Share

Jangan Salahkan Aku Selingkuh
Jangan Salahkan Aku Selingkuh
Penulis: Santavero03

Bab 1. Nafkah Dua Puluh Tiga Ribu Lima Ratus.

Langkahku tertahan dan segera menoleh cepat, saat mendengar suara tegas dari lisan suamiku. Kemudian pandanganku turun ke lembaran rupiah yang baru saja ia letakkan ke atas meja.

Aku segera mengambil dan menggenggam lembaran rupiah itu tanpa menghitung jumlahnya terlebih dahulu. Kemudian kembali ke dapur.

Paling jumlahnya hanya dua lembar uang sepuluh ribuan dan tiga lembar uang kertas seribuan, pikirku.

Tidak pernah lebih atau pun kurang. Entah bagaimana caranya Mas Arya bisa mengumpulkan uang seribuan yang bagi sebagian orang sudah di remehkan, bahkan kalau tercecer tidak lagi di cari dan di anggap penting.

Lembaran rupiah itu ia berikan bukan untuk kepentinganku pribadi, melainkan untuk kebutuhan hidup kami sekeluarga.

Dua puluh tiga ribu rupiah. Yah..nafkah untuk tiap harinya yang ia berikan kepadaku. Tidak perlu di tanya apakah uang sebanyak itu cukup untuk kami sekeluarga dengan dua anak balita.

Aku tidak pernah meminta lebih selama ini, cukup ia memberikan nafkah yang sewajarnya saja. Suamiku bekerja di perusahaan yang gajinya masih di atas UMR. Belum lagi kalau ia lembur. Aku bahkan tidak tahu nominal angkanya. Sebab aku tidak pernah melihat dan di beritahu.

Tetap aku syukuri, walaupun memang sangatlah kurang untuk kebutuhan kami sehari-hari.

Meminta lebih pun percuma, bukannya memberi, malah yang ada aku di diceramahi. Harus hemat lah, Pandai-pandai mengatur, jangan royal, gaji suamimu tidak seberapa. Beberapa kalimat yang sederhana memang, namun menyakitkan.

Jika rupiah yang ia berikan ratusan ribu atau puluhan juta mungkin aku bisa terima perkataan itu.

Dua puluh tiga ribu rupiah yang hanya untuk diri ku sendiri saja masih kurang.

Lagi-lagi kuputar otak bagaimana memanfaatkan uang itu.

"Bu Idah, berasnya setengah kilo ya, cabe dan tomatnya duaribu saja," ucapku pada pemilik warung dekat rumah.

"Oh, baik Bu Dian," sahut beliau kemudian mengambilkannya untukku.

Aku menarik perlahan lembaran rupiah yang ku genggam erat mulai dari rumah.

"Nih, Bu Dian, ada yang lain?" sahut beliau lagi.

Aku terdiam sejenak sembari berpikir apa lagi yang harus kubeli dengan sisa uang itu.

"Bu Dian, ayam lagi murah lho. Perasaan Bu Dian gak pernah deh masak ayam, apa suaminya gak pernah minta makan lauknya ayam?"

"Ng..ng..iya Bu," jawabku kaku.

Uangku mana cukup, batinku. Bukan hanya ayam, segalanya pun ingin kubeli jika uang yang kubawa banyak.

"Sekilo ya Bu, murah kok sekilonya hanya 20 rebo!" sergah Bu Idah cepat dan bergegas menimbangnya untukku, padahal aku belum mengiyakannya.

"Tidak..tidak.. Bu, seperempat saja!" aku menimpali cepat sebelum beliau membuatkan sekilo untukku.

"Seperempat? gak salah, Bu? Dapatnya paling dua potong lho?!" sergah beliau lagi.

"Iyah..buat ayahnya saja, saya gak suka lauknya ayam," jawabku tersenyum tipis. Padahal itu adalah makanan favoritku. Dengan berat aku harus mengatakan sebaliknya.

Sebab tidak mungkin juga aku berkata yang sebenarnya, kalau sisa uangku untuk membeli setengahnya saja tidak cukup.

"Sayurnya beli dua ribu saja bisa, Bu Idah?" tanyaku.

"Bisa sih bisa Bu, cuma dapatnya sedikit, beli 4 ribu deh," sahut beliau.

"Iya deh, bu," kali ini aku mengiyakan.

Aku kembali pulang dengan sisa uang empat ribu rupiah. Dengan langkah cepat aku meninggalkan warung Bu Idah. Takut kalau kedua anakku yang aku tinggal sedang tidur, terbangun.

"Syukurlah.. mereka masih terlelap," gumamku sembari menatap mereka hangat.

Aku pun leluasa melakukan rutinitasku di dapur.

***

Sudah pukul enam sore, sebentar lagi Mas Arya pulang, gumamku dalam hati.

Makanan untuknya pun sudah terhidang di meja makan. Tidak penting denganku yang makan dengan nasi dan sayur saja. Asalkan ia makan enak dengan nafkah yang ia cari itu.

Sementara aku yang menurutnya hanya berleha-leha di rumah. Padahal tenagaku terkuras habis setiap harinya. Belum lagi otakku yang tiap hari berpikir keras memenuhi kebutuhan dapur. Agar ia tidak bertanya, kemana uang belanja? mengapa lauk hanya begini saja? Bla..bla..

Setelah merasa rapi dan wangi, aku pun dengan anak-anak menunggu Mas Arya di teras rumah.

"Sudah gelap, mengapa ayah belum pulang ya, Nak?" ocehku kepada kedua balita yang bahkan tidak mengerti dengan pertanyaanku.

Aku hanya bisa menatap mereka tanpa berharap jawaban dari lisan mungil itu.

"Biasanya Mas Arya ngomong kalau pulang telat, apa mungkin dia lembur ya?" ocehku sendiri.

"Sudah pukul sepuluh, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengannya," harapku lagi.

Aku menahan kedua netraku yang mulai meredup agar tetap terbuka. Aku tidak ingin tertidur jika Mas Arya pulang nanti.

Kamu enak-enakan tidur suami belum pulang kerja, pasti kalimat itu yang akan kuterima. Padahal aku juga manusia yang butuh istirahat walaupun tidak bekerja menghasilkan uang.

Tapi tenagaku yang juga bekerja mengurus anak-anak dan rumah tidak di anggap sebagai sesuatu yang melelahkan juga.

Bangun lebih dulu sebelum seisi rumah terjaga dan tidur setelah seisi rumah tertidur lelap.

Aku segera menoleh ke arah jendela, setelah cahaya menyilaukan dari lampu sepeda motor Mas Arya menembus tirai jendela.

Dengan cepat bergegas kubukakan pintu sebelum ia mengetuk.

"Sudah pulang, Mas?" tanyaku lembut.

"Hem..!" sahutnya dan melangkah masuk. Mungkin ia kelelahan, benakku. Aku pun tidak ingin menanyai mengapa ia pulang larut, setelah melihat raut wajah kusutnya.

"Tidak mandi dulu, Mas?" tanyaku memberanikan diri.

"Mas..Mas.."ulangku lagi. Tapi hanya suara dengkuran yang menyahutiku.

Melihat Mas Arya tertidur lelap tanpa sempat mengganti pakaiannya membuatku iba. Begitu lelahkah ia demi memenuhi kebutuhan kami, benakku.

Melihat Mas Arya seperti itu membuatku pun tak berani mengeluh tentang keadaanku. Mungkin ia lebih lelah dibandingkan aku. Aku tak berani banyak menuntut. Oleh sebab itu berapa uang yang ia berikan, kuterima dengan ikhlas.

Setelah menarik selimut untuk menutupi setengah tubuh Mas Arya yang terlelap, aku kembali ke dapur.

Sajian yang sudah aku hidangkan untuknya tak tersentuh sedikitpun. Melihat makanan itu tiba-tiba perutku keroncongan. Namun aku berpikir, lauk ini bisa kusimpan untuk besok sehingga uang belanja yang dibelikan Mas Arya akan berlebih dan bisa dimanfaatkan untuk keperluan lainnya, benakku.

Keesokan pagi..

"Dian, besok Mas ke luar kota dua hari. Kamu persiapkan keperluan untuk Mas bawa ke sana," titahnya saat akan melangkah ke luar.

"Mas, duitnya mana?" aku menahan langkah Mas Arya, ia lupa meninggalkan uang belanja.

Ia pun merogoh saku kemeja dan meletakkannya di atas meja ruang tamu. Seperti biasa kuterima tanpa menggerutu.

"Sebentar..!" ucapnya tiba-tiba sembari merogoh saku kemejanya lagi. Aku menunggu, berharap ia ingin memberikan lebih. Benar sekali...ia melemparkan uang logam lima ratus rupiah ke atas meja.

"Tuh.. lumayan buat nambah beli sabun colek," ucapnya simpel dan segera berlalu.

Tidak ingin mengumpat atau pun menggerutu. Ku terima saja walau nilainya kecil, toh..ini juga hasil keringat suamiku, gumamku.

Setelah Mas Arya berangkat ke tempat kerja, aku merasa kesepian di saat kedua anakku masih terlelap.

Sering terbersit di benak, untuk bisa kembali bekerja. Ingin punya penghasilan sendiri tanpa harus meminta kepada suami.

Semenjak menikah dengannya aku terlalu sering menahan keinginanku. Jangankan untuk membeli skincare agar tetap terlihat cantik di depan suami. Untuk membeli makanan yang enak saja aku harus menahan selera.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status