Share

Bab 4

Author: Nyi Ratu
last update Last Updated: 2025-09-10 18:53:03

"Siap enggak siap, kalian sudah sah jadi suami istri," sahut Tyas.

"Nin, Kakak pulang dulu. Sekalian mau antar Tyas." Mahendra memeluk dan mencium Anin. "Gadis kecilku sudah jadi istri orang, jangan nakal ya, Sayang," katanya, mencubit hidung mancung Anin.

"Ya sudah, Nin, aku pulang ya!" Tyas kembali memeluk Anin.

Setelah Mahendra dan Tyas pulang, Anin dan Rey memasuki kamar pengantin.

"Kak Rey, aku mandi duluan ya!" Anin segera masuk ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, Anin keluar hanya dengan handuk yang melilit tubuhnya. Rambutnya yang basah digulung, memperlihatkan bahunya yang mulus. Rey menelan ludah. "Apa aku bisa menahan diri jika satu kamar dengannya?"

   

"Kenapa ngelihatin aku kayak gitu?" tanya Anin, melepas handuk dari kepala dan mengibaskan rambutnya yang masih basah.

"Nggak apa-apa." Rey buru-buru masuk kamar mandi, cemas tergoda pesona Anin. Meskipun tidak ada perasaan pada istrinya, dia laki-laki normal. Melihat Anin setengah telanjang di depannya, wajar jika hasratnya muncul.

Anin tidak ambil pusing. Setelah berganti baju, ia langsung merebahkan diri. Acara pernikahan dadakan itu benar-benar menguras tenaga dan emosinya.

Beberapa menit kemudian, Rey keluar dari kamar mandi dan mendapati Anin sudah pulas.

"Cantik sih cantik, tapi tidurnya udah kayak kebo." Rey menggerutu dalam hati. Ia bingung mau tidur di mana, melihat Anin sudah merentangkan badan hingga memenuhi ranjang. "Cewek kok nggak ada femininnya."

Rey akhirnya mengalah, tidur di sofa. Tapi hingga tengah malam, matanya tak mau terpejam. Frustrasi, ia menghampiri Anin dan membetulkan posisi tidur istrinya. Ia meletakkan guling di antara mereka, menjaga jarak. Ia tidak ingin menyentuh Anin sebelum ada cinta di antara mereka.

Rey memejamkan mata, berharap bisa tidur nyenyak di kasurnya yang empuk. Namun, baru satu jam terlelap, kaki Anin sudah melingkar di perutnya. Ia kesal sekali. Istrinya ini tidur tidak bisa diam.

"Duh, cewek ini tidur nggak bisa tenang, ya?" Rey bangun, mendorong kaki Anin dengan kesal.

Rey sangat jengkel. Ia merapatkan tangan dan kaki Anin, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut. Berharap Anin bisa tidur tenang tanpa mengganggunya lagi.

Ia kembali mencoba memejamkan mata, namun lagi-lagi terbangun karena wajahnya terkena pukulan Anin.

"Astaga, dosa apa aku di masa lalu, sampai dapat istri kayak gini?" Rey mengacak-acak rambutnya, frustrasi karena tidak bisa tidur padahal tubuhnya sudah sangat lelah. Akhirnya, ia pasrah dan tidur di lantai beralaskan selimut.

"Aww!"

Matahari masih malu-malu menyembul, tapi suara Anin dan Rey sudah memecah keheningan pagi. Anin terjatuh dari tempat tidur dan menimpa Rey yang tidur di lantai. Posisinya tepat di atas tubuh Rey.

"Bangun!" bentak Rey kesakitan. "Dasar istri pembawa sial! Hidupku nggak akan pernah tenang selama kamu masih di rumah ini."

Anin yang masih kaget bukannya bangun, malah duduk di area terlarang milik Rey. "Dasar suami nggak tahu bersyukur. Di luar sana banyak laki-laki yang ngantri pengin nikahin aku. Cuma laki-laki nggak normal kayak kamu yang nggak tertarik sama cewek secantik aku."

"Apa maksudmu nggak normal?" Rey tambah emosi.

"Kamu belok!" Anin berkata sambil memelotot.

"Aku laki-laki normal," kata Rey. "Aku nggak belok!"

"Masa sih?" Anin tersenyum nakal. "Coba aku lihat, kamu kalau kencing lurus atau nggak?"

"Dasar siluman mesum! Cewek kok bisa ngomong kayak gini." Rey memukul paha Anin dengan keras. "Cepat bangun!" bentaknya lagi.

"Sakit, tahu!" Anin mengusap-usap pahanya yang terekspos karena gaun tidurnya tersingkap.

"Aku juga sakit! Kamu kira badanmu kecil?" Rey mendorong Anin, tapi wanita itu tidak mau beranjak.

"Bentar Kak, nyawaku belum kumpul," jawab Anin sambil menguap.

"Ini apaan Kak yang keras? Kayak ada yang mengganjal," tanya Anin polos sambil meraba-raba benda keras yang mengganggu duduknya.

"Jangan dipegang!" Rey menepis tangan Anin, lalu mendorongnya hingga Anin terjengkang, celana dalamnya terlihat.

Rey segera bangun dan masuk kamar mandi tanpa memedulikan istrinya.

"Sial! Kenapa si Otong harus bangun sih?" gumamnya di kamar mandi. Rey langsung mandi air dingin untuk menenangkan 'si Otong'. Setelah selesai, ia keluar kamar mandi dengan kaus putih dan celana pendek selutut. Wajahnya masih terlihat tampan dan manis, meski matanya sayu karena kurang tidur.

Anin menatap suaminya tanpa berkedip. "Dia ganteng juga," batinnya.

"Kenapa lihat-lihat?" tanya Rey, memelototi istrinya.

"Siapa yang ngelihatin?" elak Anin, malu ketahuan.

"Terus tadi ngapain?" tanya Rey lagi.

"Aku punya mata, masa aku harus merem kalau ngomong sama kamu," jawab Anin, "aku cuma mau bilang, tadi Mami manggilin, kita disuruh turun sarapan." Anin masih saja berkelit. Sebenarnya tidak sepenuhnya berbohong. Mami Riyanti memang memanggil mereka saat Rey ada di kamar mandi.

"Ya udah, cepetan sana mandi!" perintah Rey sambil melempar handuk pada Anin.

"Kak Rey duluan aja, nanti aku nyusul," kata Anin sambil berlalu ke kamar mandi.

"Memangnya siapa yang mau nungguin kamu? Kurang kerjaan aja," ucap Rey sambil keluar kamar.

Rey pergi ke ruang makan untuk sarapan. Meskipun sudah mandi, lingkaran hitam di bawah matanya tidak bisa menyembunyikan rasa kantuk dan lelahnya.

Mami Riyanti yang melihat itu langsung menggoda putranya. Ia mengira Rey dan Anin sudah 'bertempur' semalaman.

"Rey, semalam habis berapa ronde?" Mami Riyanti menggoda.

"Uhuk! Uhuk!" Rey tersedak minumannya mendengar pertanyaan ibunya.

"Pelan-pelan, Sayang!" Mami Riyanti segera memberikan air putih. Ia khawatir melihat wajah anaknya memerah.

Lima belas menit kemudian, Anin keluar dari kamar, sudah berpakaian lengkap: kaus putih kebesaran hingga pundaknya terekspos, celana jeans robek, sepatu kets, dan tas kecil di bahu. Anin pun turun menuju meja makan.

"Kak Rey kenapa, Mi?" tanya Anin, langsung duduk di samping Rey. Ia heran melihat wajah suaminya memerah.

"Rey hanya tersedak," jawab Mami Riyanti. "Maaf ya, Sayang, Mami sama Rey sarapan nggak nungguin kamu dulu. Mami kira kamu nggak kuat bangun habis tempur semalam."

"Uhuk! Uhuk!" Anin tersedak mendengar ucapan mertuanya.

"Nih, minum!" Rey menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk Anin.

"Sayang, kamu mau ke mana sudah rapi?" Mami Riyanti memperhatikan penampilan Anin dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Rapi apanya? Baju kedodoran, celana sobek dipakai," gumam Rey sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.

Anin hanya melirik Rey tanpa menyahuti. "Mi, Pi, aku pergi dulu ya." Anin menyalami mertuanya.

"Kamu nggak sarapan dulu?" tanya Mami Riyanti.

"Aku lagi buru-buru, Mi," jawab Anin.

"Kak Rey, aku pergi dulu ya." Anin menepuk bahu Rey.

"Rey! Dasar istri songong, bukannya salim malah mukul," ucap Rey, kesal. "Salim!" Rey mengangkat tangannya ke arah Anin.

    

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 155

    Beberapa minggu kemudian. “Sayang, perutmu besar banget.” Rey mengusap-usap perut sang istri.“Anak kita ‘kan dua,” jawab Anin, “Mama katanya mau ke sini. Dia mau nginep.” Anin mengusap-usap rambut sang suami yang sedang menempelkan kepala di perutnya.“Mereka gerak, Sayang. Mereka tahu aroma tubuh ayahnya yang ganteng ini,” ucap Rey sambil memegang perut Anin yang bergerak.“Mereka nggak mau dekat ayahnya yang bau belum mandi,” ucap Anin sambil memencet hidungnya.“Nggak mandi juga udah ganteng bingit,” sahut Rey sambil mencolek hidung sang istri.“Sudah sana mandi dulu!” Anin mendorong pelan suaminya untuk menjauh.“Entar dulu, Sayang. Aku ‘kan habis olahraga, masih keringetan.” Rey kembali mendaratkan bibirnya di perut sang istri.“Emangnya kamu nggak kerja?” tanya Anin sambil melirik jam dinding di hadapannya.“Mulai hari ini sampai kamu lahiran, aku kerja di rumah,” jawab Rey sambil tersenyum.“Masih seminggu lagi,” jawab Anin, “Terus kalau ada meeting gimana?” imbuhnya.“Itu ur

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 154

    “Ada apa ini?” Rey bertanya, mendorong badannya menembus kerumunan orang yang memadati pintu depan.Anin berlutut di sebelah seorang pria. “Vin, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Anin, suaranya bergetar saat melihat goresan merah memanjang di lengan pria itu.“Ini ada apa, Sayang? Arvin kenapa?” Rey segera menghampiri. Matanya menyapu sekitar. Di sana, Beny terlihat sedang menggenggam erat pergelangan tangan seorang wanita. Tanpa basa-basi, Beny menarik lengan wanita itu ke belakang, lalu dengan cepat mengikatnya dengan tali.“Maaf, Bos, saya telat,” ucap Beny, napasnya memburu, raut wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam.“Bawa dia ke kantor polisi!” perintah Rey, suaranya dingin dan tegas.“Seperguruan nih sama Cintya,” ujar Rizky sambil menunjuk Momoy yang kini terikat.“Cintya siapa, Bang?” tanya Tyas, matanya membesar penuh rasa penasaran.Rizky terlihat gelagapan. “Nanti aku cerita, tapi sekarang aku mau bawa dulu nih kuntilanak ke kantor polisi.” Rizky segera mengalihkan perhat

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 153

    Beberapa hari kemudian, Rey mengadakan syukuran rumah barunya. Semua tampak takjub melihat rumah baru Rey dan Anin.“Sayang, apa semua karyawanmu bakal datang ke sini?” tanya Anin.“Ya nggaklah, Sayang. Yang di sini aja yang aku undang, itu pun ada yang nggak bisa hadir,” jawab Rey, tangannya mencubit gemas pipi sang istri yang semakin membulat.“Iya, maksud aku juga gitu. Pegawai kantormu yang di sini.” Anin menepis tangan sang suami dari pipinya. “Sakit, tahu,” ucap Anin sambil mengusap-usap pipinya yang memerah.“Aku suka banget dekorasi rumahnya. Apalagi kamar ini.” Anin mengedarkan pandangan, matanya menyapu setiap sudut kamar yang terasa baru.“Biar kamu betah di kamar,” sahut Rey. Ia mendekat dan mengecup bibir Anin, hanya sekelebat.“Ih, Kak Rey!” protes Anin, bibirnya mengerucut. “Kok sebentar doang,” lanjutnya, wajahnya bersemu merah.Rey tertawa terbahak-bahak, suara tawanya mengisi ruangan. Ia memegang dagu Anin, menarik wajah itu mendekat, lalu kembali menempelkan bibirny

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 152

    “Apaan sih, Yang? Ngagetin aja!” sahut Anin. Gigitan buah kedondong muda yang separuhnya sudah masuk ke mulut mendadak terhenti.“Cuci dulu!” titah Rey. Ia melangkah cepat menghampiri sang istri.“Ini udah di cuci,” jawab Anin. Matanya kembali menatap kedondong, lalu ia melanjutkan makannya dengan gerakan rahang yang lahap.“Kamu belum makan.” Rey mengambil buah kedondong yang tinggal sepotong dari tangan istrinya.“Ini lagi makan,” jawab Anin, bibirnya maju beberapa senti karena kedondongnya dirampas sang suami.Bi Inah datang menghampiri Rey. “Den, ini kopinya sama pisang goreng. Bibi juga buatin buat Non Anin, Non Tyas, dan Den Rizky.”“Iya, Bi, terima kasih. Taruh aja di meja sana.” Rey menunjuk meja bundar di bawah pohon mangga.“Iya, Den,” jawab Bi Inah.“Mami bawa masuk ya buahnya.” Mami Riyanti masuk, tangannya menenteng keranjang anyaman penuh buah-buahan yang baru saja mereka petik.“Iya, Mi,” jawab Anin dan Tyas serentak.“Sayang, ayo kita duduk dulu.” Rey menarik lembut pe

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 151

    "Kamu kenapa, Rey? Seperti habis kesetrum?" Mami Riyanti bertanya, matanya melebar tak percaya melihat penampilan putranya. Rambut Rey mencuat ke segala arah, tak beraturan seperti sarang singa jantan yang marah."Gara-gara si Momoy." Rey menggumam, suaranya terdengar jengkel. Ia melewati sang Mami tanpa menoleh sedikit pun dan langsung menghilang ke dalam kamar mandi."Kapan si Momoy datang ke sini?" Mami Riyanti meninggikan suara, namun yang didapat hanya keheningan dari balik pintu kamar mandi. Mami Riyanti mendengus kesal. Ia melangkah masuk, menggerutu pelan, "Tidak sopan! Masa Maminya ditinggal begitu aja."Ia menghampiri ranjang, di mana Anin masih terlelap. Mami Riyanti tersenyum hangat, menatap wajah menantunya yang damai. Terima kasih ya Allah, sudah mengirimkan bidadari ke dalam keluargaku, batin Mami Riyanti, sambil mengusap lembut rambut Anin.Anin mengerjap, kelopak matanya terasa berat. Ia menyipitkan mata, mencoba fokus pada sosok di sampingnya. "Mami," suaranya serak,

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 150

    Anin memasuki rumah, ia langsung merebahkan tubuhnya ke kasur. Sebuah helaan napas panjang yang terdengar berat keluar dari bibirnya. Baru saja ia dan Rey, suaminya, pulang setelah berkeliling kota demi mengantar undangan syukuran rumah baru mereka, dimulai dari kediaman Arvin."Bersih-bersih dulu," suara Rey tegas. Ia mendekat, meraih tangan Anin, lalu dengan lembut membantu istrinya duduk. "Setelah itu baru tidur.""Kak, aku capek banget, please, lima menit aja, mau rebahan dulu," rengek Anin, suaranya melengking manja. Sejak kehamilan ini, energi Anin seolah menguap, bahkan rutinitas seperti mandi pun sering ia lewatkan, puas dengan hanya sekali sehari.Rey menggeleng kecil, namun senyum geli tak bisa ia sembunyikan. Tanpa banyak bicara, ia mengangkat tubuh Anin. Ia menurunkannya tepat di depan wastafel kamar mandi. Setelah Anin mencuci muka dan menggosok gigi, Rey menyentuh kancing-kancing blus istrinya, membukanya satu per satu. Ia kembali menggendong Anin yang kini hanya dibalut

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status