Dipta membaca dengan seksama isi dari surat perjanjian pranikah di tangannya. Saat ini dia sedang duduk di ruang tamu rumah orang tua Aina bersama keluarga mereka. Seperti yang sudah mereka sepakati kemarin, Aina akan membuat surat perjanjian pranikah dan keesokan harinya Dipta beserta keluarganya bisa kembali ke rumah Aina untuk memutuskan akan melanjutkan perjodohan ini atau menghentikannya.
Dipta tersenyum sebelum mengambil bolpoin di atas meja dan tanpa ragu menandatangani surat perjanjian itu.
Sontak itu membuat Aina terkejut. Dipta bahkan sama sekali tidak mendiskusikan keputusannya dengan orang tuanya dan langsung menandatangani surat itu tanpa berpikir.
Tangan Aina mengepal kuat. Dia merasa sangat kesal dengan laki-laki dihadapannya itu.
"Kenapa anda langsung menandatanganinya? Anda bisa membawanya pulang dan memikirkannya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan," Protes Aina yang tidak ditanggapi oleh lelaki itu.
Setelah selesai menandatanganinya dan disaksikan oleh semua yang hadir disitu, Dipta meletakkan surat beserta bolpoin di tangannya ke atas meja.
"Jadi, kapan kita bisa menikah?" Tanya Dipta disertai senyuman miring dari bibirnya.
Aina hanya membuang muka melihat senyum menyebalkan di wajah Dipta, lalu menjawab dengan malas, "Anda bisa bicarakan itu dengan ayahku."
Sial! Aku membuat surat perjanjian itu supaya dia tidak jadi menikahiku. Kenapa malah dia tanda tangani tanpa berpikir? Gerutunya dalam hati. Merasa kecewa dan kesal karena rencananya tak sesuai dengan kenyataan.
//
Tak perlu menunggu sampai berbulan-bulan karena hanya tiga minggu kemudian pernikahan itu diselenggarakan. Akad nikahnya dilakukan di sebuah masjid besar masih di kawasan rumah Aina, sedangkan resepsinya akan dilakukan di sebuah hotel yang cukup ternama di daerah itu.
Aina duduk di salah satu ruangan di lantai dua masjid mengenakan kebaya pengantin mewah berwarna putih dengan hiasan mutiara cantik di bagian dada serta bordiran berbentuk bunga mawar di bagian bawah. Bagian belakang kebayanya menjuntai panjang hingga hampir menyentuh lantai.
Aina duduk dengan gelisah di dalam ruangan ditemani beberapa saudaranya. Tangan yang dihias hena putih itu saling meremas menyalurkan kegugupan.
"Mbak, tenang. Tidak perlu takut. Semua pasti akan berjalan lancar," Ucap Iva berusaha menenangkan mbaknya dengan memberikan sentuhan halus di bahu Aina.
Justru aku berharap semua tidak akan berjalan lancar! Aina bersungut dalam hati. Dia masih berharap pernikahan ini bisa digagalkan.
Sebenarnya, dia bisa saja kabur dari sini atau membuat keributan karena akad nikah belum dimulai. Namun, setelah mengedarkan pandangan dan menemukan senyum bahagia dari wajah orang-orang yang dicintainya, tidak! Aina tidak tega melakukan itu.
Hatinya semakin gelisah saat terdengar suara ayahnya menggema di seluruh masjid mengucapkan ijab dalam bahasa Arab.
"Qobiltu nikakhaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan," seru Dipta lantang tanpa keraguan.
Hati Aina mencelos. Semua sudah berakhir. Kata 'sah' yang diserukan para saksi menjadi tanda bahwa mulai saat ini dia telah resmi menjadi seorang istri.
Iva memeluk kakaknya dengan haru, diikuti pelukan dari sepupunya yang lain. Mereka bersorak mengucapkan selamat kepada Aina dengan suara berbisik. Takut suara mereka terdengar sampai ke bawah. Iva dan Ayu--sepupunya, bangkit dari duduk dan menggandeng Aina untuk turun ke bawah, menemui suaminya. Iva, berdiri di samping kanan Aina, sedangkan Ayu yang mengenakan kebaya peach cerah seperti Iva berdiri di samping kirinya. Mereka berjalan perlahan menuruni tangga diiringi tatapan mata dari orang-orang yang menunggu mereka di bawah. Atau lebih tepatnya, menunggu Aina.
//
Beberapa prosesi adat telah selesai dilakukan. Kini, Aina sedang berada dalam ruangan khusus yang digunakan sebagai kamar ganti. Hari sudah mulai beranjak siang, saat dia mengganti kebaya tradisional yang dikenakannya dengan gaun pernikahan modern mewah berwarna putih bertabur permata dan hiasan payet cantik di bagian dada dan bawah gaunnya.
Dipta pun tak kalah menawan dengan setelan Tuxedo putih formal yang mewah. Sangat serasi dengan Aina. Mereka seperti raja dan ratu saat berjalan beriringan melewati red carpet menuju pelaminan dengan lengan saling terpaut. Mereka lalu menempati singgasana yang sudah dipersiapkan, kemudian mulai menyalami satu persatu tamu yang hadir yang sebagian besar adalah teman lama, kenalan dan rekan kerja mereka.
Memang, berita pernikahan Aina ini cukup membuat kaget banyak orang. Terutama teman-teman yang tau seberapa gigihnya Aina untuk menolak menikah. Bahkan teman-teman yang reuni tahun lalu saja kaget saat menerima undangan pernikahan Aina. Mereka masih ingat seberapa keukeuhnya Aina saat berkata dia tidak akan menikah, lalu di tahun berikutnya mereka menerima undangan pernikahan.
Memang takdir bisa sangat tak terduga. Semisterius itu. Hanya Tuhan yang tau apa saja yang akan terjadi di kemudian hari. Termasuk nasib pernikahan ini, hanya Tuhan juga yang tau.
//
"Kenapa semua orang begitu ingin menikah? Padahal menikah sangat melelahkan," keluh Aina saat merebahkan diri di atas tempat tidur king size dalam kamar pengantin mereka.
Pesta telah berakhir beberapa jam yang lalu. Kini, saatnya mereka mengistirahatkan tubuh yang begitu penat setelah seharian berdiri menjaga senyum di depan ribuan pasang mata.
Dipta menarik sudut bibir mendengar penuturan Aina. Sampai saat ini dia masih heran kenapa Aina benci sekali dengan pernikahan.
"Menikah memang melelahkan, tapi juga menyenangkan." Dia menghadapkan wajah ke arah Aina yang terbaring di sampingnya.
"Menyenangkan jika kau menikah dengan orang yang kau inginkan." Jawaban Aina membuat Dipta tertegun. Tanpa disadari, ada sedikit denyut nyeri yang terasa di hatinya mendengar perkataan istrinya itu.
"Saya ingin tidur sekarang. Anda jangan macam-macam dan jangan melewati batas ini." Aina menunjuk bantal yang melintang di antara mereka, lalu berbalik membelakangi suaminya.
Lagi-lagi Dipta hanya bisa tersenyum. "Tidurlah. Saya juga sangat lelah hingga tak sempat berfikir untuk mengganggumu," ucapnya kemudian membaringkan tubuh menghadap punggung Aina.
Cukup dengan menatap punggung sang istri dia bisa tertidur lelap malam ini.
***
Mereka kembali ke rumah keluarga Aina keesokan harinya, setelah menginap semalam di hotel tempat digelarnya resepsi sebelum pindah ke rumah mereka sendiri di Semarang siang nanti. Rumah yang sengaja di beli Dipta untuk ditempati bersama Aina. Rumah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari SMA tempat wanita itu mengajar.Dipta pikir jika tinggal di apartemennya, akan terlalu jauh bagi Aina untuk berangkat bekerja. Jadi, dia membeli rumah baru yang lebih dekat dengan tempat kerja istrinya. Meski itu berarti dialah yang akan lebih jauh dari rumah sakit. Tak apa, demi Aina.Selesai sarapan di restoran hotel, mereka segera menaiki mobil yang khusus dipersiapkan untuk pulang. Dipta duduk di balik kemudi sedangkan Aina memilih duduk di kursi belakang, membuat Dipta terlihat seperti seorang supir.Diliriknya Aina lewat kaca mobil, "Kamu benar-benar mau duduk disitu?"Aina tidak menjawab, mala
Jam tujuh malam Dipta memarkirkan mobil di garasi, memasuki rumah dengan kantong plastik berisi makanan di tangan. Diletakkannya kantong plastik itu di meja makan lalu segera menaiki tangga menuju kamar, mencari sang istri.Selama satu minggu mereka menikah, mereka seolah orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Berangkat masing-masing, pulang juga masing-masing. Khusus untuk makan, Dipta memang selalu membeli dari luar untuk mereka berdua. Itu karena Aina tidak bisa memasak, dan Dipta belum sempat mencari orang untuk dipekerjakan di rumahnya.Dipta mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk."Makan malamnya ada di bawah. Kamu turun dulu, aku mau ganti baju," ujarnya kepada Aina yang duduk di ranjang dengan laptop di pangkuan.Aina mengangguk singkat lalu menutup laptop dan beranjak turun dari ranjang. Setelah mengganti baju dengan pakaian yang lebih santai, dia menyusul Aina yang sudah lebih dulu berada di ruan
Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan mengiringi sang surya yang perlahan menerangi cakrawala, bersama adzan subuh yang berlomba meramaikan suasana pagi.Alarm di ponsel Aina sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Sedangkan si empunya masih bergelung di alam mimpi.Bukan, bukan karena Aina tidak mendengar. Namun, karena alarm itu sudah terlebih dahulu dimatikan oleh Dipta. Laki-laki itu tahu bahwa semalam Aina habis begadang, jadi dia ingin supaya Aina tidur lebih lama. Toh perempuan itu sedang berhalangan. Dia tidak perlu bangun untuk sholat subuh.Seusai sholat subuh, Dipta membuka lemari dan mengambil kemeja serta celana bahan yang akan digunakannya untuk bekerja. Dia ingin menyetrika pakaiannya terlebih dahulu. Setelah selesai, dia segera turun ke dapur. Membuat roti bakar untuk sarapan sepertinya mudah.Roti bakar dengan selai kacang untuk Aina dan keju untuk dirinya sendiri sudah terhidang di
"Gimana kehidupan rumah tangga lo sama Aina?" Yudi bertanya di sela-sela makan siang mereka.Dipta meneguk air putih dalam gelasnya sebelum menjawab, "Masih sama.""Astaga, Brother, lo nggak ada usaha sama sekali buat naklukin hati istri lo itu?" geram Yudi. Dia merasa kesal melihat pernikahan sahabatnya yang tidak jelas itu."Memang apa yang bisa kulakukan, Yudi? Aina itu terlalu keras. Dia seperti tebing kokoh yang sangat sulit ditaklukkan."Yudi menggeleng dramatis. "Nggak ada perempuan kaya gitu buat gue."Laki-laki tampan yang dijuluki buaya rumah sakit itu menyeruput kopi hitamnya sebentar sebelum melanjutkan. "Yang namanya perempuan itu hatinya lembut. Gampang dibikin jatuh cinta. Lu aja yang kurang usaha.""Tapi Aina berbeda," potong Dipta.Yudi mengangkat telunjuknya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri di depan wajah Dipta.
Aina baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi saat tanpa sengaja ekor matanya menangkap hal yang tidak biasa di halaman rumah. Sebuah pot guci kecil berwarna putih berisi pohon mawar yang bunga-bunganya tengah bermekaran dengan sempurna.Kepalanya menggeleng pelan. Tanpa bertanya pun dia tau, ini pasti kelakuan suaminya. Ada-ada saja laki-laki itu.Aina hanya melangkahkan kaki memasuki rumah yang sudah tidak dikunci tanpa menyentuh bunga itu sedikit pun. Sesampainya di kamar, dia mendapati Dipta baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk tersampir di pundak."Kamu baru pulang?" Dipta bertanya, berusaha memulai percakapan. Sayangnya hanya dibalas gumaman lirih oleh Aina."Kamu mau makan apa malam ini? Nanti kubelikan." Lagi. Dipta kembali mengajukan pertanyaan.Masih bungkam, Aina melepas kerudung dan duduk di depan meja rias. Menghapus sisa make
Aina sedang menata dua piring nasi goreng di atas meja makan saat Dipta turun dari tangga mengenakan pakaian rapi lalu menghampirinya dengan alis bertaut."Kamu yang membuat ini?" tanya Dipta heran melihat nasi goreng di meja makan.Aina mendengkus. "Menurutmu siapa lagi?""Kamu bilang tidak bisa masak?" tanya Dipta terkejut."Aku tidak bisa memasak makanan dengan bumbu yang terlalu kompleks seperti semur atau lodeh. Namun jika hanya sepiring nasi goreng, siapa yang tidak bisa membuatnya?" Aina membalas sarkas. Dipta hanya mengangguk singkat."Lalu, kenapa kamu membuatnya hari ini?" tanya Dipta lagi. Penasaran.Deg!Aina terpaku sesaat. Benar juga. Selama beberapa minggu mereka menikah, Aina sama sekali tidak pernah menyentuh kompor. Lalu, mengapa pagi ini dia membuat sarapan?Segera dinetralkan ekspresi wajahnya kemu
Pagi harinya Aina tersentak kaget saat bangun dalam pelukan Dipta. Matanya bengkak dengan kantung yang menghitam serta jejak air mata yang masih membekas samar di kedua pipinya. Aina termenung sesaat.Aneh sekali. Dia sangat ingat kejadian mengerikan yang terjadi tadi malam sebelum tidur. Dipta dengan lancang menciumnya dan hampir saja memperkosanya. Namun, anehnya dia justru tidak bermimpi buruk. Dia tidur dengan nyenyak sampai pagi. Dekapan lengan kekar Dipta terasa begitu hangat dan nyaman baginya.Aina tersadar dari lamunan saat merasakan pergerakan dari tangan yang mendekapnya."Aina...," panggil Dipta dengan suara serak khas bangun tidur. Aina tidak menjawab. Segera didorongnya tubuh Dipta agar pelukannya terurai, lalu bangkit dari ranjang dan mengunci diri di kamar mandi.Aina merasa kesal--lebih kepada diri sendiri. Dia ingin sekali menangis, namun sayang air matanya tak mampu keluar. Mungkin
Dipta memasuki satu persatu ruang rawat inap di bangsal Psikosomatik dengan senyum ramah dan tatapan hangat, ditemani beberapa dokter koas yang mengikutinya dengan buku kecil dan pena di tangan masing-masing. Sesekali dia anggukkan kepala untuk merespon beberapa orang yang menyapanya. Dia berjalan tegap dengan tangan dimasukkan ke saku jubah putih yang bagian bawahnya melambai mengikuti gerakan langkahnya.Hari ini jadwalnya visit, memeriksa perkembangan kondisi pasien-pasiennya pengidap gangguan psikosomatik.Gangguan psikosomatik adalah keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukannya oleh alasan fisik yang jelas, seperti luka atau infeksi. Biasanya pemicunya adalah faktor psikis seperti kecemasan, stress, takut ataupun depresi. Gangguan psikosomatik juga bisa berupa memburuknya penyakit fisik yang sudah ada akibat pengaruh kondisi psikis, emosi, atau pikiran.Sebagian besar pasiennya memang