Mobil Toyota Alphard dan Mercedes-Benz terpakir di halaman rumah keluarga Hadiwijaya.Pak Setya sedang berdiri di depan mobil Alphard, menunggu kedua majikan kecilnya muncul dari dalam rumah.Tak lama berselang, Chandra dan Tya yang sudah rapi dalam balutan seragam sekolahnya, berjalan dengan riang menuju teras depan rumah.Mereka didampingi oleh kedua orang tua, oma, dan babysitter barunya."Chandra, Tya, belajar yang rajin ya. Jangan nakal di sekolah," ujar Manda mengusap lembut kepala kedua anaknya."Iya, Ma," jawab si kembar hampir bersamaan. Kemudian mereka mengecup punggung tangan mamanya."Have fun at school." Arman memeluk hangat kedua anaknya."Okay, Pa," si kembar membalas pelukan Arman.Chandra dan Tya menghampiri Nyonya Adele untuk mengecup punggung tangannya."Cucu Oma yang cantik dan ganteng," puji Nyonya Adele sembari memeluk kedua cucunya.Setelah selesai berpamitan, Chandra dan Tya segera menghampiri mobil yang akan mereka tumpangi."Nyonya, saya berangkat dulu mengan
Namaku Amanda Kusumo. Umurku 19 tahun. Aku anak pertama dari 3 bersaudara. Bapakku bernama Wirjo Kusumo dan ibuku bernama Ningsih. Aku memiliki 2 adik laki-laki bernama Surya dan Adi. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana dengan luas 90 m2. Rumah ini adalah rumah warisan dari Simbah.Di halaman belakang rumah yang tidak terlalu luas, Bapak beternak ayam petelur. Telur-telur yang dipanen sebagian dijual ke pasar dan sebagian lagi ditetaskan. Selain beternak di rumah, Bapak juga mengabdi di sebuah Sekolah Menengah Pertama sebagai seorang guru.Ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Di tengah kesibukan mengurus rumah dan keluarga, ibu juga membuka warung kelontong kecil di depan rumah.Adikku Surya seorang siswa Sekolah Teknik Mesin kelas 1, sementara Adi masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar.Setahun yang lalu, aku lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan jurusan tata boga. Jurusan ini sesuai dengan hobiku ya
"Assalamu'alaikum," ucapku ketika memasuki rumah bersama Adi"Wa'alaikumsalam," sahut dari dalam rumah."Ini anak saya yang pertama, Amanda," ujar Bapak memperkenalkan.Di ruang tamu berkumpul Bapak, Ibu, Surya dan 3 orang tamu yang belum aku pernah temui. Seorang wanita tua yang mungkin berumur sekitar 60 tahunan, duduk berdampingan dengan seorang wanita muda. Lalu di kursi satunya lagi, duduk sendirian seorang pria muda. Gaya pakaian mereka terlihat seperti orang kota yang kaya. Mewah tapi tidak norak."Nda, ayo salim," ucapan Bapak membuyarkan perhatianku. Aku mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan wanita tua ini."Anakmu cantik, Wirjo," pujinya yang seketika membuatku tersipu malu."Bu Rosa bisa saja," ujar Bapak sembari tertawa kecil.Ooh, jadi namanya ibu Rosa. Apa dia yang dipanggil Adi dengan sebutan Nenek? batinku."Itu
Rasa penasaran Ayu belum juga hilang. Aku masih diinterogasinya soal Nenek Rosa dan keluarganya. Aku sudah menceritakan semua tentang mereka sebatas yang aku tahu saja. Tapi dasar Ayu. Penjelasanku belum cukup memuaskan keingintahuannya."Nda! Lihat ini!" pekik Ayu yang mengagetkanku. Aku sampai tersedak es teh yang sedang aku minum. Ayu memperlihatkan artikel online di ponselnya."Apaan sih, Yu! Basah nih bajuku," gerutuku sambil menunjuk bajuku yang terkena tumpahan teh."Ini lho. Udah ketemu. Ini kan orangnya?"Aku melihat foto di artikel online itu. Dibawah foto tersebut, tertulis nama Hendra Hadiwijaya, Presdir Wijaya Group."Ini bukan?!" tanya Ayu dengan antusias."Gak tahu," jawabku santai. Aku mengambil tissue untuk membersihkan bajuku yang basah."Lho kok gak tahu?""Gak tahu, Ayuuuuu. Nenek Rosa gak memperli
Karena pernyataan cinta Mas Bram, membuatku tidak bisa tidur nyenyak semalam. Aku memikirkan jawaban apa yang harus kusampaikan padanya. Sebenarnya aku senang sekali karena ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.Aku meminta pendapat Ayu tentang masalahku ini. Ayu sangat girang mendengarnya. Dia menyuruhku untuk menerima Mas Bram."Apa aku pantas untuk Mas Bram?" tanyaku dengan ragu."Ya ampun, Nda. Apanya yang gak pantas?! Kalau Mas Bram sudah bilang suka, berarti dia pikir kamu pantas untuknya,""Tapi ....,""Gak ada tapi-tapian! Terima, Nda. Atau nanti kamu akan menyesal," desak Ayu.Setelah berpikir panjang, akhirnya aku memutuskan untuk menemui Mas Bram. Sehari sebelum dia kembali ke Yogya, kami janjian bertemu di alun-alun. Kami duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Dan di sanalah, aku menerima cinta Mas Bram.***
Malam itu di dalam kamarku, aku memberanikan diri untuk menelpon Mas Bram. Aku mendengar suara dering telpon menyambung. Belum ada jawaban. Apa Mas Bram sudah tidur? Tapi sekarang masih jam 8 malam. Apa iya sudah tidur?Tut ... tut ... tut ... sambungan telpon terputus. Tidak ada jawaban. Mungkin dia sudah tidur. Apa besok saja aku menelponnya? Apa aku harus coba sekali lagi? Iya, akan kucoba sekali lagi.Kembali kudengar suara dering telpon menyambung, "1 ... 2 ... 3 ...," aku mulai menghitung dalam hati."Halo?""Halo, Mas Bram?" jantungku seketika berdegup kencang mendengar suaranya."Maaf baru Mas angkat telponnya, Nda. Barusan Mas di luar kamar,""Iya, Mas. Gak papa. Aku ... ganggu gak, Mas?" jawabku sembari duduk di atas ranjangku"Gak, Nda. Ada apa?""Anu ... gini, Mas. Ada yang mau ... Manda bicarakan,"
Seminggu setelah Bapak memberikan kabar baik pada Pak Hendra, mereka sekeluarga datang lagi ke rumah untuk melamarku. Bapak dan Ibu mengundang keluarga besar kami untuk menyambut kedatangan Pak Hendra sekeluarga.Aku berada di dalam kamarku bersama Ayu dan sepupuku, Mba Dian. Hari ini aku didandani oleh Mba Dian. Dia merias wajahku dan menyanggul rambutku. Aku mengenakan baju gamis warna pink dengan hiasan brokat. Kebetulan Mba Dian adalah perias pengantin. Dia memberikan jasa makeup gratis untuk acara lamaranku dan juga di hari pernikahan. Kata Mba Dian, ini adalah hadiah pernikahan yang bisa diberikannya. Alhamdulillah terima kasih, Mba Dian.Aku bisa mendengar suara gelak tawa orang-orang dari balik pintu. Apa salah satu suara tawa itu milik Arman? Sebelumnya aku hanya melihat wajahnya di foto dan hari ini kami akan bertemu.Ibu masuk ke dalam kamarku. Ibu membawaku keluar untuk menemui para tamu. Di ruangan yan
Malam pun tiba. Aku sudah berganti pakaian dan menghapus riasanku. Aku hanya memoles wajahku dengan riasan yang ringan saja. Rambut panjangku sengaja ku urai. Baju tidur yang kukenakan adalah hadiah lamaran waktu itu. Baju tidur kimono berbahan sutra yang terkesan sangat mahal. Dan rasanya baju tidur ini terlihat sangat seksi. Aku tidak nyaman memakainya. Roknya terlalu pendek. Bagian bahu dan dadanya terbuka. Awalnya aku menolak memakainya, tapi Ibu memaksaku.Aku duduk di atas ranjangku yang dibungkus dengan sprei sutra berwarna putih tulang. Aku menunggu dengan gelisah di dalam kamar. Menunggu Mas Arman yang akan masuk ke sini. Membayangkan apa yang akan terjadi padaku malam ini, membuat pipiku merah merona.Tok ... tok ... suara pintu kamarku diketuk. Gagang pintu dibuka pelan. Mas Arman! Dia di sini. Seketika jantungku berdegup kencang. Keringat dingin membasahi badanku. Aku tidak berani menatapnya. Aku menundukkan kepalaku.&nbs