Aku keluar dari kamar Nenek ketika berpapasan dengan Mama mertuaku.
"Sedang apa?" tanyanya dengan nada sedikit ketus.
"Abis mengantarkan Nenek buat istirahat siang, Ma," jawabku.
"Ikut Mama. Ada yang mau Mama bicarakan," perintahnya.
Aku mengangguk dan mengikutinya. Mama Andien duduk di sofa ruang keluarga. Aku berdiri menunggunya bicara.
"Kenapa berdiri? Duduk," perintahnya.
Aku segera menurutinya. Aku takut pada Mama mertuaku ini. Sejak pertama kali kami bertemu, Mama Andien tidak pernah menunjukkan sikap ramah padaku.
"Besok Nenek mau mengadakan acara makan siang dengan tetangga di sini. Mama juga mengundang beberapa teman Mama. Nenek ingin memperkenalkanmu pada mereka,"
Aku diam dan hanya mendengarkan Mama Andien bicara.
"Mama hanya ingin memperingatkanmu. Mereka yang diundang ini adalah para tamu dari kalangan berada. Jadi mereka adalah tamu yang penting. Mama harap kamu bisa jaga sikap dan bicaramu di depan mereka. Jangan membuat malu keluarga. Paham?" ujar Mama dengan tegas.
"Iya, Ma," aku mengangguk.
"Mama bicara seperti ini, karena kamu dari kampung. Keluarga kita juga berbeda strata sosialnya. Kamu beruntung bisa menikah dengan Arman. Jadi, hargai apa yang kamu miliki sekarang. Mengerti?" ucap Mama dengan nada yang sinis.
Aku hanya mengangguk.
"Mama mau pergi. Jika Nenek bertanya, katakan Mama pergi arisan," Mama Andien beranjak dari duduknya.
"Iya, Ma," jawabku lirih.
Lalu Mama Andien pergi meninggalkanku. Ucapan Mama Andien tadi menyakiti perasaanku. Tega sekali dia merendahkan keluarga besannya. Aku harus menahan diri karena dia mama mertuaku. Bagaimanapun juga aku harus menghormatinya. Semoga suatu saat aku bisa mengambil hatinya.
***
Kak Tamara sengaja datang hari ini untuk membantuku. Dia mengatur pakaian yang aku pakai, merias wajahku dengan makeup yang natural, dan mengajariku cara menghadapi para tamu penting itu. Sejujurnya aku tidak pintar merias wajah. Alat makeup yang biasa aku pakai hanya bedak dan lipstik saja.
"Cantik," puji Kak Tamara setelah selesai meriasku, "Tanpa makeup pun, sebenarnya kamu sudah cantik lho, Nda. Wajahmu halus dan bersih. Tak ada jerawat satupun. Kamu pintar ya merawat wajah,"
"Kak Tamara bisa saja. Biasa saja kok mukaku," ujarku merendah.
"Sebaiknya kita ke bawah. Sebentar lagi para tamu akan datang," ajak Kak Tamara.
"Kak, aku takut. Gimana kalau aku membuat malu?"
"Jangan takut. Santai saja. Ada Kakak di sini," ujar Kak Tamara menenangkanku.
***
Para tamu mulai berdatangan. Mama mertua, aku, dan Kak Tamara menyambut mereka satu per satu. Para tamu yang diundang hanya perempuan saja.
Meja panjang ditata di halaman belakang rumah. Meja yang beralaskan taplak kain putih dengan berbagai menu sajian di atasnya. Para tamu sudah duduk di kursi mereka masing-masing.
Aku dan Kak Tamara menggandeng Nenek untuk bergabung dengan kami semua. Para tamu berdiri memberi hormat pada Nenek. Nenek menyalami para tamu dari tempat duduknya.
"Terima kasih sudah meluangkan waktu datang kemari," ucap Nenek dengan senyum hangatnya.
"Sama-sama, Bu Rosa," jawab salah satu tamu, "Bu Rosa, apa kabar?"
"Alhamdulillah saya baik," jawab Nenek, "Ayo, silakan duduk semuanya," Nenek mempersilakan para tamu. Aku duduk di samping Kak Tamara
"Sebelum makan siang dimulai, saya ingin memperkenalkan istrinya Arman. Namanya Amanda Kusumo," ucap Nenek.
Aku mengangguk dan menyalami para tamu dengan sopan.
"Menantunya cantik, Bu Rosa," puji tamu itu.
"Manda, ini Bu Mayang. Dia tetangga dekat kita," Nenek memperkenalkan.
"Salam kenal, Bu Mayang,"
"Manda masih muda ya. Berapa usianya?" tanyanya.
"19 tahun, Bu,"
"Seumuran anak saya. Kapan-kapan main ke rumah ya. Kenalan dengan anak saya,"
"Iya, Bu Mayang. Nanti saya sempatkan main ke sana,"
"Manda berasal darimana?" tanya tamu lainnya.
"Dari Purworejo, Bu,"
"Dari kampung halaman saya. Nenek Manda adalah sahabat saya," ujar Nenek menimpali.
"Papa Manda bekerja di mana?" tanya tamu lainnya.
Aku melihat ke arah Mama Andien sebelum menjawab pertanyaan itu. Ekspresi Mama Andien terlihat tak suka dengan pertanyaannya.
"Bapak ... Bapak seorang guru SMP,"
Para tamu saling berpandangan ketika mendengar jawabanku. Sepertinya tidak sesuai dengan ekspektasi mereka.
"Profesi seorang guru bukannya mulia, Bu? Tidak mudah menjadi guru. Harus sabar mengajar anak-anak. Kita sendiri belum tentu sanggup sesabar itu. Iya, kan?" Kak Tamara membelaku. Beberapa tamu mengangguk setuju.
"Usia 19 tahun biasanya usia kuliah. Manda masih kuliah atau berhenti kuliah karena menikah?"
"Hmm ... Manda tidak kuliah. Manda hanya lulusan SMK," jawabku.
Beberapa mata mulai menatapku dengan remeh. Aku bisa melihat mereka saling berbisik. Aku tidak berani memandang Mama Andien. Dia pasti kesal padaku. Aku hanya menunduk malu. Tiba-tiba tangan Kak Tamara menggenggam tanganku. Dia tersenyum padaku. Walau tidak berkata, tapi senyuman Kak Tamara menenangkan hatiku.
"Kita akan mengobrol lagi nanti. Sebaiknya kita makan sebelum masakannya dingin," ajak Nenek.
Setidaknya sekarang aku terselamatkan dari pertanyaan-pertanyaan para tamu yang membuatku gelisah.
***
"Mama sudah bilang pada Ibu, tidak perlu membuat acara perkenalan menantu,"
Tidak sengaja aku mendengar pembicaraan Mama dan Kak Tamara di ruang keluarga. Aku berdiri di balik dinding, mencoba mendengar lebih jelas.
"Sekarang semua teman Mama pasti menertawakan Mama di belakang," ucap Mama Andien dengan kesal.
"Mama gak perlu mempedulikan omongan mereka," Kak Tamara mencoba menasehati.
"Bagaimana bisa Mama tidak peduli? Anak itu sudah membuat malu saja. Kenapa harus mengatakan kalau bapaknya seorang guru, dia lulusan SMK, dulu bekerja di pabrik kecil ... apa dia tidak bisa berbohong saja?!"
"Ma, apa salahnya berkata jujur?"
"Salah. Tentu saja salah! Jangan membelanya terus, Tamara. Seharusnya kamu kasihan sama Mama, sama Arman. Putraku yang malang. Kenapa dia harus punya istri yang seperti itu? Seharusnya dia menikah dengan wanita yang sederajat dengan kita. Jika bukan karena Ibu yang memaksa ....,"
Ucapan Mama Andien membuatku terperanjat. Apa ini? Paksaan? Mas Arman terpaksa menikahiku?
"Ma, jangan bicara seperti itu. Nanti Manda bisa dengar," bisik Kak Tamara.
"Biarkan saja dia mendengar. Mama tidak peduli,"
Aku bisa mendengar langkah kaki Mama Andien mendekat ke arahku. Aku bergegas bersembunyi di tempat lain. Setelah Mama Andien menjauh, aku keluar dari persembunyianku. Aku melihat Kak Tamara masih berada di ruang keluarga.
"Kak ... ?" panggilku lirih.
"Manda?" Kak Tamara terlihat kaget melihatku.
Aku tidak bisa menahan tangisku. Aku berlari memeluk Kak Tamara.
***
"Jangan diambil hati omongannya Mama. Mama sedang emosi tadi," Kak Tamara membawaku ke kamar. Dia mencoba menenangkanku yang masih menangis.
"Kak, apa benar yang dikatakan Mama? Mas Arman ... terpaksa menikahiku?"
"Tidak, Manda ...,"
"Kak, tolong jangan bohong. Aku bisa merasakan ada yang aneh dengan sikap Mas Arman padaku. Aku coba untuk menyangkal prasangka burukku. Tapi setelah mendengar pembicaraan Mama, aku jadi ragu dengan pernikahan ini. Kak, Manda mohon. Katakan yang sebenarnya," pintaku memelas.
Kak Tamara menghela nafas panjang. Dia membelai rambutku dengan lembut, layaknya belaian seorang ibu.
"Pernikahan ini ... memang keinginan Nenek. Setelah kami berkunjung ke rumahmu, Nenek jatuh hati padamu, Nda. Nenek menyukaimu. Menurut Nenek, kamu pantas menjadi istri Arman. Papa tidak membantah keinginan Nenek, sedangkan Mama menolak pernikahan ini,"
"Mas Arman? Apa dia menyetujuinya?"
"Arman sangat menyayangi Nenek. Dia tidak mau membuat Nenek sedih. Karena itu, Arman menuruti permintaan Nenek,"
"Artinya ... Mas Arman terpaksa?"
"Nda ... Kakak yakin pernikahanmu dan Arman akan baik-baik saja. Arman orang yang bertanggung jawab,"
Aku sedih dan kecewa mengetahui kebenaran ini. Pantas saja sikap Mas Arman dingin padaku. Dia menikah bukan karena keinginannya. Hanya demi kebahagiaan Nenek, dia terpaksa menerima hubungan ini. Bagaimana denganku? Bagaimana dengan kebahagiaanku?
***
Hari-hari berlalu sejak aku tahu kebenaran di balik pernikahanku ini. Sekarang aku menerima nasibku, sebagai istri yang tidak diinginkan oleh Mas Arman. Sejak kepulangan Mas Arman ke Amerika, dia tidak pernah menghubungiku. Sedih dan kecewa sudah pasti kurasakan. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak mungkin minta cerai. Aku tidak mau membuat sedih orang tuaku dan Nenek Rosa. Aku akan mencoba mempertahankan pernikahan ini.
Aku juga belajar menyesuaikan diri dengan keluarga suamiku. Hubunganku dengan Nenek Rosa, Papa Hendra, Kak Daniel, dan Kak Tamara sangat baik. Mereka menyayangiku. Sedangkan Mama Andien, belum menerimaku sebagai menantunya. Sikapnya selalu dingin padaku. Sebaik apapun aku mencoba mendekatinya, Mama selalu menghindar. Seolah Mama membangun tembok pembatas di antara kami berdua.
***
Aku dan Nenek duduk di teras belakang rumah, menikmati sore hari sambil minum teh. Aku dan Nenek sering menghabiskan waktu berdua di rumah. Papa disibukkan dengan pekerjaannya. Dan Mama juga sibuk dengan kegiatan di luar rumah.
"Sore ini tenang sekali," ucap Nenek sambil memandang ke atas langit.
"Iya, Nek. Langitnya juga cerah,"
"Nenek senang kamu di sini, Nda. Nenek tidak lagi kesepian. Ada teman bicara," Nenek memegang lembut tanganku.
"Manda juga senang bisa menemani Nenek," aku meletakkan tanganku di atas punggung tangan Nenek.
"Hendra itu sama seperti Papanya. Selalu sibuk dengan pekerjaan. Jarang menghabiskan waktu bersama keluarga. Menantuku juga sama saja. Sibuk kumpul-kumpul bersama teman-temannya," gerutu Nenek.
"Dulu sewaktu Daniel dan Tamara masih tinggal di rumah ini, merekalah yang sering meluangkan waktu bersama Nenek. Sekarang mereka sudah punya rumah sendiri. Mereka sibuk dengan keluarga kecil mereka," mata Nenek terlihat berkaca-kaca.
"Nenek jangan sedih. Kan, sekarang Manda di sini. Manda juga yakin, Papa Hendra dan yang lainnya sangat menyayangi Nenek. Karena kesibukan masing-masing, jadi mereka belum bisa bersama Nenek," hiburku.
"Nanti kalau Arman sudah kembali ke sini, kalian berdua tetaplah tinggal di rumah ini ya. Biar Nenek gak kesepian,"
"Iya, Nek. Nenek jangan takut. Manda bakal temenin Nenek, sampe Nenek bosan sama Manda," ucapku sambil menggoda Nenek.
"Kamu ini ... mana mungkin Nenek bosan sama cucu secantik ini," Nenek mencubit hidungku sambil tertawa kecil.
"Kamu ini sama seperti Arman. Pandai menghibur Nenek. Nenek gak salah memilihmu menjadi istri Arman," Nenek membelai lembut rambutku.
Aku tidak bisa marah pada Nenek. Karena keinginannya untuk menikahkan kami, ternyata tidak membawa kebahagiaan bagiku dan Mas Arman. Aku mengerti jika Nenek ingin yang terbaik bagi Mas Arman, cucu kesayangannya. Dan aku tidak bisa menyalahkan Mas Arman, karena dia hanya ingin membahagiakan Nenek. Aku juga akan melakukan hal yang sama seperti mereka. Aku akan membahagiakan Nenek dan menjadikan diriku pantas sebagai istri Arman Hadiwijaya.
Tak terasa hari ini pernikahanku sudah berusia 2 tahun. Selama 2 tahun ini banyak hal yang sudah terjadi. Aku masih tinggal bersama mertuaku dan Nenek. Mas Arman masih berada di Amerika. Dia belum pernah pulang sejak kepergiannya waktu itu. Selalu ada alasan dia belum bisa kembali ke rumah.Selama 2 tahun inipun, kami jarang berkomunikasi. Mas Arman tidak pernah menghubungiku, dan aku juga tidak berani menghubunginya karena aku takut ditolak. Kami hanya mengobrol ketika Mas Arman sedang video call-an dengan Nenek, di ponsel milik Nenek. Obrolan kamipun hanya sekedar bertegur sapa dan basa-basi saja. Walaupun kami tidak pernah membuat kesepakatan sebelumnya, tapi saat di dekat Nenek, kami bersikap seolah-olah pernikahan kami baik-baik saja.Selama 2 tahun ini juga, aku mengisi hari-hariku dengan mengikuti beberapa kursus. Papa Hendra mendaftarkanku di kelas baking. Menurut Papa, aku punya bakat membuat roti dan kue. Karena itu, Papa ingin aku
Malam ini hanya aku dan Mas Arman yang menemani Nenek di rumah sakit. Kami duduk berseberangan. Jarak kami hanya dipisahkan oleh ranjang yang ditiduri Nenek. Kami duduk dalam keheningan.Mas Arman menatap Nenek dengan sorot mata kesedihan. Tangannya mengenggam tangan Nenek. Aku hanya bisa menatapnya. Menatap suamiku yang sudah lama tidak pulang. Mas Arman tampak sehat. Aku ingin sekali menanyakan kabarnya. Tapi aku tidak berani. Sejak pertama masuk ke kamar ini, dia bahkan tidak melihatku. Seolah-olah aku ini tak ada."Apa ada masalah di rumah?" suara Mas Arman memecahkan keheningan."... Tidak ada, Mas," aku senang akhirnya Mas Arman mengajakku bicara, walaupun dia sama sekali tidak menoleh ke arahku."Bagaimana Nenek bisa terkena serangan jantung?""Manda juga tidak tahu, Mas. Hari itu Nenek terlihat sehat dan ceria seperti biasanya. Tiba-tiba malam itu, Nenek tidak sadar
"Pak Hendra, kami sekeluarga turut berduka atas meninggalnya Bu Rosa. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran, dan Almarhummah dimaafkan segala dosanya dan diberi tempat yang terbaik di surga," ucap Bapak pada Papa."Aamiin. Terima kasih, Pak Wirjo,""Maaf, Pak Hendra. Kami tidak bisa datang tepat waktu untuk pemakaman Bu Rosa,""Tidak apa, Pak Wirjo. Bapak sekeluarga sudah datang ke sini saja, sudah cukup bagi kami,"Bapak datang bersama Ibu, Surya, Adi, Ayu, dan teman Bapak. Mereka baru saja tiba siang ini. Bapak mencarter mobil untuk ke Jakarta. Karena Bapak tidak bisa menyetir, Bapak mengajak temannya untuk membawa mobil."Kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh. Sebaiknya istirahat dulu,""Maaf merepotkan Pak Hendra,""Tidak sama sekali, Pak Wirjo. Kita ini satu keluarga. Tidak perlu sungkan,""Mand
Acara tahlilan malam kedua Nenek sudah usai. Para tamu satu per satu pulang meninggalkan rumah ini.Mas Arman belum juga kembali sejak pagi tadi. Ke mana kamu, Mas? Apa semuanya baik-baik saja?Wanita itu juga masih di sini. Dia bahkan tidak turun ke bawah, untuk menghadiri acara tahlilan ini."Kak Tamara," panggilku pelan."Iya?""Tadi pagi ada tamu yang datang ke rumah. Seorang wanita. Apa Kak Tamara sudah bertemu dengannya?""Tamu? Siapa? Aku tidak melihatnya dari tadi," ujar Kak Tamara penasaran."Manda juga tidak kenal, Kak. Dia sudah bertemu Mama. Terus Mama membawanya ke atas. Sejak itu, Manda tidak melihatnya lagi,""Coba nanti aku tanya Mama,""Kak, boleh minta tol
Sayup-sayup telingaku mendengar suara kicau burung di luar jendela kamar. Kubuka mataku perlahan. Dengan sedikit mengantuk, aku memaksakan badanku untuk bangun. Aku melihat ke arah jam dinding. Pukul 6 pagi. Lalu pandanganku beralih ke sofa, tempat Mas Arman tidur. Mataku terbuka lebar, ketika aku tidak melihatnya di sana."Mas? Mas Arman?" panggilku.Mungkin Mas Arman ada di dalam kamar mandi. Tapi tak ada jawaban. Aku segera merogoh saku gamisku, mencari kunci kamar."Kuncinya? Di mana kuncinya? Apa Mas Arman yang mengambilnya?" ujarku dengan panik.Aku bergegas keluar kamar untuk mencari suamiku. Semula aku berniat memeriksa ke dalam kamar wanita itu, tapi aku mengurungkannya. Segera kulari ke bawah."Kiki," panggilku ketika melihat Kiki berada di bawah anak tangga."Iya, N
POV AUTHORSarah tersenyum puas, ketika melihat raut wajah Manda yang sedih."Apa?! Apa yang barusan Papa dengar? Dia bilang, dia istrimu?" Papa Hendra bangkit dari duduknya."Papa, tenanglah dulu," pinta Mama Andien sambil mengelus dada suaminya."Mama, dengar tadi yang dia katakan,""Iya, Pa. Makanya Papa tenang dulu. Arman akan jelaskan semuanya nanti,""Mama tidak kaget? Mama sudah tahu semua ini?!" tukas Papa Hendra sembari mengerutkan keningnya.Mama Andien terdiam dan seketika panik."Arman, kenapa kamu diam? Katakan yang sebenarnya," desak Kak Tamara dengan nada marah."... iya, benar. Sarah istriku," jawab Arman sambil menundukkan pandangan matanya.
POV AUTHOR"Manda, kamu sudah sadar?" ujar Tamara senang."Kak ...," ucap Manda dengan suara lirih. Dia berusaha bangun."Duduk dulu, Nda," Tamara membantu Manda untuk duduk menyandar."Kak ...? Manda ... tidak mimpi, kan? Mas Arman ....?" Manda meneteskan air mata.Tamara menjawab pertanyaan Manda dengan tatapan mata sedih. Suara tangis Manda mulai pecah. Dia memeluk Tamara sembari menangis tersedu-sedu."Kakak tahu ini berat. Hatimu pasti sakit," Tamara membelai lembut rambut Manda."Tapi kamu harus kuat, Nda,"Tangisan Manda semakin keras. Tamara merasa iba pada keadaan adik iparnya. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk membantunya, selain memeluknya.Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan kasar. Mama Andien muncul dengan raut wajah yang penuh amarah."Ooo, kamu
POV AUTHORManda masih tenggelam dalam kesedihannya. Dia berbaring sendirian di ranjang kamarnya. Air matanya masih mengalir di pipi, hingga jatuh membasahi bantal yang ditidurinya.Manda masih tidak percaya, pernikahannya menjadi berantakan seperti ini. Kesetiaannya dibalas dengan pengkhianatan.Dalam kesunyian malam, suara dering ponselnya berbunyi. Manda mengambil ponsel yang dia letakkan di bufet kecil, di samping ranjang.IBU, nama yang muncul di layar ponsel. Manda terkejut. Dia segera menghapus air matanya. Manda menenangkan dirinya terlebih dulu sebelum mengangkat panggilan dari ibunya."Assalamu'alaikum, Bu," ucap Manda dengan nada tenang."Wa'alaikumsalam, Nda. Kamu sudah tidur, Nda?" jawab Bu Ningsih."Belum, Bu. Ibu juga belum tidur?""Belum. Ini lagi duduk sama Bapak, sambil nonton tv,"