oleh buat kita,"

"Duh.. jangan-jangan..? Singgah ke tempat yang lain tuh!"

Karena tergesa-gesa aku tidak menyadari kalau sedang membelakangiku ibu-ibu yang sedang berkumpul seperti biasa di warung itu. Dan sedari tadi mereka bersahut-sahutan menyindirku.

Jemariku pun seketika tertahan saat akan menekan beberapa digit nomor handphone Mas Arya.

Suami Bu Imar sudah pulang, berarti benar Mas Arya sudah pulang dan aku tidak mendengar kedatangannya tadi malam, gumamku dalam hati semakin panik.

Tut..Tut..!

Tidak ada jawaban, ini sudah panggilan yang ke lima. Aku segera mengembalikan handphone Bu Imar, tidak enak dengan beliau kalau terlalu lama ku gunakan.

"Ini Bu, terima kasih ya," ucapku.

"Sudah Bu? bagaimana di angkat?" tanyanya.

"Tidak Bu,"

"Tunggu aja mungkin masih di jalan," hibur Bu Idah.

"Di jalan.. apa di jalan..!" sindir salah satu ibu-ibu tadi, dan kukenali suara itu milik Bu Imar.

Aku menoleh pelan ke arah Bu Imar yang sedang memamerkan oleh-oleh pemberian suaminya. Seketika aku semakin kuatir dengan Mas Arya, jika memang ia sudah pulang seharusnya ia memberitahuku.

Aku melangkah kembali ke rumah, tidak ingin menghiraukan sindiran Bu Imar.

"Dian.. tunggu! Kalau suamimu pulang, kamu tanya siapa wanita yang bersamanya dua hari ini!"

"Sudah tau urusan kantor kok bawa-bawa wanita," sindir Bu Imar lagi tanpa melihat ke arah ku.

"Itu pun kalau pulang!" imbuhnya.

Aku berbalik, dan menahan sakit hati mendengar perkataan Bu Imar tadi.

Apa benar yang ia katakan? Tapi.. bagaimana ia tahu, kan ini perjalanan kantor. Sudah pastilah suaminya yang memberitahu, bodoh nya aku.

Begitu terbukanya suami Bu Imar, hingga segala hal ia beritahukan kepada istrinya, pikirku lagi.

Ku dudukan tubuhku di sisi ranjang, perkataan Bu Imar tadi masih saja terngiang. Padahal aku sudah menepisnya jauh.

Aku lebih percaya dengan suamiku daripada perkataan Bu Imar yang belum terbukti.

Tapi.. mengapa bertentangan dengan hati kecil ini. Bagaimana aku percaya sepenuhnya sedangkan hal kecil saja ia tidak ingin berbagi denganku.

Mengapa ia pulang telat, sedang dimana dia, apa yang sedang ia lakukan.

Jika saja ia memberiku kabar, aku tidak akan sepanik ini berlari ke warung Bu Dian dan mendengar ocehan wanita sosialita itu.

Tidak semangat melakukan apa pun. Seketika aku rindu amarah Mas Arya dan perkataan kasarnya. Aku seakan takut kehilangannya. Padahal baru saja semalam aku senang kalau ia tidak di rumah. Mengapa kini aku cemas.

Beberapa saat kemudian..

"Bu Dian..Bu Dian..!" teriakan dari balik pintu menyentakku.

Siapa yang datang? pikirku.

"Bu Dian, ini telpon dari Pak Arya!" Bu Idah menyodorkan handphonenya setelah pintu ku buka.

"Ha..halo..Mas, Mas sekarang dimana? Mas sudah pulang? Maaf Mas, Dian semalam ketiduran jadi nggak denger Mas ngetuk pintu!" cercaku kepada Mas Arya.

"Mas masih di sini, mungkin besok pulang," jawabnya santai.

" Jadi Mas masih di luar kota? tidak bareng pulangnya dengan Pak Rian suami Bu Imar?" tanyaku.

"Kamu mau aku pulang besok atau tidak selamanya!!" ancamnya dengan nada tinggi.

Dan seketika membungkam mulutku. Tidak ingin meneruskan pertanyaan yang masih memenuhi benakku. Termasuk perkataan Bu Imar pagi tadi.

Mendengar suaranya saja aku sudah ketakutan, tak ingin meneruskan pembicaraan lain.

"Baik Mas," jawabku murung. Dan ia pun segera menutup ponselnya.

Tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Tidak masalah jika ia kembali besok. Lantas dengan siapa dia di sana, apa benar dengan wanita seperti yang di katakan Bu Imar? batinku.

Tidak.. tidak... Mas Arya kan posisi nya lebih tinggi dari suami Bu Imar, sudah pastilah jadwal perjalanannya berbeda. Wajarlah mereka pulang lebih dulu, kutenangkan diri mencoba berpikir positif.

"Rizky?! Kamu kenapa nak?" pekikku saat aku menoleh ingin melihat keadaan anakku, tiba-tiba Rizky anak pertamaku muntah dan setengah yang ia makan tadi tumpah di lantai.

"Ma-mama.." rengeknya seperti manahan sakit.

Aku segera memegang dahi, dan seluruh tubuhnya memastikan kalau suhu tubuhnya masih normal.

"Aduh, badan Rizky panas, Nak,"

"Rizky sakit ya?" ucapku panik sembari mengusap punggungnya. Segera kudekap tubuh mungilnya.

"Sebentar ya, Nak, mama ambil obat dulu," Setelah kubaringkan Rizky, aku segera mengambil persediaan obat di dapur.

"Syukurlah.. masih ada ini," gumamku setelah melihat ternyata ada satu botol syrup penurun panas.

Setelah meminum obat kini Rizky kembali terlelap. Aku sedikit lega, namun aku tak henti memohon semoga hanya panas biasa dan segera membaik

Tidak perlulah kuberitahu Mas Arya, sebentar lagi juga Rizky mendingan, gumamku dan menatap lurus wajah polos anak pertamaku itu.

Belum juga tiga puluh menit tertidur, Rizky sudah bangun sambil meraung menahan sakit. Ku rangkul tubuhnya, kuangkat ke pangkuan. Suhu tubuhnya belum juga turun. Obat yang dia minum tadi seharusnya bisa sedikit mengembalikan suhu tubuhnya seperti semula.

Tangisan Rizky semakin menjadi, aku pun menjadi bingung dan cemas, sementara Mas Arya tidak ada bersama kami.

Mungkin obatnya belum bekerja. Aku tunggu saja beberapa jam lagi, pikirku.

Setelah beberapa jam, kondisinya semakin melemah. Muntah hebat berkali-kali.

Sembari menggendong Rizky aku berlari ke warung Bu Idah ingin meminjam handphonenya lagi untuk menghubungi Mas Arya.

"Bu Idah! Dian pinjam handphonenya lagi mau menghubungi Mas Arya. Ini anak nya sakit saya bingung mau bawa ke rumah sakit tapi nggak pegang uang," papar ku.

"Oh..iya Bu.. boleh-boleh,"

Segera kuraih telepon genggam itu, dan menekan nama yang sudah tersimpan di dalamnya.

Aduh.. tidak di angkat, gumamku.

Aku terus menghubungi sampai ia menyahut dari sana.

"Halo..Mas..," sahutku cepat setelah mendengar suara Mas Arya.

"Ada apa, Dian? Mas lagi rapat!" ketusnya.

"Rizky, Mas.. harus di bawa ke rumah sakit, dari tadi panasnya gak turun, muntah-muntah terus,"

"Ya udah tinggal bawa aja ke rumah sakit," jawabannya enteng.

"Ta..tapi..Mas..!"

"Tapi, apa lagi?! Gak punya uang? Terus uang belanja yang tiap hari aku kasih kemana, hah?!!" tanyanya dengan nada tinggi.

"Yah habis buat belanja dong Mas," jawabku sembari menahan sakit di dada. Uang dua puluh tiga ribu itu ia pertanyakan kemana. Yang memenuhi kebutuhan perut sejengkal saja sangatlah kurang.

"Makanya kamu jadi istri itu harus pintar menyisihkan sedikit untuk keperluan darurat seperti ini,"

"Tunggu Mas pulang kamu pinjam dulu entah dari mana," imbuhnya masih dengan nada tinggi.

Tut..tut.. panggilan ia akhiri.

Aku terdiam sembari menatap kosong ke handphone yang masih kupegang. Mau pinjam kemana? benakku. Kepalaku seketika membeku, otak pun buntu. Tidak ada satu nama yang terlintas di benak untuk kupinjami uang.

Melihat kondisi anakku membuat dada ini berdenyut perih. Sakitnya melebihi ucapan-ucapan kasar dari lisan Mas Arya selama ini.

Jika aku punya uang sendiri mungkin sakitnya tidak seperti ini.

"Bu Dian butuh uang? Nih.. pakailah dulu, nggak pa-pa kok," tiba-tiba Bu Idah menyodorkan lima lembar uang seratus ribu.

Tentu saja aku tersentak. Darimana Bu Idah tahu? Sementara aku belum mengatakan sepatah kata pun. Barangkali ia mendengar pembicaraanku dengan Mas Arya tadi.

Aku masih mematung sembari menatap lembaran rupiah itu. Bodoh jika kutolak. Melihat kondisi Rizky yang semakin lemah aku segera mengiyakan bantuan Bu Idah.

"Terima kasih Bu Idah, kalau Mas Arya pulang nanti saya kembalikan ya,"ucapku.

"Iya Bu, nggak pa-pa. Pergilah bawa Rizky ke rumah sakit. Biar adiknya saya yang jaga," Bu Idah memberikan bantuan lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status