Share

Sister's Wedding

Aвтор: Hanna Aisha
last update Последнее обновление: 2021-09-27 13:45:03

Pagi hari yang cerah, terlihat seorang wanita berjalan anggun memasuki gerbang sekolah dengan setelan formalnya. Senyum merekah menghiasi wajah cantik itu tatkala beberapa siswa yang berpapasan dengannya menyapa ramah. “Selamat pagi, bu Aina.”

“Selamat pagi,” jawab wanita itu tak kalah ramah lengkap dengan senyum manis andalannya.

Dia berjalan menyusuri lorong-lorong kelas dan berbelok saat tiba di tempat tujuan, ruang guru.

“Assalamu’alaikum ... selamat pagi,” ucapnya ramah saat memasuki ruangan. 

Sesampainya di meja bertuliskan Aina Zavira, dia meletakkan tas kerja lalu mengeluarkan beberapa buku yang akan digunakannya sebagai bahan mengajar nanti.

“Pagi, bu Aina.” Terdengar sapaan seseorang yang baru saja memasuki ruang guru.

“Selamat pagi, pak Markus.” Aina membalas sambil mengangguk hormat kepada lelaki yang usianya hampir sama dengan ayahnya itu.

“Bu Aina, bisakah anda mengisi kelas XI IPA-1 jam keempat nanti? Bu Sarah sedang sakit, tolong gantikan dia ya,” pinta seorang wanita yang duduk di belakangnya.

“Baiklah bu Trisni. Kebetulan jam keempat saya tidak ada kelas.” Aina menjawab dengan sopan lalu kembali berkutat dengan buku di tangannya.

Tepat pukul tujuh pagi, bel tanda masuk berbunyi. Para siswa berbondong-bondong masuk ke kelas masing-masing menunggu guru-guru mereka memulai pembelajaran.

//

Matahari perlahan menepi meninggalkan semburat jingga di cakrawala sebelum akhirnya terbenam kembali di peraduan. Hari sudah hampir gelap saat Aina tiba di tempat kosnya. Tubuh letih itu terbaring di tempat tidur single size empuk dengan seprai bunga lavender kesukaannya. 

Setelah dirasa cukup menarik nafas, dia menyeret langkah ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya untuk membersihkan diri. Hari ini jadwalnya padat sekali. Selain harus mengajar di tiga kelas yang memang tugasnya, dia juga harus mengajar di kelas lain menggantikan rekan sejawatnya yang sakit juga mengajar kelas bahasa Korea sepulang sekolah. Maka dari itu tubuhnya serasa remuk redam saat ini.

Guyuran air dingin dari shower berhasil mengembalikan energinya. Selesai mandi dan berpakaian, dia berniat keluar mencari makan karena sepulang kerja dirinya merasa lelah juga malas berlama-lama terjebak kemacetan, maka niat mampir ke tempat makan pun dia urungkan. 

Diraihnya dompet dan ponsel pintarnya sebelum keluar dari kamar. Namun, belum sempat meraih gagang pintu, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Buru-buru dia menekan tombol hijau saat membaca nama di layar. Bunda.

“Assalaamu’alaikum, Bun …,” ucapnya bersemangat.

“Waalaikumsalam, Nak. Bagaimana kabarmu?” tanya suara di seberang sana.

“Aina baik, Bun. Bunda dan Ayah bagaimana?” Aina melangkahkan kaki menuju tempat makan sembari menjawab Bundanya.

“Bunda dan Ayah juga baik-baik saja. Bunda hanya ingin menanyakan, apakah bulan depan kamu bisa pulang tanggal tujuh belas?”

“Aina usahakan, Bun. Tapi memangnya ada apa dengan tanggal tujuh belas?”

“Adikmu Iva, dia akan menikah.”

Deg! Langkahnya terhenti begitu mendengar penuturan bundanya. Meski sempat terkejut namun Aina dengan cepat menguasai diri.

“Baiklah, Bunda. Aina akan usahakan bisa pulang. Mana mungkin saat Iva menikah Aina malah sibuk bekerja, kan?” Tawa renyah terdengar dari bundanya menimpali ucapan Aina tadi.

“Ya sudah, Bun, Aina sedang di jalan mau membeli makan malam, Aina tutup ya? Assalaamu’alaikum.” Dan segera ia menekan tombol merah di layar setelah terdengar jawaban dari bundanya.

Sebentar lagi adiknya akan menikah. Aina memang sudah tau bahwa adiknya telah dilamar orang beberapa bulan lalu, tapi dia tidak menyangka pernikahannya akan dilaksanakan bulan depan. 

Aina bukannya iri atau semacamnya. Tidak sama sekali. Namun, setelah adiknya menikah nanti pasti akan semakin banyak orang yang memintanya untuk segera menikah juga. Terutama keluarga dan saudaranya. Terlebih lagi jika adiknya sudah memiliki anak. Orang tuanya pasti akan memaksanya mati-matian untuk segera menikah. Sedangkan dirinya sama sekali tidak ingin menikah. Ia tidak tertarik dengan dunia pernikahan dan sama sekali tidak ingin melakukannya. Aina tidak akan menikah.

//

Berada di bus selama enam jam benar-benar melelahkan. Namun, semuanya terbayar dengan segala keindahan dan ketenangan yang disajikan tanah kelahirannya. Udara bersih, sawah yang luas terhampar bak permadani hijau yang menyejukkan mata, pepohonan rindang yang menghiasi tepi jalan serta sungai dengan air jernih yang mengalir tenang.

Aina memang tidak terlahir dari keluarga kaya. Dia berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di pedesaan. Namun, karena kecerdasannya, dia berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hingga S2 di Semarang dan mendapat pekerjaan disana. Setelah sekian lama merantau, hari ini dia akhirnya kembali pulang untuk menghadiri pernikahan adiknya.

Sesampainya di rumah, Aina disambut oleh sang ibunda yang sudah menunggu di depan rumah dengan kebaya merah muda dan bawahan kain batik. Bergegas sang bunda membawanya ke kamar untuk mengganti pakaian dengan kebaya seperti yang dikenakan bunda, setelah itu kembali ke depan menyaksikan ijab qabul adiknya.

Akad nikah berjalan lancar dan khidmat. Aina bahkan sempat meneteskan air mata saat akhirnya para saksi meneriakkan kata ‘Sah’. Senyum bahagia senantiasa menghiasi wajah kedua pengantin. Akhirnya, mulai sekarang adiknya resmi menyandang status istri. Aina berdiri di depan menjadi pagar ayu sekaligus penyambut tamu.

Seperti yang sudah ia duga, beberapa kerabat yang mengenalnya akan menanyakan hal yang sangat tidak ingin dia dengar, ‘Kapan nyusul?’. Entahlah. Mungkin menurut mereka, tidak ada hal lain yang bisa ditanyakan selain pertanyaan menyebalkan itu.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : A Little Family

    Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Extra part : Happily Ever After

    Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Triumph

    Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Homewards

    Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Try Again

    Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.

  • Jangan Sentuh Saya, Dokter!   Repair

    Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status