Share

Bab 5

Author: Nyi Ratu
last update Last Updated: 2025-09-10 18:53:35

"Iya, maaf." Anin pun mencium tangan suaminya.

"Aku pergi dulu, Kak Rey," pamit Anin, "Mi, Pi, aku pergi ya."

    

"Iya, Sayang," jawab Mami Riyanti sambil tersenyum. 

    

Papi Bagus mengangguk. Lalu berkata, "hati-hati!"

    

"Iya, Pi." Anin menyalami kedua mertuanya.

"Tunggu! Memangnya siapa yang kasih kamu izin pergi dari rumah?" Rey menatap tajam istrinya.

"Siapa yang minta izin? Aku cuma pamit aja. Mau diizinin atau enggak, terserah Kak Rey. Yang pasti, aku akan tetap pergi," jawab Anin.

"Dasar istri songong!" Rey sangat jengkel.

"Bodo amat." Anin pergi tanpa peduli ucapan Rey. Ia malas berdebat.

"Sayang, kamu pergi naik apa?" teriak Mami Riyanti karena Anin sudah melangkah menjauh.

"Pinjam mobil Kak Rey, Mi!" teriak Anin sambil mengacungkan kunci mobil Rey yang ia ambil dari atas nakas tanpa izin.

"Gila! Benar-benar songong tuh istri, pinjam mobil enggak bilang-bilang." Rey semakin kesal pada istrinya.

   

Mami Riyanti menatap Rey penuh harap. Ia sangat ingin anaknya bahagia dengan Anin. Mami melihat Anin sebagai cerminan dirinya di masa muda: polos, ceria, dan sedikit barbar.

“Sudahlah, Rey. Dia kan istrimu. Cobalah buka hatimu. Dia sangat cocok sama kamu,” ucap Mami Riyanti sambil tersenyum-senyum sendiri.

Rey menghela napas panjang, tidak tahan dengan omelan maminya. Baginya, ia dan Anin tidak cocok sama sekali. Rey pendiam dan tidak suka bergaul, sedangkan Anin mudah bergaul dan sedikit ‘barbar’. Rey merasa Anin hanya mengganggu hidupnya dengan kebiasaan menyebalkannya.

“Cocok apanya? Asal Mami tahu, dia itu tidur kayak kebo! Semalam Rey nggak bisa tidur karena enggak kebagian tempat tidur,” curhat Rey dengan emosi yang meluap. “Aku bisa mati berdiri punya istri kayak dia.”

Orang tuanya terkekeh mendengar curhatan itu. Mereka tidak bisa menahan tawa melihat wajah Rey yang kesal dan lelah. Mereka tahu, dulu mereka juga mengalami hal yang sama saat baru menikah. Itu semua adalah bagian dari proses penyesuaian.

“Kenapa Mami dan Papi malah ketawa?” Rey marah karena merasa tidak ada yang peduli dengan perasaannya.

“Nanti juga kamu terbiasa, Rey." Papi Bagus mencoba menenangkan putranya. Ia yakin Rey adalah anak yang baik dan bertanggung jawab, dan pasti bisa mencintai Anin seperti ia mencintai istrinya.

“Papi bicara kayak gitu karena enggak ngerasain apa yang aku rasain semalam!” Rey merasa orang tuanya tidak mengerti perasaannya dan hanya memaksakan kehendak mereka.

“Siapa bilang?” kata Papi Bagus, melirik istrinya sambil tersenyum.

Mami Riyanti melotot ke suaminya. Ia tidak mau Rey tahu kalau kelakuannya dulu sangat mirip dengan sang menantu.

Papi Bagus tertawa, lalu mencium pipi istrinya dengan lembut. “Papi sangat mencintai Mami. Mami adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan untuk Papi.”

“Apaan sih, enggak jelas.” Rey pergi ke kamarnya. Ia tidak sudi melihat kemesraan orang tuanya.

Rey memutuskan cuti selama seminggu, bukan untuk bulan madu, tapi untuk menenangkan diri. Ia belum siap menikah, apalagi pernikahannya sangat mendadak.

“Ya sudah, Papi berangkat ke kantor dulu, ya,” pamit Papi Bagus, mencium kening istrinya setelah Mami mencium tangannya.

"Mudah-mudahan si songong pulangnya malam, supaya aku bisa tidur nyenyak." Rey merebahkan tubuhnya di kasur, memejamkan mata yang sudah perih menahan kantuk. Ia tidur sangat pulas hingga sore hari.

“Rey!” panggil Mami Riyanti, tapi Rey diam saja. Entah mengapa, sejak ada Anin, ia merasa kedua orang tuanya tidak lagi menyayangi dan mendukungnya. Mereka lebih menyayangi menantunya.

“Rey!” Mami Riyanti berteriak lagi. Ia masuk kamar dan melihat anaknya berbaring dengan earphone di telinga. “Pantesan aja dari tadi dipanggil enggak nyahut.”

“Astaga, Mi, ngagetin aja.” Rey bangun dan mengusap dada. Ia melepas earphone-nya. “Ada apa? Mau bahas Anin lagi?” Rey tersenyum sinis.

“Nah, itu tahu.” Mami Riyanti ikut tersenyum. "Ayo bangun!"

“Ada apa sih, Mi?” tanyanya dengan nada kesal. Ia berharap maminya segera pergi.

“Istri kamu belum pulang, kenapa kamu santai banget? Cari sana!” Mami Riyanti menarik tangan Rey. Ia cemas karena Anin tidak ada kabar sejak pagi. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk.

“Ya ampun Mi, dia baru pergi juga sudah dicariin,” ucap Rey sambil memejamkan matanya yang masih lengket. Ia tidak sadar hari sudah hampir gelap.

“Sebentar lagi juga malam. Papi kamu aja udah pulang dari tadi." Mami Riyanti memukul bahu anaknya. “Cepat cari istrimu!”

“Mau dicari ke mana, Mi? Biarin aja, nanti juga pulang sendiri." Rey memasang earphone-nya lagi. Ia tidak peduli. Justru ia lebih suka jika Anin tidak pulang.

“Rey!” Mami Riyanti mencopot earphone Rey dengan marah. “Cari istrimu sekarang! Kalau belum ketemu, kamu jangan pulang!” Mami mengancam, berusaha menyadarkan Rey akan tanggung jawabnya.

“Iya iya… Aku mau makan dulu." Rey beranjak dari ranjang menuju ruang makan, mengabaikan ancaman ibunya. Ia lapar dan tidak mau kelaparan hanya karena Anin.

“Jangan makan, sebelum istrimu pulang!” Mami Riyanti keluar kamar, menegur Rey dengan tegas.

“Begini nih, yang bikin aku malas punya komitmen sama perempuan. Bikin ribet aja.” Rey mengacak-acak rambutnya, mengeluh dalam hati. Ia merasa pernikahan adalah hal yang merepotkan.

“Dia istrimu, tanggung jawab kamu." Mami Riyanti kembali mengingatkan.

“Aku ganti baju dulu." Rey mengalah, tidak mau berdebat lagi.

Rey berjalan cepat ke ruang tamu. Ia melihat Mami dan Papinya duduk di sofa, menonton TV, tapi ia tidak menyapa. Ia langsung mengambil kunci mobil di meja depan Papi Bagus.

“Pi, aku pinjam mobil Papi, ya?” kata Rey datar, tidak menunggu jawaban. Ia sudah memutuskan untuk mencari Anin agar maminya tidak marah lagi.

Papi Bagus menoleh, terkejut melihat anaknya. “Kamu mau ke mana? Memangnya mobil kamu kenapa?”

Rey menghentikan langkah. “Aku mau nyariin si songong, Pi. Mobil aku kan dibawa dia,” jawabnya sinis. Ia merasa Anin adalah beban.

Papi Bagus tidak suka dengan sebutan itu. Ia merasa Rey tidak menghormati istrinya.

“Suka atau enggak, dia udah jadi istrimu!” Papi Bagus marah, berdiri dari sofa. Ia ingin Rey sadar akan tanggung jawabnya.

“Iya istri… istri songong.” Rey berucap sambil berjalan keluar, membuka pintu dengan kasar.

Tepat saat Rey sampai di pintu utama, Anin lebih dulu membukanya. Anin baru pulang dari pasar, membawa banyak belanjaan di tangannya.

“Oh, Kak Rey, mau nyambut aku pulang, ya?” tanya Anin sumringah.

Rey terkejut. Namun, sedetik kemudian, ia memasang wajah tidak bersahabat.

“Nyambut gundulmu,” sahut Rey dingin. Ia berbalik, hendak masuk, tapi Anin menahannya.

Anin menarik tangan Rey. “Tunggu dulu, ada yang ingin aku tanyakan.”

“Apalagi?!” tanya Rey kesal, melepaskan tangan Anin dengan kasar.

“Yaelah, sok jual mahal banget.” Anin berkata sinis. “Aku akan memastikan kalau kamu bakal bertekuk lutut, mengemis cinta padaku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 155

    Beberapa minggu kemudian. “Sayang, perutmu besar banget.” Rey mengusap-usap perut sang istri.“Anak kita ‘kan dua,” jawab Anin, “Mama katanya mau ke sini. Dia mau nginep.” Anin mengusap-usap rambut sang suami yang sedang menempelkan kepala di perutnya.“Mereka gerak, Sayang. Mereka tahu aroma tubuh ayahnya yang ganteng ini,” ucap Rey sambil memegang perut Anin yang bergerak.“Mereka nggak mau dekat ayahnya yang bau belum mandi,” ucap Anin sambil memencet hidungnya.“Nggak mandi juga udah ganteng bingit,” sahut Rey sambil mencolek hidung sang istri.“Sudah sana mandi dulu!” Anin mendorong pelan suaminya untuk menjauh.“Entar dulu, Sayang. Aku ‘kan habis olahraga, masih keringetan.” Rey kembali mendaratkan bibirnya di perut sang istri.“Emangnya kamu nggak kerja?” tanya Anin sambil melirik jam dinding di hadapannya.“Mulai hari ini sampai kamu lahiran, aku kerja di rumah,” jawab Rey sambil tersenyum.“Masih seminggu lagi,” jawab Anin, “Terus kalau ada meeting gimana?” imbuhnya.“Itu ur

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 154

    “Ada apa ini?” Rey bertanya, mendorong badannya menembus kerumunan orang yang memadati pintu depan.Anin berlutut di sebelah seorang pria. “Vin, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Anin, suaranya bergetar saat melihat goresan merah memanjang di lengan pria itu.“Ini ada apa, Sayang? Arvin kenapa?” Rey segera menghampiri. Matanya menyapu sekitar. Di sana, Beny terlihat sedang menggenggam erat pergelangan tangan seorang wanita. Tanpa basa-basi, Beny menarik lengan wanita itu ke belakang, lalu dengan cepat mengikatnya dengan tali.“Maaf, Bos, saya telat,” ucap Beny, napasnya memburu, raut wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam.“Bawa dia ke kantor polisi!” perintah Rey, suaranya dingin dan tegas.“Seperguruan nih sama Cintya,” ujar Rizky sambil menunjuk Momoy yang kini terikat.“Cintya siapa, Bang?” tanya Tyas, matanya membesar penuh rasa penasaran.Rizky terlihat gelagapan. “Nanti aku cerita, tapi sekarang aku mau bawa dulu nih kuntilanak ke kantor polisi.” Rizky segera mengalihkan perhat

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 153

    Beberapa hari kemudian, Rey mengadakan syukuran rumah barunya. Semua tampak takjub melihat rumah baru Rey dan Anin.“Sayang, apa semua karyawanmu bakal datang ke sini?” tanya Anin.“Ya nggaklah, Sayang. Yang di sini aja yang aku undang, itu pun ada yang nggak bisa hadir,” jawab Rey, tangannya mencubit gemas pipi sang istri yang semakin membulat.“Iya, maksud aku juga gitu. Pegawai kantormu yang di sini.” Anin menepis tangan sang suami dari pipinya. “Sakit, tahu,” ucap Anin sambil mengusap-usap pipinya yang memerah.“Aku suka banget dekorasi rumahnya. Apalagi kamar ini.” Anin mengedarkan pandangan, matanya menyapu setiap sudut kamar yang terasa baru.“Biar kamu betah di kamar,” sahut Rey. Ia mendekat dan mengecup bibir Anin, hanya sekelebat.“Ih, Kak Rey!” protes Anin, bibirnya mengerucut. “Kok sebentar doang,” lanjutnya, wajahnya bersemu merah.Rey tertawa terbahak-bahak, suara tawanya mengisi ruangan. Ia memegang dagu Anin, menarik wajah itu mendekat, lalu kembali menempelkan bibirny

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 152

    “Apaan sih, Yang? Ngagetin aja!” sahut Anin. Gigitan buah kedondong muda yang separuhnya sudah masuk ke mulut mendadak terhenti.“Cuci dulu!” titah Rey. Ia melangkah cepat menghampiri sang istri.“Ini udah di cuci,” jawab Anin. Matanya kembali menatap kedondong, lalu ia melanjutkan makannya dengan gerakan rahang yang lahap.“Kamu belum makan.” Rey mengambil buah kedondong yang tinggal sepotong dari tangan istrinya.“Ini lagi makan,” jawab Anin, bibirnya maju beberapa senti karena kedondongnya dirampas sang suami.Bi Inah datang menghampiri Rey. “Den, ini kopinya sama pisang goreng. Bibi juga buatin buat Non Anin, Non Tyas, dan Den Rizky.”“Iya, Bi, terima kasih. Taruh aja di meja sana.” Rey menunjuk meja bundar di bawah pohon mangga.“Iya, Den,” jawab Bi Inah.“Mami bawa masuk ya buahnya.” Mami Riyanti masuk, tangannya menenteng keranjang anyaman penuh buah-buahan yang baru saja mereka petik.“Iya, Mi,” jawab Anin dan Tyas serentak.“Sayang, ayo kita duduk dulu.” Rey menarik lembut pe

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 151

    "Kamu kenapa, Rey? Seperti habis kesetrum?" Mami Riyanti bertanya, matanya melebar tak percaya melihat penampilan putranya. Rambut Rey mencuat ke segala arah, tak beraturan seperti sarang singa jantan yang marah."Gara-gara si Momoy." Rey menggumam, suaranya terdengar jengkel. Ia melewati sang Mami tanpa menoleh sedikit pun dan langsung menghilang ke dalam kamar mandi."Kapan si Momoy datang ke sini?" Mami Riyanti meninggikan suara, namun yang didapat hanya keheningan dari balik pintu kamar mandi. Mami Riyanti mendengus kesal. Ia melangkah masuk, menggerutu pelan, "Tidak sopan! Masa Maminya ditinggal begitu aja."Ia menghampiri ranjang, di mana Anin masih terlelap. Mami Riyanti tersenyum hangat, menatap wajah menantunya yang damai. Terima kasih ya Allah, sudah mengirimkan bidadari ke dalam keluargaku, batin Mami Riyanti, sambil mengusap lembut rambut Anin.Anin mengerjap, kelopak matanya terasa berat. Ia menyipitkan mata, mencoba fokus pada sosok di sampingnya. "Mami," suaranya serak,

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 150

    Anin memasuki rumah, ia langsung merebahkan tubuhnya ke kasur. Sebuah helaan napas panjang yang terdengar berat keluar dari bibirnya. Baru saja ia dan Rey, suaminya, pulang setelah berkeliling kota demi mengantar undangan syukuran rumah baru mereka, dimulai dari kediaman Arvin."Bersih-bersih dulu," suara Rey tegas. Ia mendekat, meraih tangan Anin, lalu dengan lembut membantu istrinya duduk. "Setelah itu baru tidur.""Kak, aku capek banget, please, lima menit aja, mau rebahan dulu," rengek Anin, suaranya melengking manja. Sejak kehamilan ini, energi Anin seolah menguap, bahkan rutinitas seperti mandi pun sering ia lewatkan, puas dengan hanya sekali sehari.Rey menggeleng kecil, namun senyum geli tak bisa ia sembunyikan. Tanpa banyak bicara, ia mengangkat tubuh Anin. Ia menurunkannya tepat di depan wastafel kamar mandi. Setelah Anin mencuci muka dan menggosok gigi, Rey menyentuh kancing-kancing blus istrinya, membukanya satu per satu. Ia kembali menggendong Anin yang kini hanya dibalut

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status