Share

Bab 4. Dimana Kamu.

Setiba di rumah sakit..

Aku tidak lagi memperhatikan penampilanku. Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu aku segera menuju ke Rumah sakit. Aroma muntahan Rizky di pakaianku pun tidak lagi kurasakan.

Saat Dokter memeriksa, tidak selangkah pun aku jauh darinya. Tangan mungilnya memegang erat jemariku. Sembari menatap lurus wajahnya. Ku seka airmata yang perlahan menetes di pipi ini.

Rizky terbaring lemah di saat Mas Arya tidak bersama kami. Hal yang paling aku takutkan selama ini. Tidak hentinya aku meneteskan air mata.

Jauh dari keluarga, mungkin itu salah satu yang membuat suasana hati kian memilukan. Setelah menikah aku memutuskan ikut dengan Mas Arya kemana pun ia di pindah tugaskan, termasuk pindah ke kota besar ini.

Setelah ku pastikan Rizky terlelap, perlahanku lepaskan jemari mungilnya yang sedari tadi menggenggam jemariku. Aku pun melangkah ke kolidor menuju ruang administrasi. Niatku ingin menanyakan berapa lama lagi Rizky akan di rawat di rumah sakit ini.

Aku takut uang yang dipinjamkan Bu Idah tidak cukup untuk membayar biaya administrasi nanti. Sementara Mas Arya, aku tidak tahu apakah ia akan pulang besok atau entah kapan. Sebab ia bebas melakukan apapun sesuka hatinya, tanpa meminta persetujuanku.

"Suster, apakah anak saya Rizky sudah bisa pulang sore ini?" tanya ku setelah berhadapan dengan suster yang menjaga ruang administrasi.

"Sebentar Dokter cek ulang kondisinya lagi ya, Bu, kami tidak bisa memastikan," jawabnya.

Aku mengangguk dan melangkah kembali ke kamar Rizky. Aku tidak tenang sebelum tahu kondisi Rizky, berharap ia tidak bermalam di sini.

Brakk..

"Auw..!" rintihku. Aku baru saja menabrak sesuatu. Pandangan kosong membuatku tidak memperhatikan apa yang ada di depan.

Dan tiba-tiba ku rasakan tubuhku tertopang dari belakang. Mungkin jika tidak ada yang menahan dari belakang, tubuh mungilku sudah terpental.

Aku segera berdiri tegak, dan refleks menoleh ke belakang memutar posisi tubuhku dan menghadap sosok yang menahanku tadi.

"Pak Rian?!" gumamku pelan.

"Dian? Sedang apa di sini?" tanyanya lebih dulu.

"Hmm..bawa anak berobat, Pak," sahutku.

"Kamu tidak pa-pa kan?" tanyanya sembari menatapku sedang memegangi dahi yang masih terasa sakit akibat menabrak tiang kolidor tadi.

"Ti.. tidak, Pak, saya baik kok," jawabku cepat.

"Kamu sendiri? Tidak di temani Arya?" cercanya lagi sembari memperhatikan sekeliling kami

"Hmm, tidak, Mas Arya masih di luar kota, Pak," jawabku.

"Di luar kota? bukankah tugas kantor sudah selesai?" Suami dari Bu Imar ini masih saja mencercaku dengan pertanyaan yang membuatku tidak nyaman.

"Maaf Pak, saya kembali ke ruangan anak dulu," sergahku dan segera meninggalkannya setelah mengucapkan terimakasih karena sudah menolongku tadi.

Sama seperti Bu Imar istrinya. Ucapan Pak Rian tadi membuatku kembali cemas dengan keberadaan Mas Arya. Konsentrasiku agar lebih fokus ke Rizky pun terbagi. Padahal aku baru saja bisa mengabaikan ucapan wanita sosialita itu kemarin.

Rizky masih tidur, aku pun memutuskan duduk di luar mencoba menenangkan diri dan tetap baik-baik saja. Namun dingin dan sunyinya rumah sakit membuat suasana hati kian memilukan. Belum lagi pikiranku dengan anakku yang satunya lagi.

Ahkk.. ingin berteriak sekencangnya. Namun suaraku hanya tertahan di dalam.

Mas Arya tidak menghubungiku, untuk menanyai keadaan Rizki. Aku hanya bisa termenung sembari merangkai pikiranku menerka-nerka apa yang sedang ia lakukan di sana.

"Dian? Kamu baik-baik saja kan? Bagaimana keadaan Rizki?" kuangkat cepat kepala

ku yang sedari tadi menunduk. Kuharap itu suara lembut Mas Arya walaupun aku tahu suaranya berbeda.

"Pak Rian?" Kenapa ada di sini?" tanyaku canggung melihat pria yang sebaya dengan Mas Arya ini sudah berdiri di sampingku.

"Emm... maaf Dian tadi saya khawatir dengan kamu jadi saya ikuti kami dari belakang," ucapnya santun.

Aku pun semakin kikuk tidak enak melihat ia berada di sini, sementara pasangan kami tidak ada bersama kami.

"Tid-tidak, Pak, saya baik kok," sahutku memaksakan tersenyum.

"Baiklah!" jawabnya mengangguk pelan tapi ia masih enggan pergi.

Tak selang lama ada suara gaduh dari kamar Rizky, aku pun spontan berlari melihat keadaannya di susul dengan Pak Rian dari belakang.

"Rizky..!" pekikku saat melihat Rizky berusaha turun dari ranjang pesakitannya. Mungkin saat terbangun Rizky tidak melihatku di sampingnya.

Suasana asing tempat ia berbaring bisa menjadi penyebab Rizky panik dan berusaha turun akhirnya ia tidak sengaja menyenggol sesuatu di atas nakas di samping ranjang.

Tanpaku sadari Pak Rian sudah ada di sampingku dan ikut membantu menuntun Rizki kembali berbaring.

"Nak, Mama di sini nggak kemana-man kok!" hiburku mencoba menghentikan rengek manjanya.

"Sudah, tidur lagi ya, biar kita bisa pulang cepat dari sini," imbuhku.

"Badannya sudah tidak panas lagi kok, mungkin masih lemas saja. Sebentar lagi Dokter pasti izinkan pulang," Pak Rian berceloteh dari sampingku.

Spontan aku menoleh melihat lurus kearah netranya. Tiba-tiba aku merasa tenang.

"Biarkan Rizky istirahat lagi, ayo kita keluar," Pak Rian menenangkanku.

Dan tanpa penolakan aku mengikuti langkahnya. Kami pun kembali duduk di ruang tunggu.

"Tenang saja, pasti dokter mengijinkan Rizky pulang sebentar lagi," ucapan Pak Rian kembali menyejukkan hatiku.

"Nih..! Kamu terlalu fokus mengurus Rizki sampai lupa dengan diri sendiri," ucapnya sembari menyodorkan secangkir teh panas ke arahku.

Aku yang sedang duduk, spontan menengadah melihat langsung kedua netranya. Sosok tegap dan Maskulin itu masih meluruskan tangannya ke arahku. Dan akan terus begitu sampai aku menyambut pemberiannya itu.

Segera kuambil tidak ingin ia tersinggung, mengingat bantuannya tadi kepadaku.

"Terima kasih, Pak," jawabku.

"Kenapa mesti manggil Pak? Kan usiaku tidak jauh beda dengan kamu dan Arya," sergahnya dan mengambil posisi duduk beberapa jarak di sampingku.

Bibir yang hendak ku tempelkan ke ujung cangkir pun tertahan mendengar kalimatnya tadi.

"Panggil saja Mas!" tambahnya lagi.

Aku hampir tersedak, dan segera menoleh ke arahnya. Spontan kubuang pandangan tetapi aku tahu kalau dia pun sedang melihat ke arahku.

"Arya sudah tahu kabar Rizky?" tanyanya tiba-tiba, mungkin untuk menjaga kecanggungan di antara kami.

Aku diam sejenak, tidak ingin memberitahu yang sebenarnya.

"Sudah, Pak," jawabku pelan dan menatap lurus ke cangkir yang masih terasa panas.

Beliau reflek melihat ke arahku. Entah karena jawabanku tadi yang membuatnya ragu atau karena sebutan yang di anjurkan beliau namun tidak kugunakan.

Suasana hening kolidor rumah sakit pun membuat kami semakin canggung, tak ada topik pembicaraan selain Arya dan Rizky.

"Apa Pak Rian tidak terlalu lama berada di sini?" tanyaku.

Tidak ada jawaban seolah pertanyaanku tadi tidak sampai ke telinganya.

"Pak!"ulangku. Dan masih sama tidak ada jawaban.

"Pak Rian? Apa bapak mendengar?" ulangku lagi yang semakin tidak nyaman jika ia berlama-lama bersama kami, sementara ada keluarga yang menanti di rumah.

"Saya akan mendengar jika kau tidak memanggilku dengan sebutan bapak lagi. Apa Tampang ku sama dengan bapak itu!" sahutnya spontan sembari menunjuk dengan dagu ke arah pria paruh baya yang kebetulan sedang melintas di depan kami.

Melihat ke arah yang di maksud, aku pun tidak bisa menyembunyikan tawaku. Tanpa sadar aku menunduk mencoba menyembunyikannya.

"Hmm?" beliau masih menunggu jawabanku.

"Baik Mas, pulanglah! Terima kasih atas bantuannya hari ini," sahutku cepat agar ia segera pulang.

"Apa tidak sebaiknya aku menunggu sampai ada kabar tentang Rizky. Barangkali aku bisa mengantar kalian pulang. Kan rumah kita searah?" Ia menawarkan bantuan lagi dan membuatku semakin sungkan. Walaupun sebenarnya aku butuh bantuan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status