Sore ini Amanda mendatangi sebuah makam di pemakaman umum. Sebuah batu nisan bertuliskan Hafiz Revaldy Ardiansyah dia pandangi sejak kedatangannya ke tempat itu. Dia berjongkok lumayan lama sejak meletakkan sebuah buket bunga mawar di atas makam itu.
Suasana perkuburan yang sangat sepi serta angin semilir membuat suasana sedikit mistis. Namun tidak membuat Amanda untuk segera pergi meninggalkan tempat tersebut. Sudah lama dia tak datang berkunjung ke makam itu dan dia ingin sedikit lebih lama berada di sana. Tersirat ada sebuah kesedihan di wajahnya, tapi sebisa mungkin dia menutupinya dengan sebuah senyuman. Amanda tahu, orang yang dikunjunginya tidak pernah senang melihatnya bersedih atau pun menangis. “Maaf udah lama nggak jenguk kamu,” ujar Amanda pada makam itu. “Aku kangen banget sama kamu, Al. Nggak kerasa ini udah satu tahun sejak hari itu. Dan aku masih tetap tepatin janji aku, kok.” Semilir angin menggerak-gerakkan surai panjang Amanda yang tergerai. Amanda merasakan udara sore ini semakin dingin, untung saja dia mengenakan sweater. “Aku punya banyak hal yang pengen aku ceritain ke kamu. Di sekolah ada anak baru namanya Alvan. Aku sebel banget sama dia. Dia itu freak dan nyebelin banget. Selalu aja ngata-ngatain aku dan bikin aku gondok seharian. Aku pengen banget bisa menjauh sejauh-jauhnya dari dia, tapi nggak bisa. Aku nggak tahu kenapa tapi kayaknya belakangan ini semua orang jadi menyebalkan.” Masih di tempat yang sama, kira-kira beberapa puluh meter dari tempat Amanda, Alvan juga sedang mengunjungi makam seseorang. Dia berdiri memandangi makam itu setelah meletakkan sebuket bunga lily di atas makam tersebut. Alvan mengunjungi makam mamanya. Untuk waktu yang cukup lama, cowok itu hanya berdiri saja tanpa mengatakan apa-apa. Kesedihan terlihat jelas di wajahnya. “Aku minta maaf,” ujarnya pada makam sang mama. “Mungkin Mama bosan mendengarnya. Tapi aku benar-benar minta maaf. Tolong jangan membenci aku.” Alvan segera memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan makam mamanya. Terlalu lama berada di sana membuat kesedihannya semakin meluap. Dan Alvan paling tidak suka situasi seperti itu. Tapi langkahnya berhenti saat dia melihat seseorang yang dia kenal berada beberapa meter di depannya. Orang itu adalah Amanda yang masih berada di dekat makam seseorang. 'Itu bukannya Amanda?' Mulanya Alvan mau langsung pergi tanpa peduli dengan Amanda dan apa yang dia lakukan di sana, tapi saat dia baru melangkah beberapa meter saja, pikirannya mengkhianati langkah kakinya. Kakinya ingin terus melangkah dan pergi, tapi pikirannya ingin tetap berada di sana. Alvan pun kesal dan akhirnya dengan malas memutar balik tubuhnya dan berjalan menghampiri Amanda dikarenakan rasa penasaran yang tidak jelas dari mana asalnya itu. Alvan sudah berada di belakang Amanda yang masih berjongkok. Dan tidak butuh waktu lama untuk Amanda menyadari ada seseorang mendekatinya. Amanda menoleh sambil mendongakkan kepalanya dan kaget melihat siapa yang ada di belakangnya. “Ngapain lo?” tanya Alvan tanpa ekspresi. Amanda langsung berdiri dan masih kaget. “Lo?” “Iya, gue. Kenapa?” Selain kaget, Amanda juga bingung. Tidak menyangka akan bertemu dengan cowok itu di sana. Bagaimana mungkin bisa kebetulan begitu? Di sekolah mereka sudah duduk sebangku dan bertemu tiap hari, biar bagaimana pun caranya Amanda berusaha menghindar tetap saja tidak berhasil. Dan sekarang, meskipun di kuburan mereka juga masih tetap bertemu? Amanda tidak habis pikir dengan nasib apa yang sekarang ini sedang menimpanya. “Lo ngapain di sini?” semprot Amanda yang langsung emosi melihat cowok itu. “Lo ngikutin gue, ya?” Alvan tertawa sinis. “Apa lo bilang? Ngikutin lo? Kurang kerjaan banget gue ngikutin lo ke tempat kayak gini? Tiap hari lihat muka lo di sekolah aja gue udah bosen, ngapain juga pake ngikutin lo segala? Lo mikir, dong.” Amanda sedang berusaha keras untuk menahan kemarahannya meskipun dia tahu itu mustahil kalau berhadapan dengan makhluk menyebalkan seperti Alvan ini. “Ya kalo nggak ngikutin gue ngapain lo di sini? Kan lo tadi yang nyamperin gue?” “Gue ke sini mengunjungi makam seseorang,” jawab Alvan. “Dan lo nggak perlu tanya karena gue nggak bakal kasih tahu,” tambah Alvan yang melihat Amanda mulai membuka mulutnya untuk bertanya. “Siapa juga yang mau tanya-tanya? Itu bukan urusan gue lo mau ngunjungin makam siapa.” “Oke,” sahut Alvan. “Gue juga nggak bakalan tanya-tanya sama lo karena itu juga bukan urusan gue.” “Ya udah.” “Ya udah.” Amanda semakin kesal karena Alvan seperti sengaja memancing kemarahannya. Dia tidak mau sampai bertengkar hebat di depan makam Aldy, karena itu dia segera pergi meninggalkan cowok itu di sana. Tidak peduli itu cowok mau gali kubur atau mau mencabuti rumput di kuburan. Pokoknya Amanda tidak mau tahu. Alvan menatap kepergian Amanda dengan senyuman sinis seperti biasanya. Sepertinya merupakan sebuah kepuasan tersendiri untuknya kalau bisa membuat cewek itu marah. Kemudian tatapan matanya beralih ke sebuah makam yang sekarang berada tepat di depannya. Dia membaca tulisan di batu nisan ‘Hafiz Revaldy Ardiansyah’. Alvan mengeryitkan keningnya membaca tulisan itu. Dia merasakan ada sesuatu dengan orang itu tapi tidak tahu apa. Sesuatu yang berhubungan dengan dirinya tapi Alvan tidak bisa mengartikan apa pun atas perasaannya ini. Dia terus menatap makam itu. “Gue nggak tahu siapa lo. Tapi kenapa gue ngerasa deket banget sama lo? Apa kita saling kenal?” Alvan tahu itu tidak mungkin. Seingatnya dia tidak pernah punya teman yang bernama Hafiz Revaldy. Orang ini masih muda saat meninggal. Umurnya juga seumuran dengannya kalau sekarang dia masih hidup. Batin Alvan yang juga melihat ada tanggal lahir dan tanggal kematian di batu nisan itu. “Siapa orang ini? Kakaknya? Atau pacarnya?” Alvan bertanya-tanya sendiri sambil kembali menoleh ke arah Amanda pergi, tapi cewek itu sudah tidak kelihatan.“Tapi kalo menurut gue, lo nggak harus ngelakuin itu. Sekeras apa pun usaha lo buat bisa bikin semua orang benci sama lo, semuanya nggak akan ngaruh karena tiap orang berhak buat disayangi. Termasuk juga lo.”“...”“Buktinya aja, mama tiri lo yang nggak lo sukai pun tetep sayang sama lo. Papa lo meskipun menyimpan rahasia yang menyakitkan dan mendapat perlakuan kasar dari lo, tetep sayang sama lo. Arga, yang nggak pernah lo sayangi pun tetep sayang juga sama lo. Itu semua bukti kalo lo itu emang pantes buat disayangi. Lo nggak perlu ngelakuin apa pun buat bikin orang lain sayang sama lo atau ngelakuin sesuatu buat bikin orang lain benci sama lo.”“...”“Dan lo juga harus bisa membuka hati lo buat orang lain yang sayang sama lo. Sayangi mereka juga yang sayang sama lo, Van. Lo nggak bisa terus-terusan terpuruk dalam kesedihan dan rasa bersalah, karena apa yang dibilang Papa lo itu bener. Kewajiban orangtua adalah melindungi anaknya, bahkan mempertaruhkan nyawanya demi anak yang mereka
Awalnya Amanda mau bilang ‘nggak mau’, tapi setelah dipikir-pikir nggak ada ruginya juga menerima tawaran Alvan ini. Toh semua itu kan permintaannya Aldy.Semua hal yang berhubungan dengan Aldy sudah pasti terbaik buat Amanda. Amanda selalu percaya sama cowok itu hingga sekarang. Meskipun Aldy sudah tidak ada, tapi Amanda tetap percaya pada Aldy.“Mau gue jagain lo?” tanya Alvan lagi dengan wajah lebih serius dari yang tadi.Kelihatannya kali ini cowok itu tidak main-main.Amanda berpikir sejenak untuk tetap imejnya kemudian mengangguk setelah mendapat ide. “Oke, deh. Gue mau lo jagain. Asal...”“Asal?”Wajah tegang Amanda pun berubah santai dan lebih kalem. “Asal lo nggak boleh sakit lagi.”Alvan terdiam. Wajahnya mulai terlihat melunak mendengar ucapan Amanda.“Gimana? Sanggup nggak lo?”“Sanggup.”Alvan mengangguk mantap. “Lagian gue juga nggak suka sakit-sakitan terus. Capek.”Amanda tersenyum senang plus lega. “Bagus, bagus. Itu yang namanya anak yang baik,” ujarnya sambil mengus
Deburan ombak pantai kembali menjadi pemandangan satu-satunya yang bisa dilihat Alvan dan Amanda sore ini. Sudah seminggu yang lalu Alvan keluar dari rumah sakit dan baru hari ini mereka bisa keluar berdua. Karena Alvan masih harus banyak istirahat, Amanda tidak berani ngajak-ngajak keluar.Selain itu kalau Amanda buru-buru ngajak Alvan pergi, pasti tuh cowok langsung mikir yang tidak-tidak karena sebenarnya Amanda memang sengaja menunggu Alvan sampai sembuh.Suasana sore hari di pantai yang tidak pernah berubah. Angin bertiup dengan kencangnya dan matahari semakin meredup karena hari sudah mulai sore.Belakangan ini angin memang sedang semangat-semangatnya bertiup kencang, seperti hari ini. Dan Amanda yang menguraikan rambut panjangnya pun kerepotan karena tiupan angin terus mengibar-ngibarkan rambutnya sampai berantakan tidak karuan.Amanda pun merogoh-rogoh saku celana sambil ngedumel sendirian dan kemudian mengikat rambutnya asal-asalan. Tidak apa-apa acak-acakan yang penting tida
Amanda membawa Alvan ke taman rumah sakit. Di taman itu mereka bisa menikmati pemandangan yang jauh lebih menyenangkan daripada di dalam ruang ICU, banyak tanaman bunga yang sedang mekar dengan indah.Buat Alvan juga sekalian nyari hiburan setelah seminggu lebih terkurung di dalam ruang ICU yang pengap dan menakutkan itu.“Apa lo sering dateng ke sini?” tanya Alvan membuka percakapan karena sejak tadi mereka cuma diam-diaman tak jelas.“Hah?” Amanda sempat kaget dan linglung. “Kenapa emangnya lo pengen tahu?”“Ya jelas gue pengen tahu,” jawab Alvan jutek. “Kenapa emangnya kalo gue pengen tahu?” Alvan balik bertanya.Cowok itu memang paling bisa membalikkan pertanyaan dan membuat Amanda mati kutu seperti sekarang ini. “Iya. Gue sering ke sini. Kenapa emangnya?”“Mau ngapain lo sering dateng ke sini? Nyapu halaman apa bantuin tukang kebun buat motong rumput?”GRRRR ....'Nih cowok meskipun sakit begitu tetap saja berhasil membuat Amanda gondok. Sifat menyebalkannya masih tetap sama.'Da
Setelah pulang sekolah, Amanda melakukan kegiatan rutinnya selama seminggu ini yaitu mengunjungi Alvan ke rumah sakit. Seperti hari biasanya juga Amanda datang dengan membawa buah-buahan segar berupa anggur merah kesukaan Alvan. Mama Alvan sempat cerita kalau Alvan paling suka sama anggur merah dan Amanda selalu datang membawakan yang segar dengan harapan saat cowok itu bangun akan merasa senang ada makanan kesukaannya.Dengan senyuman mengembang, Amanda berjalan sambil sesekali mengintip kantong plastik putih yang dibawanya. Di dalam kantong plastik itu terdapat satu kilogram anggur merah.Amanda membuka pintu ruang ICU dengan wajah ceria, karena dia sudah berjanji tidak akan menangis lagi saat mengunjungi Alvan seperti waktu pertama kali dia datang. Amanda sudah berhasil melakukannya selama beberapa hari ini.“Van, gue dateng.”Namun keceriaan Amanda sirna saat melihat ternyata ruangan itu kosong dan tempat tidurnya juga bersih tanpa ada Alvan di sana. Membuat Amanda bingung dan jug
Amanda pulang dari rumah sakit larut malam. Dia merasa capek banget dan juga ngantuk. Tubuhnya lemah karena terlalu lama menahan rasa kantuknya, bahkan tadi dia juga sempat tertidur sebentar di dalam taksi saat perjalanan pulang.Amanda tidak sanggup berjalan ke lantai dua untuk tidur di kamarnya, dan dia pun pasrah dengan menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Amanda tertidur dengan posisi miring dan memeluk bantal sofa.Belum sampai sepuluh menit Amanda tenggelam dalam alam tidurnya, dia sudah tiba di alam mimpinya.Amanda seperti berada di sebuah taman bunga yang indah banget dengan tanaman bunga mawar merah mengelilingi tempatnya berdiri saat ini. Amanda baru menyadari kalau dia memakai baju putih-putih dan saat dia menengadahkan kepalanya ke atas, dia melihat kabut tebal di atas kepalanya. Entah apa yang ada di atas kabut tebal itu.Langit? Bisa jadi.Karena dengan ketebalan seperti itu, tidak ada celah sedikit pun untuk Amanda bisa melihat apa yang ada di atas kabut tersebut.
Amanda melamun sendirian di kamarnya malam ini. Beberapa buku pelajaran berserakan di depannya dengan posisi terbuka. Tapi Amanda tidak minat sedikit pun untuk menyentuh buku-buku itu maupun untuk membaca tulisan-tulisan di buku itu.Dibandingkan membaca buku, Amanda lebih suka mengotak-atik ponselnya melihat-lihat foto-foto Amgga dengan Arga beberapa saat yang lalu. Dari banyaknya foto itu juga ada foto mereka bertiga. Amanda sedih melihat senyuman Alvan di foto itu setelah mengingat bahwa senyuman itu adalah yang terakhir kali dia lihat sebelum Alvan sakit. Dia sama sekali tidak menyangka hal itu akan terjadi.Amanda masih ingin melihat senyuman Alvan, masih ingin menyaksikan cowok itu bahagia, dan membuatnya merasakan kebahagiaan seperti apa yang sudah pernah Amanda janjikan saat meminta Alvan berubah waktu itu. Tapi kalau kondisinya terus seperti itu bagaimana Amanda bisa membantu Alvan mendapatkan kebahagiaannya?Karena mengotak-atik ponsel sambil melamun, Amanda tidak sadar suda
"Futsal?" Amanda seperti merasa tidak asing dengan kata itu. Atau setidaknya dia pernah memikirkan sesuatu tentang futsal dan berhubungan dengan Alvan.Andra mengangguk dengan senyuman tipis setengah mengenang. "Alvan sejak kecil suka sekali bermain futsal tapi dia nggak pernah bisa ikut bermain dengan teman-temannya karena kondisinya nggak memungkinkan. Sampai sekarang pun dia tetap suka memainkan bola futsal pemberian mendiang mamanya, dan Om selalu memarahinya untuk membuang atau menyimpan saja bola itu karena hanya akan membuatnya sedih. Tapi Alvan selalu marah tiap kali Om mengatakan itu."Amanda pun ingat saat dia nyamperin Alvan di lorong sekolah lantai dua. Waktu itu Amanda sempat melihat Alvan yang sedang memperhatikan anak-anak bermain futsal di halaman. Rupanya karena alasan itu. Alvan suka futsal tapi tidak bisa memainkannya. Amanda tahu bagaimana rasanya, karena dulu Amanda juga pernah membuat seseorang merasakan hal yang sama. Amanda pernah menghancurkan hidup seseorang
Amanda berlari menyusuri lorong sekolah sambil menangis mengingat hal mengerikan apa yang akan dia hadapi sebentar lagi. Dia benar-benar merasakan ketakutan yang sama bahkan lebih parah dari yang sebelumnya.Langkah cepat Amanda pun berhenti karena Amanda merasakan kedua kakinya benar-benar lemah dengan hanya memikirkan bagaimana keadaan Alvan. Dia tidak bisa lagi untuk berlari. Di saat seperti ini yang terpikirkan oleh Amanda Cuma bagaimana caranya dia segera sampai di rumah sakit dan bertemu Alvan. Tapi di rumah sakit mana cowok itu dirawat?Amanda berhenti berlari saat dia teringat tujuannya yang belum jelas kemana. Dengan tangan bergetar dia menelepon mama Alvan. Bahkan menunggu telepon diangkat pun Amanda tidak sabar menunggu walau pun cuma beberapa detik.Penantian Amanda pun terbayar saat seseorang menjawab telepon di ujung sana. “Halo? Tante Nayla? Alvan di rumah sakit mana?”Amanda tidak mau basa-basi menanyakan kabar. Yang dia inginkan cuma tempat tujuannya kali ini yaitu ru