Bulan demi bulan berlalu setelah pernikahan adiknya. Tak terasa bulan Ramadhan kembali menyapa. Aina juga telah lama kembali menjalani rutinitas membosankan yang setiap hari dia lalui. Mengajar murid-muridnya di SMA, memberikan les bahasa Korea dan juga menulis. Meski bukan seorang penulis terkenal, tapi Aina sudah menerbitkan beberapa buku.
Pukul sepuluh malam dan Aina sudah membaringkan tubuh di tempat tidur saat ponsel pintarnya tiba-tiba berdering.
"Assalamualaikum, Va," ucap Aina sambil menempelkan layar ponsel ke telinga. Tumben sekali adiknya menelpon jam segini.
"Wa’alaikumsalam. Mbak, aku baru saja mendengar kabar dari bunda bahwa Ayah telah menerima lamaran seorang laki-laki,” ucap Iva tanpa basa-basi. Nada bicaranya terdengar begitu gembira saat ini.
“Selamat ya, Mbak. Sebentar lagi kamu akan menikah," soraknya dari seberang sana.
"Apa?!"
Bagaimana mungkin? Selama ini tidak pernah ada yang berani melamarnya. Semua laki-laki yang menyukainya hanya akan mendekatinya, lalu setelah Aina menunjukkan sikap defensif, para laki-laki itu akan mundur dan berhenti mengganggu. Dan seingat Aina, tak ada laki-laki yang berusaha mendekatinya akhir-akhir ini. Jadi siapa? Siapa laki-laki kurang ajar yang berani melamarnya?
"Siapa?" tanyanya penasaran.
"Mbak ingat anak teman ayah yang datang ke rumah saat pernikahanku? Namanya Dipta. Dia orangnya. Waah selamat ya, Mbak. Kamu akan dinikahi seorang dokter ganteng. Sudah ganteng, mapan, berpendidikan lagi. Ya Tuhan, dia seperti pangeran dari negeri dongeng," ceracau adiknya di seberang sana.
Sedangkan disini, pandangan Aina menerawang mengingat laki-laki menyebalkan yang dengan lancang melamarnya.
"Kenapa dia bisa melamarku? Aku tidak merasa mengenalnya. Lalu kenapa ayah menerima lamarannya?"
"Aku tak tau kenapa dia melamarmu. Mungkin dia jatuh cinta padamu pada pandangan pertama. Dan soal kenapa ayah menerima lamarannya, tentu saja! Mana mungkin ayah menolak lamaran anak temannya. Lagipula jika ayah menolak, memangnya kamu punya pengganti? Mbak tau sendiri, ayah dan bunda sudah sangat ingin kamu menikah," jelas adiknya.
Tapi aku yang tidak ingin menikah! Timpalnya dalam hati.
"Kamu kan tau sendiri Va, Mbak belum ingin menikah."
"Lalu kapan, Mbak? Kapan kamu akan keluar dari masa lalu? Sudahlah, Mbak. Lupakan yang sudah lewat. Tidak semua laki-laki brengsek sepertinya. Iva yakin mas Dipta laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Dia pasti bisa membuat Mbak bahagia." Iva mencoba membujuk kakaknya. Sebenarnya, sedikit banyak dia tau alasan mengapa mbaknya itu tidak mau menikah.
"Bukan begitu, Va--"
"Segeralah pulang, Mbak," potong Iva cepat.
"Setelah lebaran, akan ada pertemuan keluarga untuk membahas tanggal pernikahan," sambungnya sebelum menutup telepon.
Aina menghela nafas.
Tuhan, takdir apa lagi yang Kau rencanakan? Desahnya dalam hati.
//
Hanya tiga hari setelah lebaran, pertemuan keluarga itu akhirnya dilaksanakan mengingat Aina hanya mendapat libur lima hari.
Suasana di rumah Aina cukup ramai sekarang. Karena selain keluarganya, di ruang tamu itu juga telah hadir keluarga dari laki-laki yang melamarnya. Memang acara itu tidak dirayakan secara besar-besaran. Hanya keluarga inti saja yang hadir.
Rencananya, pertemuan keluarga ini untuk menentukan tanggal pernikahan sekaligus mengikat kedua insan ini dengan ikatan pertunangan.
Oh sial! Mendengarnya saja sudah membuat Aina muak.
Setelah perbincangan ringan yang mencairkan suasana, acara dibuka oleh ayah dari laki-laki bernama Dipta yang mengutarakan niatnya meminang Aina. Saat ayahnya akan berkata bahwa dia menerima lamaran itu, tiba-tiba Aina yang sedari tadi diam dan menunduk memotong ucapan ayahnya.
"Tidak. Saya tidak mau," ucap Aina lantang sambil mengangkat wajahnya yang sebelumnya menunduk. Sontak, semua orang dalam ruangan itu kaget bukan main.
"Aina, apa yang kamu katakan?!" hardik ayahnya sambil menatapnya tajam.
"Aina tidak mau menikah dengannya, Yah. Aina tidak akan menikah. Tidak dengannya atau dengan siapapun," tegasnya lagi tanpa sedikitpun rasa takut.
"Aina, bukankah kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya?" tanya bunda yang duduk di sampingnya sambil menyentuh bahunya pelan.
"Aku tidak ingin menikah dengan siapapun. Tidakkah Ayah mengerti itu?!" Aina berseru dengan kobaran amarah dalam tatapannya yang menusuk.
"Aina! Jaga sikapmu! Ayah tidak pernah mengajarkanmu bersikap kurang ajar seperti ini!" hardik Ayahnya tak kalah emosi, bangkit dari duduk dan menatap tajam putri sulungnya. Wajahnya memerah karena amarah sekaligus malu dihadapan calon besannya. Suasana menjadi tegang sekarang.
"Aina, bisakah kita bicara sebentar?" tanya Dipta menengahi perdebatan.
Aina mendongak menatap sinis pada sumber suara. Ke arah seseorang yang memanggilnya. Dia menghembuskan nafas kasar kemudian berdiri dan berkata, "Ikut saya."
Dipta berdiri dan melangkah mengikuti Aina yang sudah berjalan keluar rumah.
//
"Apa yang ingin anda bicarakan?" tanya Aina dingin tanpa memandang pemuda yang duduk di sebelahnya.
Kini mereka sedang duduk di pinggir sungai yang tak jauh dari rumah Aina. Menurutnya, ini tempat yang cocok untuk mereka bicara berdua. Tempat ini sepi. Tak ada yang bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Bolehkah saya tau apa yang membuatmu tidak ingin menikah?" tanya Dipta sambil memiringkan wajah menghadap wanita di sampingnya.
Aina sudah mengira akan mendengar pertanyaan itu. Dia hanya tersenyum miring, masih dengan menatap air terjun di depannya.
"Tak ada alasan khusus. Saya hanya tidak tertarik dengan dunia pernikahan. Saya merasa tidak membutuhkannya," jawab Aina santai.
"Saya sudah terbiasa sendiri. Mencukupi kebutuhan hidup saya sendiri, memenuhi keinginan saya sendiri. Saya tidak butuh seorang suami. Lagi pula, saya tidak ahli dalam pekerjaan rumah tangga. Saya tidak bisa memasak, saya tidak bisa mencuci, dan tidak bisa merapikan rumah. Bahkan kamar saya lebih terlihat seperti gudang yang tak terurus. Saya bukanlah seorang istri idaman,” sambungnya sembari menatap Dipta di sampingnya.
"Saya tidak mempermasalahkannya," Ucap Dipta mantap. Aina menoleh. Tidak faham maksud laki-laki di sampingnya.
"Jika kamu takut setelah menikah kamu akan kehilangan karir dan berakhir menjadi ibu rumah tangga, saya jamin itu tidak akan terjadi. Kamu tetap bisa berkarir dan untuk masalah rumah, kita bisa mempekerjakan orang untuk mengurusnya," jelas Dipta sambil tersenyum ke arah Aina. Sedangkan Aina memutar bola mata malas.
"Saya tetap tidak akan menikah dengan anda meskipun anda menerimanya."
"Kenapa?" tuntut Dipta. Padahal dia pikir setelah berkata seperti itu Aina akan menerimanya. Ternyata dugaannya meleset jauh. Aina bukanlah perempuan yang akan dengan mudah merubah keputusan. Wanita itu begitu keras kepala.
"Saya sudah tidak perawan,” jujurnya. Pandangannya lurus ke depan dengan gurat kesedihan begitu kentara terpancar dari kedua matanya.
Dipta tertegun sesaat, sedikit kaget dengan pernyataan Aina. Namun, buru-buru dia menguasai diri.
"Saya adalah sampah sekarang. Saya merasa begitu hina bahkan jauh lebih hina dari pelacur. Saya tidak ingin memberikan sampah untuk siapapun lelaki yang menjadi suami saya. Karena itulah saya tidak ingin menikah," jelas Aina sambil menundukkan kepala dengan suara lirih. Lebih terdengar seperti gumaman. Namun Dipta masih bisa mendengarnya dengan jelas karena jarak mereka yang cukup dekat.
"Bagaimana jika saya tetap menerimanya?" Aina mendongak menatap tajam kedua mata Dipta. Mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Dipta hanya tersenyum sambil membalas tatapan Aina.
"Jika saya menerima semua yang kamu keluhkan itu, apa kita bisa menikah?" Tanya Dipta lagi. Sorot matanya begitu menuntut akan jawaban.
"Hanya jika anda menandatangani surat perjanjian pranikah yang saya buat," Jawab Aina kembali dingin seraya memalingkan wajahnya dari Dipta. Dia bangkit lalu membalikkan badan berniat kembali ke rumah. Dipta tersenyum.
"Baiklah. Silakan buat perjanjiannya dan akan langsung saya tandatangani. Anggap saja pernikahan ini seperti kesepakatan bisnis," ucap Dipta seraya mengikuti perempuan yang berjalan dua langkah di depannya itu.
***
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.
Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya
Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.
Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m