Share

6- Seperti Dispenser

'Ish, dia seperti dispenser, sebentar cool sebentar panas, memang labil deh, sepertinya bosku punya kepribadian ganda, kandang ramah, kadang jutek.'

---

"Apa sih yang dia baca, serius amat, belum juga di kasih tugas udah pusing." Lirih Angga.

Lelaki itu pun menoleh pada asisten pribadinya.

"Apa kau sudah memberi tugas pada Aisyah?"Tanya Angga.

Sebastian menggeleng, "Aku ini tak sepertimu, bos. Tak akan aku siksa karyawan baru, aku sudah memberi tahu Mita, jika hari ini Aisyah hanya mempelajari pekerjaanmu, keperluanmu, makan siangmu dan..."

Angga memicing tajam, "Dan apa?"

"Dan memberi tahunya jika kau itu bos galak dan keji." Kekeh Sebastian.

"Dasar gila." Umpat Angga.

Kali ini dia mengalihkankan pandangannya, dia tak ingin terlalu lama memandang Aisyah, demi keamanan hatinya yang mulai tak wajar.

DI meja kerjanya Aisyah terus mempelajari jadwal-jadwal rapat dan pertemuan Angga dengan perusahaan lain, kemudian dia tulis di buku kecil pribadinya, dia tulis dengan lengkap, jadwal makan, istirahat, keperluan sampai minuman favorit bos barunya.

Aisyah menikmati hari pertamanya dengan ceria.

"Alhamdulillah, hari pertama yang menyenangkan." Guman Aisyah.

Baru saja dia merenggangkan tangannya, alarm berbunyi. Aisyah menatap ponsel hitamnya.

"Waktunya pesan makanan."

Dengan cepat gadis itu memesan Steak dengan sayur cap cay tak luma minuman jus jeruk, Mita sudah memberi nomor kontak Cafe Bahagia, tempat favorit Angga.

Tak menunggu lama, pesanannya pun sampai, saat Aisyah membuka dan menyusunnya di piring air liurnya seakan hendak keluar, baunya sangat menggugah selera.

"Dari baunya saja sudah enak, pasti mahal nih." Lirih Aisyah.

Setelah menyusun makanan dengan Rapi, Aisyah menuju ruangan Angga.

Dia mengetuk pintu, saat membuka terlihat Angga yang sedang sibuk dengan notebooknya.

"Maaf, Pak. Makan siang sudah siap." Ujar Aisyah pelan.

"Ya, Kau letakkan saja di situ, sebentar lagi akan saya makan." Ucap Angga dingin.

Angga pun menoleh, dia memperhatikan Aisyah membawa nampan yang berisi makanannya, sampai Aisyah meletakkan di atas meja Angga masih meliriknya.

Aisyah hanya melirik sekilas, lalu dia kembali keluar, "Ish, Jutek amat sih pak Angga." Lirih Aisyah.

---

Angga membereskan pekerjaannya, lalu menggulung lengan bajunya, diliriknya jam sudah masuk waktu shalat Dzuhur, dia masuk ke ruangan pribadinya, shalat terlebih dahulu. Setelah itu dia kembali duduk di sofa.

Melihat sajian makanan di piring bibirnya tersenyum. Baru kali ini, ada seseorang yang menyiapkan makanan dengan begitu rapi, jika Mita atau Sebastian pasti masih di dalam box makanan.

Dengan pelan Angga menikmati Steak tenderloin, dia memejamkan matanya sesekali tersenyum. Saat ini, dia merasakan makanan itu tidak hanya lezat tapi... sangat berkesan.

"Apa aku harus menggunakan kekuasaanku untuk mendapatkannya?" Pikir Angga, "Ah... sadar Angga, kau harus mengujinya terlebih dahulu, tak baik memaksakan cinta." Lirihnya lagi.

Pikiran dengan hatinya tak selasar, membuat Angga tertawa geli.

"Selama ini aku hanya mengamatinya dari jauh, rupanya saat dia dekat jantungku semakin tak aman saja." Guman Angga.

Tak terasa sampai makanannya habis, Angga masih berbicara sendiri tentang Aisyah, gadis yang selama ini menempati hatinya. Namun, karena gengsi Angga tak ingin mengakui perasaannya itu.

---

"Duh, sudah jam empat sore, tapi pak Angga belum pulang juga, bagaimana ya? Apa aku izin pulang saja." Guman Aisyah bingung.

Sebelumnya, Mita sudah memberi tahu jika jam kerjanya hanya sampai jam empat sore, namun dia enggan pulang karena Angga masih di dalam ruangan, tak sopan rasanya meninggalkan atasannya pulang.

Aisyah berjalan mondar-mandir, sesekali mencoba mengetuk pintu, tapi dia mundur, maju lagi, lalu mundur lagi, bimbang tentu saja, apalagi Aisyah baru pertama kerja, dia takut dianggap lancang karena ingin pulang terlebih dahulu.

"Aku tunggu sampai setengah lima deh, mungkin saja pak Angga masih ada pekerjaan." 

Pada akhirnya, Aisyah kembali duduk di kursinya. Karen tak ada yang harus dia kerjakan, Aisyah pun menscroll akun mendia sosial, membaca berita termasuk hobi Aisyah.

"Ya Tuhan... Kasian sekali anak ini di siksa, memang biadab nih baby sitter, sudah di gaji besar, sudah dianggap saudara, tapi malah menikam, dengan menyiksa anak majikannya. Kalau aku yang jadi ibunya sudah ku tarik tuh rambut perempuan. Beraninya sama anak kecil saja." Umpat Aisyah.

Dia kembali membaca berita yang sedang viral, hatinya ikut geram melihat pengasuh yang bekerja sesuka hati apalagi sampai melukai anak kecil. Baginya, pelaku penyiksaan seperti itu harus di hukum berat.

"Semoga saja aku mendapatkan suami yang baik, kalau begini aku ingin jadi ibu rumah tangaa saja." Lirih Aisyah.

"Emangnya kamu sudah ada calon?"

Deg.

Suara Angga mengejutkan Aisyah, sampai ponselnya terlepas dari tangannya. Entah kapan bosnya itu berdiri di belakangnya.

"E... e... maaf, Pak. Ini... geram saja karena melihat berita yang sedang viral." Jawab Asiyah gugup.

Dia menunduk untuk menyembunyikan rasa malunya.

"Kamu baca berita apa sampai geram begitu?" Tanya Angga lagi.

Pokoknya Angga akan terus mencari topik agar pembicaraannya tak berhenti, dia ingin mendengar suara lembut sekretarisnya itu.

"Hmmm, ini kasus penganiayaan anak yang di lakukan pengasunya, Pak."

"Menurutmu, sebagai orang tua harus bagaimana? mengasuh dengan bantuan anak atau tidak?" Tanya Angga lagi. Dia ingin tau tingkat kecerdasan Aisyah.

Gadis itu mendongak menatap wajah atasannya sekilas.

"Kalau saya pribadi, inginnya mengasuh anak sendiri, pak. Bagaimanapun sekolah pertama bagi anak adalah kita ibunya. saya ingin mendidik anak-anak dengan cara saya sendiri, meskipun ada pengasuh, hanya untuk membantu menyiapkan keperluan saja."

Angga manggut-manggut.

'Wanita dan calon ibu idaman banget nih. Tak salah aku mengintainya sejak lama.' Batin Angga.

"Lalu... Bagaimana dengan karirmu? Apa kau tak ingin mengejar karir?" Tanya Angga lagi, dia pun duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Aisyah.

"Kalau memang suami saya nanti bisa mencukupi, menafkahi kebutuhan kami, saya rasa tak perlu mengejar karir, Pak. Untuk apa mengejar karir, jika anak-anak tak mendapatkan pendidikan yang bagus."

"Kan kita bisa memasukkan anak ke sekolah unggulan? rasanya... itu tak masalah."

"Hmm... Maksudnya, pak?"

Angga terdiam, dia menyadari kesalahan dalam ucapannya, mungkin Aisyah bingung dengan kata 'Kita' yang keluar dari mulut Angga.

"Ah, tidak lupakan saja. Sepertinya kau suka melihat berita di Medsos."

"Sedikit, pak. Saat di waktu luang saja. Apa saya sudah boleh pulang, Pak?" Tanya Aisyah.

Segan rasanya jika dia harus berlama-lama berbicara dengan atasanya, apalagi jam kerja sudah habis, Aisyah tak ingin menimbulkan fitnah di antara mereka.

Angga sedikit kecewa dengan pertanyaan Aisah, kemudian dia pun berdiri dan kembali masuk ke ruangannya, membuat Aisyah melongo.

"Kamu boleh pulang." Titah Angga dingin.

'Ish, dia seperti dispenser, sebentar cool sebentar panas, memang labil deh, sepertinya bosku punya kepribadian ganda, kandang ramah, kadang jutek.'

Aisyah pun merapikan meja kerjanya, dan pulang dengan mengendarai ojek online.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status