Share

Bab 2

Author: Nikki
Kaivan pun tertawa gembira. "Lain kali, aku akan lebih lembut. Aku akan membelikanmu obat nanti."

Suara pria itu berangsur-angsur menjauh. Sementara itu, Adeline menatap patahan lipstik di tangannya dengan ekspresi datar. Dia membuang lipstik yang patah itu ke tempat sampah, lalu membuka lapisan kedua kotak perhiasan yang hanya berisi beberapa buah perhiasan.

Dulu, kotak itu penuh dengan perhiasan pemberian Kaivan yang mencapai ratusan buah. Sejak Kaivan berselingkuh, dia akan membuang sebuah perhiasan setiap kali merasa kecewa terhadap Kaivan.

Awalnya, frekuensinya sangat jarang. Setelahnya, frekuensinya makin sering dan perhiasannya sudah hampir habis sekarang. Sama seperti cintanya pada Kaivan, yang awalnya meluap seperti air pasang hingga kini akan segera pudar sepenuhnya.

Adeline mengambil sebuah kalung emas yang sangat tipis. Kalung itu adalah pemberian Kaivan pada tahun ketiga mereka bersama. Liontin kalung itu berbentuk telapak kaki kucing. Saat itu, Adeline ingin memelihara kucing dan sering menonton video kucing di internet. Ketika menerima kalung itu, dia sangat gembira dan tidak berhenti memainkan liontin itu.

Mereka berdua sepakat untuk mengadopsi kucing setelah lulus dan menyewa rumah. Mereka bahkan sudah memilih namanya, yaitu Bubu. Setelahnya, mereka tentu saja tidak jadi memelihara kucing.

Kaivan awalnya fokus merintis bisnis. Setelah bisnisnya sukses, dia menjadi makin sibuk. Dia bahkan tidak punya waktu untuk Adeline, apalagi memelihara kucing. Setelah dipikir-pikir, hubungan mereka memang sudah mulai bermasalah dari saat itu. Dia terlalu percaya diri dan berpikir hati Kaivan tidak akan pernah berubah.

Adeline menahan gejolak emosinya, menunduk, dan membuang kalung emas itu ke tempat sampah. Setelah itu, dia perlahan-lahan menutup kotak perhiasan itu. Hanya tersisa lima perhiasan di dalam kotak.

Adeline bangkit dan mengenakan mantelnya, lalu keluar sambil membawa tasnya. Begitu tiba di firma hukum, rekan-rekannya menghampirinya untuk memberi selamat atas kemenangannya lagi dalam persidangan.

"Bu Adeline, selamat!"

"Bu Adeline, ini sudah yang keenam kalinya dalam bulan ini! Bukan tanpa alasan kamu punya julukan Jenderal Tak Terkalahkan di firma hukum ini!"

"Ternyata benar yang bilang orang yang biasanya gagal di percintaan biasanya sukses di karier. Lihat saja betapa bersinarnya karier Bu Adeline sekarang!"

Begitu orang itu selesai berbicara, orang di sebelahnya pun buru-buru menarik lengan bajunya dan mengedipkan mata padanya. Suasana yang awalnya meriah tiba-tiba menjadi canggung. Semua orang yang hadir saling memandang dan tak seorang pun berani menatap wajah Adeline.

Semua orang di firma hukum tahu bahwa Adeline dan Kaivan akan segera menikah. Orang yang punya koneksi luas juga tahu bahwa Kaivan diam-diam berselingkuh dengan sekretarisnya. Namun, tak seorang pun pernah membicarakan hal ini di depan Adeline.

Rekan kerja yang baru saja berbicara juga menyadari bahwa dia telah mengatakan sesuatu yang salah dan segera meminta maaf kepada Adeline, "Bu Adeline, maaf. Aku cuma asal bicara. Jangan dimasukkan ke hati, ya ...."

Wajah Adeline terlihat sedikit pucat, sedangkan tangannya yang memegang tas kerja perlahan-lahan mengencang. Dia memaksakan senyum dan menyahut, "Nggak apa-apa. Malam ini, aku akan traktir semua orang di Restoran Celestial untuk merayakannya. Ingat untuk luangkan waktu, ya!"

Semua orang segera menanggapi dengan canda dan tawa, lalu insiden kecil itu pun berlalu.

Setelah kembali ke meja kerjanya, Adeline menyalakan komputer, merapikan dokumen-dokumen untuk diarsipkan, dan mulai menulis laporan ringkasan kasus. Namun, setelah menulis selama lebih dari dua jam, dia hanya menulis beberapa baris kata dan pikirannya sudah melayang.

Malam harinya, Adeline berjalan masuk ke Restoran Celestial bersama belasan orang dari firma hukum. Ada dua sosok familiar yang duduk di dekat jendela. Ketika menoleh, Adeline kebetulan bertemu pandang dengan tatapan Kaivan yang acuh tak acuh.

Adeline pun menahan napas untuk sejenak. Pada detik selanjutnya, Kaivan sudah mengalihkan pandangannya dan lanjut menyuapi Lesya hidangan penutup sambil tersenyum, seolah-olah tidak ada orang di sekitarnya.

Bahkan di depan rekan-rekan Adeline, Kaivan tetap tidak menunjukkan rasa hormat apa pun terhadap Adeline.

Seorang rekan kerja yang memiliki hubungan lumayan dekat dengan Adeline pun merasa marah. Dia hendak melangkah maju untuk menuntut keadilan bagi Adeline.

Namun, Adeline menahannya dan berkata dengan tenang, "Aku baik-baik saja. Ayo kita masuk ke ruang privat."

Wajah rekan kerja itu dipenuhi amarah. Dia berbalik dan hendak membantah, tetapi langsung tertegun ketika melihat ekspresi Adeline yang lebih buruk daripada menangis. Akhirnya, dia tidak mengatakan apa-apa lagi dan membiarkan Adeline menariknya ke ruang privat.

Dalam masalah perasaan, hanya orang yang menjalani hubungan itu yang mengetahui dengan jelas bagaimana hubungan mereka. Berhubung Adeline ingin mempertahankan ilusi ketenangan itu, orang lain tidak berhak mengatakan apa pun.

Setelah memesan makanan, Adeline bangkit dan pergi ke kamar mandi. Begitu pintu tertutup, dia mendengar suara rekan-rekannya berdiskusi di dalam.

"Tadi, aku nggak salah lihat? Pacar Bu Adeline menyuapi wanita lain makanan hidangan penutup di depan Bu Adeline? Dasar bajingan!"

"Aku juga melihatnya. Entah apa sebenarnya yang Bu Adeline sukai dari pria berengsek seperti itu? Dia begitu cantik. Kalau meninggalkan pria itu, dia pasti bisa temukan pria lainnya kapan pun dia mau."

"Haih, intinya, mereka berdua secara sukarela terima keadaan ini. Bu Adeline bisa berpikiran sangat jernih dan tegas saat tangani kasus, tapi malah nggak bisa berpikir jelas dalam urusan cinta ...."

Adeline tidak mendengar sisa percakapan mereka, tetapi bisa menebaknya. Sebenarnya, apa yang mereka katakan memang benar. Namun, setiap kali memikirkan masa depannya tanpa Kaivan, rasa sakit yang tak tertahankan akan merayapi hatinya.

Perlahan-lahan, Adeline pun mulai terbiasa. Terbiasa dengan ketidakpedulian Kaivan, terbiasa dengan aroma parfum wanita lain di tubuhnya, dan terbiasa dengan proses penyembuhan luka secara perlahan.

Tepat saat Adeline berjalan menuju pintu kamar mandi, langkahnya tiba-tiba terhenti. Seluruh tubuhnya terpaku di tempat. Sebuah pemandangan yang tak jauh darinya terlihat sangat menusuk mata.

Lesya duduk di atas wastafel, sedangkan Kaivan memeluk pinggangnya erat-erat dan memunggungi Adeline. Kaivan mencium Lesya seperti tidak ada orang lain di sekitar mereka. Mau dia bertingkah seperti apa pun dulu, dia tidak pernah bermesraan dengan wanita lain di depan Adeline. Namun, hari ini, dia malah melakukannya.

Melihat punggung Kaivan, Adeline merasa seperti ada angin dingin yang berembus masuk melalui lubang yang menganga di hatinya.

'Kaivan, kenapa kamu begitu kejam?' tanya Adeline dalam hati.

Berhubung terlalu terlena, Kaivan bahkan tidak menyadari Adeline berdiri tak jauh darinya. Akan tetapi, meskipun tahu, hal itu juga tidak akan berpengaruh baginya. Lagi pula, dia tidak peduli apakah Adeline sedih atau tidak.

Cermin itu memantulkan sosok dua insan yang saling bertautan, juga memantulkan wajah Adeline yang pucat dan terlihat sangat malu. Adeline merasa dirinya bagaikan orang yang sangat konyol.

Lesya yang lebih dulu melihat Adeline. Dia segera mendorong Kaivan. "Pak Kaivan ... Bu Adeline ...."

Pipinya merona merah, mata besarnya berkilat panik, sedangkan bibir lembapnya yang dicium Kaivan memerah hingga terlihat bagaikan buah manis yang sudah matang dan begitu menggoda untuk dipetik.

"Jangan pedulikan dia."

"Pak Kaivan ... umph ...."

Kaivan langsung membungkam mulut Lesya.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, Kaivan akhirnya melepaskan Lesya dan mengangkatnya turun dari wastafel. Dia merapikan gaun Lesya, lalu merangkulnya dan berbalik untuk pergi.

Saat melewati Adeline, Kaivan mengangkat alisnya dan bertanya dengan nada mengejek, "Masih belum puas lihatnya? Apa perlu aku bawa Lesya pulang malam ini supaya kamu bisa melihatnya dengan jelas?"

Adeline menoleh untuk menatapnya. Mata Kaivan yang jernih itu penuh dengan ejekan dan sama sekali tidak terlihat jejak kelembutan.

"Kaivan, kamu boleh lakukan apa saja yang kamu mau dengannya secara pribadi, tapi bisa nggak kamu ... jangan membawanya ke hadapanku? Anggap saja aku mohon padamu ...."

Adeline benar-benar tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan. Sepertinya, hanya dia seorang yang masih berangan-angan tentang masa depan yang mereka janjikan pada satu sama lain.

Kaivan tersenyum acuh tak acuh, lalu memegang dagu Lesya dan mengecup bibirnya lagi.

"Nggak tahan? Kalau nggak tahan, kamu boleh batalkan pernikahan kita atau minta putus."

Adeline menunduk dan hendak berbicara, tetapi tatapannya tiba-tiba terhenti. Lesya sedang mengenakan sebuah gelang emas tulip. Baik desain maupun ukiran gelang itu sama persis dengan yang Kaivan rancang sendiri dan dibuat khusus untuknya!
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Jurig Waru
ah c adelin itu, bener2 bikin aku muak g busa bertindak
goodnovel comment avatar
Atin Sri widianti
gimana tow...ws jelas2 mendua koq Sik bertahan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 156

    Melihat Anita bangkit dan hendak pergi, Shinta segera berdiri dan ingin berdiskusi lagi dengannya. Namun, dia malah dihentikan oleh Winda."Nyonya Shinta, sebaiknya kalian pulang saja. Nyonya Anita perlu istirahat."Ekspresi Shinta langsung muram, tetapi dia tidak berani mengatakan apa pun kepada Winda. Bagaimanapun juga, Winda telah bekerja untuk Anita selama 30-40 tahun. Ucapannya sangat berpengaruh bagi Anita. Menyinggung Winda tidak ada gunanya bagi Shinta.Shinta menoleh ke arah Amanda dan berkata, "Amanda, ayo kita pulang!"Amanda mengangguk dan mengikuti Shinta keluar.Setelah masuk ke mobil, Shinta berseru marah, "Itu cuma Vila Harmoni kok! Apa hebatnya! Setiap kali datang menemuinya, aku harus menunduk padanya! Aku sudah muak dengan semua ini!"Mata Amanda bergetar sejenak. Kemudian, dia menunduk dan berujar, "Ibu, maaf. Kalau bukan karena aku, hari ini kamu juga nggak perlu datang ke rumah tua dan dibuat kesal sama Nenek."Melihat rasa bersalah dan sedih di wajah Amanda, Shin

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 155

    "Bu Shinta, selama kamu nggak cari masalah denganku, aku nggak punya keluhan atau pendapat tentangmu."Shinta mencibir. Ekspresinya dipenuhi rasa benci dan kesal."Keluhanmu terhadapku seharusnya nggak akan ada habisnya meski diceritakan selama tiga hari tiga malam, 'kan? Lagian, Amanda juga nggak salah. Meninggalkan Keluarga Thomas itu pilihanmu sendiri. Jangan bersikap seolah-olah orang lain yang bersalah padamu!"Adeline menatap mata Shinta dan merasa agak geli. Shinta masih sama persis seperti beberapa tahun yang lalu, selalu menuduhnya dengan tuduhan palsu tanpa peduli pada kebenarannya."Bu Shinta, aku nggak pernah nyesal karena meninggalkan Keluarga Thomas. Aku juga nggak merasa ada yang bersalah padaku. Kuharap kamu jangan asal berasumsi tentang pemikiranku."Sebagian alasan Adeline memutuskan hubungan dengan Keluarga Thomas memang karena Kaivan. Namun, sebagiannya lagi karena dia benar-benar sudah kecewa dengan anggota Keluarga Thomas."Oke! Aku mau tahu kamu bisa keras kepala

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 154

    Keesokan paginya, Adeline bangun dan mandi. Setelah berjalan ke ruang tamu, dia melihat Amanda dan Shinta yang duduk di sofa dan sedang mengobrol dengan Anita.Adeline belum pernah bertemu dengan Amanda sejak meninggalkan Keluarga Thomas. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, Amanda terlihat jauh lebih dewasa. Dia mengenakan setelan bergaya Chanel, merias wajah dengan cantik, dan tersenyum dengan sempurna. Dia terlihat anggun dan cantik.Menyadari tatapan Adeline, Amanda berbalik dan menatapnya."Kak, sudah bangun? Nenek baru saja mau suruh pembantu untuk bangunin kamu."Amanda tersenyum dan berbicara dengan nada akrab. Orang yang tidak mengenal mereka mungkin akan mengira bahwa mereka masih berhubungan selama beberapa tahun terakhir. Adeline memasang tampang dingin dan tidak menjawab. Sebaliknya, dia menatap Anita dan berujar, "Nek, aku ada urusan pagi ini. Aku nggak sarapan di rumah, ya."Anita mengangguk. Ketika dia hendak berbicara, Shinta sudah terlebih dahulu berbicara dengan ek

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 153

    Adeline tertegun sejenak. Setelah tersadar kembali, dia menjawab sambil tersenyum, "Aku akan sibuk selama seminggu ke depan. Setelah aku pindah ke Graha Makmur, kita baru buat janji saja.""Oke. Hati-hati di jalan pulang."Setelah berpamitan dengan Petra, Adeline pun melaju pergi. Ketika tiba di rumah tua Keluarga Thomas dan baru saja Adeline masuk ke ruang tamu, dia melihat Anita sedang duduk di sofa. Rasa keterkejutan pun melintasi mata Adeline."Nenek, kenapa masih belum tidur?"Begitu melihat Adeline, Anita menepuk kursi di sebelahnya dan berujar, "Adel, ayo duduk. Ada yang mau kubicarakan denganmu.""Ada apa?"Setelah duduk di sebelah Anita, Adeline menatapnya dengan ekspresi bingung. "Adel, apa kamu punya tema favorit untuk pesta hari Minggu? Aku akan minta Bi Winda untuk mengaturkannya sesuai tema favoritmu."Adeline menggeleng dan menyahut, "Nek, aturkan saja sesuai keinginan Nenek. Aku nggak punya preferensi khusus."Kilatan kekecewaan melintasi mata Anita. "Adel, di Kediama

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 152

    Sikap Adeline yang acuh tak acuh membuat Kaivan merasa sedih. Setelah hening sejenak, dia memaksakan seulas senyum."Adel, dengar-dengar, Keluarga Thomas lagi rencanakan pesta untuk mengakuimu kembali."Setelah Adeline kembali ke Keluarga Thomas, Kaivan akan mencari cara untuk pergi ke Kediaman Keluarga Thomas dan menetapkan pernikahan mereka, lalu perlahan-lahan membujuk Adeline untuk rujuk. Selama dia terus mendesak, Adeline pasti akan mengalah, sama seperti sebelumnya.Adeline merasa agak kesal. "Apa hubungannya itu denganmu?"Kaivan mengerutkan kening dan hendak berbicara. Namun, ponselnya yang ada di saku tiba-tiba berdering. Ketika panggilan tersambung, dia mendengar sesuatu dari ujung sana dan ekspresinya langsung berubah. "Oke. Aku akan segera ke sana."Setelah menutup telepon, Kaivan menatap Adeline dan berujar, "Adel, aku ada urusan mendadak di perusahaan. Setelah kamu kembali ke Keluarga Thomas, aku akan pergi mencarimu."Adeline bahkan tidak mengangkat kepalanya. Dia langsu

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 151

    Setelah mengirim pesan itu, Petra segera membalas. Dia mengatakan bahwa dirinya sedang tidak berada di rumah dan mereka bisa bertemu di pintu masuk restoran.Adeline mengirim emoji "ok", lalu mengatakan kepada Petra bahwa dirinya akan segera pergi ke restoran dan akan tiba sekitar pukul enam.Sesampainya di pintu masuk restoran, Adeline kebetulan bertemu dengan Petra. Mereka pun masuk bersama.Pada saat ini, di pinggir jalan. Kaivan sedang mengistirahatkan matanya. Joel yang duduk di kursi penumpang depan tiba-tiba melontarkan gumaman bingung, "Eh?"Kaivan pun membuka matanya dan bertanya, "Ada apa?""Ngg ... nggak apa-apa. Aku kira aku melihat Bu Adeline barusan. Aku seharusnya salah lihat."Akhir-akhir ini, entah apa yang salah dengan Kaivan, intensitas kerjanya meningkat drastis dan dia tidak pernah menanyakan keadaan Adeline lagi. Joel tidak mengerti maksud Kaivan, juga tidak berani mengungkit tentang Adeline di depannya.Namun, yang mengejutkan adalah, Kaivan memecat Lesya. Lesya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status