Share

Bab 3

Author: Ziani
Keesokan paginya, Alexander keluar rumah pagi-pagi sekali. Jika dugaanku benar, dia seharusnya pergi menjemput Veranita untuk menjenguk kakeknya di rumah sakit.

Setelah mencuci muka, aku memakai masker, lalu keluar untuk pergi menyewa rumah. Rumah yang kami tinggali saat ini adalah milik Alexander dan aku berniat untuk pindah.

Dalam perjalanan pergi melihat rumah, aku tidak sengaja membuka akun media sosial Veranita. Ada foto dirinya, Alexander, dan seorang pria tua. Dia menambah sebaris kalimat.

[ Foto keluarga. ]

Kolom komentar di postingan itu dibanjiri ucapan selamat.

Meskipun sudah mengetahui hal ini semalam, dadaku masih terasa sesak hingga membuatku kesulitan bernapas. Aku menatap foto itu sambil termenung sampai sopir taksi mengingatkanku bahwa aku sudah tiba di tempat tujuan.

Sebelum menutup aplikasi, aku menyukai postingan itu dan meninggalkan komentar ucapan selamat.

Ketika melihat rumah, segala sesuatu berjalan lancar. Lokasinya sempurna. Letaknya tepat di sebelah rumah sakit.

Aku baru saja lulus ujian keperawatan dan diterima bekerja di rumah sakit. Awalnya, aku berencana untuk memberi tahu Alexander kabar baik ini hari ini. Sekarang, itu sepertinya tidak diperlukan lagi.

Setelah membayar deposit, aku pun pulang untuk mengemasi barangku. Tak disangka, aku bertemu dengan Alexander dan Veranita di depan rumah sakit. Mereka sedang bergandengan tangan dengan jari-jari saling bertautan.

Daripada mengatakan bahwa aku bertemu mereka, lebih tepatnya Veranita melihatku, lalu menarik Alexander ke depanku secara terang-terangan dan berbicara dengan nada sarkastis, "Kak Melly, kamu juga ada di sini? Kamu datang bersama Alex? Kenapa kamu nggak pergi menemui Kakek? Jangan-jangan, kamu datang tanpa sepengetahuan Alex?"

Mata Alexander berkilat gugup. Dia maju sedikit untuk menutupi tangan mereka yang bertautan, lalu buru-buru melepaskan tangan Veranita.

Namun, setelah mendengar ucapan Veranita, kegugupan itu langsung berubah menjadi amarah. Dia memelototiku sambil berujar, "Kenapa kamu ada di sini? Kayaknya aku nggak kasih tahu kamu aku ada di mana, deh."

Setelah itu, keningnya berkerut dan ekspresinya tiba-tiba berubah. Dia menatapku dengan galak.

"Melinda, beraninya kamu mengikutiku!"

Dia maju selangkah dan memaksaku mundur. Ekspresinya sangat suram. Sebelah tangannya tiba-tiba mencengkeram lenganku, dan tangan lainnya menarik masker dari wajahku.

"Tampangmu sudah begini. Kenapa kamu bukannya istirahat di rumah, malah mengikutiku? Bukannya sudah kubilang aku akan membawamu kemari setelah wajahmu sembuh? Apa gunanya kamu mengikutiku kemari!"

Setiap patah kata Alexander adalah tuduhan terhadapku. Dia bahkan tidak repot-repot menanyakan alasanku.

Orang-orang yang lewat menatap wajahku yang memar. Rasa malu menyelimutiku dan aku hanya bisa menutupinya dengan tangan kananku. Aku menyembunyikan wajahku saat berdebat dengan Alexander.

"Aku nggak mengikutimu!"

"Kalau kamu nggak mengikutiku, kenapa kamu ada di sini?" bentak Alexander. Wajahnya dipenuhi amarah, seolah-olah ingin langsung menelanku.

"Jangan bilang kamu datang kemari untuk pemeriksaan. Memangnya kamu butuh periksa dokter untuk luka sepele seperti ini? Atau kamu menderita penyakit mematikan dan akan segera mati?"

Jantungku tiba-tiba terasa nyeri, seperti sudah tersumbat.

Namun, aku tidak lagi berencana untuk memberi tahu Alexander informasi apa pun. Aku tidak akan memberitahunya bahwa aku menyewa rumah di sini, juga tidak akan memberitahunya bahwa aku telah diterima di rumah sakit ini dan akan segera mulai bekerja.

Pada akhirnya, aku hanya tetap diam dan membiarkan Alexander lanjut memarahiku.

"Kenapa kamu diam saja? Melinda, kamu benar-benar membuatku terkesan. Kalau kamu bilang ingin ketemu sama Kakek, memangnya aku akan menolak? Bisa-bisanya kamu mengikutiku! Apa lain kali aku harus melapor padamu ke mana pun aku pergi?"

Aku langsung terpaku di tempat. Perasaan diperlakukan secara tidak adil yang tersembunyi dalam hati telah membuatku tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaannya.

Jelas-jelas, dia yang selalu menolak membawaku datang dengan berbagai macam alasan. Sekarang, semuanya malah menjadi salahku.

Aku menarik napas dalam-dalam untuk menekan rasa frustrasi dan menahan diri untuk tidak menangis.

Aku menatap Alexander dengan tegas. "Percaya atau nggak, aku nggak mengikutimu."

Setelah itu, aku mengabaikan Alexander yang terlihat sedikit terkejut, lalu menghentikan taksi dan melaju pergi. Begitu aku masuk ke taksi, air mataku langsung mengalir deras.

Sudahlah, sebaiknya aku merestui mereka.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 8

    Keesokan paginya, aku pergi bekerja di rumah sakit.Baru saja aku tiba dan berganti pakaian, kepala perawat menatapku dengan aneh. Dia mengatakan bahwa ada seorang pasien yang secara khusus memintaku untuk membalut lukanya.Awalnya, aku tidak terlalu memikirkannya. Setelah tiba di UGD, aku baru menyadari bahwa orang itu adalah Alexander. Tangannya yang terjepit pintu tidak diobati semalaman sehingga menjadi sangat bengkak.Begitu melihatku, dia langsung terlihat gembira. Namun, karena takut aku akan pergi, dia pun menahan kegembiraannya dan berkata dengan nada kesal, "Melly, apa menurutmu luka di tanganku ini parah? Aku cuma bisa datang dan memintamu untuk membalutnya."Aku tidak menjawab, juga tidak pergi. Aku memperlakukannya seperti pasien biasa, lalu mengoleskan obat dan membalut luka Alexander. Pada akhirnya, aku dengan dingin berpesan kepadanya untuk ingat mengganti perban dalam waktu dekat.Setelah menangani lukanya, aku kembali ke pos perawat.Seusai pagi yang menyibukkan, Alex

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 7

    Selama dua hari berikutnya, Alexander mencari ke seluruh kota, tetapi tidak menemukan jejakku. Jadi, dia pergi ke rumah sakit untuk menungguku. Ketika tahu aku sedang cuti, dia hanya bisa memikirkan cara lain.Aku menghabiskan dua hari terakhir dengan beristirahat di rumah dan memesan makanan untuk diantar ke rumah. Setiap hari, aku menerima banyak panggilan telepon dan pesan teks aneh. Baru membaca sekilas isi beberapa pesan, aku langsung tahu itu adalah pesan dari Alexander. Sepertinya, dia sudah pulang dan melihat surat perjanjian pembatalan pernikahan yang kutinggalkan.Aku tidak membalas satu pun pesan itu dan langsung menonaktifkan ponselku. Tanpa perlu diragukan, tindakan ini merupakan respons yang paling pasti.Menjelang malam, terdengar ketukan tergesa-gesa di pintu apartemen sewaanku. Aku membuka pintu dan melihat Alexander yang terlihat menyedihkan. Rambutnya berantakan dan jaketnya basah karena hujan.Melihatku, dia bersandar di kusen pintu dan menghela napas lega. Dengan

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 6

    Sementara itu, di sisi lain, Alexander sedang mencari Melinda dengan panik. Dia telah mencari di rumah, rumah sakit, bahkan taman favorit Melinda, tetapi tetap tidak menemukannya.Alexander hanya menemukan lemari kosong dan dokumen perjanjian pembatalan pernikahan di atas meja. Dia membaca perjanjian itu kata demi kata. Tanpa terasa, matanya mulai memerah.Setelah membaca seluruh isi perjanjian itu, dia tiba-tiba merobeknya sampai hancur berkeping-keping."Mustahil! Melinda, aku nggak akan batalkan pernikahanku denganmu!"Teriakannya yang histeris mengganggu para tetangga. Ketika pengelola properti datang untuk menengahi situasi, mereka tiba-tiba bertanya kepada Alexander apakah dia berencana untuk pindah rumah dalam waktu dekat.Alexander tertegun sejenak, lalu menggeleng.Pengelola properti pun berbicara dengan bingung, "Beberapa hari yang lalu, aku lihat Bu Melinda memanggil truk dan memuat banyak barang, makanya aku pikir kalian mau pindah!"Pada detik berikutnya, Alexander menceng

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 5

    Berhubung harus mempertahankan sikap profesional seorang perawat, aku menahan amarah dan berbicara kepadanya dengan dingin, "Pak, pasien tiba-tiba mengalami gagal jantung dan disfungsi hati sehingga butuh dioperasi secepat mungkin. Harap segera datang ke rumah sakit. Aku sudah sampaikan pesannya. Terserah kamu percaya atau nggak. Aku cuma berharap kamu nggak menyesal!"Alexander yang berada di ujung telepon langsung murka dan berteriak histeris, "Melinda, aku peringati kamu. Kalau terjadi sesuatu pada kakekku, aku nggak akan pernah memaafkanmu!""Aku nggak butuh kamu memaafkanku!"Setelah itu, aku langsung memutuskan sambungan telepon tanpa peduli pada omelan histeris Alexander. Aku kembali ke kamar rawat inap dan berusaha keras untuk menyadarkan pria tua itu bersama dokter. Untung saja penyelamatan ini dilakukan tepat waktu. Tidak lama kemudian, pasien tua itu segera sadar kembali. Saat membuka matanya, dia meraih tanganku dan tersenyum berseri-seri."Kamu ... ternyata kamu. Terima k

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 4

    Baru saja aku sampai di rumah, ponselku berdering. Itu adalah telepon dari Alexander."Melly, kamu sudah sampai di rumah?"Dia berbicara dengan lembut seperti biasa, seolah-olah semua pertengkaran dan tuduhan hari ini tidak pernah terjadi. Namun, nadanya yang seperti ini justru membuatku merasa dia hanya sedang berusaha untuk menyembunyikan kemunafikannya.Aku hendak langsung memutuskan sambungan telepon, tetapi masalah antara Alexander dan aku harus diselesaikan. Jelas-jelas, dia yang bersalah dalam hubungan ini. Orang yang seharusnya merasa malu dan menghindar bukanlah aku."Ada apa?""Aku lagi di hotel sekarang. Aku sudah kirimkan lokasinya padamu. Kurasa, dekorasinya cukup bagus. Coba kamu lihat kamu suka sama dekorasinya atau nggak."Aku menutup telepon dengan hati dipenuhi kebingungan.Hotel? Apa karena pernikahan kami? Namun, ini sama sekali berbeda dengan sikap Alexander selama ini. Dulu, dia bahkan tidak akan ikut campur meskipun aku memaksanya. Kali ini, malah dia yang berini

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 3

    Keesokan paginya, Alexander keluar rumah pagi-pagi sekali. Jika dugaanku benar, dia seharusnya pergi menjemput Veranita untuk menjenguk kakeknya di rumah sakit.Setelah mencuci muka, aku memakai masker, lalu keluar untuk pergi menyewa rumah. Rumah yang kami tinggali saat ini adalah milik Alexander dan aku berniat untuk pindah.Dalam perjalanan pergi melihat rumah, aku tidak sengaja membuka akun media sosial Veranita. Ada foto dirinya, Alexander, dan seorang pria tua. Dia menambah sebaris kalimat. [ Foto keluarga. ]Kolom komentar di postingan itu dibanjiri ucapan selamat.Meskipun sudah mengetahui hal ini semalam, dadaku masih terasa sesak hingga membuatku kesulitan bernapas. Aku menatap foto itu sambil termenung sampai sopir taksi mengingatkanku bahwa aku sudah tiba di tempat tujuan.Sebelum menutup aplikasi, aku menyukai postingan itu dan meninggalkan komentar ucapan selamat.Ketika melihat rumah, segala sesuatu berjalan lancar. Lokasinya sempurna. Letaknya tepat di sebelah rumah sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status