Share

Bab 2. Mulai Jenuh

"Dian, semua udah siapkan?" tanya Mas Arya sesaat setelah menginjakkan kaki di teras rumah sepulangnya dari kantor.

Aku terperanjat, sebab Mas Arya tidak memberitahu kalau ia akan pulang lebih awal. Sementara jadwal keberangkatannya adalah besok.

"Be..belum, Mas!" Dian tidak tahu kalau Mas akan berangkat sekarang, kan tadi Mas bilang berangkatnya besok," jawabku.

"Duh..kamu ini, besok atau hari ini apa bedanya!" kesalnya.

"I..iya..iya..Mas, Dian segera bereskan!" sahutku dan segera berlari ke kamar mempersiapkan pakaian dan keperluan lainnya sementara Mas Arya pergi mandi.

"Mas berangkat dulu!"

"Iya Mas, hati-hati ya,

"Nih.. untuk belanja selama Mas di luar kota," Mas Arya memberikan langsung ke tanganku. Kupikir selama tidak di rumah, ia akan memberikan uang belanja untuk dua hari.

Namun tidak, Mas Arya tetap saja memberikan jumlah uang seperti biasanya. Seharusnya ia memberikan dua kali lipat, sebab selama ia pergi tentu saja aku tak bisa meminta.

Kali ini kupandangi uang pemberiannya sembari mengerutkan dahi.

"Kenapa? Kurang?" hentaknya saat melihat ekspresi wajahku.

"Kan aku tidak di rumah dua hari, ya itu lebihlah untuk beli lauk kamu sendiri. Anak-anakkan belum terlalu banyak makan." imbuhnya lagi.

Hanya lauk saja yang di pikirkannya. Sabun, detergen dan kebutuhan lain tidak masukkah dalam hitungannya? Belum lagi kalau tiba-tiba anak sakit. Uang dari mana? benakku.

Bisa apalagi kalau bukan diam dan menerima.

"Ya udah, Mas berangkat. Kalau ada apa-apa. Pakai handphone tetangga buat hubungi Mas," titahnya.

Kuantar beliau sampai menghilang dengan mobil yang membawanya.

Kuhela nafas panjang, setelah kepergiannya untuk beberapa hari. Entah mengapa aku merasa sedikit lega saat ia pergi jauh.

Aku seakan leluasa untuk melakukan aktivitasku tanpa ada yang menegur dan mengatur.

Dua puluh tiga ribu rupiah ini pun ke pandangi, sembari memutar otak untuk menggunakannya.

Kan masih ada lauk semalam, hiburku.

Keesokan hari..

Aku sengaja bangun kesiangan lewat beberapa jam dari biasanya.

Ibu-ibu di komplek masih berkumpul di warung Bu Idah. Padahal sudah hampir pukul sebelas siang. Apa mereka tidak masak, pikirku.

Tujuan utama ke warung itu mereka nomor duakan, terlebih dulu mereka membuat kelompok untuk menggosip atau menggibah, entahlah..

Setiap kali mereka ada di sana, aku selalu menahan diri untuk ikut bergabung. Selain tidak punya waktu, alasan lainnya karena Mas Arya tidak memperbolehkan.

"Bu Dian, tumben nih belanjanya siangan," sahut salah satu dari mereka.

"Eh..iya Bu, baru siap beberes dulu, baru ke warung," sahutku.

"Ah.. biasa itu kalau suami tidak ada di rumah, saya juga gitu kok," sahut yang lainnya.

Aku hanya melempar senyum untuk para ibu itu. Dan lanjut dengan tujuanku ke warung itu.

"Bu Dian, sini dong sesekali gabung dengan kita, apa ibu tidak bosan berkurung di rumah terus?"

"Iya, sini bu, kan suaminya lagi pergi,"

Memanglah ibu-ibu komplek tau aja kalau suami orang tidak di rumah, benakku.

Sebenarnya tidak berani untuk bergabung. Tapi mengingat Mas Arya sedang tidak berada di sini, aku beranikan duduk bergabung dengan mereka. Aku juga sesekali ingin merasakan seperti para istri-istri di komplek ini, yang tidak melulu di dapur atau membabu di rumah.

"Kita tuh.. sering ngumpul di sini, bukan mau menggibah, palingan cuma curhat atau berbagi masalah rumah tangga," salah satu dari mereka menepis prasangka buruk tentang ibu-ibu komplek yang suka berkumpul di saat orang sedang sibuk beraktivitas.

"Ibu Dian ikut yah main arisan ama kita, kebetulan kita kurang satu orang lagi nih!"

"Arisan?" tanyaku singkat.

"Hem...mm gimana yah, nggak deh bu, takut gak bisa bayarnya ntar," tolakku.

"Iya, main dikit aja kok biar gak berat, yang ikut juga dikit biar cepat selesainya," imbuh mereka.

"Iya deh, ikut ya! Suami ibu kan kerjanya bagus masa main arisan kecil-kecilan ga bisa bayar sih," sahut mereka.

"Bukan gitu bu, masalahnya banyak kebutuhan lain," jawabku.

"Kebutuhan apa, halahh.. anak masih kecil-kecil kok, Bu, kayaknya belum banyak kebutuhan deh," sahut mereka lagi.

"Di masa-masa seperti ini lah ibu harus punya simpanan, karena anak belum pada sekolah. Caranya yah main arisan bareng kita," mereka masih membujukku.

"Lima ribu sehari gak beratlah, Bu," mereka kembali menimpali.

"Hem..mm gimana yah, ntar suami saya gak setuju, Bu," jawabku.

"Suami mah gak perlu tau semua urusan istri, yang penting gak aneh-aneh, Bu," sahut mereka.

"Suami kita-kita juga nggak setuju kami ikut-ikut arisan. Yah, tapi kami tetap lanjutkan,"

"Sekarang tuh, gak usah jujur-jujur amat sama suami, kita kan juga nggak tahu kalau suami udah jujur nggak ama kita!"

"Udah tenang aja bu, rahasia di jaga, hehehe.. imbuh mereka saling bersahutan.

"Hem.. nanti deh saya pikir-pikir lagi," balasku, menolak sebisaku.

"Mikir apa lagi, Bu Dian? Gaji suami pasti ibu yang pegang, bisalah di sisipkan lima ribu aja," oceh salah satu dari mereka lagi.

Kalimat terakhir dari lisan ibu-ibu ini membuatku mematung. Jangankan memegang gajinya melihat saja aku belum pernah, apalagi menghitung. Mas Arya tidak pernah memberikan gajinya langsung ke tanganku.

Ia hanya memberiku uang belanja harian saja. Mendengar perkataan mereka ingin rasanya cepat-cepat kembali. Sebelum mereka mengatakan hal lainnya yang membuatku lebih tersinggung.

Ternyata aku berbeda dengan ibu-ibu komplek ini. Aku tidak selevel dengan mereka, gumamku dalam hati.

Aku hanya di anggap pelayan rumah tangga saja oleh suami ku. Aku bagai istri yang tak dianggap .

"Hey...! Bu Dian kok ngelamun aja?" gimana mau kan? " Aku tersentak saat tangan Bu Idah menepuk bahu ku.

"Eh.. tidak Bu.." jawabku kikuk.

"Ya sudah kalau Bu Dian tidak mau ikut, jangan di paksa," ucap Bu Idah.

"Udah..jangan pada ribut, biar saya deh yang ambil dua nomor!" sahut Bu Imar wanita sosialita di komplek kami. Walau tidak bekerja, hanya mengurus rumah saja Bu Imar selalu berpenampilan seperti wanita sosialita. Pasti ia begitu di manjakan suaminya, benakku.

Padahal jabatan suami Bu Imar di perusahaan tempat suamiku bekerja, masih lebih tinggi jabatan suamiku. Dan sudah pastilah gaji nya juga lebih tinggi suami ku.

Tapi penampilan dan kehidupan sehari-hari nya mengalahkanku.

"Memang Bu Imar ini tidak terkalahkan," puji mereka kepada Bu Imar sembari tertawa lebar.

"Tenang saja, besok uang tip perjalanan suamiku dari luar kota pasti bersisa, dan biasanya semua di serahkan sama saya. Saya akan bayar lunas arisannya Bu- ibu," paparnya dengan sedikit angkuh.

"Wah..wah.. hebat suami ibu, sekalian deh ambil tiga nomor," goda mereka kepada Bu Imar.

"Itu belum ada apa-apanya, Bu. Belum lagi oleh-oleh buat saya dan anak-anak, biasanya sampai tidak terangkut ke dalam mobil, haha...!" balas Bu Imar bangga.

Mendengar itu semua rasa iri pun menyinggahi ku. Hal yang tidak pernah di lakukan suami untuk ku.

Tidak mesti di hujani hadiah atau pemberian yang mahal sebenarnya. Cukup perhatian saja sebagai tanda kalau aku masih berharga bagi nya.

"Beruntung sekali yah Bu Imar," sahut salah satu dari mereka

"Bu Dian bagaimana? Bukankah suami ibu dan Bu Imar bekerja di perusahaan yang sama?"

Senyum tipis kulemparkan kepada mereka sebagai jawaban. Karena sudah tidak nyaman di sini, aku memutuskan kembali ke rumah.

Setiba di rumah dan di saat anak-anak masih terlelap, kesunyian pun menyergap ku. Tanpa sadar airmata perlahan jatuh saat menatap wajah mereka satu persatu.

Hari-hari yang kulalui, mulai ayam berkokok hingga rembulan meredup terkadang membuat ku jenuh.

Suami tidak punya waktu untukku, pulang ke rumah hanya ingin melewati malam berganti pagi saja. Pekerjaan rumah dan mengasuh anak pun ia tidak mau berbagi tugas, semua ia bebankan kepadaku.

Sekalipun lelah bekerja di luar rumah setidaknya ia memberi sedikit perhatian dengan bertanya' apa kamu sudah makan?' Kamu lelah? istirahat lah! ',

Ah..sudahlah..

Aku tidak melakukan apapun hari ini, hanya memasak untuk kami bertiga saja.

Besok Mas Arya pulang seharusnya aku senang. Sudah dua hari kami tidak bertemu dan seharusnya juga aku merindukannya.

Tapi...Ada apa denganku? Aku bahkan tidak mengharap kepulangannya. Aku lebih menikmati kebersamaan ku dengan anak-anak.

Selama di luar kota ia juga tidak memberiku kabar, apakah sudah tiba atau memberitahukan sedang apa ia di sana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status