MasukAlisya dan Andra duduk berhadapan di sebuah meja yang dekat dengan jendela. Andra dengan ekspresi kalemnya, sedangkan Alisya dengan ekspresi dongkol campur sebal. Tangannya membuka buku menu dengan gerakan kasar, namun sayang Andra mengabaikan.
Saat pelayan datang, Andra langsung menyebutkan pesanannya. Alisya pun juga, ya karena dia juga belum sarapan dan ada niat makan di luar. "Kamu bawa uang?" Andra bertanya dengan tatapan yang meremehkan. "Tenang saja. Aku gak akan minta dibayarin," balas Alisya ketus. Andra hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli. Selama menunggu makanan datang, Andra sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang dilakukannya, yang jelas matanya tak lepas dari layar ponsel. Sementara Alisya, sibuk memandang keluar jendela. Melamun, memikirkan apa yang akan terjadi esok dan seterusnya. Memikirkan lagi keputusannya memilih pindah. Apakah itu keputusan yang benar atau salah. Alisya lalu mengecek ponselnya, dan tak ada pesan dari siapa pun. Alisya sebenarnya berharap ada pesan dari Alvina, yang bisa membuatnya sedikit lega. Tapi, tak ada. Pesan yang dia kirimkan semalam pada Axel pun masih belum mendapatkan balasan. Tapi, tunggu. Mata Alisya memicing tajam, melihat status Axel yang sedang online. Lalu kenapa pria itu tak membalas pesannya?! Geram, Alisya pun kembali memberondong Axel dengan banyak pesan yang menuntut sebuah balasan dan jawaban. Semenit kemudian, terlihat tanda kalau Axel membaca pesan darinya. "Apaan?" "Butuh uang?" "Nanti ditransfer." "Lagi sibuk." "Jangan ganggu." "Jangan spam." "Atau diblokir." Alisya menganga tak percaya membaca deretan pesan dari Axel barusan. Jika saja Axel ada di depannya, Alisya ingin sekali berteriak di depan wajahnya. "SIBUK APAAN HAH?! JAWAB PERTANYAANKU!!!!" Axel membacanya, tapi tidak membalas. Lalu sedetik kemudian, Alisya membaca tulisan kalau dia sudah diblokir oleh Axel. Apa-apaan ini?! Alisya meremas ponselnya dengan kuat, merasa kesal. Kenapa hari ini orang-orang menyebalkan sekali? Tak lama kemudian, pelayan datang mengantarkan makanan. Saat hendak menyantap makanan, Alisya merasakan ponselnya bergetar. Karena penasaran, akhirnya Alisya membuka pesan yang barusan masuk. "Sedang dengan Andra? Minta uang saja sama dia. Dia kakakmu juga kan?" Axel membuka blokiran, mengirim pesan, lalu memblokir nomor Alisya lagi. Bagus. Bagus sekali. Alisya tak habis pikir dengan kelakuan Axel yang kekanakkan. Mana main blokir nomor lagi. Dan lagi, tujuan Alisya menghubungi Axel itu bukan karena uang. Apa Axel tak membaca seluruh pesannya? Kenapa pria itu terus saja membahas masalah uang? Dikira Alisya kekurangan uang kali ya. "Cepat makannya. Aku tak punya waktu banyak dan harus segera ke kantor." Pikiran Alisya buyar seketika karena ucapan Andra yang menyebalkan lagi. Alisya ingin sekali mengumpati pria di hadapannya tersebut. Namun, dia harus menjaga lisannya sendiri di depan makanan. Sudahlah. Makan dulu, isi tenaga dulu. Nanti dimobil bisa adu bacot lagi dengan Andra. Alisya bahkan sudah merangkai segala kata umpatan untuk diucapkan pada Andra nanti. *** Andra mengantarkan Alisya ke mall, sesuai tujuan utama gadis itu. Alisya mengucapkan terima kasih dengan berat hati karena Andra sudah mengantarnya juga sudah membayar makanannya tadi. Alisya harap, Andra langsung pergi saja begitu. Tapi ternyata, pria itu mengikuti Alisya masuk ke dalam mall dengan wajah bete. Alisya sudah menyuruhnya untuk pergi saja dari pada mengekorinya seperti ini. Namun, Andra memperlihatkan sebuah pesan dari Hendra yang berisi perintah kalau Andra harus menemani Alisya belanja sampai gadis itu selesai. Dan Andra harus mengantarkan Alisya pulang ke rumah dengan selamat. Alisya akhirnya tak punya pilihan lain lagi, selain membiarkan Andra terus mengikutinya. Jujur saja, Alisya jadi tak bisa bebas bergerak. Andra bagai mata-mata yang akan melaporkan segala tindakannya pada sang ayah. Setelah selesai di toko pakaian, kini Alisya menuju toko sepatu. Andra terlihat jengah karena harus terus mengikuti Alisya memasuki beberapa toko. Sungguh, dia merasa harga dirinya dijatuhkan karena harus mengantar Alisya belanja. Dia lebih senang berhadapan dengan tumpukan dokumen sepertinya. "Masih belum selesai?" Andra bertanya kesal, setelah Alisya keluar dari toko sepatu. "Belum. Aku harus beli alat tulis dulu," jawab Alisya ketus. Tanpa memberikan Andra kesempatan untuk bicara lagi, Alisya langsung melengos pergi mencari toko yang menjual peralatan menulis. Andra terlihat lelah, namun tetap berjalan mengikuti Alisya. Jika bukan karena perintah Hendra, Andra tak mau melakukan ini. Semua ini dia lakukan semata-mata sebagai ucapan terima kasih saja karena dia bisa seperti sekarang berkat ayah Alisya. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Alisya keluar dari toko alat tulis. Dia terlihat sedikit kesulitan karena banyaknya tas belanja yang harus dibawa. Andra menghembuskan nafas panjang melihat itu. Tanpa diminta, Andra langsung mengambil alih sebagian tas belanja Alisya. "Eh? Kenapa diambil? Kembalikan padaku. Aku gak butuh bantuan." Alisya protes karena tindakan Andra yang tiba-tiba. "Aku hanya ingin lebih cepat," desis Andra. Alisya cemberut mendengar itu lalu mempercepat langkahnya, menyusul Andra yang sudah beberapa langkah di depannya. Alisya bungkam, tak bicara sedikit pun selama perjalanan pulang. Matanya setia menatap ke arah jendela mobil, enggan melirik Andra yang mengemudi. Setelah sampai di halaman, Alisya pun cepat-cepat turun dari mobil Andra dan membawa semua belanjaannya sendirian, walau sedikit kesulitan. Alisya terus menggerutu, merasa kesal pada Andra. Beruntungnya rumah sedang sepi, hingga tak ada yang melihat wajah tak bersahabat Alisya. Alisya pun segera masuk ke kamar untuk membereskan belanjaannya barusan. "Cih. Dasar menyebalkan. Udah gak bayarin, songong pula. Padahal aku gak minta dianter," dengus Alisya. Dia mengambil ponselnya dari dalam tas, berniat mengecek pesan. Tak ada pesan dari Axel, namun Alisya kebingungan saat ada pesan pemberitahuan uang masuk ke rekeningnya. Namun, tak lama kemudian ada pesan dari nomor yang tak dikenal. "Uang ganti belanjaanmu barusan." Tak tahu siapa, namun Alisya langsung yakin kalau itu adalah Andra.Rama mengelus pelan rambut Alisya. Matanya menatap lekat wajah Alisya yang sudah terlelap setelah selesai bercerita sambil menangis dalam pelukannya. Rama merasa marah saat mendengar cerita dari Alisya. Karena itu, malam ini dia berniat datang ke rumah orang tuanya. Kebetulan, barusan Sarah menelepon dan mengatakan terjadi kekacauan di rumah, yaitu Andra dan Radit yang berkelahi tanpa sebab. Rama pun meminta semua orang berkumpul di rumah dan menunggunya. Sekarang, hanya dia yang tahu apa alasan Alisya sampai kabur dan ingin pulang ke Yogyakarta. Rama tentu tak akan meninggalkan Alisya sendirian di apartemennya. Karena itu, Rama menghubungi seseorang untuk menemani Alisya. Bukan orang asing tentunya. Ponsel Rama bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Rama pun turun dari atas ranjang dan segera menuju pintu utama. Dia meraih gagang pintu dan membukanya. Nampaklah seorang pria yang usianya beberapa tahun di atasnya. "Mana Alisya?" Pria itu langsung bertanya secara tak sabar. Kekhaw
Alisya pulang ke rumah lebih awal dari biasanya. Tentu dia tak sendiri, karena hari ini ada yang datang menjemputnya tanpa diminta. Orang itu adalah Radit. "Semalam kamu menginap di rumah temanmu, Sya?" Radit bertanya. Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. "Kosan lebih tepatnya," koreksi Alisya. Tentu dia tak akan jujur pada Radit kalau semalam dia menginap di apartemen Rama. Biarlah itu menjadi rahasia antara dia dan Rama saja. Tidak. Sepertinya Aina dan Andra juga tahu. "Oh, maaf. Pasti kamu senang ya karena tak harus dikawal lagi sekarang. Jadi lebih bebas bergerak," ujar Radit. Alisya terdiam mendengar itu. Dikawal katanya? "Ya, bisa dikatakan seperti itu," jawab Alisya asal. Radit masih mengikuti langkah Alisya, terlihat sekali berusaha mengajak Alisya untuk berkomunikasi. "Jadi, sekarang kamu mau kemana? Aku bisa mengantarmu," tawar Radit. Alisya berhenti melangkah dan menghela nafas pelan. Jujur saja, dia cukup terganggu. "Aku akan istirahat, Kak. Terima kasih
Pukul delapan pagi, Andra sudah berada di depan gerbang kampus tempat Alisya kuliah. Dia berada di dalam mobil, melihat dengan teliti setiap orang yang masuk ke area kampus maupun keluar. Dan jika dihitung, mungkin dia sudah di sana selama satu jam. Bukan tanpa alasan, Andra berada di sana karena dia ingin menemui Alisya. Dia ingin bicara dengan gadis itu dan meminta penjelasan juga kenapa Alisya tak pulang ke rumah. Andra tahu itu bukan sebuah kesenangan Alisya karena dibebaskan oleh Hendra. Andra tahu ada yang tidak beres. Andra berkali-kali melihat jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah satu jam lebih dia menunggu, namun masih belum terlihat tanda-tanda kedatangan Alisya. Andra tidak menyerah, dan tetap menunggu seraya mengawasi sekitar. Andra sengaja tidak keluar dari mobil karena tak mau Fiona melihatnya lalu menghampirinya. Tidak. Andra tak mau bertemu dengan wanita itu lagi. Setelah lama menunggu, tak sengaja Andra melihat Aina. Dia yakin sekali itu ad
Saat jam makan siang, Andra dihubungi oleh Hendra. Dia yang masih bersama dengan Nita harus pulang ke rumah. Katanya, Sarah juga ingin bertemu dengan Nita. Andra tak tahu harus bagaimana, tapi Hendra mendesaknya untuk mengajak Nita ke rumah. Mau tak mau, Andra melakukannya. Walau ya, dia keberatan untuk melakukan itu. "Om Hendra baik sekali ya." Nita berucap. Kini dia dan Andra masih di dalam mobil, setelah berkeliling dan melihat-lihat ke beberapa tempat. "Memang. Oh ya, ayah memintaku mengajakmu ke rumah untuk makan siang bersama." Andra akhirnya mengatakan itu. Harapannya sih, Nita menolak saja gitu. Tapi ternyata, wanita itu malah mengangguk dengan antusias. Pupus sudah harapan Andra untuk menjemput Alisya ke kampus sekarang. Dengan perasaan yang sedikit kacau, Andra pun mengemudikan mobilnya menuju rumah. Entah kenapa Nita terlihat senang dan antusias, berbeda dengannya yang tak menginginkan ini sama sekali. Tunggu, bagaimana jika di rumah ada Alisya? Andra tak bisa berhenti
Andra berjalan berdampingan dengan ayah tirinya, Hendra. Mereka sudah berada di perusahaan dan akan melanjutkan obrolan yang tertunda di ruang makan tadi. Andra yang tahu apa yang akan dibahas merasa tak tenang. Dia tak tahu bagaimana cara menolak keinginan Hendra tanpa menyakiti atau menyinggung ayah tirinya itu. Apa mungkin dia harus mengaku tentang hubungannya dengan Alisya? Tapi, bagaimana jika Hendra malah tak setuju dan berbalik benci padanya? Saat sedang berada di dalam lift, Andra merasakan ponselnya bergetar. Dia merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya. Ternyata ada satu pesan dari Alisya. Andra membukanya dan membacanya dalam hati. Tanpa dia sadari, Hendra meliriknya dengan heran. "Apapun yang terjadi, jangan katakan apapun tentang kita pada ayah." Itulah isi pesannya. Andra terdiam, dan berpikir cukup keras. Jadi, dia harus bagaimana menolak permintaan Hendra? "Andra." Hendra memanggil anak tirinya tersebut yang terlalu fokus pada ponsel. Andra sampai tersentak,
Alisya keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah rapi. Dia sudah siap untuk pergi kuliah seperti hari biasanya. Alisya memakai make up cukup tebal pagi ini, terutama di bawah mata. Menangis semalaman ditambah sulit tidur membuat matanya bengkak dan menghitam. Agar tak ada yang bertanya, Alisya berusaha semaksimal mungkin menutupi kesedihan di wajah. Alisya pagi ini belum bertukar kabar dengan Andra, dan dia juga tak tahu apakah Andra akan datang menjemputnya atau tidak. Namun saat sampai di ruang makan, Alisya melihat Andra ada di sana. Tatapan mereka bertemu, dan Alisya langsung mengalihkan tatapannya. Dia pun segera duduk di samping Sarah. "Ibu senang kita bisa berkumpul seperti ini. Hanya kurang Rama saja. Dia sulit sekali untuk dihubungi," ucap Sarah. Kebahagiaan terpancar jelas dari matanya karena anak-anaknya bisa berkumpul pagi ini. "Bukan hanya ibu, aku juga senang kok," sambung Vina dengan senyuman. Semua yang ada di sana tersenyum kecil ikut merasakan bahagia. Kecual







