Pagi baru datang dan rumah sudah dipenuhi oleh suara Inara.
Ku tepuk pelan bahu Mas Bayu, berusaha membuatnya bangun.
"Mas, bangun. Inara berteriak mencarimu …."
"Hmm …," gumaman tak jelas tertangkap telingaku.
"Mas." Aku masih berusaha membuatnya membuka mata.
"Hmm … apa sih sayang …," sahutnya dengan mata setengah terbuka.
Aku terdiam mendengarnya memanggilku sayang. Sebisa mungkin ku tepis debaran di hati. Mungkin dia belum sepenuhnya sadar.
Suara Inara kembali terdengar memanggil Mas Bayu.
&nbs
"Gendhis, bisa minta tolong belikan aku cemilan? Mas Bayu sedang sibuk dan katanya hari ini dia lembur," pinta Inara.Aku yang sedang asyik dengan tanamanku tak menggubris ucapannya. Baru beberapa menit yang lalu aku sampai di rumah, bahkan keringatku belum juga kering."Gendhis …!"Aku menghela nafas, "Kamu bisa minta tolong Rum, kan?" balasku malas.Aku tak suka sikap Inara yang seolah memanfaatkanku. Dia tahu aku memperhatikan kehamilannya. Karena itu berulang kali dia memintaku melakukan sesuatu atas nama bayi di dalam perutnya.Dan lagi, sifat cemburunya semakin hari semakin menjadi. Pernah dia mengamuk hanya karena Mas Bayu membelikanku sebuah
Pagi itu aku berhasil menghalangi Ibu untuk mengetahui keberadaan Inara. Dan itu berpengaruh besar pada sikap Inara dan Mas Bayu.Tak ada lagi ucapan ketus dan sok berkuasa meluncur dari Inara. Sedangkan Mas Bayu, laki-laki itu semakin berubah. Lebih hangat.Aku benar-benar mencoba menempatkan diri di posisiku yang seharusnya.Menantu pilihan orang tua Mas Bayu, bukan istri Mas Bayu.Perlahan aku mulai menikmati ini semua. Aku mengikuti saran Ibu untuk pergi ke salon, juga menyempatkan untuk menyalurkan hobi baruku. Yaitu merawat tanaman.Karena itu aku juga lebih sering bertemu dengan Rizal. Ya, aku sering mengunjungi toko bunga miliknya. Bukan apa-apa, to
Aku masih menatap foto Inara bersama kedua orang dewasa itu. Berbagai pertanyaan berputar di kepala. Apa hubungan Inara dan ayah? Mungkinkah perempuan yang memangku Inara kecil ini istri ayah? Aku mencubit bibirku sendiri. Tidak mungkin. Bisa jadi mereka bersaudara, atau rekan bisnis. Bisa juga mereka …. Mungkinkah Inara anak kandung ayah? Jika benar, berarti Mas Bayu dan Inara …? Ya Tuhan! Semoga aku salah. Semoga ini semua tidak benar, elakku dalam hati. Aku segera mengabadikan foto itu di ponselku. Selesai. Dengan sedikit gemetar aku kembali merapikan buku harian itu tanpa membacanya
"Kamu lancang menikahi Inara! Padahal kamu tahu pasti siapa dia!" Ayah kembali melayangkan tangan, namun Mas Bayu mengelak cepat."Antara aku dan Inara tidak ada hubungan darah. Dan kami sama-sama korban. Sudah sepantasnya aku melindunginya dari kejahatan kalian," teriak Mas Bayu.Dia bilang, tak ada hubungan darah? Apa maksudnya?"Bayu, hentikan semua ini. Kamu jangan seperti ini … Bayu," isak Ibu."Apa Ibu dulu berhenti saat aku menangis, Bu?" Kali ini Mas Bayu menatap wajah Ibu.Aku tak tahu arah pembicaraan mereka. Ku pikir kemarahan Mas Bayu hanya ditujukan pada Ayah.Tangis Ibu semakin
Sejak Tante Dilara meninggal, ayah yang pekerja keras merasa kewalahan mengasuh Inara yang sangat aktif. Saat itu ibu datang menawarkan diri untuk mengasuh Inara dan Bayu. Tentu dengan syarat mereka kembali rujuk. Tak ada alasan bagi ayah untuk menolak. Dia berharap keputusannya tepat. Tanpa persetujuan Bayu, mereka kembali bersatu. Menganggap jika anak kecil hanya akan mengangguk setuju. Mungkin ayah dan ibu lupa, Bayu bukan boneka yang tak bernyawa. Mereka berpesta, mengabadikan persahabatan dalam ikatan pernikahan kedua. Mengabaikan Bayu yang terombang ambing di antara ego kedua orang tuanya. Terlebih ayah begitu menyayangi Inara, karena paras Dilara seolah menempel erat di wajah gadis kecil itu. Dan hati
Pagi ini mataku enggan terbuka. Sayangnya aku tak terbiasa bangun setelah matahari tinggi, karena itu tubuhku menolak kembali rebah. Dulu aku bersahabat dengan embun pagi.Sepertinya baru sebentar rasa damai membuai. Sedikit malas, ku rentangkan dua lengan, meluruskan beberapa sendi.Ponsel masih berada di genggamku. Sekilas kelebat suara sayup menyapa. Sepertinya semalam aku dengar tentang satu-satunya istri.Istri siapa? Apakah Mas Bayu? Tentu bukan. Jelas aku dan Inara sama-sama sah menjadi istrinya.Jangan-jangan rasa gelisah mencoba menyesatkan pendengaranku. Aku hanya tak mau salah arah. Guncangan luka masa lalu yang di buka Ibu semalam, masih begitu membekas.
Beberapa kali Ibu memintaku menghubungi Mas Bayu untuk menanyakan kondisi Inara dan kandungannya. Namun rasa enggan membuatku hanya mengangguk tanpa melakukannya.Sepanjang hari aku lebih sering mendengar Ibu bicara. Bicara tentang apapun.Tentang masa mudanya, masa-masa awal kehamilannya. Dan saat Mas Bayu kecil.Beberapa kali aku mengulum senyum saat Ibu menceritakan kenakalan Mas Bayu. Dia sering kualahan menghadapi tingkah anak lelaki satu-satunya.Menurut cerita Ibu, dulu Mas Bayu selalu ceria. Dan semua berubah karena ambisi Ayah untuk mendapatkan kembali cinta Dilara, dan juga Ibu yang selalu menjegal langkah Ayah.Miris. Manusia dewasa hanya b
Aku berjalan sendiri menyusuri lorong sepi. Tak ada pengunjung, hanya sesekali perawat berbaju putih berjalan tergesa. Beberapa jendela berteralis menampilkan beberapa wajah asing di dalam tiap ruang. Mereka yang di dalam sana, semua asyik dengan dunia mereka. Dunia yang hanya ada dalam imajinasi. Di ujung lorong terdapat sebuah taman terbuka dengan beberapa kursi panjang. Masih dapat dilihat beberapa orang mengenakan seragam pasien. Mereka tertawa, merenung bahkan berbicara entah dengan siapa. Rasa takut hinggap, namun coba ku tepis saat sadar jika selain pasien ada juga perawat lelaki siaga di beberapa titik. Mengawasi mereka yang mungkin tidak mengerti dan tidak bisa mengendalikan diri. Ya, saat ini aku s