Beberapa orang sedang sibuk di dapur. Aku mengenal salah satunya, Kiki. Sepertinya mereka belum melihat kehadiranku.
"Ha-halo ....," sapaku.
Mereka semua menoleh.
"Non Manda, ada yang bisa kami bantu?" seorang wanita setengah baya bergegas menghampiriku.
"Tidak, aku tidak perlu apa-apa. Aku merasa bosan saja karena tidak melakukan apa-apa. Ada yang bisa aku bantu di sini?" aku menawarkan tenagaku.
"Oh ... tidak ada Non. Kami bisa mengerjakannya sendiri. Sudah tugas kami," wanita ini menolakku secara halus.
"Kita belum berkenalan. Nama ibu siapa?"
"Nama saya Sari, Non. Di sini biasa dipanggil Bi Sari," jawabnya memperkenalkan diri. Lalu dia mulai memperkenalkan masing-masing pembantu lainnya.
Ada satu wajah yang tidak asing bagiku, "Santi?" tanyaku.
Dia menjawabku sambil menunduk. Ternyata aku tidak salah. Dia Santi, teman SMP-ku dulu. Sejak lulus SMP, aku tidak pernah mendengar kabarnya. Kabar terakhir yang kudengar, dia pergi ke Jakarta untuk bekerja. Tak disangka aku bertemu dengannya di sini. Baguslah, setidaknya ada seseorang yang kukenal dari kampung halamanku.
"Kamu apa kabar, San?" aku menghampirinya.
"Baik, Non," jawabnya dengan nada sopan.
"Jangan panggil Non. Kita kan teman, San,"
Dia hanya terdiam. Santi tidak berani menatapku. Apa dia malu padaku?
"Non Manda, kenal dengan Santi?" tanya Bi Sari.
"Iya, kami dari kampung yang sama. Dulu kami satu sekolah juga,"
"Maaf, Non Manda. Saya permisi dulu. Saya mau membersihkan ruangan lain," ucap Santi yang tergesa-gesa pergi dari dapur.
"Santi, tunggu" aku mengejarnya.
Santi terus saja melangkah. Dia tidak menggubris panggilanku. Semakin aku mendekatinya, semakin cepat dia berjalan.
"Non Manda," Bi Sari tiba-tiba berjalan ke depanku, "Apa Non Manda ingin Santi mengerjakan sesuatu? Biar Bibi yang lakukan,"
"Bukan, Bi. Manda cuman ingin mengobrol dengan Santi. Kami sudah lama tidak bertemu," jawabku, lalu mencoba mengejar Santi lagi.
Tapi Bi Sari tidak memberiku jalan. Dia masih berdiri di depanku, seolah-olah ingin menghalangiku.
"Non Manda, sebaiknya biarkan Santi bekerja dulu. Nyonya besar akan marah jika kami tidak menyelesaikan tugas kami," ucap Bi Sari dengan nada sopan.
"Iya ... baiklah," jawabku dengan sedikit lesu.
***
Aku menghampiri Nenek yang sedang bersantai di sofa teras belakang.
"Nek," sapaku.
"Manda, duduk sini," pintanya.
"Nenek sedang apa?"
"Hanya duduk saja,"
"Manda darimana?"
"Tadi abis dari dapur, berkenalan dengan mereka yang bekerja di rumah ini. Aku bertemu dengan temanku, Nek," jawabku.
"Oh ya, siapa?"
"Santi. Kami satu kampung. Teman sekolahku dulu,"
"Benarkah? Nenek baru tahu kalau Santi berasal dari kampung halaman kita,"
"Dia bekerja di sini sudah lama, Nek?"
"Iya sepertinya sudah lama. Tapi Nenek tidak ingat sejak kapannya,"
"Tapi Santi kelihatannya menghindariku, Nek," keluhku.
"Mungkin dia sungkan denganmu. Walau kalian berteman, sekarang status kalian sudah berbeda. Kamu majikan dan dia pembantu di sini,"
Aku merasa tidak nyaman dengan masalah status ini. Bagiku Santi adalah temanku. Aku tidak memandangnya sebagai pembantu.
"Manda, apa kamu senang tinggal di sini?"
"Iya, Nek,"
"Maaf ya. Kami belum sempat mengadakan pesta pernikahan untukmu dan Arman di sini. Arman sudah harus kembali ke Amerika,"
"Tidak apa-apa, Nek. Manda juga gak terlalu suka dengan keramaian pesta,"
"Kamu sedih harus berpisah dengan Arman secepat ini?"
Aku mengangguk, "Tapi di sini ada Nenek. Jadi Manda gak merasa kesepian," ujarku dengan tersenyum.
"Apa Arman bersikap baik padamu?"
"Mas Arman baik, Nek," aku tidak mungkin mengatakan sikap Mas Arman yang sebenarnya pada Nenek.
"Kamu bahagia bersama Arman?"
"Iya, Nek. Manda bahagia,"
"Syukurlah, Nenek senang mendengarnya," ujar Nenek dengan tertawa kecil.
Maaf ya, Nek. Manda berbohong. Nenek orang baik. Manda gak mau membuat Nenek sedih.
"Nek, boleh Manda bertanya? Mas Arman orangnya seperti apa? Kami belum sempat mengobrol lama,"
"Arman ... dia anak yang baik dan ceria. Dia juga pandai. Arman selalu ranking 1 di sekolahnya. Cucuku itu punya jiwa sosial yang tinggi. Dia sering membantu orang-orang yang membutuhkan. Kadang dia mengadakan acara amal bersama teman-temannya. Arman orangnya supel. Dia punya banyak teman. Arman tidak pernah membeda-bedakan orang ketika berteman," Nenek bercerita dengan antusias.
"Mas Arman juga menyukai anak-anak ya, Nek. Dia akrab sekali dengan anak-anak Kak Tamara,"
"Iya, Arman memang suka anak-anak. Dia akan menjadi ayah yang baik. Semoga kalian cepat dapat momongan,"
Bagaimana mau dapat momongan? Malam pertama kami saja gagal.
"Nek, hubungan Mas Arman ... dengan Papa ... apa baik-baik saja?" sebenarnya aku ragu untuk menanyakan ini.
"Kamu sudah bisa menebaknya dari kejadian semalam ya?" ujar Nenek l sembari tersenyum.
"Hendra dan Arman memang sering tidak sepaham. Mereka punya prinsip masing-masing. Mereka berdua punya sifat yang sama. Keras kepala. Hendra mau Arman bekerja di perusahaannya, sama seperti Daniel. Tapi Arman, yang sejak dulu suka hidup mandiri, dia tidak mau bergantung pada kekayaan Papanya. Arman memilih untuk mencari uang dari hasil kerja kerasnya sendiri. Cucuku itu ingin membuktikan pada Papanya kalau dia mampu berdiri dengan kakinya sendiri. Hendra tidak menyukainya. Hubungan mereka jadi renggang. Tapi Nenek yakin kalau sebenarnya mereka berdua saling menyayangi, dengan cara mereka sendiri," ada kesedihan yang terpancar di mata Nenek.
Jadi, seperti itu ceritanya. Sepertinya aku harus mengenal keluarga ini lebih jauh lagi.
Aku keluar dari kamar Nenek ketika berpapasan dengan Mama mertuaku."Sedang apa?" tanyanya dengan nada sedikit ketus."Abis mengantarkan Nenek buat istirahat siang, Ma," jawabku."Ikut Mama. Ada yang mau Mama bicarakan," perintahnya.Aku mengangguk dan mengikutinya. Mama Andien duduk di sofa ruang keluarga. Aku berdiri menunggunya bicara."Kenapa berdiri? Duduk," perintahnya.Aku segera menurutinya. Aku takut pada Mama mertuaku ini. Sejak pertama kali kami bertemu, Mama Andien tidak pernah menunjukkan sikap ramah padaku."Besok Nenek mau mengadakan acara makan siang dengan tetangga di sini. Mama juga mengundang beberapa teman Mama. Nenek ingin memperkenalkanmu pada mereka,"Aku diam dan hanya mendengarkan Mama Andien bicara."Mama hanya ingin memperingatkanmu. Mereka yang diundang ini adalah para
Tak terasa hari ini pernikahanku sudah berusia 2 tahun. Selama 2 tahun ini banyak hal yang sudah terjadi. Aku masih tinggal bersama mertuaku dan Nenek. Mas Arman masih berada di Amerika. Dia belum pernah pulang sejak kepergiannya waktu itu. Selalu ada alasan dia belum bisa kembali ke rumah.Selama 2 tahun inipun, kami jarang berkomunikasi. Mas Arman tidak pernah menghubungiku, dan aku juga tidak berani menghubunginya karena aku takut ditolak. Kami hanya mengobrol ketika Mas Arman sedang video call-an dengan Nenek, di ponsel milik Nenek. Obrolan kamipun hanya sekedar bertegur sapa dan basa-basi saja. Walaupun kami tidak pernah membuat kesepakatan sebelumnya, tapi saat di dekat Nenek, kami bersikap seolah-olah pernikahan kami baik-baik saja.Selama 2 tahun ini juga, aku mengisi hari-hariku dengan mengikuti beberapa kursus. Papa Hendra mendaftarkanku di kelas baking. Menurut Papa, aku punya bakat membuat roti dan kue. Karena itu, Papa ingin aku
Malam ini hanya aku dan Mas Arman yang menemani Nenek di rumah sakit. Kami duduk berseberangan. Jarak kami hanya dipisahkan oleh ranjang yang ditiduri Nenek. Kami duduk dalam keheningan.Mas Arman menatap Nenek dengan sorot mata kesedihan. Tangannya mengenggam tangan Nenek. Aku hanya bisa menatapnya. Menatap suamiku yang sudah lama tidak pulang. Mas Arman tampak sehat. Aku ingin sekali menanyakan kabarnya. Tapi aku tidak berani. Sejak pertama masuk ke kamar ini, dia bahkan tidak melihatku. Seolah-olah aku ini tak ada."Apa ada masalah di rumah?" suara Mas Arman memecahkan keheningan."... Tidak ada, Mas," aku senang akhirnya Mas Arman mengajakku bicara, walaupun dia sama sekali tidak menoleh ke arahku."Bagaimana Nenek bisa terkena serangan jantung?""Manda juga tidak tahu, Mas. Hari itu Nenek terlihat sehat dan ceria seperti biasanya. Tiba-tiba malam itu, Nenek tidak sadar
"Pak Hendra, kami sekeluarga turut berduka atas meninggalnya Bu Rosa. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran, dan Almarhummah dimaafkan segala dosanya dan diberi tempat yang terbaik di surga," ucap Bapak pada Papa."Aamiin. Terima kasih, Pak Wirjo,""Maaf, Pak Hendra. Kami tidak bisa datang tepat waktu untuk pemakaman Bu Rosa,""Tidak apa, Pak Wirjo. Bapak sekeluarga sudah datang ke sini saja, sudah cukup bagi kami,"Bapak datang bersama Ibu, Surya, Adi, Ayu, dan teman Bapak. Mereka baru saja tiba siang ini. Bapak mencarter mobil untuk ke Jakarta. Karena Bapak tidak bisa menyetir, Bapak mengajak temannya untuk membawa mobil."Kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh. Sebaiknya istirahat dulu,""Maaf merepotkan Pak Hendra,""Tidak sama sekali, Pak Wirjo. Kita ini satu keluarga. Tidak perlu sungkan,""Mand
Acara tahlilan malam kedua Nenek sudah usai. Para tamu satu per satu pulang meninggalkan rumah ini.Mas Arman belum juga kembali sejak pagi tadi. Ke mana kamu, Mas? Apa semuanya baik-baik saja?Wanita itu juga masih di sini. Dia bahkan tidak turun ke bawah, untuk menghadiri acara tahlilan ini."Kak Tamara," panggilku pelan."Iya?""Tadi pagi ada tamu yang datang ke rumah. Seorang wanita. Apa Kak Tamara sudah bertemu dengannya?""Tamu? Siapa? Aku tidak melihatnya dari tadi," ujar Kak Tamara penasaran."Manda juga tidak kenal, Kak. Dia sudah bertemu Mama. Terus Mama membawanya ke atas. Sejak itu, Manda tidak melihatnya lagi,""Coba nanti aku tanya Mama,""Kak, boleh minta tol
Sayup-sayup telingaku mendengar suara kicau burung di luar jendela kamar. Kubuka mataku perlahan. Dengan sedikit mengantuk, aku memaksakan badanku untuk bangun. Aku melihat ke arah jam dinding. Pukul 6 pagi. Lalu pandanganku beralih ke sofa, tempat Mas Arman tidur. Mataku terbuka lebar, ketika aku tidak melihatnya di sana."Mas? Mas Arman?" panggilku.Mungkin Mas Arman ada di dalam kamar mandi. Tapi tak ada jawaban. Aku segera merogoh saku gamisku, mencari kunci kamar."Kuncinya? Di mana kuncinya? Apa Mas Arman yang mengambilnya?" ujarku dengan panik.Aku bergegas keluar kamar untuk mencari suamiku. Semula aku berniat memeriksa ke dalam kamar wanita itu, tapi aku mengurungkannya. Segera kulari ke bawah."Kiki," panggilku ketika melihat Kiki berada di bawah anak tangga."Iya, N
POV AUTHORSarah tersenyum puas, ketika melihat raut wajah Manda yang sedih."Apa?! Apa yang barusan Papa dengar? Dia bilang, dia istrimu?" Papa Hendra bangkit dari duduknya."Papa, tenanglah dulu," pinta Mama Andien sambil mengelus dada suaminya."Mama, dengar tadi yang dia katakan,""Iya, Pa. Makanya Papa tenang dulu. Arman akan jelaskan semuanya nanti,""Mama tidak kaget? Mama sudah tahu semua ini?!" tukas Papa Hendra sembari mengerutkan keningnya.Mama Andien terdiam dan seketika panik."Arman, kenapa kamu diam? Katakan yang sebenarnya," desak Kak Tamara dengan nada marah."... iya, benar. Sarah istriku," jawab Arman sambil menundukkan pandangan matanya.
POV AUTHOR"Manda, kamu sudah sadar?" ujar Tamara senang."Kak ...," ucap Manda dengan suara lirih. Dia berusaha bangun."Duduk dulu, Nda," Tamara membantu Manda untuk duduk menyandar."Kak ...? Manda ... tidak mimpi, kan? Mas Arman ....?" Manda meneteskan air mata.Tamara menjawab pertanyaan Manda dengan tatapan mata sedih. Suara tangis Manda mulai pecah. Dia memeluk Tamara sembari menangis tersedu-sedu."Kakak tahu ini berat. Hatimu pasti sakit," Tamara membelai lembut rambut Manda."Tapi kamu harus kuat, Nda,"Tangisan Manda semakin keras. Tamara merasa iba pada keadaan adik iparnya. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk membantunya, selain memeluknya.Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan kasar. Mama Andien muncul dengan raut wajah yang penuh amarah."Ooo, kamu