Rasa tak percaya diri muncul. Apa bentuk tubuhku berubah mengerikan? Apa lemak yang mengiringi kehamilanku membuat hasratnya lebur?
Lagi-lagi aku patah.
Kuputuskan untuk mengunci pintu, dan menangis diam-diam. Berusaha meredam amarah agar tak salah arah.
Duduk diam dan membiarkan air mata mengalir begitu saja.
Hampir tengah malam seseorang mencoba membuka pintu. Aku tetap diam. Tak berusaha bangun untuk membukanya.
Saat ini aku ingin sendiri. Berdamai dengan rasa yang menyakitiku.
***
"Kenapa p
(Jika hatinya sebuah rumah, maka aku hanyalah tamu, dan Inara adalah pemilik sebenarnya.Aku tamu yang diundang, sedangkan Inara pemilik rumah yang tak diharapkan)Namaku Gendhis. Orang bilang kulitku hitam, perawakanku agak berisi. Dan ingat, aku hanya sedikit berisi. Tubuhku lebih pendek beberapa senti dari teman-teman sebayaku.Kalau kalian bertanya, apa kelebihanku? Kelebihanku adalah aku tak pandai berbohong. Kejujuran juga yang membawaku pada kisah ini. Kisah tentang aku dan cintaku. Cinta pilihan Bapak.Usiaku dua puluh tahun, dan aku sudah bersuami. Ya
Aku memulai pagi dengan menjerang air diatas kompor. Tak banyak yang ku masukkan ke dalam panci, hanya cukup untuk menyeduh secangkir kopi dan segelas teh.Tanganku mulai cekatan meracik sesendok penuh kopi, dan setengah sendok gula. Perbandingan pas racikan kopi khusus untuk Mas Bayu, suamiku.Untukku sendiri cukup sekantung teh dan setengah sendok gula. Cukup untuk memulai hari yang selalu berjalan sama.Setiap pagi seolah aku memutar filem yang sama. Bangun, menjerang air, meracik teh dan kopi. Kemudian aku akan duduk sendiri di teras samping yang menghadap ke arah kolam ikan.
Aku menatapnya, pemilik rahang kokoh yang nyaris tanpa cela.Tangannya menggenggam rangkaian mawar merah.Mas Bayu menghindar dari tatapanku, "dari karyawan kantor." Begitu katanya. Aku mengangguk mencoba mengerti.Baru saja tanganku ingin memilih vas kosong di rak pajangan, suara Mas Bayu terdengar."Bik …!" Tak lama wanita paruh baya muncul dari arah dapur."Ya, Pak." Wanita yang di panggil bibik tadi sedikit membungkukkan badan di depan Mas Bayu.
Nyatanya Inara hanya meraih tangan Mas Bayu. Meskipun dari sorot matanya tersirat rasa rindu yang begitu hebat.Inara mencium punggung tangan, telapak tangan, kemudian membalik untuk mencium punggung tangan Mas Bayu sekali lagi. Mungkin itu caranya mengungkapkan rasa cinta dan rindu dari hati.Sesaat Mas Bayu hendak menundukkan badan, mungkin ingin mengecup keningnya. Tapi dengan cepat Inara menahan dada suamiku. Sebuah gelengan halus masih bisa kutangkap.Apakah Inara sedang berusaha menjaga hatiku?Mas Bayu duduk di antara kami berdua. Sampai Bibik menghidan
Mas Bayu menatapku. Sepertinya ada yang ingin dia sampaikan. Aku yang tengah menyesap teh mencoba tidak peduli.Jika memang ada hal penting, tentu dia akan segera menyampaikannya bukan?Nyatanya sampai saat kopi di cangkir miliknya tinggal separuh dia tetap diam.Mas Bayu berangkat kerja bahkan tanpa menyentuh sarapan yang disajikan Bibik. Setelah dia pergi, aku memilih masuk kembali ke kamar. Rumah ini masih saja asing bagiku.Setiap sudutnya seolah memandangku remeh. Apalah aku yang hanya anak seorang pekerja kebun. Bisa tinggal di rumah ini pun tak pernah t
Hatiku penuh dengan berbagai rasa. Semua bergumul dan memaksa menyeruak ke luar. Kata-kata Rum sangat membekas, dan membuatku seketika seperti dihempas ke lubang penuh kotoran.Seolah tak punya harga diri.Hampir dua bulan aku menjadi nyonya di rumah ini, tapi seseorang yang bahkan mendapatkan sesuap nasi dari suamiku berani menghina.Aku marah. Ya, marah pada Bapak yang membuatku berada di posisi ini. Marah pada Mas Bayu yang mengacuhkan aku. Marah pada mertua yang memintaku pindah ke rumah Mas Bayu.Jika saja Mas Bayu bisa sedikit lebih tegas untuk menolak pernikahan kami, tentu jalan cerita hidupku akan berbeda. Aku bisa hidup bebas, dan tak akan mendapatkan hinaan di rumah suamiku.
Tanpa suara aku meletakkan novel di atas nakas, dan beringsut turun. Sambil mengikat rambut aku berjalan menuju pintu.Saat pintu terbuka, aku terperanjat. Sebuah kejutan …!Mas Bayu yang semula bersandar di samping pintu pun sepertinya ikut terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan keluar.Sesaat mata kami bertemu, gerakan tanganku yang sedang merapikan rambut pun terhenti. Beberapa anak rambut masih terburai."Sedang apa disini?" tanyaku sesaat setelah rasa kagetku hilang.
Pagi ini aku menikmati segelas teh. Tanpa menghidangkan kopi. Bibik yang sedang memasak untuk sarapan memandangku heran. Tapi dia sama sekali tidak bicara apapun.Ya, aku asing di sini. Bahkan asisten rumah tangga pun tidak menganggapku ada. Atau mungkin terganggu oleh kehadiranku?Ku lihat Mas Bayu seperti mencari sesuatu, atau mungkin memastikan sesuatu. Dia menatapku sesaat, dan aku memilih tidak berkomentar apapun."Bik …, tolong buatkan kopi." Suamiku meminta Bibik membuatkannya kopi.Lihat! Sebenarnya mudah saja dia memintaku untuk membuatkan secangkir k