Share

Bab 5. Lingerie Siapa?

Aku tidak punya pilihan, setelah Dokter mengijinkan Rizky pulang.

Hingga akhirnya aku menerima tawaran Mas Rian. Di tambah lagi rumah kami yang searah, dan kupikir tidak terlalu merepotkannya.

"Sudah Mas, kami turun di sini saja!" titahku setelah mobil yang di kendarai Mas Rian hampir memasuki kompleks perumahan kami.

"Kenapa? Kan masih di depan, sedikit lagi," sahutnya.

"Tidak usah Mas, kami di sini aja , tinggal beberapa langkah lagi kok," tolakku.

Namun, mobil mewah ini tidak juga berhenti. Melihat ekspresi wajah Mas Rian, aku pun tidak ingin mengulangi permintaanku.

Hingga akhirnya mobil mewahnya itu berhenti tepat di depan rumah kami.

"Tidak usah Mas, saya bisa sendiri," tolakku lagi. Aku menahan saat Mas Rian ingin ikut mengantar kami ke dalam rumah.

"Pulanglah, Mas sudah banyak membantu kami hari ini. Terima kasih banyak, Mas!"

"Entah bagaimana aku hari ini jika tidak ada Mas tadi, sekali lagi makasih ya, Mas," ucapku lirih.

"Sudah tidak usah berlebihan, aku dan Arya kan berteman jadi harus saling membantu," ucapnya lembut.

Mas Rian diam sejenak sembari merogoh sesuatu dari saku celana. Dan mengeluarkan sesuatu dari dompetnya.

"Nih, kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya ke nomor ini," ucapnya dengan mimik serius.

Spontan aku menatap lurus kedua bola matanya. Kubiarkan kedua netra ini berlama-lama di sana. Ada keteduhan sejenak kurasakan. Perlahan tangan ini pun mengambil kartu kecil bertuliskan nama dan nomor handphone dari tangannya.

Ku tarik pandangan segera tidak ingin terhanyut menikmati mata indah itu.

"Ini untuk apa, Mas?" tanyaku.

"Simpan saja, suatu saat pasti kau perlukan," imbuhnya sembari berbalik dan melangkah keluar. Semerbak aroma parfumnya pun masih tersisa di ujung penciumanku.

Setelah mengantarkannya aku segera masuk untuk melihat keadaan Rizky. Walaupun suhu tubuh Rizky sudah normal tetap saja tubuh mungil itu terlihat lemah.

Namun tidak masalah bagiku yang penting kami sudah kembali ke rumah. Aku bisa lebih fokus mengurus Rizky dan adiknya, pikirku.

Hari semakin gelap aku bahkan lupa dengan janji Mas Arya yang akan pulang hari ini. Terlalu fokus kepada Rizky sehingga waktu sehari seakan tidak cukup untuk memikirkan keberadaan Mas Arya.

Malam pun tiba, tak ada kemungkinan kalau Mas Arya akan pulang malam hari begini, benakku. Aku segera beranjak ke kamar ingin merebahkan tubuh lelah ini di samping kedua buah hatiku.

Ku pandangi kedua bocah di sampingku sembari mengulang ingatan tentang apa yang ku lalui hari ini. Yah, kesendirianku tanpa Mas Arya.

Aku masih bersuami, namun seakan aku tidak memiliki siapapun. Tatapan kosong ini ku arahkan ke langit-langit berharap bisa terpejam segera.

Tok..tok..tok..!

Baru saja hampir terpejam, terdengar suara ketukan pintu. Siapa yang datang, heranku. Dan dengan terpaksa menarik kedua netraku agar terbuka lebar.

"Mas Arya?" gumamku. Seharusnya aku tersenyum dan segera memeluknya. Namun aku terlihat seperti orang bodoh di hadapannya.

"Kenapa? Tidak senang aku pulang?" tanyanya ketus.

Tidak ingin menghiraukan ucapannya, segera kuraih tas yang masih ia jinjing. Beberapa hari tidak bertemu seharusnya kami terlihat mesra dan saling merindukan. Namun.. entahlah, rasa apa yang menyinggahiku. Mungkin hanya rasa kesal saja, karena ia tidak berada di saat Rizky membutuhkan keberadaannya.

Kupikir ucapan pertamanya adalah tentang Rizky, tapi tidak, Mas Arya hanya berlalu tanpa kata ke kamar mandi untuk membenahi diri, bersiap tidur seperti rutinitas yang ia lakukan setiap malam sebelum tidur.

Aku masih menunggu pertanyaannya tentang keadaan Rizky dan kupikir sia-sia.

"Mas sudah makan?" tanyaku singkat.

Tidak lagi bertanya darimana saja dan dengan siapa. Percuma..akan ada pertengkaran nantinya.

"Hemm!" sahutnya. Kemudian menoleh juga ke arahku. "Aku sudah kenyang!" sahutnya tiba-tiba.

"Melihat penampilanmu kayak kain lap begini aku sudah kenyang!" ia melengkapi sembari menyorotiku dari atas hingga ujung kaki.

Deg!! Tiba-tiba jantung ini berpacu cepat, bukan karena merasa cemas atau takut. Namun karena rasa sakit akibat hinaannya itu.

Aku hanya bisa menunduk, tidak ada kekuatanku untuk menyanggah ucapannya. Sedikit saja ada keberanian, banyak kalimat yang sudah tertahan di ujung bibir untukku muntahkan kepadanya.

"Suami pulang dari luar kota seharusnya di sambut dengan pemandangan yang menarik," imbuhnya lagi sembari berlalu meninggalkanku seorang diri di ruang makan.

Tidak.. tidak, tidak boleh menangis, ini bukan hinaan pertama bagiku. Mencoba kuat dan mengabaikan ucapannya, aku masih punya kedua buah hati untuk lebih kuprioritaskan di banding mempercantik diri sendiri.

Toh, ia tidak pernah memberikan nafkah lebih untuk mempercantik diri. Bisa makan agar tetap bernafas saja sudah aku syukuri. Yah, aku memang istri yang tergantung dengan pemberian suami.

Kuikuti langkah Mas Arya ke kamar. Tidak penting denganku asal perhatiannya untuk anak-anak tidak berkurang sedikit pun. Biarlah dia berbaring menemani anak-anak, gumamku.

Dan ternyata aku salah lagi, Mas Arya ke kamar hanya untuk mengambil bantal dan selimut kemudian pindah ke arah sofa di ruang TV.

Aku hanya mengikutinya dengan kedua netraku. Bertanya pun percuma, hanya jawaban ketus yang ku terima.

Mungkin Mas Arya jijik denganku, yang katanya berpenampilan seperti kain lap. Andai saja ia tahu bagaimana aku hari ini.

Tak kupedulikan sikapnya lagi. Hanya terbersit di benak mengapa ia harus pulang jika hanya ingin menghinaku.

Detak jarum jam sudah berputar cukup lama. Namun belum juga netra ini bisa kuistirahatkan. Aku malah semakin gelisah, bahkan ranjang empuk ini seakan membakar punggungku.

Kududukan segera tubuh ini. Perasaan tidak karuan membuatku sulit untuk memejamkan kedua netraku.

Melihat travel bag milik Mas Arya masih terletak di sudut kamar, aku pun segera bangkit dan membenahinya.

Satu persatu pakaian dari dalamnya aku pisahkan antara yang kotor dan yang masih belum terpakai.

Dan di antara lipatan baju yang masih bersih, ada sesuatu yang membuat kedua netraku berhenti dan menyorotinya lama.

Belum membuka lipatannya saja aku sudah merasa asing dengan warna pakaian itu. Bukan hanya Mas Arya, aku sendiri pun tidak merasa pernah memakai pakaian berwarna ungu itu.

Punya siapa ini, gumamku sembari menarik pelan pakaian yang belum jelas bagaimana bentuknya itu.

Hah..? Pakaian apa ini? gumamku sembari mengerutkan dahi dan

membuka lebih jelas pakaian itu.

Tidak salah, ini milik wanita. Tidak mungkin Mas Arya pakai pakaian begini, ocehku lagi.

Pakaian minim berbahan transparan, tanpa lengan dan pendeknya di atas lutut itu membuat jantungku berpacu cepat tidak seperti biasanya.

Milik siapa ini?? Aku tidak merasa memiliki pakaian haram seperti ini. Mas Arya juga tidak pernah membelikan pakaian model setengah telanjang begini untukku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status