Home / Romansa / Jarak Rindu / Chapter 5

Share

Chapter 5

Author: Caerine
last update Huling Na-update: 2025-11-25 17:35:14

"Ada garis yang kita tarik sendiri, tapi diam-diam berharap seseorang cukup berani untuk menghapusnya."

Ada sebuah malam jauh sebelum hari ini, ketika “simple” belum terdengar menyakitkan.

Naya masih SMA waktu itu. Acara pentas seni di sekolah Ardan—ramai, berisik, penuh manusia. Ia sebenarnya tidak mau datang, tapi Ardan memaksa. Lalu pergi entah ke belakang panggung, meninggalkannya di kerumunan.

Lampu-lampu panggung berkedip. Musik keras. Orang-orang tertawa.

Naya berdiri di dekat tembok, memegang gelas plastik berisi soda yang sudah hampir cair semua esnya. Detak jantungnya terlalu cepat, dan bukan karena ia menikmati musik.

“Kenapa mukanya kayak mau Ujian besok?”

Suara itu datang dari samping.

Elric berdiri di sana, tangan di saku, menyender santai ke tembok. Kaos hitam, jaket denim. Dewasa muda yang terlihat biasa saja di tengah konser kecil, tapi rasanya bagi Naya… tempat paling sunyi yang ia temukan malam itu.

“Aku… nggak terlalu suka keramaian,” akunya pelan.

“Kalau kamu nggak suka, kenapa ikut?”

“Kak Ardan maksa,” ia mengangkat bahu.

Elric tertawa pendek. “Klasik.”

Mereka berdiri berdampingan tanpa banyak bicara. Di depan, teman-teman Ardan berteriak, memanggil nama band yang tampil. Lampu warna-warni menari-nari di wajah orang.

“Naya,” Elric berkata setelah beberapa menit. “Kalau terlalu ramai, kamu bilang, ya.”

“Bilang ke siapa?”

“Ke aku.”

Matanya tetap menghadap panggung. “Aku di sini.”

Itu saja. Bukan janji muluk-muluk. Bukan kalimat manis ala drama.

Tapi cukup untuk membuat Naya bertahan sepanjang malam tanpa merasa sesak.

Dan sejak malam itu, “di sini”-nya Elric menjadi definisi rumah lain di kepala Naya.

***

“Bu Naya?”

Ia kembali ke café, mendapati pandangan Rafi masih tertuju ke arahnya. “Maaf, saya nanya pertanyaan yang terlalu serius, ya?”

“Enggak, kok.” Naya menggeleng pelan. “Pertanyaannya wajar.”

Tehnya sudah berkurang setengah. Ia meneguk sedikit, mencoba mengembalikan fokus.

“Kalau aku jadi kamu, aku sih pilih tetap di sini,” lanjut Rafi, masih mencoba santai. “Di Indonesia, maksudku. Biar kami bisa minta diajarin terus.”

“Jangan bikin validation specialist-nya lari, dong, Raf.” Dina ikut bercanda. “Baru juga datang sehari.”

“Aku nggak lari,” potong Naya lembut. “Cuma… kadang orang perlu pergi untuk tahu dia mau tinggal di mana.”

Perkataan itu keluar begitu saja, dan menggantung di udara.

Keira meliriknya cepat. Elric terdiam sepersekian detik.

“Dan kamu sudah tahu mau tinggal di mana?”

Pertanyaan itu terlontar sebelum Elric sempat menahannya.

Nada suaranya terdengar ringan—terlalu ringan.

Tapi mata Naya menangkap sesuatu yang lain: gugup yang disamarkan, takut akan jawaban yang mungkin tidak ingin ia dengar.

“Untuk sekarang…” Naya menaruh mug-nya pelan. “Aku cuma tahu aku punya kontrak kerja di sini. Itu dulu.”

Jawaban aman.

Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh.

“Fair enough,” komentar Keira, mencoba mencairkan suasana. “Yang penting, jangan ninggalin aku dulu. Aku butuh tangan kanan yang waras.”

“Tangan kanan?” Rafi memprotes. “Lah, kita apa?”

“Tim yang kukasihi,” balas Keira. “Tapi tetap butuh satu orang yang bisa kubawa curhat sambil lihat batch record. Dan itu Naya.”

Tawa kecil pecah di meja.

Sejenak, suasana kembali ringan.

Tapi Elric tidak ikut tertawa.

Ia hanya memperhatikan, sesekali menyesap kopinya, sesekali menggeser piring snack lebih dekat ke arah Naya tanpa sadar ketika salah satu pelayan lewat terlalu dekat dan hampir menyenggol mug-nya.

Gerakan kecil.

Refleks protektif yang sudah terlalu lama terlatih.

Di kepalanya, suara aneh muncul:

Sejak kapan kamu peduli sejauh ini pada rencana tinggal-pindah seseorang yang… bukan siapa-siapa?

Naya tertawa kecil pada sesuatu yang Dina katakan. Rambutnya jatuh sedikit menutupi mata, dan tanpa pikir panjang Elric ingin mengulurkannya ke belakang telinga. Tangan itu berhenti di tengah jalan, hanya menggenggam sendok.

Konyol.

***

Waktu berlalu cepat di café. Satu per satu anggota tim pamit—ada yang harus kembali ke kantor, ada yang mengejar commuter line.

Keira bangkit lebih dulu. “Aku ke kasir dulu, ya. Biar sekalian aku yang bayar. Nanti kalian reimburse ke finance, jangan ke aku. Aku bukan ATM berjalan.”

Rafi pamit ke toilet. Dina menerima telepon dan keluar sebentar ke teras. Aldi, staff produksi yang banyak ,emyimak tapi tidak banyak ikut nimbrung sudah lebih dulu mengejar kereta.

Tiba-tiba, meja panjang itu hanya menyisakan dua orang.

Naya merapikan sendok dan tisu di depannya, terlalu sadar akan hening yang datang setelah tawa berhenti.

Elric bingung harus berdiri atau tetap duduk.

Laki-laki itu justru mendorong punggungnya sedikit ke sandaran kursi, seolah memutuskan sesuatu.

“Naya,” panggilnya pelan.

“Hmm?” Naya menatapnya, berusaha tidak menunjukkan kegugupan.

“Aku…” Elric berhenti sejenak, mencari kata. “Ada banyak hal yang… aku nggak ngerti.”

“Contohnya?” Suaranya datar, tapi tangannya saling menggenggam di pangkuan.

“Kenapa kamu pergi tanpa pamit,” ujar Elric jujur. “Kenapa kamu memutus semua kontak. Kenapa sekarang kamu—”

Ia tidak meneruskan. Menyadari kalimat ketiganya hampir menyentuh sesuatu yang terlalu dalam.

Naya menahan napas. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah hal yang selalu ia siapkan jawaban untuk dirinya sendiri, tapi tidak pernah untuk orang lain.

“Kak Elric,” ia memanggil dengan nada yang jarang ia pakai—lebih lembut, tapi juga lebih lelah. “Jangan tanya hal-hal yang kamu sendiri nggak siap dengar jawabannya.”

Setelah kata itu terucap, Naya sadar betul bahwa ia hanya mencoba menego waktu, karena ia sendiri tak yakin jawaban apa yang paling tepat yang bisa ia berikan agar hati mereka bisa sama-sama menerima.

Ia berpikir Elric akan tertawa, atau mengalihkan, atau melempar candaan.

Tapi laki-laki itu justru menatapnya lama.

“Aku siap,” katanya. Pelan. Serius. “Mungkin telat tujuh tahun, tapi aku siap.”

Jantung Naya berdebar sekali, dua kali, terlalu keras.

Dan tepat saat itu, suara Keira terdengar dari kasir. “Kak El, Naya! Kartu kreditku ditolak nih, tolong salah satu ke sini!”

Momen itu pecah.

Naya menghela napas, menatap ke arah kasir. “Aku duluan.”

Ia bangkit sebelum Elric sempat berkata apa-apa lagi.

Dan ia tahu, kalau setiap kali mereka hampir menyentuh inti persoalan, selalu ada sesuatu yang datang di tengah—baik itu panggilan kasir, telepon pekerjaan, atau ketakutan mereka sendiri.

-BERSAMBUNG-

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jarak Rindu   Chapter 13

    Naya baru saja menutup pintu ketika suara ketukan terdengar lagi. Untuk sesaat, Naya pikir Reza lupa sesuatu. Tapi saat ia membuka pintu— “Kak Ardan?” Naya terpaku. “Kok kakak—” “Aku paham kamu merasa kalau kamu kuat setelah dokter pasang besi di tangan kamu. Aku tahu kamu merasa kamu adalah Robocop,” ia langsung masuk tanpa menunggu izin. “Tapi, merasa kuat bukan berarti kamu harus kerja sampai pingsan.” Naya berkedip cepat. “Kok Kakak bisa tahu?” Ardan menyandarkan punggung ke dinding, menyilangkan tangan. “Ada yang kasih tahu aku.” Jeda. Seolah-olah ia mencoba menjaga rahasia Let’s wait. “Elric telepon.” Katanya akhirnya. Sejak dulu Ardan tak pernah bisa menjaga rahasia. Naya kaget. Ternyata Elric pakai jalur Ardan untuk intervensi. “Oh.” satu-satunya kata yang keluar dari mulut Naya. “Dia bilang kamu pingsan. Pucat kaya mayat. Dan hari ini kamu bukan Cuma balik kerja seperti biasa, tapi juga maksain diri sampai pingsan.” Ardan menirukan suara Elric dengan dramatis.

  • Jarak Rindu   Chapter 12

    Pintu lift basement terbuka dengan bunyi ding yang terdengar terlalu nyaring.Udara pengap dari parkiran bawah tanah menyambut: bau aspal, suara samar mesin mobil, lampu kuning remang-remang. Naya melangkah pelan keluar, sepatu kerjanya beradu pelan dengan lantai semen.“Pelan-pelan aja,” ujar Reza, berjalan setengah langkah di depan, seolah tubuhnya otomatis mengambil posisi penghalang kalau-kalau ia jatuh lagi.“Aku nggak serapuh itu,” Naya mencoba bercanda.Reza menoleh, tersenyum. “Aku nggak bilang kamu rapuh. Tapi tangan kamu cuma satu yang bisa dipakai, Nay. Sistem support-nya lagi reduced capacity gitu.”Naya nyaris tertawa. “Kamu baru aja nyamain aku sama mesin?”“Mesin itu hal yang paling aku ngerti,” jawab Reza enteng. “Sekarang aku lagi belajar ngerti hal lain.”Tatapannya sempat jatuh ke arah wajah Naya. Sekilas. Hangat. Bukan tatapan orang yang baru kenal beberapa jam.Naya buru-buru mengalihkan pandang ke deretan mobil. “Mobil Pak Reza yang mana?”Reza mengerjap pelan. “

  • Jarak Rindu   Chapter 11

    Laptop terasa lebih berat dari biasanya. Gips di tangan kirinya menggosok kulit, membuatnya tidak nyaman. Seminggu memakai gips mulai memberikan masalah bagi Naya. Ia sudah mulai merasakan gatal di tangannya dan jarinya tidak cukup panjang untuk menyusup masuk ke dalam gips dan menggaruk bagian yang gatal. Namun, saat ini hal yang paling mengganggu bukan tangannya yang gatal, tapi napasnya sendiri yang mulai terdengar… tidak stabil. Semenjak jatuh, asmanya kambuh setiap hari membuatnya sangat bergantung pada inhaler. Naya mulai frustasi. Jangan tumbang. Jangan sekarang. Jangan di kantor. Naya bangkit, berniat kembali ke meja Keira. Tapi baru dua langkah, lututnya goyah. Penglihatannya berbayang. Dan sebelum ia sempat mencari pegangan— “Whoa, hati-hati!” Seseorang menangkap siku dan pinggangnya bersamaan. Naya terhenti dalam posisi setengah jatuh—sangat tidak elegan. Nafasnya tercekat. Reza. “Kamu baik-baik aja?” suaranya rendah, penuh kekhawatiran yang tulus. Naya ingin bil

  • Jarak Rindu   Chapter 10

    Gips di lengan kirinya terasa berat, membatasi semua gerakannya. Setiap kali ia berusaha mengambil file, rasa nyeri yang menusuk menyentaknya dan mengingatkan bahwa ia belum benar-benar pulih. Tapi tetap saja, ia kembali duduk di kursinya pagi ini.Seminggu pasca operasi bukanlah waktu ideal untuk bekerja. Setiap dokter yang ia temui sepakat soal itu.Termasuk seseorang yang berdiri di balik kaca koridor saat ini.“Naya!” Keira melambai sambil berjalan cepat menghampirinya. “Kamu udah balik kerja? Kamu yakin kamu kuat?”“Ada banyak yang harus diberesin,” jawab Naya, seolah itu alasan paling tepat. “Dan, ya. Aku baik-baik aja.”Keira menatap gips di tangan Naya. “Gips kamu bicara sebaliknya.”“Aku bisa. Cuma buat laporan, apa sulitnya.” Katanya sambil mengangkat bahu meremehkan.Keira menghela napas panjang. “Kalau kamu tumbang lagi, kakak sepupu aku bakal nyalahin aku sampai akhir hayat.”Jantung Naya mencelos. “Dia… marah?”“Marah sama siapa pun yang kontak mata dengannya semalam.” K

  • Jarak Rindu   Chapter 9

    Elric pergi tidak lama. Ia Kembali ke sisi tempat tidur, lalu menggenggam tangannya lagi.“Kita tunggu sebentar, Mudah-mudahan kamu udah nggak mual lagi, ya. Nanti kalau sudah nggak mual aku belikan bubur, ya.”Naya mencoba memfokuskan perhatiannya pada Elric.Wajahnya terlalu dekat.Begitu dekat sampai aku bisa melihat garis lelah di bawah matanya.“Muka Kak El pucet banget,” kataku pelan.Elric malah mendengus. “Muka kamu yang udah nggak ada warnanya, malah aku yang dibilang pucat.Naya ingin tertawa, tapi hanya bisa mengerang kecil.Elric menyelipkan tangannya di bawah kepala Naya untuk memposisikan kepalanya agar bisa sedikiT bersandar di bantal, lalu menepuk pelan pipi Naya dengan punggung jarinya.Gerakannya lembut—seperti seseorang yang sudah melakukan hal itu ratusan kali.“Kak Elric...”“Hm?”“Kak El... jangan di sini terus. Nanti Kak El capek, repot juga nemenin aku disini. Kerjaan kakak gimana? ”“Nggak apa-apa,” jawabnya singkat. “Aku bisa kerja dimana aja.”Naya menatapny

  • Jarak Rindu   Chapter 8

    Mobil ambulans kecil pabrik melaju cepat menuju rumah sakit, sirenenya memantul di dinding-dinding beton kawasan industri.Elric duduk di sisi ranjang tandu, memegang sisi tempat tidur agar tidak berguncang terlalu keras—sementara Naya terus mengoceh dalam benaknya yang kabur.“Aku mau mie ayam…” gumamnya.Elric hampir tertawa. “Sekarang?”“Aku lapar secara emosional…”Ardan mengusap wajah lelahnya. “Naya, fokus ke tangan kamu dulu, bukan ke mie ayam.”Naya mendesah dramatis. “Dua-duanya penting.”***Sampai di IGD, dokter langsung menangani Naya.Saat mereka mendorong Naya masuk, tangan kanan Naya mencari-cari sesuatu—atau seseorang.Mencari Elric.Dan ketika Elric menggenggamnya, jari Naya mengendur—percaya.Itu saja sudah cukup mengacaukan napas Elric.***Ketika pintu ruang tindakan tertutup, semua suara tiba-tiba menjauh.Yang tersisa hanya detak jantung sendiri — cepat, kacau.Ia bersandar ke dinding, memejamkan mata. Mencoba menenangkan hati dan pikirannya.Bukan karena insiden

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status