Share

Dua Garis Merah

Bagian 4

Kai baru saja pulang dari belajar di tempat seorang guru. Sepulangnya ia ke rumah, guru wing chun itu mengajarkan pula yang ia tahu pada Nuwa. Begitu terus berlangsung dari dulu hingga Nuwa meski tidak sekolah, ia tidaklah keterbelakangan. Setidaknya untuk bahasa Inggris bisa memahami percakapan orang, bisa menjawab juga walau tidak selancar orang yang benar-benar belajar di lembaga resmi dan terpercaya.

Sudah empat bulan ini pula Kai mengajarkan istrinya bahasa Arab. Malas-malasan sebenarnya Nuwa karena pola bahasa Arab yang sangat rumit. Bahasa yang memiliki banyak turunan dan beda pengucapan beda pula artinya.

“Libur sajalah malam ini belajar bahasa arabnya. Rasanya aku tidak bertambah pintar sejak empat bulan lalu.”

“Tidak, kau sudah paham kata-kata orang. Kau hanya sedang malas saja. Ayo lanjutkan.” Kai menarik tangan Nuwa.

Wanita berusia 20 tahun itu justu meraba kantung baju suaminya. Ketemu satu buah pir besar yang sangat ranum. Lekas saja ia cuci dan bagi dua. Melihat Nuwa makan buah sangat lahap Kai berikan bagian miliknya pada perempuan yang telah lima tahun jadi pendampingnya. Ia sendiri tidak ada masalah melewatkan makan buah.

Malam semakin larut di rumah sederhana dengan satu kamar itu. Sepasang suami istri tersebut membereskan alat-alat latihan yang ada di halaman belakang. Ada pedang yang terbuat dari kayu, ada tali besar yang ujungnya batu, serta alat untuk melatih kelenturan tubuh.

Andai kata pemerintah tidak membatasi pergerakan Suku Mui, maka Kai akan menjadi seorang guru besar di usia muda dengan banyak murid. Sedangkan Nuwa sendiri, bisa menjadi atlit karena kecepatan gerakannya. Namun, untuk sementara waktu bisa bernapas tanpa tekanan saja sudah sangat bersyukur.

Keduanya tidur di atas ranjang bambu dan beralaskan tikar. Sakit di punggung karena kerasnya alas tidak terasa lagi karena sudah menjadi kebiasaan. Kai tidur membelakangi Nuwa. Lalu wanita itu memeluk erat suaminya. Ada hal yang mengganjal dan harus segera dikatakan.

“Kai, aku lupa minum pil pencegah kehamilan, sampai 23 butir. Menurutmu bagaimana?” tanya Nuwa. Yang tadinya Kai sangat letih langsung sadar sesadar-sadarnya.

“Menurutku … kita terima saja apa pun yang terjadi.”

“Kalau sampai aku hamil?”

“Ya, artinya Suku Mui tidak jadi musnah.”

“Bukan begitu, apa kita masih punya alasan untuk tinggal di desa ini?”

“Kita tidur saja dulu. Besok kita pikirkan bagaimana. Kabur juga bukan hal yang mudah. Beberapa dari kita dulu pernah mencoba tetapi selalu gagal dan berujung pada hukuman mati.”

Nuwa beringsut dari belakang tubuh Kai, dan kini sudah berada di hadapan suaminya. Sepasang insan itu tidur dalam satu selimut yang sama. Sudah lusuh dan ukurannya juga tidak terlalu besar. Namun, untuk membeli yang baru tentu banyak yang harus dipikirkan.

Pada pagi hari buta seperti biasa Kai akan berlatih terlebih dahulu. Semua dilakukan agar ia tidak lupa dengan ilmu yang diturunkan dari sang guru. Kemudian telinganya menangkap pergerakan seseorang yang sangat halus dari atas genteng rumahnya. Ketika orang itu turun, dengan mudah Kai menangkap sebelah kakinya.

“Belum bisa jadi penyusup, Nuwa. Tubuhmu sepertinya berat karena kebanyakan makan.” Kai melepaskan kaki kanan Nuwa yang lurus hampir menyentuh dadanya.

“Karena lawannya kau, coba kalau lawannya orang lain. Pasti sudah patah juga lehernya.” Wanita itu yang darah mudanya masih mudah panas, menurunkan kakinya.

Sebenarnya Nuwa sudah lama ingin adu kekuatan dengan tentara Xin Hua. Namun, yang ada nanti orang-orang di desanya akan jadi sasaran. Tidak semua penduduk di desa itu mampu melindungi diri sendiri. Dikatakan hidup, ya memang hidup, tapi perlahan-lahan akan mati dan musnah semuanya.

Kai dan Nuwa bekerja mengurus kuda seperti biasanya. Tuan Wong menanyakan perihal uang untuk membeli baju kenapa tidak digunakan. Kai mengatakan bahwa mereka lebih dahulu mengamankan urusan perut yang harus diisi setiap hari.

Beberapa tentara Xin Hua—tepatnya yang kemarin bertemu dengan Kai dan Nuwa di padang rumput, datang ke rumah Tuan Wong. Mereka menarik pajak dua kali lipat lebih banyak. Beberapa pelayan wanita disentuh dagunya oleh mereka. Saat Nuwa hampir disentuh, reflek wanita itu memutar tangan kanan tentara tersebut hingga menjerit kesakitan.

“Duel kita, satu lawan satu, aku yakin semua gigimu akan rontok dan tulangmu lepas dari daging tubuhmu.” Nuwa benar-benar memutar tangan lawannya sampai wajah tentara itu kemerahan. Lalu Kai datang dan melerai keduanya. Diikuti dengan tentara senior yang melihat keribuan tersebut.

“Sepertinya kita akan mati di sini, Kai,” bisik Nuwa perlahan pada suaminya.

“Kalau memang sudah saatnya, kita tidak akan bisa menghindar.” Kai juga tidak berniat minta maaf pada tentara Xin Hua. Namun, Tuan Wong datang dan memberikan beberapa lembar uang tambahan agar masalah tersebut dilupakan saja.

“Atur pelayanmu itu agar lebih tahu menghormati kami!” hardik tentara itu pada Tuan Wong.

“Iya, maafkan mereka. Mereka itu tidak sekolah.” Tuan Wong menambah lagi lembaran uang di kantung tentara itu. Lalu masalah dianggap selesai dan semuanya pulang.

“Gaji kalian akan aku potong 50%.” Tentu Tuan Wong tidak mau rugi atas kehilangan beberapa lembar uangnya.

Sepasang guru dan murid itu kemudian tersenyum. Ternyata gaji lebih yang diberikan di muka memiliki konsekuensi tersendiri.

“Sudah. Kita pulang saja. Jam kerja kita sudah habis.” Nuwa beranjak dan mengambil beberapa wortel yang tidak dimakan oleh kuda. Karena di waktu siang lain lagi jenis makanan untuk peliharaan Tuan Wong.

Keduanya berjalan kaki seperti biasa. Namun, Nuwa menarik tangan Kai agar pergi ke toko kemarin. Masih ada sisa uang di sakunya.

“Cari apa lagi?” tanya Kai.

“Aku penasaran. Aku ingin membeli alat test kehamilan. Supaya lebih bisa berjaga-jaga,” jawab wanita berusia 20 tahun itu. Kai pun menuruti keinginan istrinya.

“Tunggu, jangan kita yang beli. Nanti ketahuan.” Guru wing chun itu menahan tangan Nuwa.

Lalu ia memanggil seorang anak kecil dan meminta dibelikan benda yang dimaksud istrinya dengan upah sebungkus permen. Dapat, keduanya pergi tanpa mendapat intaian dari pihak tentara manapun.

“Aku tak sabar untuk mencoba. Katanya lebih baik di pagi hari. Dan ini masih siang, masih lama sekali.”

Nuwa menyimpan alat test kehamilan itu di dalam laci. Kai hanya bisa diam membisu. Jujur saja, tentu ia senang kalau sampai ada penerus garis keturunan Suku Mui. Namun, apakah waktunya tepat? Mengingat mereka semua hidup dalam teror yang luar biasa.

Saat sore tiba Kai kembali pergi belajar. Dan ketika malam ia kembali, lelaki dengan potongan rambut sangat pendek itu mengatakan bahwa keduanya mendapat undangan pernikahan kecil-kecilan saja malam ini juga. Lekas saja sepasang suami istri itu mengganti baju.

Pakaian adat Suku Mui dengan kain tenun berwarna terang. Rambu panjang Nuwa dijalin kecil-kecil, kemudian dililit satu sama lain. Di bagian kepala ia berikan topi kecil yang sesuai dengan tubuh perempuan. Pakaian Kai juga sama, hanya saja topi yang ia pakai ukurannya jauh lebih besar.

Meski hanya dalam penerangan lilin saja. Pesta pernikahan itu berlangsung sangat khidmat. Pengantin yang sedang berbahagia itu sama saja nantinya. Tidak akan boleh punya anak sampai kapan pun.

Ragam makanan adat Suku Mui disajikan di atas meja. Tidak ada arak atau minuman memabukkan lainnya. Semuanya makan dalam diam agar suara mereka tidak menimbulkan rasa ingin tahu, andaikata petugas tiba-tiba patroli dari luar.

Pesta yang berlansung sampai malam itu mengundang beberapa perempuan termasuk Nuwa untuk melakukan atraksi ringan. Istri Kai berjalan di atas seutas tali besar dengan membawa mangkok kaca di atas kepala dan tidak jatuh sampai di ujung tali. Lumrah bagi perempuan Suku Mui untuk melakukan itu. Sebab postur tubuh mereka yang sudah dilatih untuk lentur dari kecil.

Kemudian pesta berlanjut dengan beberapa tarian adat. Kai dan Nuwa menari bersama sambil memutar. Lalu ketika musik sudah berhenti setangkai mawar merah diberikan pada wanita itu. Pesta pernikahan yang tadinya sepi jadi sedikit meriah.

“Sepertinya yang jadi pengantin tadi itu kita, bukan mereka,” ujar Nuwa dengan rona wajah bahagia ketika di jalan akan pulang.

“Kau selau bersemangat kalau ada atraksi. Mungkin kalau tidak dibatasi pemeritah kau pasti sudah terbang ke sana sini mengasah kemampuanmu.” Kai melirik istrinya yang tersenyum lebar. Lelaki itu mengerti jiwa muda Nuwa yang masih sangat membara.

Malam berlalu sangat panjang bagi Nuwa. Suaminya sendiri sudah tidur dari tadi. Wanita bermata kelam itu memandang jarum jam yang terus berjalan dari detik menjadi menit kemudian berubah menjadi beberapa jam kemudian.

Tepat di pukul 04.00 pagi, tanpa tidur sehari semalam, Nuwa bangkit dari kasur dan mengambil alat uji kehamilan di dalam laci. Ia coba di dalam kamar mandi. Detik demi detik yang berlalu sangat lama. Kemudian, dua garis merah tertera di alat tersebut. Nuwa menarik napas panjang. Perasaannya kini antara senang, lega, sekaligus takut.

“Tidak apa-apa. Itu takdir yang tidak bisa kita tolak lagi. Pasti ada maksud dibalik semuanya.” Kai baru saja diberi tahu berita gembira dari istrinya. “Tapi jangan sampai Tuang Wong dan tentara itu tahu, Nuwa. Bisa digugurkan langsung kandunganmu.”

“Jadi kita tidak periksa sama sekali?” tanya wanita yang masih menatap alat uji kehamilan tersebut.

“Dan kita akan langsung tertangkap. Berdoalah, agar anak kita baik-baik saja dan bisa menjadi penerus Suku Mui yang jumlahnya semakin sedikit.”

“Aaaminn,” jawab Nuwa atas doa suaminya.

Keduanya beranjak, bermaksud meneruskan aktifitas di pagi hari. Namun, saat Nuwa baru ingin menghidupkan tungku kayu. Rumahnya disambangi oleh tentara Xin Hua.

“Tangkap wanita itu. Dia menyiksa tentara kita siang kemarin!” tunjuk pejabat pemungut pajak yang ada di rumah Tuang Wong siang tadi. Ternyata beberapa lembar uang tidak cukup sebagai penutup mulut.

Pinggang Nuwa hampir disentuh oleh tiga orang tentara. Kai datang dan memutar tangan nakal tersebut hingga bunyi gemeratakan terdengar. Gerakan yang lebih menyakitkan daripada yang dilakukan Nuwa siang tadi.

“Tangkap keduanya. Lemparkan ke penjara. Hancurkan rumah ini.” Perintah sudah turun. Kurang lebih ada dua puluh tentara Xin Hua yang datang untuk menangkap dua orang guru dan murid itu.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status