Share

Bab 2

Author: Ziani
Setelah beberapa saat, Alexander baru dengan enggan melepaskan Veranita dan berjalan ke arahku.

Aku pun buru-buru berlari pulang. Sebelum aku sampai di rumah, Alexander menelepon.

Dia menegurku dengan suara penuh amarah, "Melinda, bukannya aku menyuruhmu menungguku di hotel? Kamu pergi ke mana lagi?"

Tenggorokanku terasa pahit dan air mata menggenang di mataku. Kata-kata yang ingin kutujukan sebagai tuntutan terhadapnya, malah justru terdengar seperti keluhan sedih.

"Karena kamu nggak balik-balik, aku pulang untuk menunggumu."

Alexander tertegun sejenak di ujung telepon, lalu menghiburku dengan suara pelan dan menenangkan, "Aku yang salah. Aku terjebak macet, jadinya lama."

Baru saja aku duduk di sofa, Alexander pun kembali. Dia terlihat sangat mirip dengan orang yang diganggu saat kencan dan harus pulang.

Dia melemparkan salep itu padaku dan berkata, "Aku sudah membelikanmu obatnya. Oleskan sendiri."

Aku menggenggam salep itu dengan erat, lalu menatap punggungnya sambil termenung untuk sejenak sebelum menggertakkan gigi.

"Luka di wajahku ditimbulkan kamu. Kamu bisa bantu aku oleskan obatnya?"

Kilatan penghinaan dan rasa tidak sudi yang jelas terpancar di mata Alexander. Dia memalingkan wajahnya dariku dan mencibir dengan dingin, "Itu juga salahmu sendiri! Lagian, memangnya kamu nggak punya tangan? Kamu sudah dewasa. Kalau nggak kelihatan, kamu nggak bisa cari cara sendiri? Masih harus ada orang yang mengajarimu?"

Rentetan pertanyaan ini membuatku malu. Namun, dia jelas-jelas tidak seperti ini sebelumnya.

Saat memasak, meskipun jariku hanya tergores sedikit, dia akan dengan panik mengambilkan plester dan menempelkannya ke lukaku. Saat itu, aku bahkan tertawa melihat keseriusannya, juga berkata bahwa jika dia bergerak lebih lambat sedikit, lukanya pasti sudah sembuh. Namun, dia malah menutup mulutku, lalu nyaris menangis karena sakit hati dan menyuruhku berhenti bicara.

Aku membawa salep itu ke kamar mandi dan mengoleskannya di depan cermin wastafel. Samar-samar, aku bisa mendengarnya berbicara di telepon.

Suara teleponnya lumayan keras sehingga aku bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas. Hatiku juga berangsur-angsur mendingin.

"Besok, aku mau pergi ke rumah sakit untuk jenguk Kakek. Vera, kamu mau ikut bersamaku?"

"Aku boleh jenguk Kakek?"

"Kenapa nggak? Kakek bukannya belum pernah bertemu denganmu sebelumnya. Lagian, kalau bukan karena kamu menyelamatkan Kakek, dia mana mungkin bisa hidup sampai sekarang. Dia sudah terima kamu sebagai menantunya!"

"Jangan ngomong begitu. Aku bisa malu. Apalagi, kamu sudah punya tunangan. Sepertinya, aku nggak akan punya kesempatan seperti itu lagi di kehidupan ini."

Selanjutnya, terdengar suara Alexander yang tegas. "Nggak, aku cuma akan menikahimu di kehidupan ini!"

Klontang! Salep di tanganku jatuh ke wastafel dan menimbulkan suara berdentang.

Alexander segera mengakhiri sambungan telepon, lalu masuk ke kamar mandi dengan kening berkerut. Melihatku sedang mengoleskan salep, dia bertanya dengan nada menyelidik, "Melly, aku akan pergi ke rumah sakit untuk jenguk Kakek besok. Mau ikut?"

Meskipun aku sudah mengetahui semuanya dengan jelas, hatiku masih terasa hancur dan sakit. Aku melihat tampang diriku di cermin. Wajahku bengkak karena tamparannya dan terlihat bagaikan iblis.

"Kamu rasa, aku temui Kakek dengan tampang seperti ini? Lagian, memangnya kamu mau membiarkanku pergi?"

Selama bertahun-tahun, setiap kali aku mengusulkan untuk menemaninya pergi menemui Kakek, Alexander selalu punya alasan untuk menolak, seperti bagaimana dia menolak untuk melangsungkan pernikahan kami.

Jadi, sampai hari ini, aku bahkan tidak tahu seperti apa rupa kakeknya. Aku hanya tahu Alexander dibesarkan oleh kakeknya dan kakeknya merupakan orang terdekatnya. Siapa sangka dia sudah berkali-kali mengajak Veranita menemui keluarga terdekatnya?

Aku menahan rasa getir di hatiku dan bertanya lagi, "Kalau aku bilang mau pergi, memangnya kamu akan bawa aku pergi?"

Alexander hanya diam saja.

Dia menyambar salep dari tanganku dan mengoleskannya dengan lembut sebelum berjanji samar, "Nggak apa-apa, Melly. Setelah lukamu sembuh, aku akan mengajakmu pergi menemui Kakek. Kamu begitu manis dan baik, Kakek pasti akan menyukaimu!"

Aku tidak menanggapi ucapan itu. Namun, ada tanda tanya besar di hatiku. Dia sudah berkali-kali memberiku janji serupa selama tiga tahun terakhir.

Dulu, aku mengira dia benar-benar peduli padaku. Jadi, aku tidak pernah memaksanya. Sekarang, aku tiba-tiba menyadari bahwa aku tidak lagi bisa percaya pada janji-janji manisnya. Dia tidak mengajakku pergi menemui kakeknya setara dengan tidak menganggapku tunangannya.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 8

    Keesokan paginya, aku pergi bekerja di rumah sakit.Baru saja aku tiba dan berganti pakaian, kepala perawat menatapku dengan aneh. Dia mengatakan bahwa ada seorang pasien yang secara khusus memintaku untuk membalut lukanya.Awalnya, aku tidak terlalu memikirkannya. Setelah tiba di UGD, aku baru menyadari bahwa orang itu adalah Alexander. Tangannya yang terjepit pintu tidak diobati semalaman sehingga menjadi sangat bengkak.Begitu melihatku, dia langsung terlihat gembira. Namun, karena takut aku akan pergi, dia pun menahan kegembiraannya dan berkata dengan nada kesal, "Melly, apa menurutmu luka di tanganku ini parah? Aku cuma bisa datang dan memintamu untuk membalutnya."Aku tidak menjawab, juga tidak pergi. Aku memperlakukannya seperti pasien biasa, lalu mengoleskan obat dan membalut luka Alexander. Pada akhirnya, aku dengan dingin berpesan kepadanya untuk ingat mengganti perban dalam waktu dekat.Setelah menangani lukanya, aku kembali ke pos perawat.Seusai pagi yang menyibukkan, Alex

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 7

    Selama dua hari berikutnya, Alexander mencari ke seluruh kota, tetapi tidak menemukan jejakku. Jadi, dia pergi ke rumah sakit untuk menungguku. Ketika tahu aku sedang cuti, dia hanya bisa memikirkan cara lain.Aku menghabiskan dua hari terakhir dengan beristirahat di rumah dan memesan makanan untuk diantar ke rumah. Setiap hari, aku menerima banyak panggilan telepon dan pesan teks aneh. Baru membaca sekilas isi beberapa pesan, aku langsung tahu itu adalah pesan dari Alexander. Sepertinya, dia sudah pulang dan melihat surat perjanjian pembatalan pernikahan yang kutinggalkan.Aku tidak membalas satu pun pesan itu dan langsung menonaktifkan ponselku. Tanpa perlu diragukan, tindakan ini merupakan respons yang paling pasti.Menjelang malam, terdengar ketukan tergesa-gesa di pintu apartemen sewaanku. Aku membuka pintu dan melihat Alexander yang terlihat menyedihkan. Rambutnya berantakan dan jaketnya basah karena hujan.Melihatku, dia bersandar di kusen pintu dan menghela napas lega. Dengan

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 6

    Sementara itu, di sisi lain, Alexander sedang mencari Melinda dengan panik. Dia telah mencari di rumah, rumah sakit, bahkan taman favorit Melinda, tetapi tetap tidak menemukannya.Alexander hanya menemukan lemari kosong dan dokumen perjanjian pembatalan pernikahan di atas meja. Dia membaca perjanjian itu kata demi kata. Tanpa terasa, matanya mulai memerah.Setelah membaca seluruh isi perjanjian itu, dia tiba-tiba merobeknya sampai hancur berkeping-keping."Mustahil! Melinda, aku nggak akan batalkan pernikahanku denganmu!"Teriakannya yang histeris mengganggu para tetangga. Ketika pengelola properti datang untuk menengahi situasi, mereka tiba-tiba bertanya kepada Alexander apakah dia berencana untuk pindah rumah dalam waktu dekat.Alexander tertegun sejenak, lalu menggeleng.Pengelola properti pun berbicara dengan bingung, "Beberapa hari yang lalu, aku lihat Bu Melinda memanggil truk dan memuat banyak barang, makanya aku pikir kalian mau pindah!"Pada detik berikutnya, Alexander menceng

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 5

    Berhubung harus mempertahankan sikap profesional seorang perawat, aku menahan amarah dan berbicara kepadanya dengan dingin, "Pak, pasien tiba-tiba mengalami gagal jantung dan disfungsi hati sehingga butuh dioperasi secepat mungkin. Harap segera datang ke rumah sakit. Aku sudah sampaikan pesannya. Terserah kamu percaya atau nggak. Aku cuma berharap kamu nggak menyesal!"Alexander yang berada di ujung telepon langsung murka dan berteriak histeris, "Melinda, aku peringati kamu. Kalau terjadi sesuatu pada kakekku, aku nggak akan pernah memaafkanmu!""Aku nggak butuh kamu memaafkanku!"Setelah itu, aku langsung memutuskan sambungan telepon tanpa peduli pada omelan histeris Alexander. Aku kembali ke kamar rawat inap dan berusaha keras untuk menyadarkan pria tua itu bersama dokter. Untung saja penyelamatan ini dilakukan tepat waktu. Tidak lama kemudian, pasien tua itu segera sadar kembali. Saat membuka matanya, dia meraih tanganku dan tersenyum berseri-seri."Kamu ... ternyata kamu. Terima k

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 4

    Baru saja aku sampai di rumah, ponselku berdering. Itu adalah telepon dari Alexander."Melly, kamu sudah sampai di rumah?"Dia berbicara dengan lembut seperti biasa, seolah-olah semua pertengkaran dan tuduhan hari ini tidak pernah terjadi. Namun, nadanya yang seperti ini justru membuatku merasa dia hanya sedang berusaha untuk menyembunyikan kemunafikannya.Aku hendak langsung memutuskan sambungan telepon, tetapi masalah antara Alexander dan aku harus diselesaikan. Jelas-jelas, dia yang bersalah dalam hubungan ini. Orang yang seharusnya merasa malu dan menghindar bukanlah aku."Ada apa?""Aku lagi di hotel sekarang. Aku sudah kirimkan lokasinya padamu. Kurasa, dekorasinya cukup bagus. Coba kamu lihat kamu suka sama dekorasinya atau nggak."Aku menutup telepon dengan hati dipenuhi kebingungan.Hotel? Apa karena pernikahan kami? Namun, ini sama sekali berbeda dengan sikap Alexander selama ini. Dulu, dia bahkan tidak akan ikut campur meskipun aku memaksanya. Kali ini, malah dia yang berini

  • Janji Pernikahan yang Tak Pernah Terwujud   Bab 3

    Keesokan paginya, Alexander keluar rumah pagi-pagi sekali. Jika dugaanku benar, dia seharusnya pergi menjemput Veranita untuk menjenguk kakeknya di rumah sakit.Setelah mencuci muka, aku memakai masker, lalu keluar untuk pergi menyewa rumah. Rumah yang kami tinggali saat ini adalah milik Alexander dan aku berniat untuk pindah.Dalam perjalanan pergi melihat rumah, aku tidak sengaja membuka akun media sosial Veranita. Ada foto dirinya, Alexander, dan seorang pria tua. Dia menambah sebaris kalimat. [ Foto keluarga. ]Kolom komentar di postingan itu dibanjiri ucapan selamat.Meskipun sudah mengetahui hal ini semalam, dadaku masih terasa sesak hingga membuatku kesulitan bernapas. Aku menatap foto itu sambil termenung sampai sopir taksi mengingatkanku bahwa aku sudah tiba di tempat tujuan.Sebelum menutup aplikasi, aku menyukai postingan itu dan meninggalkan komentar ucapan selamat.Ketika melihat rumah, segala sesuatu berjalan lancar. Lokasinya sempurna. Letaknya tepat di sebelah rumah sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status