Share

Sister's Wedding

Pagi hari yang cerah, terlihat seorang wanita berjalan anggun memasuki gerbang sekolah dengan setelan formalnya. Senyum merekah menghiasi wajah cantik itu tatkala beberapa siswa yang berpapasan dengannya menyapa ramah. “Selamat pagi, bu Aina.”

“Selamat pagi,” jawab wanita itu tak kalah ramah lengkap dengan senyum manis andalannya.

Dia berjalan menyusuri lorong-lorong kelas dan berbelok saat tiba di tempat tujuan, ruang guru.

“Assalamu’alaikum ... selamat pagi,” ucapnya ramah saat memasuki ruangan. 

Sesampainya di meja bertuliskan Aina Zavira, dia meletakkan tas kerja lalu mengeluarkan beberapa buku yang akan digunakannya sebagai bahan mengajar nanti.

“Pagi, bu Aina.” Terdengar sapaan seseorang yang baru saja memasuki ruang guru.

“Selamat pagi, pak Markus.” Aina membalas sambil mengangguk hormat kepada lelaki yang usianya hampir sama dengan ayahnya itu.

“Bu Aina, bisakah anda mengisi kelas XI IPA-1 jam keempat nanti? Bu Sarah sedang sakit, tolong gantikan dia ya,” pinta seorang wanita yang duduk di belakangnya.

“Baiklah bu Trisni. Kebetulan jam keempat saya tidak ada kelas.” Aina menjawab dengan sopan lalu kembali berkutat dengan buku di tangannya.

Tepat pukul tujuh pagi, bel tanda masuk berbunyi. Para siswa berbondong-bondong masuk ke kelas masing-masing menunggu guru-guru mereka memulai pembelajaran.

//

Matahari perlahan menepi meninggalkan semburat jingga di cakrawala sebelum akhirnya terbenam kembali di peraduan. Hari sudah hampir gelap saat Aina tiba di tempat kosnya. Tubuh letih itu terbaring di tempat tidur single size empuk dengan seprai bunga lavender kesukaannya. 

Setelah dirasa cukup menarik nafas, dia menyeret langkah ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya untuk membersihkan diri. Hari ini jadwalnya padat sekali. Selain harus mengajar di tiga kelas yang memang tugasnya, dia juga harus mengajar di kelas lain menggantikan rekan sejawatnya yang sakit juga mengajar kelas bahasa Korea sepulang sekolah. Maka dari itu tubuhnya serasa remuk redam saat ini.

Guyuran air dingin dari shower berhasil mengembalikan energinya. Selesai mandi dan berpakaian, dia berniat keluar mencari makan karena sepulang kerja dirinya merasa lelah juga malas berlama-lama terjebak kemacetan, maka niat mampir ke tempat makan pun dia urungkan. 

Diraihnya dompet dan ponsel pintarnya sebelum keluar dari kamar. Namun, belum sempat meraih gagang pintu, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Buru-buru dia menekan tombol hijau saat membaca nama di layar. Bunda.

“Assalaamu’alaikum, Bun …,” ucapnya bersemangat.

“Waalaikumsalam, Nak. Bagaimana kabarmu?” tanya suara di seberang sana.

“Aina baik, Bun. Bunda dan Ayah bagaimana?” Aina melangkahkan kaki menuju tempat makan sembari menjawab Bundanya.

“Bunda dan Ayah juga baik-baik saja. Bunda hanya ingin menanyakan, apakah bulan depan kamu bisa pulang tanggal tujuh belas?”

“Aina usahakan, Bun. Tapi memangnya ada apa dengan tanggal tujuh belas?”

“Adikmu Iva, dia akan menikah.”

Deg! Langkahnya terhenti begitu mendengar penuturan bundanya. Meski sempat terkejut namun Aina dengan cepat menguasai diri.

“Baiklah, Bunda. Aina akan usahakan bisa pulang. Mana mungkin saat Iva menikah Aina malah sibuk bekerja, kan?” Tawa renyah terdengar dari bundanya menimpali ucapan Aina tadi.

“Ya sudah, Bun, Aina sedang di jalan mau membeli makan malam, Aina tutup ya? Assalaamu’alaikum.” Dan segera ia menekan tombol merah di layar setelah terdengar jawaban dari bundanya.

Sebentar lagi adiknya akan menikah. Aina memang sudah tau bahwa adiknya telah dilamar orang beberapa bulan lalu, tapi dia tidak menyangka pernikahannya akan dilaksanakan bulan depan. 

Aina bukannya iri atau semacamnya. Tidak sama sekali. Namun, setelah adiknya menikah nanti pasti akan semakin banyak orang yang memintanya untuk segera menikah juga. Terutama keluarga dan saudaranya. Terlebih lagi jika adiknya sudah memiliki anak. Orang tuanya pasti akan memaksanya mati-matian untuk segera menikah. Sedangkan dirinya sama sekali tidak ingin menikah. Ia tidak tertarik dengan dunia pernikahan dan sama sekali tidak ingin melakukannya. Aina tidak akan menikah.

//

Berada di bus selama enam jam benar-benar melelahkan. Namun, semuanya terbayar dengan segala keindahan dan ketenangan yang disajikan tanah kelahirannya. Udara bersih, sawah yang luas terhampar bak permadani hijau yang menyejukkan mata, pepohonan rindang yang menghiasi tepi jalan serta sungai dengan air jernih yang mengalir tenang.

Aina memang tidak terlahir dari keluarga kaya. Dia berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di pedesaan. Namun, karena kecerdasannya, dia berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hingga S2 di Semarang dan mendapat pekerjaan disana. Setelah sekian lama merantau, hari ini dia akhirnya kembali pulang untuk menghadiri pernikahan adiknya.

Sesampainya di rumah, Aina disambut oleh sang ibunda yang sudah menunggu di depan rumah dengan kebaya merah muda dan bawahan kain batik. Bergegas sang bunda membawanya ke kamar untuk mengganti pakaian dengan kebaya seperti yang dikenakan bunda, setelah itu kembali ke depan menyaksikan ijab qabul adiknya.

Akad nikah berjalan lancar dan khidmat. Aina bahkan sempat meneteskan air mata saat akhirnya para saksi meneriakkan kata ‘Sah’. Senyum bahagia senantiasa menghiasi wajah kedua pengantin. Akhirnya, mulai sekarang adiknya resmi menyandang status istri. Aina berdiri di depan menjadi pagar ayu sekaligus penyambut tamu.

Seperti yang sudah ia duga, beberapa kerabat yang mengenalnya akan menanyakan hal yang sangat tidak ingin dia dengar, ‘Kapan nyusul?’. Entahlah. Mungkin menurut mereka, tidak ada hal lain yang bisa ditanyakan selain pertanyaan menyebalkan itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status