Share

New House

Author: Hanna Aisha
last update Huling Na-update: 2021-09-27 14:11:14

Mereka kembali ke rumah keluarga Aina keesokan harinya, setelah menginap semalam di hotel tempat digelarnya resepsi sebelum pindah ke rumah mereka sendiri di Semarang siang nanti. Rumah yang sengaja di beli Dipta untuk ditempati bersama Aina. Rumah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari SMA tempat wanita itu mengajar. 

Dipta pikir jika tinggal di apartemennya, akan terlalu jauh bagi Aina untuk berangkat bekerja. Jadi, dia membeli rumah baru yang lebih dekat dengan tempat kerja istrinya. Meski itu berarti dialah yang akan lebih jauh dari rumah sakit. Tak apa, demi Aina.

Selesai sarapan di restoran hotel, mereka segera menaiki mobil yang khusus dipersiapkan untuk pulang. Dipta duduk di balik kemudi sedangkan Aina memilih duduk di kursi belakang, membuat Dipta terlihat seperti seorang supir.

Diliriknya Aina lewat kaca mobil, "Kamu benar-benar mau duduk disitu?" 

Aina tidak menjawab, malah melemparkan pandangan ke luar jendela. Membuang muka. Dipta hanya menghela nafas, mencoba bersabar menghadapi istrinya. Bukankah dari awal dia sudah tahu bahwa Aina memang selalu begitu? Setidaknya, di depannya. Karena jika di hadapan orang lain Aina akan berubah menjadi wanita lembut yang ramah dan murah senyum.

Kembali dialihkannya pandangan ke depan, menyalakan mesin, lalu perlahan mobil pun bergerak meninggalkan tempat parkir hotel. Tak sampai setengah jam mobil sudah terparkir di halaman. Jelas saja, kedatangan mereka disambut suka cita seluruh penghuni rumah.

Mereka segera masuk lalu menyalami orang rumah satu persatu, kemudian Dipta diajak berbincang oleh ayah mertuanya di teras depan, sedangkan Aina meneruskan langkah menuju kamar, merapikan barang-barang yang akan dibawanya pulang ke Semarang. Di raihnya sebuah koper besar dari atas lemari lalu mulai mengemasi barang-barangnya.

Di tengah-tengah acara mengemas barang, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Menampakkan sosok bidadari cantik yang menjelma sebagai manusia, Bunda. 

"Mau dibawa semua, Nak?" tanya Bunda yang masih berdiri di depan pintu saat melihat Aina mengosongkan isi lemari. Aina hanya mengangguk tanpa menoleh ke arah bunda.

"Aina, Bunda ingin bicara." Suara lembut itu membuat Aina menghentikan kegiatan dan memutar wajah menghadap sang bunda.

"Iya, Bun," jawabnya dengan tatapan penuh tanya.

"Kamu sudah menjadi seorang istri. Jadi, mulai sekarang surgamu tidak lagi terletak pada bunda maupun ayah, melainkan pada suamimu." Aina masih diam mendengarkan wejangan sang Bunda.

"Oleh karena itu, taatilah suamimu seperti halnya kamu berbakti kepada ayah dan bunda selama ini. Bunda mengerti apa yang kamu rasakan. Mungkin sekarang kamu belum bisa mencintai Dipta, tak apa. Yang penting jangan keraskan hatimu. Jangan menutup mata terhadap segala kebaikan yang dia lakukan. Dari caranya memperlakukanmu, bunda yakin Dipta adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab." Senyum bersahaja menghiasi wajah sang Bunda, dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang.

Aina mengalihkan pandangan membalas tatapan bundanya dengan mata berkaca-kaca, lalu memeluk bunda erat saat kristal bening itu perlahan luruh.

"Aku akan merindukan Bunda," ucapnya di tengah isakan.

"Apa yang kau katakan? Seperti baru pertama kali jauh dari Bunda saja." Bunda tertawa lirih mendengar ucapan anaknya, sambil berusaha menahan air mata.

"Lanjutkanlah mengemas barangnya. Dipta sudah menunggu," sambungnya seraya mengurai pelukan mereka.

//

Mobil terparkir di halaman rumah di kawasan salah satu perumahan elit di Semarang. Rumah minimalis dengan desain modern berwarna abu-abu hitam putih itu terlihat begitu elegan. Terdapat hamparan rumput yang memisahkan jalan dengan paving depan, sementara di halaman belakang berbatasan langsung dengan lapangan. Pohon-pohon yang menjulang di sekeliling rumah, sepasang pohon palem di sisi kanan dan kiri halaman, serta beberapa tanaman hias menambah kesan asri bangunan berlantai dua itu.

Iris kecoklatan Aina melebar, menatap puas rumah yang begitu sesuai dengan keinginannya. Sebelumnya, Dipta memang sempat menanyakan rumah seperti apa yang diinginkan Aina. Lalu dia pun menyebutkan kriterianya. Siapa sangka, Dipta bisa menemukan rumah seperti yang ia impikan.

Dipta berjalan ke arah pintu masuk. Tangan kirinya menyeret koper sedang tangan kanan menenteng tas besar. Aina mengekor di belakang sambil membawa kardus berisi buku-buku. Sampai di dalam, Aina termangu di ruang tamu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Sementara Dipta langsung naik menuju kamar mereka. Meletakkan koper dan tas Aina, lalu turun lagi meraih kardus di tangan Aina, berniat membawanya ke kamar. 

"Kamu tidak ingin melihat kamar kita?" tanya Dipta saat melihat Aina mematung di depan pintu masuk.

Wanita itu mengernyitkan dahi, "Kamar kita?" Dipta mengangguk.

"Kenapa kita satu kamar?" Tanyanya lagi dengan nada suara yang meninggi.

Dipta mengedikkan bahu, "Karena kita suami istri," jawabnya santai sambil mengerling nakal lalu melenggang menaiki tangga, masuk ke kamar.

Aina terperangah tak percaya. Dengan kaki dihentak dia menyusul Dipta ke kamar mereka. "Hei, yang benar saja! Saya tidak mau sekamar dengan anda! Kita kan sudah jauh dari orang tua, kenapa masih satu kamar?" protesnya.

Dipta menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan sebelum bertanya, "Mama pasti akan sering ke sini. Kamu mau jawab apa saat Mama bertanya kenapa kita pisah kamar?"

Aina menggigit bibir. Memutar otak mencari alasan yang tepat. Namun, sampai hening beberapa saat dia tetap tidak menemukan alasan apapun. Alhasil, dengan terpaksa dibukanya koper hitam itu lalu memasukkan isinya ke dalam lemari, di kamar mereka.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : A Little Family

    Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : Happily Ever After

    Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Triumph

    Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Homewards

    Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Try Again

    Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Repair

    Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status